yang digunakan perlu mempertimbangkan variabilitas Muson yang berinteraksi dengan siklus dari fenomena ENSO yang diindikasikan kedatangannya dengan
SOI. Webster dan Yang 1992 menganggap penting keterkaitan antara aktifitas Muson selatan Asia dengan menguat dan melemahnya Sirkulasi Walker yang
berasosiasi dengan ENSO, sehingga mengusulkan untuk memantau aktifitas Muson dengan menggunakan suatu indeks Muson yang melibatkan dinamika
Sirkulasi Walker. Indeks tersebut disebut Indeks Muson Webster dan Yang Webster and Yang Monsoon IndexWYI. WYI dihitung dari selisih rata-rata
anomali kecepatan angin zonal di ketinggian pada tekanan atmosfer 850 mb dengan 250 mb pada wilayah yang berada di sebelah utara Samudera Hindia yaitu
pada petak E dengan koordinat antara 40°BT-110°BT dan ekuator-20°LU Gambar 21. Hasil dari analisis komposit OLR dengan menggunakan WYI
terlihat dengan jelas siklus tahunan dari Muson di wilayah selatan Asia dan ekuatorial Samudera Hindia, sehingga indeks ini dapat secara independen dapat
mengetahui siklus dari Muson dengan sinyal satu tahunan dan terpisah dengan SOI.
Wang dan Fan 1999 melihat perbedaan aktifitas Muson di wilayah selatan Asia dengan di sekitar Filipina. Aktifitas Muson di India, sebelah barat Samudera
Hindia dan daerah tropis di sebelah utara Afrika kuat dipengaruhi oleh daerah konveksi di Teluk Bengal dan India, sedangkan aktifitas konveksi di sekitar
Filipina kuat mempengaruhi pola Muson di Indocina, Laut Cina Selatan, Laut Filipina dan wilayah Indonesia. Wang dan Fan 1999 telah memperlihatkan
bahwa OLR diantara kedua wilayah tersebut sangat kecil sekali korelasinya. Oleh karena itu diperlukan indeks tersendiri untuk zona regim Muson di selatan Asia
yang dipengaruhi oleh aktifitas konveksi di Teluk Bengal dengan indeks yang mewakili aktifitas konveksi di sekitar Filipina. Wang dan Fan 1999
mengusulkan dua indeks yaitu Indeks Muson Panas Asia Asian Summer Monsoon IndexIMI yang mewakili aktifitas Muson selatan Asia dan Indeks
Muson Barat Laut Pasifik Western North Pacific Monsoon IndexWNPMI yang mewakili aktifitas Muson Asia Tenggara, Muson Asia Timur dan sebelah barat
ekuatorial Samudera Pasifik. IMI dihitung dari selisih rata-rata anomali kecepatan angin zonal di ketinggian pada tekanan atmosfer 850 mb pada petak A 40°BT-
80°BT dan 5°LU-15°LU dengan petak B 70°BT-90°BT, 20°LU-30°LU, sedangkan WNPMI antara petak C 100°BT-130°BT, 5°LU-15°LU dengan petak
D pada koordinat 110°BT-140°BT dan 20°LU-30°LU Gambar 21. Kedua indeks ini dapat memperlihatkan perbedaan dampak curah hujan yang dipengaruhi oleh
Muson Panas India dan Muson Asia Tenggara. Lebih lanjut, Wang dan Fan 1999 memperlihatkan bahwa IMI memiliki korelasi yang kuat dengan anomali
angin di atas perairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik yang memiliki siklus antar tahunan dibandingkan dengan WNPMI.
