Keseimbangan Bahang Variability of Sea Surface Temperature and its Interelationships with The Monsoon, Dipole Mode (DM) and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in the Southeast Asia and its Surrounding Waters

saat fase positif dan negatif DM dibandingkan dengan aktif tidaknya El Nino memperlihatkan perbedaan yang besar baik secara spasial maupun temporal. Perbedaan ini membuktikan bahwa antara DM dan ENSO memiliki mekanisme proses pemicu yang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada saat fase positif maupun negatif DM tanpa adanya El Nino, anomali angin ke arah barat di sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia berperan besar dalam anomali pembentukan pola SPL yang bergerak dari arah timur menuju barat ekuatorial Samudera Hindia, sedangkan proses kembalinya kolam air hangat dari perairan sebelah barat menuju timur mengikuti mekanisme dinamika lautan sampai dalam keadaan yang stabil. Pada beberapa dekade terakhir, SPL di daerah tropis Samudera Hindia dan Pasifik mengalami peningkatan suhu dari kondisi normalnya. Peningkatan suhu ini akibat dari pemanasan global. Ding et al. 2010 telah melakukan analisis interaksi antara East Asian Summer Monsoon EASM dengan DM dan ENSO dengan menggunakan dua periode data SPL yang berbeda yaitu tahun 1953-1975 dan tahun 1978-2000. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan data tahun 1978-2000 korelasi antara indeks EASM dengan SPL di Samudera Hindia dan Pasifik semakin menguat dibandingkan dengan data tahun 1953-1975. Peningkatan nilai korelasi ini menunjukkan bahwa proses DM dan ENSO semakin aktif dan interaksi keduanya dengan aktifitas Muson semakin kuat. Rao et al. 2010 memperkuat pendapat Ding et al. 2010 dengan menemukan peningkatan liniear SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia pada tahun 2008. Mekanisme yang bekerja dari peningkatan SPL ini akibat dari pemanasan global disebabkan oleh downwelling Gelombang Rossby dan adveksi bahang antara laut-atmosfer. Peningkatan SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia akan menyebabkan terjadinya zona konveksi dan terbentuknya anomali sirkulasi antisiklon di Teluk Bengal dan di tengah Samudera Hindia. Rao et al. 2010 kemudian menguji mekanisme ini dengan melakukan uji sensitifitas melalui model gabungan laut-atmosfer dengan meningkatkan SPL dalam kaitannya dengan pemanasan global di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia. Hasilnya bahwa peningkatan SPL di sebelah selatan ekuatorial Samudera Hindia akan bergeser ke tengah Samudera Hindia sampai di ekuator, kemudian bergerak ke perairan sebelah timur Samudera Hindia dan menuju Teluk Bengal. Teluk Bengal dan perairan di selatan pantai barat Sumatera memiliki anomali tersendiri berkaitan dengan interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Yang et al. 2010 telah menemukan interaksi antara Muson dan DM dengan menghilangkan sinyal pengaruh dari ENSO. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode EOF. Setelah sinyal ENSO dari data SPL dihilangkan didapat mode dominan pertama adalah Indian Ocean Basin Mode IOBM yang berinteraksi kuat dengan Muson musim panas di BBU dan mode dominan kedua sama seperti halnya dengan pola pada fase positif DM dimana perairan selatan pantai barat Sumatera memiliki variabilitas SPL besar yang berinteraksi kuat dengan Muson musim dingin di BBU. IOBM ini berkaitan erat dengan proses delayed relay sinyal ENSO dari Samudera Pasifik. Ketika sinyal IOBM dihilangkan dari data SPL dan sinyal ENSO diikutsertakan, mode dominan pertama sama seperti halnya dengan fase positif DM dan ditambah adanya anomali di Teluk Bengal. Mode ini memperlihatkan keterlibatan ENSO di Samudera Hindia dimana anomalinya terdapat di Teluk Bengal dan di selatan perairan barat Sumatera. Zuluaga et al. 2010 memperkuat pendapat Yang et al. 2010 bahwa Teluk Bengal memiliki anomali yang berbeda dibandingkan dengan Samudera Hindia umumnya. Zuluaga et