Dinamika Laut-Atmosfer Fase Positif
122
Gambar 36 Sebaran melintang terhadap ketinggian atmosfer mBar pada
5°LS-5°LU dari a pola rata-rata anomali angin arah zonal dalam ms dan omega dalam cPas, b rata-rata anomali angin zonal
ms, c rata-rata anomali suhu udara °C dan d rata-rata anomali RH pada fase negatif Mode ke-1 EOF.
123
Gambar 37 Sebaran horizontal dari a rata-rata anomali suhu potensial °C
kedalaman 5 meter dan b rata-rata anomali kedalaman lapisan tercampur m pada fase negatif Mode ke-1 EOF.
Pada fase negatif Mode ke-1 EOF, pola sebaran anomali SPL hampir sama dengan fase kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF dimana anomali positif
SPL dominan berada di BBS dan negatif di BBU. Pada kenyataanya, nilai anomali positif SPL maksimum pada fase negatif ini sebesar 2.0°C lebih rendah 1.0°C
daripada fase positif dan anomali negatif SPL minimum sebesar -3.5°C lebih rendah 0.5°C daripada fase positif Gambar 37a. Selain itu, ternyata pada arah
meridional antara luasan area anomali positif SPL pada fase positif dan negatif berbeda atau dengan kata lain nilai anomali 0°C antara fase positif dan negatif
tidak sama. Oleh karena itu, aktifitas Muson di wilayah Benua Martim terdapat ketidakseimbangan kandungan bahang di laut baik secara temporal antara maupun
spasial, sehingga pada Mode ke-1 EOF ini terdapat kondisi asimetris kandungan bahang di laut yang akan mengakibatkan terjadinya pergeseran awal dan panjang
musim dimana sinyal ini diyakini akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya. Fase ini dib
eri nama “Asimetris Muson perairan Asia Tenggara AMAT negatif” atau disebut juga fase AMAT negatif dimana pada fase ini keseimbangan
124
kandungan bahang dari hasil interaksi darat-laut-atmosfer, peranan laut berfungsi sebagai penyumbang bahang utama ke atmosfer pelepasan bahang dari sistem
keseimbangan kandungan bahang di darat, laut dan atmosfer. Hasil analisis pola sebaran anomali kedalaman lapisan tercampur
memperlihatkan pula bahwa anomali kedalaman lapisan tercampur tidak berfungsi sebagai penyimpan bahang di laut dari umpan balik hasil interaksi laut-atmosfer
karena meskipun nilai maksimum anomali kedalaman lapisan tercampur mencapai 50 m tetapi terpusat di BBU dan nilai anomali 0 m berada lebih ke arah utara
dibandingkan dengan nilai anomali 0°C dari SPL Gambar 37b. Selain itu, nilai anomali minimum kedalaman lapisan tercampur dominan terpusat di BBS dengan
nilai minimumnya sebesar -25 m dimana kondisi ini memperkuat bahwa kandungan bahang di laut sebelumnya telah dilepaskan ke atmosfer sehingga
adveksi vertikal suhu laut mulai melemah yang mengakibatkan kedalaman lapisan tercampur semakin dangkal. Oleh karena itu, dinamika kedalaman lapisan
tercampur di wilayah Asia Tenggara dan interaksinya dengan aktifitas Muson menjadi sangat penting dalam mengontrol keseimbangan bahang di darat, laut dan
atmosfer yang berperan besar dalam variabilitas iklim di Asia Tenggara dan sekitarnya.
Hasil analisis pola sebaran anomali Q
S
+Q
L
pada fase negatif Mode ke-1 EOF dengan jelas memperlihatkan bahwa dominan di perairan Asia Tenggara dan
sekitarnya kandungan bahang di laut dilepaskan ke atmosfer dengan nilai anomali negatif Q
S
+Q
L
minimum sebesar -40 Wm
2
yang terpusat di sebelah tenggara Samudera Hindia, Teluk Bengal, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan perairan
sebelah barat daya Samudera Pasifik, sedangkan anomali positif Q
S
+Q
L
dominan terpusat di perairan sebelah barat laut Samudera Pasifik dan di daratan yaitu Pulau
Papua, Sumatera, Kalimantan dan Benua Australia dengan anomali positifnya berkisar antara 10-40 Wm
2
Gambar 38a. Kondisi ini memperlihat secara spasial terjadi pola asimetris kandungan bahang di laut dan darat pada arah meridional
antara BBU dan BBS. Jika dibandingkan antara fase positif dan negatif Mode ke-1 EOF, terlihat sepintas berupa fase kebalikannya, tetapi pada kenyataannya
terdapat selisih anomali kandungan bahang di laut dan darat antara fase positif dan negatif dimana pada fase positif anomali positif kandungan bahang yang
125
tersimpan di laut dan darat Gambar 33a lebih besar daripada anomali negatif kandungan bahang yang dilepaskan dari laut dan darat ke atmosfer pada fase
negatif. Selain itu, pada fase positif luasan area anomali positif kedalaman lapisan tercampur lebih besar daripada pada fase negatif. Pada fase positif anomali positif
kedalaman lapisan tercampur dominan menyebar dari BBS sampai BBU pada 10°LU Gambar 32b, sedangkan pada fase negatif dominan hanya menyebar dari
BBU sampai di 10°LU Gambar 37b. Oleh karena itu, pada Mode ke-1 EOF ini terjadi asimetri anomali kandungan bahang di laut dan darat, sehingga
memperkuat keberadaan AMAT baik secara temporal maupun spasial dimana pada fase AMAT positif terjadi penyimpanan kandungan bahang di laut yang
lebih besar daripada pelepasan kandungan bahang dari laut ke atmosfer pada AMAT negatif.
