El Nino Southern Oscillation
dan 84 kejadian CT El Nino. Komposit dari kedua tipe El Nino tersebut sangat berbeda baik dari posisi maupun besarnya anomali positif SPL Gambar 13. Pada
CT El Nino anomali positif SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 2.5 K, sedangkan pada WP El Nino cenderung terpusat di
internasional date line 160°BT sebesar 1.0 K dan menyebar sampai ke sebelah timur dengan nilai yang lebih kecil.
Gambar 13 Komposit anomali SPL °C periode CT El Nino a dan WP El
Nino b pada bulan NDJ selama periode 500 tahun, diadaptasi dari Kug et al. 2010.
Pada penelitiannya Kug et al. 2010 memperoleh kesimpulan yang sama mengenai keberadaan dan besarnya nilai anomali SPL dari dua tipe CT El Nino
dan WP El Nino dengan menggunakan data luaran model GFDL CM2.1 dengan penelitian sebelumnya yang dilakukannya Kug et al., 2009. Selain itu dengan
memperhitungkan perbandingan antara adveksi SPL zonal dan adveksi SPL vertikal, diperoleh kesimpulan bahwa CT El Nino memiliki proses discharge yang
kuat sehingga secara dinamis ketika periode CT El Nino mulai melemah dapat mengontrol mekanisme umpan balik dari fase panas ke fase dingin untuk
terbentuknya kejadian La Nina. Sementara itu, WP El Nino memiliki proses discharge yang lemah karena pola distribusi anomali SPL yang menyebar merata
dengan nilai anomali positif yang kecil sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya periode La Nina setelah selesainya periode WP El Nino. Kondisi ini
diperkuat dengan hasil dari perhitungan adveksi SPL zonal dari WP El Nino yang cenderung terjadi secara perlahan karena adanya thermal damping process
terhambatnya transpor bahang melalui mekanisme adveksi di lautan. Kug et al. 2010 menyampaikan bahwa WP El Nino berperan besar dalam
menentukan perubahan kondisi normal SPL di Samudera Pasifik secara klimatologi karena pada beberapa dekade terakhir WP El Nino sering terjadi
sehingga akan meningkatkan SPL dalam siklus jangka panjang. Korelasi antara indeks Nino4 dengan anomali SPL pada tipe WP El Nino selama 500 tahun cukup
kuat sebesar 0.7 dimana telah diketahui sebelumnya bahwa indeks Nino4 memiliki kecenderungan peningkatan suhu dari kondisi normalnya pada siklus
dekadal dan antar dekadal. Kug et al. 2010 menyampaikan bahwa terdapat dua kemungkinan yang terjadi dengan eratnya interelasi antara Nino4 dan tipe WP El
Nino yaitu pertama, WP El Nino mempengaruhi variabilitas siklus dekadal di tropikal Samudera Pasifik melalui mekanisme efek penyesuaian ketidak-teraturan
Nonlinier rectification effect yang sebelumnya telah diteliti keberadaan pola dekadal ENSO di Samudera Pasifik Timmermann, 2003; Rodgers et al., 2004;
An et al., 2005; An, 2009. Kemungkinan kedua adalah peningkatan suhu di Samudera Pasifik dalam jangka panjang menyebabkan tipe WP El Nino lebih
sering terjadi pada beberapa dekade terakhir karena peranan adveksi SPL zonal sangat besar dalam proses pembentukan WP El Nino.
Harrison dan Chiodi 2009 dengan menggunakan data Optimum Interpolation Sea Surface Temperature NOAA OISST-NOAA telah
mengidentifikasikan terdapat tiga tipe pola sebaran anomali SPL jika dikaitkan dengan kejadian angin baratan Westerly Wind EventWWE yang berasosiasi
dengan EL Nino pada lokasi yang berbeda di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Lokasi kejadian WWE tersebut terdapat pada tiga petak yaitu petak
pertama pada 130°BT-155°BT, kedua pada 155°BT-180°BT dan ketiga pada 180°BT-150°BB dan masing-masing petak berada pada 5°LS-5°LU. Kriteria
komposit yang digunakan adalah selisih dari anomali SPL hari ke 60 dan ke 20 dimana pada tahun yang bersangkutan nilai indeks Nino3 mendekati normal
Nino3 ≤ 0.75°C dan terdapat kejadian WWE di masing-masing petak. Periode
data yang digunakan dikelompokan menjadi dua yaitu pada periode 1986-1998 dan 1999-2006 Gambar 14.