Indeks Muson yang telah dibangun tidak saja hanya terdapat sinyal dari aktifitas Muson saja tetapi dari indeks tersebut tertangkap pula siklus di atas satu
tahunan antar tahunan sampai dekadal dan juga siklus di bawahnya dalam musiman sampai musiman. Kajikawa et al. 2010 telah mendefinisikan indeks
Muson untuk wilayah utara Australia dan selatan Indonesia untuk memantau aktifitas Muson yang berbeda dengan Muson yang berada di BBU. Indeks ini
memiliki korelasi yang kuat dengan siklus antar tahunan dengan ENSO dan perubahan musim dengan siklus dekadal curah hujan di wilayah Australia dan
selatan Indonesia dan juga memiliki korelasi yang kuat dengan awal masuknya musim basah dan kering di wilayah Australia. Selain itu, indeks ini tidak memiliki
perbedaan awal masuknya musim pada saat fase kuat maupun fase lemah musim panas di Australia. Kajikawa et al. 2010 menamakan indeks ini dengan sebutan
AUSMI Australian Summer Monsoon Index yang dihitung dari rata-rata anomali kecepatan angin zonal pada ketinggian dengan tekanan atmosfer 850 mb di petak
F pada koordinat 110°BT-130°BT dan 15°LS-5°LS Gambar 21.
2.6.2 Indikator DM dan Variabilitas di Samudera Hindia
Variablitas laut-atmosfer di Samudera Hindia tidak saja didominasi oleh siklus tahunan Muson, tetapi terdapat pula variabilitas antar tahunan yang dikenali
pada akhir abad ke-20. Saji et al. 1999 dan Webster et al. 1999 telah menemukan fenomena di Samudera Hindia dengan siklus antar tahunan seperti
halnya fenomena ENSO yang terjadi di Samudera Pasifik. Mereka berpendapat sama bahwa perpindahan massa air hangat dari perairan sebelah timur ke arah
barat ekuatorial Samudera Hindia merupakan fenomena tersendiri yang berbeda
dengan ENSO dan dimulai dengan terdapatnya anomali angin timuran dan massa air dingin serta anomali curah hujan dibawah normal di perairan sebelah tenggara
Samudera Hindia di sekitar pantai barat Sumatera. Saji et al. 1999 dan Webster et al. 1999 memberi nama fenomena tersebut Dipole Mode yang merupakan
fenomena tersendiri di Samudera Hindia dan memiliki proses internal yang berbeda dengan ENSO. Saji et al. 1999 membangun sebuah indeks sebagai
indikator awal kedatangan DM dari hasil analisis EOF pada Mode kedua dengan 12 keragaman dan total keragaman anomali SPL di Samudera Hindia. Dua
kutub yang terbentuk dari pola spasial EOF menjadi dasar untuk menentukan perhitungan dari indeks yang disebut Dipole Mode Index DMI. DMI dihitung
dari selisih rata-rata anomali SPL di sebelah barat ekuatorial Samudera Hindia pada petak H 50°BT-70°BT, 10°LS-10°LU dan disebut western tropical Indian
Ocean WTIO dengan petak I 90°BT-110°BT, 10°LS-ekuator yang disebut southeastern tropical Indian Ocean SETIO di sebelah tenggara Samudera
Pasifik Gambar 21. WTIO dan SETIO merupakan indeks tersendiri dari hasil rata-rata petak anomali SPL, sehingga DMI dapat dihitung dari selisih antara
WTIO dengan SETIO. Saji et al. 1999 menyatakan bahwa DM merupakan fenomena yang berdiri
sendiri tanpa melibatkan ENSO di Samudera Pasifik sama seperti halnya pendapat Webster et al. 1999, meskipun terdapat puncak fase DM dan El Nino kuat yang
bersamaan seperti pada tahun 1972 dan 1997 tetapi terdapat pula puncak fase DM yang tidak bersamaan dengan El Nino seperti pada tahun 1961, 1967 dan 1994.
Hasil dari korelasi antara DMI dengan Nino3 sangat lemah, sebesar 0.35 menunjukkan bahwa DM dengan ENSO merupakan fenomena yang berbeda.
