Tingkat ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek
Saat dimasukkan ke dalam bak penampungan, tidak dilakukan proses aklimatisasi yang bertujuan untuk mempercepat proses adaptasi benih ikan dengan
lingkungan yang barunya. Proses pengangkatan benih ikan dari dalam keempat model palka ke bak penampungan berlangsung sekitar 5 menit.
Saat benih ikan yang telah diikutkan dalam percobaan dimasukkan ke dalam bak penampungan yang hanya berisi air laut saja, benih-benih ikan tersebut segera berenang
ke dasar bak dan kemudian diam di dasar tanpa menggerakkan siripnya untuk beberapa saat. Sekitar 6 menit kemudian, beberapa ikan baru ada yang mulai bergerak berenang
ke atas permukaan. Tidak lebih dari 1 menit kemudian atau tidak lebih dari 7 menit setelah dimasukkan ke dalam bak penampungan, ikan yang telah berada di permukaan
mulai diberi makan dan mau. Setelah sekitar 15 menit setelah ikan dimasukkan ke dalam bak penampungan, semua ikan telah naik ke permukaan dan memakan makanan
yang diberikan. Adapun benih ikan yang dimasukkan ke dalam bak penampungan yang telah
berisi beberapa ekor benih ikan kerapu bebek dengan ukuran yang sama, saat dimasukkan ke dalam bak penampungan, benih-benih ikan tersebut juga segera
berenang ke dasar bak dan kemudian diam di dasar tanpa menggerakkan siripnya untuk beberapa saat. Akan tetapi sekitar 2 menit kemudian, beberapa ikan telah ada yang
mulai bergerak berenang ke atas permukaan. Kurang dari 1 menit kemudian atau tidak lebih dari 3 menit setelah dimasukkan ke dalam bak penampungan, ikan yang telah
berada di mulai memakan makanan yang diberikan. Tidak lebih dari 5 menit setelah ikan dimasukkan ke dalam bak penampungan, semua ikan telah naik ke permukaan dan
memakan makanan yang diberikan. Jika kedua kondisi benih ikan kerapu bebek di kedua bak penampungan tersebut
dibandingkan, maka terlihat bahwa benih ikan yang dimasukkan ke dalam bak penampungan yang berisi beberapa ekor benih ikan kerapu bebek, lebih cepat
beradaptasi yaitu sekitar 5 menit. Pernyataan ini sebaiknya diteliti lebih lanjut lagi. Kesimpulan sementara, penerapan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem
pemeliharaan benih ikan kerapu bebek selama transportasi tidak saja mampu mempertahankan hidup benih ikan hingga 100 , akan tetapi juga setelah transportasi.
Hasil perhitungan survival ratio dari masing-masing pengukuran disajikan pada Tabel 25. Adapun grafik survival ratio pada saat simulasi transportasi dan pasca
simulasi transportasi, disajikan pada Gambar 50. Pada grafik survival ratio menunjukkan survival ratio benih ikan dalam dua fase, yaitu fase simulasi transportasi
dan pasca simulasi transportasi. Pada grafik tersebut terlihat bahwa survival ratio benih ikan kerapu bebek mencapai nilai 100 . Nilai tersebut menunjukkan bahwa sistem
kombinasi resirkulasi-aerasi mampu mempertahankan hidup benih ikan selama simulasi transportasi. Demikian pula pasca simulasi, walaupun tanpa dilakukan aklimatisasi
terlebih dahulu, hingga 3 hari setelah dimasukkan ke dalam bak penampungan tujuan, benih ikan tetap bertahan hidup. Purbayanto et.al 2001, melakukan penelitian
terhadap ketahanan hidup ikan setelah penangkapan. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada hari kedua, penurunan kurva survival mulai berkurang dan
mulai stabil pada hari ketiga setelah penangkapan. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, maka nilai survival ratio benih ikan yang tetap berada pada nilai 100
menunjukkan bahwa benih-benih ikan tersebut akan tetap bertahan hidup untuk selanjutnya.
Tabel 25 Nilai survival ratio benih ikan kerapu bebek selama 48 jam di dalam model palka kotak yang dilengkapi dengan sistem
pemeliharaan kombinasi resirkulasi-aerasi
Ulang an
Jumlah benih ikan kerapu bebek
Survival Ratio
Di Awal Di
Akhir
1 58
58 100
2 58
58 100
3 58
58 100
Rata- rata
58 58
100
Gambar 50 Survival ratio benih ikan kerapu saat dan pasca simulasi transportasi.
5.4.2 Parameter fisik dan kimia air laut di dalam palka 1 Konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka
Konsentrasi oksigen dalam air merupakan salah satu faktor lingkungan yang harus dipenuhi di lingkungan tempat ikan tersebut berada. Kandungan oksigen dalam
air merupakan faktor kritis bagi kesehatan ikan. Schreck and Moyle 1990 mengemukakan bahwa respirasi pada ikan adalah proses mengambil oksigen dari
lingkungan dan mengeluarkan gas buang ke lingkungan. Apabila dalam suatu volume air tertentu tidak terdapat suplai oksigen ke dalamnya, maka oksigen yang digunakan
oleh makhluk hidup yang berada di dalam air tersebut makin lama akan semakin berkurang dan bahkan habis.
Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh
ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke
dalam massa air. Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen,
seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup
yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya. Organisme hidup Simulasi
transportasi Setelah simulasi
transportasi
tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Dalam pembahasan tentang konsentrasi oksigen terlarut pada sub bab 5.2
tentang sistem pemeliharaan kualitas air, diketahui bahwa konsentrasi oksigen terlarut mg O
2
liter pada air laut yang terdapat di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi berkisar antara 6,5 – 6,9 mg O
2
liter dengan nilai rata-rata sebesar 6,66 mg O
2
liter selama 48 jam pengamatan. Pada Gambar 51 disajikan grafik hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut
selama 48 jam pengamatan. Grafik tersebut adalah merupakan hasil pengukuran rata- rata dari empat palka dalam setiap ulangan uji coba. Pada grafik tersebut dalam ketiga
pengamatan, terlihat bahwa setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka, konsentrasi oksigen terlarut yang terukur mengalami pengurangan bila dibandingkan
dengan saat sebelum benih ikan dimasukkan ke dalam model palka tersebut. Pengurangan konsentrasi oksigen terlarut yang terjadi berkisar antara 0,3 – 1,2 mg
O
2
liter. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi konsumsi oksigen sebesar 0,3 – 1,2 mg O
2
liter oleh 58 ekor benih ikan selama 10 menit setelah benih ikan dimasukkan ke dalam model palka. Secara sederhana dapat dihitung laju konsumsi oksigen tiap benih
ikan kerapu bebek di dalam model palka pada 10 menit pertama setelah dimasukkan ke dalam model palka, yaitu berkisar antara 0,294 – 1,040 mg O
2
ekor benih ikanmenit. Pada ketiga grafik juga terlihat bahwa hasil pengukuran konsentrasi oksigen
terlarut mulai cenderung stabil setelah 8 – 16 jam benih ikan berada di dalam model palka. Rata-rata konsentrasi oksigen terlarut yang terukur saat kondisi stabil tersebut
adalah berkisar antara 5,9 – 6,6 mg O
2
liter. Jika dibandingkan dengan konsentrasi oksigen terlarut sebelum benih ikan dimasukkan, yaitu berkisar antara 6,5 – 7,2 mg
O
2
liter, terjadi konsumsi oksigen sebesar 0,5 – 1,3 mg O
2
liter oleh 58 ekor benih ikan kerapu bebek di dalam model palka selama 40 jam. Secara sederhana dapat dihitung
rata-rata nilai laju konsumsi oksigen per benih ikan, yaitu sebesar 0,068 –
0,311 mg O
2
jamikan. Jika nilai laju konsumsi oksigen tersebut bila dibandingkan dengan laju konsumsi oksigen benih ikan pada saat pengukuran konsumsi oksigen benih ikan di
dalam tabung respirometer 0,816 – 1,734 mg O
2
jamikan, sub bab 5.3, diketahui bahwa laju konsumsi benih ikan di dalam model palka jauh lebih kecil dibandingkan
dengan saat benih ikan berada di dalam tabung respirometer. Kondisi ini menunjukkan bahwa metabolisme benih ikan di dalam tabung respirometer jauh lebih tinggi bila
dibandingkan dengan saat benih ikan berada di dalam model palka. Hal ini diduga karena tingkat stres di dalam tabung respirometer lebih tinggi.
Gambar 51 Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut hasil pengukuran selama
48 jam pengamatan.
Pada Gambar 51 terlihat bahwa nilai kisaran konsentrasi oksigen terlarut yang
tersedia setelah pemakaian yaitu berkisar antara 5,4 – 6,8 mg O
2
liter. Berdasarkan hasil penelitian Gray et.al 2002 dan Setyadi et.al 2008 menyebutkan bahwa semua
ikan akan mati apabila konsentrasi oksigen terlarut yang tersedia mencapai 2,0 mg O
2
liter. Akan tetapi Brule et.al 1996 menyebutkan bahwa kematian benih ikan kerapu merah Red grouper dapat terjadi jika konsentrasi oksigen terlarutnya berkisar
antara 3,9 – 4,7 mg O
2
liter. Berdasarkan literatur yang ada, maka ketersediaan oksigen terlarut di dalam air laut setelah pemakaian oleh ikan, masih mencukupi untuk
mendukung hidup benih ikan kerapu bebek di dalam model palka.