Gambar 14 Komposit selisih anomali SPL °C antara hari ke 60 dengan hari
ke 20 pada saat kejadian angin baratan Westerly Wind EventWWE dimana nilai indeks Nino3 mendekati normal Nino3
≤ 0.75°C pada tiap petak kotak hitam a tipe W baratwestern pada 130°BT-155°BT, c tipe C tengahcentral pada 155°BT-
180°BT dan e tipe E timureastern pada 180°BT-150°BB, masing-masing pada 5°LS-5°LU periode tahun 1986-1998. b, d
dan f sama seperti a, c dan e pada periode tahun 1999-2006, diadaptasi dari Harrison dan Chiodi 2009.
Harrison dan Chiodi 2009 dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan pola sebaran anomali SPL saat terjadi El Nino pada beberapa
dekade terakhir dan terdapat tiga tipe anomali SPL yang berasosiasi dengan El Nino yaitu tipe W, C dan E dimana angin baratan terjadi di sebelah barat, tengah
dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada tipe W, C dan E antara periode tahun 1986-1998, anomali positif SPL dominan terpusat di sebelah timur ekuatorial
Samudera Pasifik, sedangkan antara periode 1999-2006 cenderung berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Pola anomali SPL yang terjadi sangat
berbeda, sedangkan keberadaan WWE sebagai gaya yang menyebabkan perpindahan kolam air hangat tetap ada meskipun Harrison dan Chiodi 2009
tidak mengelompokan WWE berdasarkan kekuatan anginnya, hanya keberadaan kejadian WWE terhadap arah angin dari barat ke timur di sepanjang ekuatorial
Samudera Pasifik. Harrison dan Chiodi 2009 menduga penyebab terjadinya pola anomali SPL antara periode 1999-2006 adalah menguatnya angin timuran di
sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada beberapa dekade terakhir. Pada tipe W, C maupun E, baik sebelum tahun 1998 maupun sesudah tahun 1999,
periode El Nino yang terjadi tidak berkaitan erat dengan aktifitas MJO yang memperkuat terjadinya WWE karena pada beberapa periode El Nino terdapat fase
MJO aktif dan beberapa periode lainnya juga ditemukan fase MJO yang tidak aktif. Pada periode sebelum tahun 1998, WWE tipe W, C atau E memiliki
kecenderungan terjadinya tipe El Nino konvensional, sedangkan setelah tahun 1999 terjadi perubahan karakteristik El Nino antara tipe W, C dan E meskipun
anomali positif ketiga tipe tersebut berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Tipe W memiliki anomali positif SPL berada di sebelah barat, tipe C menyebar
dari tengah sampai timur dan tipe E terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik.
Weng et al. 2009 dengan menggunakan data HadISST Rayner et al., 2003, National Centre for Environmental PredictionNational Center for
Atmospheric Research NCEPNCAR Kalnay et al., 1996 dan Global Precipitation Climatology Project GPCP versi 2 Adler et al., 2003
memperlihatkan terjadinya perbedaan anomali iklim secara global antara El Nino konvensional dan El Nino Modoki Ashok et al., 2007 dengan adanya pola
sebaran anomali po sitif dan negatif SPL yang berbentuk “bumerang” melintang
dari lintang sedang di BBU sampai BBS Gambar 15d, sedangkan pada El Nino konvensional hanya terjadi pola
“bumerang” pada anomali negatif SPL saja Gambar 15a. Pola spasial anomali SPL yang berbeda akan mengakibatkan zona
konveksi pada saat terjadi El Nino dan El Nino Modoki akan berbeda pula. Pergeseran ITCZ dan SPCZ pada saat El Nino Modoki berperan penting dalam
menentukan zona konveksi yang mengakibatkan terjadinya anomali curah hujan Gambar 15e, sedangkan ITCZ hanya berperan pada saat terjadi El Nino
konvensional Gambar 15b. Anomali kelembaban spesifik, kecepatan potensial dan pola sirkulasi Walker pada lapisan troposfer memperlihatkan perbedaan yang
besar antara El Nino konvensional Gambar 15c dengan dua kutub dipole dan El Nino Modoki dengan tiga kutub tripole pada parameter kelembaban spesifik
Gambar 15f. Zona konveksi pada El Nino konvensional berada di sebelah timur, sedangkan pada El Nino Modoki terdapat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik
180°BT. Pola iklim yang berbeda antara El Nino konvensional dan El Nino Modoki akan memberikan pengaruh yang besar terhadap dampak yang
ditimbulkannya secara regional maupun global.