DMI juga berkorelasi kuat dengan angin zonal di tengah dan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia, sehingga DM merupakan fenomena yang berkaitan
dengan interaksi laut-atmosfer dengan dinamika proses tersendiri. Webster et al. 1999 memperkuat pendapat tersebut dengan memperlihatkan hubungan yang
kuat antara DM dengan anomali tinggi muka laut dan curah hujan. Selain DM terdapat pula fenomena dengan siklus antar tahunan curah hujan
yang terjadi di selatan Benua Afrika Tyson, 1986; Mason dan Jury,1997 yang terdeteksi karena adanya anomali SPL di sekitar Arus Agulhas dari sistem
Western Boundary Current di perairan barat daya Samudera Hindia sekitar Pulau Madagaskar Walker, 1990. Anomali SPL massa air hangat dipantau
menggunakan indeks yang dihitung dari rata-rata anomali SPL pada petak G 31°BT-45°BT, 32°LS-25°LS dan disebut indeks SWIO Gambar 21. Pemicu
menghangatnya massa air di sekitar perairan ini diduga karena pengaruh dari ENSO Reason et al., 2000; Behera et al., 2000 yang berkorelasi SOI, meskipun
di perairan ini merupakan daerah upwelling di perairan terbuka yang mengontrol variabilitas SPL Xie et al., 2002 dan dipengaruhi oleh dinamika Gelombang
Rossby dari arah timur di bawah permukaan laut Xie et al., 2002; Schouten et al., 2002. Pendapat ini berbeda dengan Venzke et al. 2000 yang sebelumnya
menyampaikan bahwa pemicunya adalah adanya anomali angin timuran yang berasosiasi dengan El Nino.
2.6.3 Indikator ENSO dan Variabilitas di Samudera Pasifik
Philander 1990 mengutarakan bahwa Southern Oscillation berkaitan erat dengan ENSO sehingga salah satu indikator untuk memantau kedatangan ENSO
adalah dengan menggunakan SOI Gambar 21. SOI dihitung dari selisih tekanan udara permukaan antara Tahiti dengan Darwin yang mencerminkan kekuatan
Sirkulasi Walker dan berasosiasi dengan Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut di atas permukaan laut di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik.
Melemahnya menguatnya Sirkulasi Walker menunjukkan fase awal terjadinya El Nino La Nina seiring dengan melemahnya menguatnya Angin Pasat,
sehingga SOI sampai dengan saat ini masih digunakan untuk memantau aktifitas ENSO.
Indikator ENSO lainnya yang telah lama digunakan adalah indeks klasik dengan perhitungan sederhana dari anomali SPL pada Nino4 di petak J 170°BB-
120°BB, 5°LS-5°LU, Nino3.4 di petak K 160°BT-150°BB, 5°LS-5°LU, Nino3 di petak L 150°BB-90°BB, 5°LS-5°LU dan Nino1.2 di petak M 90°BB-80°BB,
5°LS-ekuator dengan tujuan untuk mengetahui awal kedatangan dan pola evolusi dari ENSO Gambar 21. Sebelumnya, NOAA 2003 mendifinisikan fase El Nino
La Nina terjadi jika selama 3 bulan berturut-turut rata-rata anomali positif negatif SPL di Nino3.4 diatas 0.5°C dan telah diadopsi oleh WMO region IV
sebagai fase terjadinya El Nino La Nina. Namun pada beberapa dekade terakhir anomali positif semakin sering terjadi di Nino4 Larkin dan Harrison, 2005a; Yu
dan Kao, 2007, berbeda dengan El Nino konvensional yang umumnya terjadi di Nino3 dan Nino3.4 Rasmusson dan Carpenter, 1982; Wallace et al., 1998. Oleh
karena itu dengan terdapatnya pola evolusi yang berbeda, memotivasi peneliti untuk mendefinisikan indeks ENSO baru yang lebih mencerminkan pola
perubahan karakteristik evolusi ENSO. Trenberth dan Stepaniak 2001 telah mengidentifikasikan sebelumnya
bahwa setiap pola evolusi El Nino pada setiap kejadian berbeda-beda, sehingga indeks klasik El Nino pada Nino3 dan Nino4 tidak mencerminkan perbedaan
evolusi dari El Nino satu dengan yang lainnya karena indeks Nino3 dan Nino4 memiliki korelasi yang sangat besar. Oleh karena itu, Trenberth dan Stepaniak
2001 mengusulkan indeks baru yang dapat membedakan antara satu kejadian El Nino dengan kejadian El Nino yang lainnya. Indeks tersebut dinamakan Trans-
Nino Index TNI yang dihitung dari selisih rata-rata anomali SPL antara Nino1.2 dengan Nino4 Gambar 21 dimana korelasi antara TNI dan Nino3.4 hampir tidak
ada keterkaitan sama sekali pada penyimpangan waktu nol, sehingga dengan menggunakan TNI dapat diketahui pola evolusi El Nino yang berbeda.