al. 2010 menggunakan data Convective and Stratiform Heating CSH level 3 dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission TRMM untuk mengkaji variabilitas dalam musiman sampai antar tahun bahang laten di Samudera Hindia dan kaitannya dengan Muson Asia. SPL yang tinggi, perbedaan paparan antara daratan dan lautan yang besar dan variasi topografi yang besar akan menghasilkan pemanasan di atmosfer yang besar dan meningkatkan bahang latennya. Variabilitas bahang laten yang besar dari siklus dalam musiman sampai antar tahunan terjadi di atas Teluk Bengal, perairan Barat Sumatera dan perairan di ekuatorial Samudera Hindia. Interaksi antara Muson, DM dan ENSO sangat kuat di daerah ini. Interaksi Muson dan ENSO berperan pula dalam dinamika laut-atmosfer di perairan timur BMI. Kitoh et al. 1999 telah melakukan pemodelan gabungan laut-atmosfer dengan menggunakan model Coupled General Circulation Model CGCM untuk mengkaji interaksi antara Muson dan ENSO. Muson didefinisikan dengan perubahan arah angin yang berlawanan. Model ini tidak berhasil mensimulasikan dengan baik kondisi angin di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik dan variasi sinyal Muson tidak terlihat dengan baik dibandingkan dengan hasil pengamatan data in-situ. Model ini baik untuk mensimulasikan ENSO dan kaitannya dengan variabilitas antar tahunan. Model ini berhasil mensimulasi interaksi antara Muson dan La Nina pada semua musim, tetapi kurang baik untuk mensimulasikan kondisi angin pada saat El Nino. Pada penelitian lainnya, berpendapat bahwa ketika ENSO mulai terbentuk, sistem sirkulasi Walker di Samudera Hindia dan Pasifik mengalami anomali dari satu regim sel di musim panas Juni-Agustus menjadi dua regim sel di musim dingin Desember-Januari. Kedua sel tersebut membentuk posisi simetris di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dan Hindia dan pada saat transisi membentuk posisi asimetris. Kondisi simetris dan asimetris ini disebabkan oleh TBO dengan siklus dua tahunan. Muson panas Desember-Januari berperan pada saat mulai terjadi ENSO dan membantu terbentuknya posisi asimetris Kawamura et al., 2003. Anomali angin timur dan gangguan sistem Muson di wilayah Indonesia juga ditemukan oleh Susanto et al. 2001 dimana di perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera pada Muson tenggara angin berhembus dari tenggara ke arah barat laut Juni-Oktober. Kondisi ini mengakibatkan transpor massa air menjauhi pantai karena adanya parameter Coriolis dan menimbulkan upwelling di sepanjang pantai selatan Jawa dan barat Sumatera. Proses upweling ini akan terhenti ketika arah angin berbalik pada Muson barat daya November-Desember diiringi dengan menguatnya Gelombang Kelvin ekuatorial Samudera Hindia. Pada saat El Nino, anomali angin timur terjadi pada musim ini diikuti dengan proses upwelling yang lebih kuat di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera. Anomali angin timur ini kemungkinan berkaitan dengan dugaan Terray et al. 2007 yang menyatakan bahwa fase positif DM dapat terjadi tanpa harus bersamaan dengan El Nino dimana anomali angin timur ini dipicu oleh adanya pengaruh getaran tinggi Mascarene. Penguatan Gelombang Kelvin di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik yang disebutkan oleh Susanto et al. 2001 diduga pada periode tersebut terjadi fase negatif DM. Pola topografi ternyata sangat berperan dalam sirkulasi atmosfer, laut bahkan samudera. Kitoh 2007 melakukan penelitian menggunakan uji sensitifitas dengan model gabungan laut-atmosfer untuk mengetahui seberapa besar pengaruh topografi terhadap dinamika ENSO di Samudera Pasifik. Ketika ketinggian topografi daratan diturunkan lebih rendah dari keadaan sebenarnya akan mengakibatkan melembahnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Pergerakan Kolam air hangat dari tengah Samudera Pasifik ke arah barat menuju perairan timur Indonesia melemah. Kondisi El Nino menjadi lebih kuat, terjadi lebih lama