Gambar 38 Sebaran horizontal dari a rata-rata anomali Q
S
+Q
L
Wm
2
dan b rata-rata anomali P
–E mmhari pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Pada fase negatif Mode ke-1 EOF, pola sebaran anomali positif P
–E dominan berada di BBS yang terpusat di sekitar 15°LS dengan nilai anomali
126
berkisar antara 2.0-2.5 mmhari, sedangkan anomali negatif dominan berada di BBU yang terpusat di sekitar 12°LU dengan kisaran yang sama tetapi dengan nilai
anomali yang negatif Gambar 38b. Kondisi ini memperlihatkan posisi asimetris Muson secara spasial pada periode waktu yang sama meskipun nilai anomali 0
mmhari berada di sekitar ekuatorial, sedangkan pada fase positif terlihat nilai anomali 0 mmhari tidak berada di sekitar ekuatorial, tetapi bergeser ke arah utara
di sekitar 10°LU Gambar 33b. Kondisi ini memperlihatkan posisi asimetris Muson secara temporal antara puncak fase negatif pada bulan Januari dengan
puncak fase positif pada bulan Juli. Oleh karena itu, pengaruh AMAT terhadap variabilitas iklim dan interaksinya dengan Muson di wilayah Asia Tenggara dan
sekitarnya berkontribusi cukup besar dimana pada Lampiran 5 disajikan pula hasil analisis pola sebaran anomali OLR dan curah hujan pada fase negatif Mode ke-1
EOF sehingga lebih mempertegas lagi peran dari penting AMAT dalam mengatur variabilitas iklim dan interaksinya dengan Muson di wilayah Asia Tenggara dan
sekitarnya. Penyebab terjadinya AMAT adalah ketidakseimbangan bahang di lautan baik secara spasial maupun temporal dimana perairan Teluk Bengal, Laut
Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Banda dan Laut Sulawesi berperan sebagai kapasitor bahang di laut dan pulau-pulau besar serta ribuan pulau kecil di
Indonesia berfungsi sebagai stabilisator kandungan bahang di atmosfer. Ketidakseimbangan sistem ini akan mempengaruhi pergeseran awal dan panjang
musim pada periode siklus Muson berikutnya dimana sinyalnya diduga akan terdeteksi pada Mode EOF berikutnya.
Skematika interaksi laut-atmosfer pada fase negatif Mode ke-1 EOF cukup sederhana karena merupakan kebalikan dari fase positif Mode ke-1 EOF dimana
peranan interaksi Muson, DM dan ENSO terhadap variabilitas iklim di wilayah Asia Tenggara dan sekitarnya, lebih besar didominasi oleh aktifitas Muson
Gambar 39. Pada puncak fase negatif Mode ke-1 EOF yang terjadi pada bulan Januari, posisi semu matahari berada di BBS pada 23.5°LS sehingga tekanan
udara di BBS lebih rendah daripada di BBU. Oleh karena itu, angin bergerak dari BBU ke BBS dimana parameter Coriolis berperan dalam pembelokan arah angin.
Angin Timur Laut di BBU terbentuk dengan membawa kandungan uap air yang tinggi karena di BBU dominan merupakan lautan. Ketika massa udara dengan
127
kandungan uap air tinggi yang terbawa oleh Angin Timur Laut mencapai ekuatorial proses kondensasi mulai terjadi di seluruh lapisan troposfer karena suhu
udara di lapisan troposfer memiliki anomali negatif. Setelah melewati ekuator, Angin Timur Laut dibelokkan karena adanya parameter Coriolis sehingga
terbentuk Angin Barat Laut dengan tetap membawa massa udara dengan kandungan uap air yang tinggi. Proses kondensasi berlangsung semakin efektif,
sehingga intensitas curah hujan semakin bertambah besar yang terpusat disekitar 15°LS.
Gambar 39 Skematika pola Sirkulasi Walker biru dan dinamika suhu massa
air pada fase negatif Mode ke-1 EOF. Keterangan tanda gambar sama seperti pada Gambar 34.