Dinamika ENSO tidak hanya dapat diidentifikasikan pada permukaan laut saja karena dinamika ENSO juga melibatkan lapisan kolom laut dibawahnya dari
proses perubahan lapisan termoklin. Lapisan ini sangat erat kaitannya dengan perubahan kolam air hangat antara fase El Nino dan La Nina. Meinen dan
McPhaden 2001 mengusulkan sebuah indeks baru ENSO yang diberi nama indeks Warm Water Volume WWV yaitu volume massa air di sepanjang
ekuatorial Samudera Pasifik 120°BT-80°BB, 5°LS-5°LU pada petak Q dimana massa air tersebut memiliki suhu diatas 20°C Gambar 21. Indeks WWV ini
berkaitan erat dengan proses dinamika ENSO yang terjadi pada lapisan termoklin yaitu paradigma recharge oscillator Jin, 1997 yang melibatkan interaksi antara
angin zonal, Ekman pumpingsuction downwellingupwelling dan transpor Sverdrup. Indeks ini mempunyai hubungan yang kuat dengan anomali SPL Nino3
pada 7-15 bulan sebelumnya dengan koefisien korelasi antara 0.57-0.7, sehingga WWV mampu untuk memprediksi awal kedatangan ENSO.
Indeks WWV tidak dapat mengetahui perubahan pola evolusi ENSO, tetapi baik digunakan untuk mengetahui kekuatan dari fase ENSO. Korelasi antara
indeks WWV dengan fase El Nino lebih besar daripada fase La Nina, sehingga memperlihatkan bahwa terdapat kondisi asimetris antara massa air hangat El Nino
dan La Nina Meinen dan McPhaden, 2001. Perbedaan ini secara tidak langsung memperlihatkan adanya kemungkinan perubahan pola evolusi spasial antara fase
El Nino, kondisi normal dan fase La Nina pada periode sebelum dan setelahnya. Ashok et al. 2007 dari hasil analisis EOF data SPL pada Mode ke-2 ditemukan
pola anomali positif SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik yang menyebar ke arah BBU dan BBS sampai ke daerah subtropis memperlihatkan bahwa
mekanisme transpor Sverdrup bekerja pada fase El Nino ini yang disebut Ashok et al. 2007 dengan nama El Nino Modoki.
Pola spasial El Nino Modoki ini sangat berbeda dengan El Nino konvensional, sehingga didefinisikan sebagai El Nino
“semu” yang mirip dengan El Nino konvensional dengan proses dinamika laut-atmosfer yang berbeda. Oleh
karena itu, Ashok et al. 2007 mengusulkan sebuah indeks baru untuk menidentifikasikan awal kedatangan jenis El Nino ini. Indeks tersebut diberi nama
El Nino Modoki Index EMI dihitung dari petak yang berada di sebelah barat yaitu petak N 125°BT-145°BT, 10°LS-20°LU, tengah yaitu petak O 165°BT-
140°BB, 10°LS-10°LU dan timur yaitu petak P 110°BT-70°BB, 15°LS-5°LU perairan ekuatorial Samudera Pasifik dengan rumus selisih rata-rata anomali SPL
petak O dengan setengah dari rata-rata anomali SPL petak N dan setengah petak P Gambar 21. Ketiga petak ini digunakan karena dari hasil analisis EOF data
SPL pada Mode ke-2 dengan keragaman sebesar 12 dari total keragaman SPL, ditemukan tiga kutub dengan anomali positif SPL berada di tengah dan negatif