Gambar 15 Korelasi parsial antara Nino3 baris atas dan EMI baris bawah
dengan SPL °C kolom kiri, curah hujan mmhari kolom tengah dan profil melintang ketinggian dan membujur dari
kelembaban spesifik gkg pada 10°LS-10°LU kolom kanan. b dan e tumpang-tindih dengan vektor angin streamline dan c
dan f tumpang-tindih dengan kecepatan potensial dikalikan dengan -50 untuk mempermudah analisis kontur dengan interval 4
x 10
5
m
2
s
-1
dan vektor angin streamline, diadaptasi dari Weng et al. 2009.
Yu et al. 2010 mendefinisikan variabilitas SPL yang berada di sebelah timur adalah variabilitas SPL Tipe-1 dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik
adalah variabilitas SPL Tipe-2. Variabilitas SPL Tipe-1 berkaitan dengan komponen variabilitas antar tahunan SPL yang erat kaitannya dengan El Nino
konvensional dan variabilitas SPL Tipe-2 berkaitan dengan komponen diluar variabilitas SPL Tipe-1. Data yang digunakan oleh Yu et al. 2010 adalah data
asimilasi dari German Estimating the Circulation and Climate of the Ocean project GECCO Kohl et al., 2006 dengan mendefinisikan dua buah petak yang
mewakili varibilitas SPL di sebelah timur dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Petak pertama berada di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik
5°LS-5°LU, 120°BB-80°BB yang mewakili variabilitas SPL berkaitan dengan variabilitas antar tahunan El Nino konvensional disebut Tipe-1 dan petak kedua
berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik 5°LS-5°LU, 180°BT-140°BB yang mewakili variabilitas SPL diluar Tipe-1 dan disebut Tipe-2 Gambar 16.
Hasil korelasi linier sederhana dengan menggunakan beda waktu antara 12 bulan sebelumnya sampai 12 bulan sesudahnya dengan interval 6 bulan antara anomali
SPL di Samudera Pasifik dengan petak pertama dan kedua memperlihatkan pola evolusi anomali SPL untuk Tipe-1 Gambar 16a-e dan Tipe-2 Gambar 16f-j.
Variabilitas Tipe-1 memiliki anomali positif SPL yang menyebar dari tengah sampai timur ekuatorial Samudera Pasifik yang berasosiasi dengan Osilasi
Selatan Southern Oscillation dan memiliki siklus utama antar tahunan antara 4-5 tahun dan siklus lainnya biennial dua tahunan antara 2-2.5 tahunan dengan
mekanisme proses fisis yang bekerja dominan dipengaruhi variabilitas suhu pada kolom laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Berbeda halnya dengan
Tipe-1, pada Tipe-2 dominan memiliki siklus dua tahunan yang berasosiasi dengan interaksi lokal laut-atmosfer sehingga menghasilkan pola anomali positif
SPL yang terpusat di tengah dan menyebar melalui mekanisme adveksi SPL zonal ke arah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Pada variabilitas SPL Tipe-2
ini memiliki keterkaitan yang erat dengan anomali SPL di daerah subtropis di BBU dan BBS, terutama pada BBU dimana anomali SPL yang terbentuk di
perairan sebelah timur laut dan dari arah tenggara Samudera Pasifik di BBS menyebar ke arah tengah ekuatorial Samudera Pasifik sehingga menimbulkan
anomali surface heat flux forcing pembangkit fluks bahang permukaan dan berasosiasi dengan anomali angin permukaan laut Gambar 16f-j.
Yu et al. 2010 berpendapat bahwa pembentukan variabilitas SPL Tipe-2 berkaitan erat dengan gaya pembangkit tekanan tinggi di subtropis dimana hasil
penelitian sebelumnya menyatakan bahwa variabilitas antar tahunan di ekuatorial Pasifik berkaitan erat dengan variabilitas SPL yang berada di daerah subtropis
Vimont et al., 2003; Anderson, 2003; Chang et al., 2007. Variabilitas SPL Tipe- 2 yang disampaikan oleh Yu et al. 2010 pada prinsipnya adalah merupakan
fenomena yang sama dimana terjadi anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dengan penamaan yang berbeda-beda karena belum ada
kesepakatan terminologi yang sama. Larkin dan Harrizon 2005a menyebut Tipe- 2 ini dengan sebutan El Nino Dateline, Ashok et al. 2007 memberi nama El
Nino Modoki, Kao dan Yu 2009, Yeh et al. 2009, Yu dan Kim 2010, Lee dan McPhaden 2010 dan Newman et al. 2011 menamakan CP-ENSO Central
Pacific-ENSO, Kug et al. 2009 mendefinisikannya dengan nama WP El Nino Warm Pool El Nino, Harrison dan Chiodi 2009 dan Takahashi et al. 2011
memberi nama Tipe C Central dan Kim et al. 2011 menamakan dengan CPW Central Pacific Warming.