dan siklus terjadinya lebih cepat. Kondisi sebaliknya terjadi, apabila ketinggian topogarfi dinaikan maka kembalinya massa air hangat ke perairan sebelah barat Samudera Pasifik ke kondisi normal menjadi lebih cepat. Siklus El Nino menjadi jarang, terjadi lebih cepat dan kekuatan dari El Nino melemah akibat menguatnya Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut. Pantulan Gelombang Rossby menjadi melemah sehingga siklus El Nino jarang terjadi. Pola perubahan variabilitas SPL arah meridional di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik menjadi lebih besar dan lebar sehingga memungkinkan teori recharge oscillator Jin, 1997 berfungsi baik pada saat El Nino maupun kembalinya kolam air hangat ke sebelah timur perairan BMI. Interaksi darat-laut-atmosfer berkaitan erat dengan mekanisme proses terjadinya DM dan ENSO yang memicu pergeseran fase TBO dari satu tahunan atau lebih Webster et al., 1999; Ashok et al., 2001; Guan dan Yamagata, 2003; Yuan et al. 2008, selain itu Loschnigg et al. 2003 dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa interaksi DM dan Muson merupakan bagian yang penting dari proses dinamika TBO dengan kecenderungan memiliki siklus dua tahunan yang berperan penting dalam mengatur pergerakan meridional transpor bahang di sebelah timur Samudera Hindia dan berasosiasi dengan Monsun dan respon lautan untuk bergerak ke arah barat ekuatorial Samudera Hindia. Berbeda halnya dengan pendapat dari Tamura et al. 2011, dimana hasil penelitiannya dengan menggunakan analisis korelasi sederhana dan analisis komposit antara Muson musim panas Asia, DM dan ENSO memperlihatkan kondisi sebaliknya bahwa Muson memberikan sinyal yang kuat dengan siklus dua tahunan dan diduga adalah siklus dari TBO. Selain itu, DM memberikan kontribusi kepada TBO dengan memicu pergeseran fase dari ENSO pada musim dingin. Munculnya DM bersamaan dengan ENSO akan memicu terjadinya ENSO pada satu tahun berikutnya dengan pola TBO dari hasil pergeseran Muson menjadi siklus dua tahunan. Kondisi sebaliknya terjadi, jika terjadi ENSO tanpa diiringi dengan DM tidak mengakibatkan pergeseran siklus Muson menjadi dua tahunan dan tidak ditemukan pola TBO pada 2 tahun berikutnya. Peneliti sebelumnya mendefinisikan TBO adalah suatu fenomena dari hasil interaksi antara laut dan atmosfer dalam skala luas dimana terdapat fase tinggi SPL pada suatu musim yang mengakibatkan terjadinya konveksi yang besar diiringi dengan angin kuat yang mengakibatkan terjadi proses penguapan yang besar dan pada 2 tahun berikutnya terjadi fase dingin dari SPL pada musim yang sama Meehl, 1993; Goswami, 1995. Penelitian berikutnya menyimpulkan bahwa TBO merupakan hasil interaksi antara darat-laut-atmosfer yang berinteraksi dengan sistem Muson dan berperan dalam pergeseran fase variabilitas SPL di ekuatorial Samudera Pasifik Meehl, 1997; Ogasawara et al., 1999. Namun tidak demikian menurut pendapat dari Tamura et al. 2011 yang menyatakan bahwa TBO merupakan hasil pergeseran fase Muson dari tahunan menjadi dua tahunan. Karakteristik darat-laut-atmosfer-samudera wilayah perairan Asia Tenggara dan sekitarnya dengan enam keunikannya memberikan konstribusi yang besar terhadap fenomena Muson, DM dan ENSO. Interaksi antara ketiga fenomena tersebut dengan melihat keunikan wilayah perairan Asia Tenggara mengakibatkan proses dinamika yang terjadi sangat rumit dan kompleks. Terlepas dari tingkat variabilitas darat-laut-atmosfer yang besar di wilayah BMI, memberikan kemungkinan yang besar bahwa pemicu DM dan ENSO serta interaksinya dengan Muson berada di wilayah BMI. Penelitian-penelitian yang sebelumnya dilakukan hanya terfokus untuk mengkaji secara terpisah dari masing-masing fenomena. Kajian yang mendalam mengenai interaksi diantara ketiganya sangat diperlukan untuk mengungkap bagaimana dinamika proses yang berkerja dan indikator apa saja yang dapat mengidentifikasikan kapan DM dan ENSO terjadi serta bagaimana interaksinya dengan Muson.