berada di sebelah barat dan timur ekuatorial Samudera Pasifik. Ketiga petak yang digunakan untuk menghitung EMI terlalu luas sehingga
bias dari pengaruh variabilitas lain selain ENSO juga ikut terlibat dalam perhitungan EMI, sehingga sulit membedakan antara El Nino Modoki dengan El
Nino konvensional dengan hanya memanfaatkan EMI. Atas dasar tersebut, Kao dan Yu 2009 mengusulkan sebuah indeks yang cukup kompleks dalam
perhitungannya dengan menghilangkan pola linier anomali SPL di Nino1.2
dengan tujuan untuk melihat anomali SPL yang murni dari kontribusi ENSO. Indeks tersebut dibangun dari hasil analisis EOF data SPL dengan koefisien
ekspansi yang dimodifikasi agar sesuai dengan Nino3.4, sehingga dapat membedakan kekuatan dan lamanya CP El Nino dan La Nina serta EP El Nino
dan La Nina. EMI masih memiliki korelasi yang kuat dengan Nino3 sehingga Takahashi
et al. 2011 berpendapat bahwa Mode kesatu dan kedua EOF dari Ashok et al. 2007 bukan mencerminkan dua fenomena yang berbeda, tetapi hanya sekedar
pengaruh ketidak-teraturan dari pola evolusi ENSO. Hal ini dibuktikan oleh Takahashi et al. 2011 dengan memproyeksikan indeks EMI, Nino3, Nino4,
Nino3.4, Nino1.2, TNI dan kedua indeks baru yang diusulkan kedalam koefisien ekspansi Mode kesatu dan kedua PC1 dan PC2, sehingga terlihat
pengelompokan kejadian CP dan EP El Nino yang terpisah dari kedua indeks yang diusulkan, sedangkan EMI dan EP El Nino masih mengelompok menjadi
satu bagian. Takahashi et al. 2011 mengusulkan kedua indeks baru tersebut digunakan untuk membedakan CP El Nino dan EP El Nino. Hasil proyeksi dari
PC1 dan PC2 didapat bahwa indeks CP sebanding dengan 1.7 kali Nino4 dikurangkan dengan 0.1 kali Nino1.2, sedangkan EP El Nino sebanding dengan
selisih antara Nino1.2 dengan setengah dari Nino4. Hasil korelasi spasial antara kedua indeks tersebut dengan kombinasi PC1 dan PC2 sangat besar yaitu dengan
nilai R
2
sebesar 0.98 untuk indeks CP El Nino dan 0.95 untuk indeks EP El Nino. Selain ENSO, di sebelah utara Samudera Pasifik pada lintang tengah dan
subtropis Gambar 21 terdapat pula fenomena lain dengan pola seperti ENSO yaitu PDO yang diperkenalkan pertama kali oleh Mantua et al. 1997 dan
terdapat dugaan berinteraksi dengan ENSO Roy et al., 2003; Chang et al., 2007; Yoon dan Yeh, 2010, Alexander et al., 2010. PDO dipantau dengan
menggunakan indeks PDO dari koefisien ekspansi Mode kesatu PC1 hasil analisis EOF dengan menggunakan data SPL. Hasil korelasi spasial antara PDO
dengan SPL dan tinggi muka laut memperlihatkan pola yang sama dengan pola spasial SPL dari hasil analisis EOF. Nilai positif negatif indeks PDO
menunjukkan di sebelah barat timur perairan utara Samudera Pasifik mengalami
fase dingin hangat dan di sebelah timur barat mengalami fase hangat dingin dengan siklus antara 20-30 tahunan Mantua et al., 1997.