Gambar 16 Korelasi linier sederhana dengan beda waktu a-e dan f-j dari
-12 bulan sampai 12 bulan dengan interval 6 bulan antara anomali SPL °C bulan
-1
°C
-1
dengan rata-rata anomali SPL pada petak sebelah timur 5°LS-5°LU, 120°BB-80°BB untuk variabilitas SPL
Tipe-1 kolom kiri dan pada petak di tengah ekuatorial Samudera Pasifik 5°LS-5°LU, 180°BT-140°BB untuk variabilitas SPL
Tipe-2 kolom kanan. Garis hitam pada h menunjukkan nilai variabilitas lokal SPL maksimun pada 12°LS dan 18°LU,
diadaptasi dari Yu et al. 2010.
Yu dan Kim 2010 dari hasil penelitian berikutnya menyampaikan bahwa terdapat tiga grup pola evolusi dari CP El Nino yaitu grup-1 yang disebut
prolonged-decaying pattern pola CP El Nino yang berlangsung lama, grup-2 yang disebut abrupt-decaying pattern Pola CP El Nino yang berlangsung cepat
dan terakhir grup-3 yang disebut symmetric-decaying pattern pola CP El Nino yang simetris. Data SPL yang digunakan untuk membagi kedalam tiga grup pola
evolusi CP El Nino berasal dari ERSST V3 dan HadISST antara tahun 1958-2007. Pada periode data tersebut diperoleh 12 fase CP El Nino Gambar 17, kecuali
pada periode 197980, 199293 dan 199394 Gambar 17d, 17h dan 17i karena pola sebaran anomali SPL CP El Nino yang terjadi cenderung menyebar ke arah
subtropis yang dikenal dengan sebut pola horseshoe-like Kao dan Yu, 2009 dan tidak diikutsertakan pada analisis komposit.
Gambar 17 Rata-rata anomali SPL pada bulan SONDJF September sampai
Februari tahun berikutnya pada tahun-tahun terjadinya fase CP El Nino. d, h dan i tidak diikutsertakan kedalam tiga grup yang
dikelompokan karena pola SPL yang terjadi cenderung menyebar ke arah subtropis, diadaptasi dari Yu dan Kim 2010.
Grup-1 dari CP El Nino terjadi pada tahun 196869, 199091 dan 199192 Gambar 18a-c dan hasil komposit anomali SPL dengan menggunakan data
ERSST V3 Gambar 18j dan HadISST Gambar 18m memperlihatkan pola evolusi CP El Nino yang sama. Pada grup ini, anomali SPL di tengah ekuatorial
Samudera Pasifik berlangsung lama dan setelah mencapai puncaknya akan diikuti dengan fase El Nino konvensional dimana massa air hangat berkumpul di sebelah
timur ekuatorial Samudera Pasifik. Perubahan dari fase CP El Nino ke El Nino
konvensional mengikuti mekanisme proses recharge-discharge oscillator Jin, 1997 dimana kedalaman lapisan termoklin berperan besar dalam proses
thermocline feedback sampai berkumpulnya massa air hangat di perairan timur ekuatorial Samudera Pasifik Yu dan Kim, 2010.
Berbeda halnya dengan grup-1 CP El Nino, pada grup-2 setelah fase puncak CP El Nino terjadi, massa air hangat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik
dengan cepat mengalami penurunan SPL sampai mencapai anomali negatif SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi pada tahun 196364,
197778 dan 198788 Gambar 18d-f. Hasil komposit anomali SPL pada periode tahun-tahun CP El Nino grup-2 menunjukkan pola evolusi yang sama baik dengan
menggunakan data SPL dari ERSST V3 Gambar 18k maupun data SPL dari HadISST Gambar 18n. Setelah fase puncak CP El Nino grup-2 ini akan diikuti
oleh fase La Nina atau fase netralnormal. Yu dan Kim 2010 berpendapat bahwa mekanisme proses perubahan dari fase puncak CP El Nino pada grup-2 ini ke fase
La Nina atau netral sama halnya dengan CP El Nino pada grup-1.
Gambar 18 Pola evolusi anomali SPL dari grafik melintang terhadap waktu di
sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik antara 5°LS-5°LU pada tahun-tahun terjadinya CP El Nino dari grup-1 a-c, grup-2 d-f
dan grup-3 g-i dari bulan Juli sampai Juni tahun berikutnya. J, k dan l hasil komposit anomali SPL pada masing-masing grup-
1, grup-2 dan grup-3 dengan menggunakan data SPL dari ERSST V3 dan m, n dan o dengan menggunakan data dari HadISST,
diadaptasi dari Yu dan Kim 2010.