2.6 Indikator Laut-Atmosfer

Beragam variabilitas iklim hasil interaksi antara laut dan atmosfer di Samudera Hindia, Samudera Pasifik dan perairan Asia Tenggara yang memberikan dampak regional maupun global harus dapat diidentifikasikan kedatangannya dengan segera, sehingga dapat dipersiapkan penanganan dampak negatif yang ditimbulkannya. Fenomena DM di Samudera Hindia, ENSO di Samudera Pasifik dan Muson di perairan Asia Tenggara dan sekitarnya yang memiliki dampak lokal, regional maupun global harus dapat diketahui indikasi awal kedatangannya dengan mudah, cepat dan tepat. Semakin mudah proses perhitugan untuk mengetahui awal kedatangannya maka akan semakin cepat teridentifikasi kedatangnya. Semakin cepat diketahui awal kedatangnnya maka akan semakin banyak waktu yang tersedia untuk mengantisipasi dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya. Proses perhitungan indikasi dan kecepatan dalam menyimpulkan kedatangan fenomena tersebut harus pula didukung dengan ketepatan bahwa memang benar fenomena tersebut akan datang. Meskipun biasanya memberikan hasil yang lebih tepat, pemanfaatan teknologi pemodelan biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengeluarkan hasil yang diharapkan tergantung dari kemampuan teknologi komputasi yang ada. Selain itu, teknologi pemodelan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain solusi numerik yang digunakan, parameterisasi, diskretisasi, resolusi grid dan syarat batas yang tepat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang mudah, cepat dan tepat maka dikembangkan perhitungan sederhana dengan parameter yang mudah diamati sebagai prediktor dari indikator awal kedatangan fenomena yang bersangkutan, sehingga variabilitas terjadi dapat segera terdeteksi. Pada saat ini terdapat berbagai indikator untuk mendeteksi kedatangan fenomena yang berada di Samudera Hindia, Asia Tenggara dan Samudera Pasifik. Indikator-indikator ini disebut sebagai indeks yang dapat dengan mudah dan cepat untuk mengetahui adanya anomali laut-atmosfer sebagai indikasi awal kedatangan berbagai fenomena yang berada di Samudera Hindia, Asia Tenggara dan Samudera Pasifik. Gambar 21 Indeks laut-atmosfer yang berada di BMI, Samudera Hindia dan Pasifik sebagai indikator awal kedatangan berbagai fenomena laut dan atmosfer diadaptasi dari berbagai sumber Webster dan Yang, 1992; Wang dan Fan, 1999; Kajikawa et al., 2010; Saji et al., 1999; Philander, 1990; Trenberth dan Stepaniak, 2001; Meinen dan McPhaden, 2001; Ashok et al., 2007. Petak warna hijau A-F menunjukkan rata-rata anomali kecepatan angin zonal pada tekanan atmosfer 850 dBar U850 dan 200 dBar U200 sebagai indikator Muson, petak warna biru G-I menunjukkan indikator rata-rata anomali SPL ASPL pada petak di Samudera Hindia dengan fenomena dominan DM dan petak warna merah dan ungu J-P menunjukkan rata-rata anomali SPL dan Q rata-rata kedalaman pada suhu 20°C pada petak di Samudera Pasifik dengan fenomena dominan ENSO. Bulatan titik merah adalah anomali tekanan udara permukaan yang telah di standarisasikan di Tahiti pTHT dan Darwin pDRW. Keterangan secara rinci dari masing-masing indeks terdapat di dalam tulisan.