73
3 METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup
Kajian pada penelitian ini membutuhkan pemilihan area riset yang tepat untuk dapat menangkap pengaruh dari Muson, DM dan ENSO. Tujuannya adalah
untuk memahami bagaimana perubahan variabilitas parameter laut dan atmosfer dan proses dinamika interelasi dari ketiga fenomena tersebut. Cakupan area riset
pada penelitian ini adalah antara 80°BT-160°BT dan 20°LU-20°LS. Area riset ini dipilih karena pada lokasi perairan sebelah barat dari cakupan area riset perairan
pantai barat Sumateraperairan sebelah timur ekuatorial Samudera Hindia merupakan lokasi perairan dimana awal terjadinya fenomena DM dimulai, pada
sebelah timur perairan sebelah utara Papuaperairan sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik merupakan lokasi perairan dimana awal terjadinya fenomena
El Nino dan La Nina dimulai dan perairan di sepanjang ekuatorial dari cakupan area ini merupakan lokasi perairan yang berada di tengah-tengah pada arah
meridional dari siklus Muson. Diharapkan cakupan area ini dapat mewakili semua respon variabilitas perairan dan interaksinya terhadap proses dinamika dari sinyal
Muson, DM dan ENSO. Pemilihan cakupan area riset ini berkaitan pula dengan metode EOF yang digunakan, dimana metode ini mengharuskan adanya
kecermatan dan ketepatan pemilihan area yang digunakan sehingga mampu menangkap dan mengisolasi sinyal data deret waktu dari fenomena-fenomena
yang akan dikaji. Pada cakupan area yang telah terpilih, tidak hanya terdapat fenomena
Muson, DM dan ENSO saja tetapi terdapat pula fenomena-fenomena dalam skala lokal cuaca dengan siklus dari semidiurnal sinoptik, diurnal sampai
intraseasonal seperti angin darat dan laut, hujan orografis dan lain-lain. Pada siklus seasonal sampai dengan semiannual dengan skala regional terdapat pula
fenomena seperti Madden Julian Oscillation MJO, seruak pantai barat Australia dan lain-lain yang juga mempengaruhi cakupan area yang telah terpilih. Pada
siklus decadal, interdecadal sampai centennial mungkin saja terdapat pengaruh dari fenomena-fenomena global di cakupan area yang telah terpilih seperti PDO
dan perubahan iklim global global climate change lainnya. Kajian pada
74
penelitian ini hanya difokuskan untuk melihat fenomena Muson, DM dan ENSO dengan siklus annual sampai interannual. Fenomena atmosfer seperti
Tropospheric Biennial Oscillation TBO dan Quasi Biennial Oscillation QBO pada lapisan stratospheric dengan siklus antara 2-3 tahunan yang berada diantara
siklus annual sampai interannual secara tidak langsung ikut disertakan pada penelitian ini karena TBO dan QBO merupakan bagian penting dari komponen
sirkulasi Walker dan Hadley. Penapisan data yang digunakan pada penelitian ini diterapkan untuk menghilangkan pengaruh siklus lain dari fenomena selain
Muson, DM dan ENSO. Periode data antara tahun 1979-2007 dengan interval waktu bulanan cukup
panjang untuk melihat proses dinamika interaksi antara Muson, DM dan ENSO. Muson memiliki siklus waktu tahunan annual, sedangkan DM dan ENSO
memiliki siklus waktu antar tahunan interannual antara 2-5 tahunan telah memadai untuk dianalisis menggunakan data selama 29 tahun dengan interval
waktu bulanan. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data asimilasi dan data reanalisis dari basis data laut-atmosfer dunia. Data asimilasi berasal dari
luaran model yang telah dikombinasikan dengan menggunakan basis data in-situ melalui pendekatan fisis dan dinamis untuk mengurangi kesalahan sistematis
dengan metode model kesalahan error modeling sehingga basis data ini telah memiliki tingkat presisi data yang tinggi. Data reanalisis pada penelitian ini
merupakan data yang berasal dari analisis citra satelit dan observasi laut-atmosfer basis data dunia yang telah dianalisis dengan menggunakan pendekatan metode
reanalisis secara spasial kedalam sistem petak grid dan temporal dengan interval waktu konstan. Ukuran petak data asimilasi maupun reanalisis berkisar antara 25-
200 km memiliki resolusi spasial yang tinggi, sehingga telah memadai digunakan untuk mengkaji interaksi antara Muson, DM dan ENSO.
Parameter laut dan atmosfer dari data asimilasi dan reanalisis yang digunakan untuk penelitian ini difokuskan pada lapisan level permukaan saja
dan jika dalam proses interaksinya melibatkan dinamika sirkulasi atmosfer maka akan digunakan data di beberapa lapisan. Tujuannya adalah agar hasil analisis
yang dilakukan lebih terfokus untuk melihat interaksi antara laut dan atmosfer karena proses dinamika baik Muson, DM maupun ENSO merupakan fenomena