Grup-3 CP El Nino yaitu pada tahun 199495, 200203 dan 200405 Gambar 18g-i dimulai dari kondisi normal SPL di sepanjang ekuatorial
Samudera Pasifik kemudian massa air mulai menghangat di tengah dan diikuti dengan menurunnya SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. Ketika
mencapai puncaknya, CP El Nino grup-3 ini memiliki anomali positif SPL dari tengah ekuatorial sampai ke perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik.
Setelah mencapai puncaknya massa air hangat ini akan kembali ke posisi normalnya dimana massa air hangat berada di perairan timur ekuatorial Samudera
Pasifik. Sejak CP El Nino grup-3 mulai terbentuk sampai kembali ke kondisi normalnya, pola evolusi anomali SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik
terjadi secara simetris. Hasil komposit anomali SPL dengan menggunakan data SPL dari ERSST V3 Gambar 18l dan HadISST Gambar 18o juga
memperlihatkan pola evolusi yang sama. Yu dan Kim 2010 berpendapat bahwa dinamika proses fisis yang berkerja selama proses terjadinya CP El Nino grup-3
ini melibatkan umpan balik dari interaksi laut-atmosfer yang besar. Lee dan McPhaden 2010 memperkuat pendapat tentang keberadaan tipe El
Nino dengan anomali positif SPL yang berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan meningkatnya intensitas kejadian CP El Nino pada kurun waktu 3
dekade terakhir. Terjadinya CP El Nino bukan disebabkan oleh berubahnya kondisi normal SPL background SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik,
tetapi CP El Nino terjadi secara alamiah dan cenderung perubahannya karena adanya variabilitas alamiah peralihan dari siklus dekadal ke siklus multi dekadal
McPhaden dan Zhang, 2002; Lee dan McPhaden, 2008 atau perubahan yang terjadi karena faktor antropogenik dari peningkatan gas-gas rumah kaca selaras
dengan periode pemanasan global Yeh et al., 2009. Kesimpulan tersebut diambil oleh Lee dan McPhaden 2010 setelah melakukan analisis dengan menggunakan
data observasi in-situ dan satelit SPL dari Reynolds’s Group for High Resolution
SST GHRSST Level 4 AVHRR Optimal Interpolation OI yang telah diasimilasi antara tahun 1982 sampai Februari 2010 Reynolds et al., 2007.
Pola CP El Nino yang terakhir diamati pada tahun 200910 dari data citra satelit AVHRR hasil komposit pada bulan Desember sampai Januari DJF
dengan jelas memperlihatkan pola CP El nino dengan anomali positif SPL yang
terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan berada pada area di Nino4 Gambar 19a. Lee dan McPhaden 2010 dengan menggunakan data GHRSST
Level 4 telah menghitung anomali SPL dari data rata-rata harian antara tahun 1982-2010 kemudian dihaluskan dengan rata-rata bergerak tiga bulanan dan
dirata-ratakan pada bulan DJF pada tahun-tahun terjadinya El Nino dan La Nina pada tiap petak di Nino4 dan Nino3.
Gambar 19 Anomali SPL DJF tahun 200910 pada saat terjadi CP El Nino
dari data citra satelit AVHRR a. Garis pada petak menunjukkan area Nino4 dan garis pada petak putus-putus menunjukkan area
Nino3 a. Anomali SST pada Nino4 b dan Nino3 c pada saat terjadi EP El Nino merah, CP El Nino merah jambu dan La
Nina biru dari data GHRSST Level 4 OI. Garis putus-putus merah dan biru menandakan trend perubahan anomali SPL pada saat El
Nino dan La Nina b dan c, diadaptasi dari Lee dan McPhaden 2010.
Hasil analisisnya memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan trend anomali SPL pada Nino4 Gambar 19b dan terjadi penurunan trend anomali SPL
pada Nino3 Gambar 19c yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan intensitas anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan di
sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik terjadi penurunan intensitas anomali SPL. Oleh karena itu, Lee dan McPhaden 2010 berpendapat bahwa CP El Nino
terjadi bukan karena adanya perubahan pola normal SPL di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik, tetapi kerena seringnya terjadi anomali positif SPL yang
terpusat di Nino4 dengan nilai anomali positif SPL yang semakin bertambah besar.