2.6.1 Indikator Muson dan Variabilitas di BMI

Webster dan Yang 1992 pertama kali merintis untuk membangun indeks Muson karena berbagai model atmosfer untuk mensimulasikasi ENSO mengalami gangguan ketepatan dibandingkan dengan data hasil observasi. Gangguan tersebut terjadi karena anomali Angin Pasat yang berasosiasi dengan zona regim Muson di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik meliputi wilayah selatan Asia yang berinteraksi dengan kekuatan Sirkulasi Walker. Oleh karena itu model atmosfer yang digunakan perlu mempertimbangkan variabilitas Muson yang berinteraksi dengan siklus dari fenomena ENSO yang diindikasikan kedatangannya dengan SOI. Webster dan Yang 1992 menganggap penting keterkaitan antara aktifitas Muson selatan Asia dengan menguat dan melemahnya Sirkulasi Walker yang berasosiasi dengan ENSO, sehingga mengusulkan untuk memantau aktifitas Muson dengan menggunakan suatu indeks Muson yang melibatkan dinamika Sirkulasi Walker. Indeks tersebut disebut Indeks Muson Webster dan Yang Webster and Yang Monsoon IndexWYI. WYI dihitung dari selisih rata-rata anomali kecepatan angin zonal di ketinggian pada tekanan atmosfer 850 mb dengan 250 mb pada wilayah yang berada di sebelah utara Samudera Hindia yaitu pada petak E dengan koordinat antara 40°BT-110°BT dan ekuator-20°LU Gambar 21. Hasil dari analisis komposit OLR dengan menggunakan WYI terlihat dengan jelas siklus tahunan dari Muson di wilayah selatan Asia dan ekuatorial Samudera Hindia, sehingga indeks ini dapat secara independen dapat mengetahui siklus dari Muson dengan sinyal satu tahunan dan terpisah dengan SOI. Wang dan Fan 1999 melihat perbedaan aktifitas Muson di wilayah selatan Asia dengan di sekitar Filipina. Aktifitas Muson di India, sebelah barat Samudera Hindia dan daerah tropis di sebelah utara Afrika kuat dipengaruhi oleh daerah konveksi di Teluk Bengal dan India, sedangkan aktifitas konveksi di sekitar Filipina kuat mempengaruhi pola Muson di Indocina, Laut Cina Selatan, Laut Filipina dan wilayah Indonesia. Wang dan Fan 1999 telah memperlihatkan bahwa OLR diantara kedua wilayah tersebut sangat kecil sekali korelasinya. Oleh karena itu diperlukan indeks tersendiri untuk zona regim Muson di selatan Asia yang dipengaruhi oleh aktifitas konveksi di Teluk Bengal dengan indeks yang mewakili aktifitas konveksi di sekitar Filipina. Wang dan Fan 1999 mengusulkan dua indeks yaitu Indeks Muson Panas Asia Asian Summer Monsoon IndexIMI yang mewakili aktifitas Muson selatan Asia dan Indeks Muson Barat Laut Pasifik Western North Pacific Monsoon IndexWNPMI yang mewakili aktifitas Muson Asia Tenggara, Muson Asia Timur dan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik. IMI dihitung dari selisih rata-rata anomali kecepatan angin zonal di ketinggian pada tekanan atmosfer 850 mb pada petak A 40°BT-