Pendapat senada diutarakan oleh Newman et al. 2011 bahwa CP El Nino dan EP El Nino adalah merupakan fenomena dari variabilitas alamiah natural
yang terjadi secara acak random selaras dengan meningkatnya siklus multi dekadal variabilitas SPL. Pendapat tersebut disimpulkan setelah melakukan
analisis kedalaman lapisan termoklin dan tekanan angin zonal dengan menggunakan data SPL HadISST selama 42 tahun
dengan metode “Patterns- Based
” Multivariate Red Noise melalui pendekatan Linear Inverse Modeling LIM. Newman et al. 2011 berhasil memilahkan antara CP El Nino dan EP El
Nino baik secara spasial maupun temporal dengan mempertimbangkan panjang data yang digunakan dengan biasgangguan noise yang mungkin dihasilkan dari
panjangnya data deret waktu yang digunakan. Gangguan tersebut meliputi white noise yang sebenarnya merupakan bagian dari suatu fenomena didalam data deret
waktu dan red noise yang memang merupakan gangguan dari data deret waktu dan bukan merupakan bagian dari suatu fenomena ekstrim di dalam data deret
waktu, tetapi karena kualitas data yang berkaitan dengan proses akuisisi data, presisi data maupun dalam proses pengolahan data seperti reanalisis maupun
asimilasi data. Setelah membuang red noise dari data yang digunakan, Newman et al. 2011 menyimpulkan bahwa CP El Nino dan EP El Nino baik secara spasial
maupun temporal merupakan proses dinamika yang alamiah. Oleh karena itu, sering terjadinya CP El Nino pada beberapa dekade terakhir bukan disebabkan
oleh pola normal anomali SPL background SST di Samudera Pasifik yang telah berubah tetapi CP EL Nino merupakan bagian dari variabilitas alamiah di
Samudera Pasifik yang kemungkinan terjadi karena pengaruh faktor antropogenik maupun pergeseran siklus dekadal menuju siklus multi dekadal seiring dengan
terjadinya pemanasan global.
Kesimpulan dari Newman et al. 2011 memperkuat pendapat dari Yeh et al. 2011 yang menyatakan bahwa tidak dapat diabaikan kemungkinan semakin
seringnya terjadi CP El Nino disebabkan oleh proses variabilitas di Samudera Pasifik yang terjadi secara alamiah dengan bergesernya siklus dekadal menjadi
siklus multi dekadal. Pendapat ini disimpulkan setelah Yeh et al. 2011 melakukan penelitian CP El Nino dan EP El Nino dengan menggunakan Kiel
Climate Model KCM yang merupakan model gabungan atmosfer-samudera-laut- es Park et al., 2010 selama 4200 tahun data luaran model. Model ini meliputi
model ECHAM5 AGCM Roeckner et al., 2003 dan model NEMO samudera- laut-es GCM Madec, 2008 dan penggabungan kedua model tersebut dengan
OASIS3 Valcke, 2003.
Gambar 20 Hasil luaran model baroklinik kering setelah hari ke-30 untuk
mengetahui pola pemanasanpendinginan atmosfer secara adiabatik Khari. c dan d pola sebaran pemanasan atmosfer pada
ketinggian 500 mb pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki setelah hari ke 30 Khari. a dan b pembangkit
pemanasanpendinginan atmosfer secara adiabatik OLR Wm
2
pada saat terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki. e dan f sumber pendinginan atmosfer secara adiabatik pada saat
terjadi El Nino konvensional dan El Nino Modoki Khari. Tanda panah memperlihatkan pola sirkulasi angin pada ketinggian 500
mBar, diadaptasi dari Feng et al. 2010.
Feng et al. 2010 memperlihatkan perbedaan dampak yang disebabkan oleh El Nino konvensional dan El Nino Modoki dengan menggunakan model
baroklinik kering dari core dynamic model GFDL Atmospheric Global Climate Model AGCM Held dan Suarez, 1994 untuk mengkaji sumber
pemanasanpendinginan atmosfer secara adiabatik. Gaya pembangkit pemanasan
yang digunakan berasal dari hasil seleksi data dari regresi parsial antara anomali OLR dengan indeks Nino3 untuk El Nino konvensional Gambar 20a dan dengan
EMI untuk El Nino Modoki Gambar 20b. Luaran dari model memperlihatkan dengan jelas terdapat peningkatan suhu udara di atas perairan timur ekuatorial
Samudera Pasifik dan penurunan suhu udara yang terpusat di atas perairan Asia Tenggara dan sekitarnya pada model El Nino konvensional Gambar 20c,
sedangkan pada model El Nino Modoki, terdapat penurunan suhu udara di atas perairan Filipina dan Laut Cina Selatan di bagian barat Samudera Pasifik dan di
atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik dan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik terdapat peningkatan suhu udara Gambar 20d. Kondisi ini
akan mempengaruhi perubahan pola iklim baik secara regional maupun global antara periode El Nino konvensional maupun El Nino Modoki, karena berikaitan
dengan perubahan sirkulasi atmosfer yang mengiringi keduanya. Feng et al. 2010 dengan menggunakan skenario model kedua menguji
kemungkinan sumber
pendinginan atmosfer
secara adiabatik
dengan menggunakan pembangkit pendinginan di atas perairan Asia Tenggara Gambar
20e seperti pada waktu awal hasil pemodelan pada El Nino konvensional Gambar 20c dan pada El Nino Modoki dengan pembangkit awal pada Gambar
20f seperti pada Gambar 20d. Hasil luaran model tersebut memperlihatkan pola pemanasanpendinginan atmosfer secara adiabatik hampir sama dengan luaran
pada Gambar 20c untuk El Nino konvensional dan Gambar 20d untuk El Nino Modoki setalah hari ke 30. Feng et al. 2010 menduga bahwa terjadinya El Nino
konvensional dan El Nino Modoki berkaitan erat dengan proses interaksi antara laut-atmosfer di atas perairan Asia Tenggara dan mempengaruhi pola sirkulasi
atmosfer secara regional maupun global. Penelitian mengenai ENSO dan keterkaitannya dengan variabilitas dari hasil
interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik masih terus dilakukan karena besarnya variabilitas itu sendiri dan banyaknya proses dinamika yang terlibat dalam skala
tahunan sampai multi dekadal. Pemicu utama terjadinya ENSO masih menjadi bahan perdebatan diantara para peneliti sampai dengan saat ini. Berbagai hipotesa
pemicu terjadinya ENSO dengan argumen yang berbeda-beda, selain menambah pengetahuan mengenai prilaku ENSO itu sendiri dan responnya terhadap laut-
atmosfer, juga mengakibatkan semakin sulit ditemukannya keterkaitan dan proses dinamika pemicu ENSO karena masing-masing peneliti dalam mengkaji ENSO
tergantung cara pandang dan latar belakang pengetahuan dari masing-masing peneliti itu sendiri. Dinamika ENSO melibatkan variabiltias laut-atmosfer di
Samudera Pasifik dan di sebelah barat melibatkan interaksi dengan daratan dengan keberadaan ribuan pulau di wilayah Asia Tenggara dan juga berasosiasi
dengan MJO Pohl dan Matthews, 2007; Tang dan Yu, 2008; Roundy et al., 2010, TBO Wu dan Kirtman, 2004; Li et al., 2006; Meehl dan Arblaster, 2011,
Muson Bracco et al., 2007; Li et al., 2007; Annamalai et al., 2007; Park et al., 2010; Qian et al., 2010 dan DM Ashok et al., 2004; Shinoda et al., 2004; Hong
et al., 2008; Luo et al., 2010; izumo et al., 2010. Dinamika ENSO memiliki kemungkinan untuk berinteraksi dengan dinamika PDO Roy et al., 2003; Yoon
dan Yeh, 2010 di perairan subtropis di sebelah utara dan dinamika SPCZ Singh et al., 2011 di sebelah selatan Samudera Pasifik.
Pemicu terjadinya ENSO yang masih diyakini sampai dengan saat ini adalah gangguan angin baratan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang terjadi
pada fase awal terbentuknya El Nino Keen, 1982; Latif et al., 1988; Harison dan Vecchi, 1997; Verbickas, 1998; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al.,
2004; McPhaden, 2004. Penyebab kemunculan gangguan angin baratan sebelum terjadinya El Nino masih belum diketahui McPhaden, 2004. Eisenman et al.
2005 membantah bahwa gangguan angin baratan bukan sebagai pemicu awal terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi laut-atmosfer yang
dimodulasi dari proses dinamika El Nino itu sendiri dan memperkuat proses awal El Nino sampai dengan terjadi El Nino kuat. Penelitian mengenai pemicu El Nino
selanjutnya mulai melihat ketidakseimbanganasimetris asymmetric dari pola spasial Chen et al., 2008; Cai et al., 2010; Wu et al., 2010, lamanya Okumura
dan Deser, 2010; Okumura et al., 2011 dan besarnya An dan Jin, 2004; Su et al., 2010 anomali laut-atmosfer antara fase El Nino dan La Nina. Ketidakseimbangan
antara fase El Nino dan La Nina baik pola spasial, lamanya dan kekuatannya diharapkan dapat menelusuri sumber dari pemicu terjadinya ENSO.
Chen et al. 2008 berpendapat bahwa terjadinya asimetris ENSO berkaitan erat dengan perbedaan anomali SPL di sebelah timur Samudera Hindia dan di
sebelah barat Samudera Pasifik yang berdampak pada sirkulasi atmosfer global dengan memperlihatkan pola spasial korelasi positif El Nino dan negatif La
Nina. Cai et al. 2010 dengan menggunakan data curah hujan berpendapat bahwa peningkatan curah hujan di Benua Australia berkaitan erat dengan fase La
Nina, sedangkan fase El Nino tidak berpengaruh besar terhadap penurunan curah hujan. Setelah tahun 1980, fase La Nina tidak secara signifikan mempengaruhi
peningkatan curah hujan tetapi peningkatan curah hujan terjadi pada saat fase El Nino Modoki dengan pola spasial yang sama sebelum tahun 1980. Wu et al.
2010 berpendapat bahwa fluks bahang melalui evaporasi latent heat permukaan berperan besar terhadap asimetris ENSO baik secara spasial maupun
temporal, sedangkan anomali curah hujan dan angin permukaan cenderung simetris. Oleh karena itu, kemungkinan besar pemicu awal terjadinya EL Nino
berkaitan dengan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer. Okumura dan Deser 2010 menyimpulkan bahwa terjadinya asimetris
ENSO berkaitan dengan daerah konveksi atmosfer yang kuat atmospheric deep convection antara Samudera Pasifik dan Hindia. Daerah konveksi atmosfer yang
terjadi di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan dalam menentukan lamanya fase El Nino. Okumura et al. 2011 melanjutkan penelitiannya dan
mengusulkan mekanisme lamanya fase El Nino dan La Nina berkaitan dengan kekuatan anomali angin di atas perairan sebelah barat Samudera Pasifik dan di
sebelah timur Samudera Hindia yang dipicu oleh pemanasan pendinginan lapisan troposfer di atas perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia pada
saat terjadi El Nino La Nina akibat dari anomali daerah konveksi atmosfer. An dan Jin 2004 menyimpulkan bahwa asimetris ENSO erat kaitannya dengan
ketidakteraturan dinamika pemanasan nonlinier dynamic heating pada lapisan kedalaman tercampur antara fase El Nino dan La Nina sehingga mempengaruhi
pergerakan massa air ke arah timur barat pada saat terjadi El Nino La Nina. Ketidakteraturan ini terjadi pula pada arus yang mempengaruhi dinamika adveksi
anomali SPL pada permukaan dan kolom atas perairan. Beda fase yang sangat bervariasi pada setiap periode El Nino dan La Nina dari hasil korelasi antara
anomali SPL dan arus memperkuat adanya ketidakteraturan dinamika pemanasan di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik.
Su et al. 2010 memperkuat pendapat An dan Jin 2004 bahwa ketidakteraturan kandungan bahang pada kedalaman lapisan tercampur
mengakibatkan terjadinya asimetris antara fase El Nino dan La Nina. Adveksi suhu zonal dan meridional sangat berperan dalam ketidakteraturan dari mulai
sebelah barat sampai jauh ke arah sebelah timur perairan ekuatorial Samudera Pasifik, sedangkan adveksi vertikal berperan sebaliknya untuk menyetabilkan
kandungan bahang di lapisan tercampur. Anomali arus zonal dominan terbentuk dari arus geostrofik, sedangkan arus meridional terutama terbentuk dari arus
Ekman yang dibangkitkan oleh tekanan angin permukaan laut. Ketidakteraturan adveksi zonal dan meridional suhu kolom laut berperan dalam memperkuat
memperlemah fase El Nino La Nina. Hasil dari beberapa penelitian terakhir mengenai pola spasial, lamanya dan
besarnya kondisi asimetris antara El Nino dan La Nina mulai melihat pentingnya peranan dinamika anomali kandungan bahang di laut dan atmosfer yang mengarah
kepada pemicu terjadinya ENSO. Beberapa peneliti sebelumnya mengkaitkan keseimbangan bahang di laut dan atmosfer pada saat fase transisi yang tertunda
dari El Nino ke normal delayed negative feedback antara ENSO dengan DM Annamalai et al., 2005; Kug dan Kang, 2006; Ohba dan Ueda, 2007; Yoo et al.,
2010. Kemungkinan keterkaitan PDO dengan ENSO dari dinamika bahang laut- atmosfer baik dengan menggunakan data observasi Chang et al., 2007 maupun
dengan menggunakan model gabungan laut-atmosfer Alexander et al., 2010 menjadi penting untuk dipertimbangkan.