2 Nilai pH air laut di dalam model palka Kadar pH dalam air berperan penting dalam menjaga kelangsungan metabolisme
dan fisiologi biota yang hidup di dalam air Parra and Baldisserotto. 2007. Kadar pH yang ekstrim memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan reproduksi
ikan Zweigh et.al. 1999, dan terkadang dapat mengakibatkan kematian massal dalam suatu budidaya ikan. Hal ini disebabkan karena kadar pH yang ekstrim bagi suatu
organisme air dapat menyebabkan kemerosotan fungsi jaringan pada insang dan
meningkatkan produksi lendir, yang pada akhirnya akan membunuh ikan karena ikan mengalami sesak napas asphyxia Boyd, 1990 dalam Filho et.al, 2009. Penurunan
pH di dalam air dapat disebabkan oleh banyaknya karbondioksida yang diproduksi selama ikan berespirasi. Tingginya kandungan karbondioksida dibarengi dengan
turunnya pH
akan lebih
berbahaya terhadap
kelangsungan hidup
ikan hobiikan.blogspot.com, 2008. Tingkat sensitivitas ikan terhadap kadar pH yang
ekstrim sangat bervariasi, tergantung kepada jenis ikan dan usia ikan larva, juvenil atau dewasa Lloyd and Jordan, 1964 dalam Filho et.al, 2009. Filho et.al 2009 dalam
penelitiannya tentang pengaruh kadar pH dalam air terhadap ketahanan hidup larva Prochilodus lineatus
, menunjukkan bahwa larva tersebut dapat bertahan hidup pada kisaran pH antara 4,8 – 9,2. Hasil pengukuran pH pada air laut di dalam model palka
yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kualitas air kombinasi resirkulasi dan aerasi adalah berkisar antara 8,02 – 8,08.
Pada Gambar 52 disajikan grafik hasil pengukuran kadar pH air laut rata-rata dari keempat palka selama 48 jam simulasi transportasi. Pada grafik tersebut terlihat
kecenderungan terjadinya penurunan nilai pH setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka. Penurunan pH yang terjadi berkisar antara 0,1 – 0,2, akan tetapi
pada salah satu ulangan uji coba ulangan 1, penurunan pH baru diketahui saat pengukuran dilakukan setelah 4 jam benih ikan di dalam model palka, dengan
penurunan nilai pH sebesar 0,4. Untuk selanjutnya nilai pH pada ketiga pengamatan cenderung menunjukkan kestabilan setelah benih ikan berada di dalam model palka
selama 4 jam, dengan nilai pH rata-rata berkisar antara 7,5 – 7,7. Jika dibandingkan hasil pengukuran pH pada sub bab 5.3, yaitu antara 8,02 – 8,08 pada kondisi tanpa
benih ikan, terlihat bahwa keberadaan benih ikan di dalam model palka mengakibatkan kadar pH menurun dari basa menuju ke netral. Kondisi ini menunjukkan adanya
sejumlah karbondioksida yang dihasilkan oleh benih ikan di dalam palka tersebut. Akan tetapi menurut Swingle dan Pescod dalam Wardoyo 1981, kisaran pH air yang ideal
bagi perikanan adalah antara 6,5 – 8,5. Dengan demikian, walaupun mengalami penurunan nilai pH, kadar pH di dalam model palka masih dalam rentang nilai ideal
bagi hidup benih ikan.
Gambar 52 Fluktuasi pH hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan.
3 Suhu air di dalam model palka Eksperimen terhadap ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek di dalam model
palka yang dilengkapi dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi dan aerasi dilakukan pada suhu ruangan yang berkisar antara 25,5 – 27 ºC. Perbedaan suhu ruang
yang terjadi adalah sebesar 1,5 ºC. Saat eksperimen yang bertujuan untuk mengukur parameter fisik air laut di dalam model palka dengan sistem pemeliharaan yang berbeda
dilakukan lihat sub bab 5.2, eksperimen dilakukan dalam kisaran suhu ruang antara 24 – 25 ºC, dengan perbedaan suhu ruang sebesar 1 ºC. Terlihat bahwa perbedaan suhu
ruang antar kedua eksperimen tidak berbeda jauh. Dari hasil pengukuran suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi
dengan sistem pemeliharaan kombinasi resirkulasi dan aerasi diketahui bahwa suhu air laut yang terukur selama 48 jam adalah berkisar antara 25,5 – 25,9 ºC. Pengukuran
suhu air laut tersebut adalah pada saat tidak terdapat benih ikan di dalamnya. Pada Gambar 53 disajikan hasil pengukuran suhu air laut secara rata-rata dari keempat model
palka selama 48 jam eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek. Pada grafik tersebut terlihat bahwa rata-rata suhu air laut dalam tiga pengamatan berkisar antara
27,5 - 28,3 ºC.
Gambar 53 Fluktuasi suhu air laut hasil pengukuran selama 48 jam pengamatan.
Pada grafik di atas terlihat bahwa suhu air laut setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka cenderung meningkat. Hal ini diduga terjadi karena
adanya aktivitas benih ikan di dalam model palka tersebut. Sebagaimana manusia, umumnya saat seseorang melakukan aktivitas yang lebih dibandingkan biasanya seperti
misalnya melakukan aktivitas olah raga, biasanya suhu tubuh meningkat. Kondisi ini terjadi disebabkan karena adanya peningkatan metabolisme di dalam tubuh manusia
tersebut. Demikian pula halnya dengan benih ikan yang dimasukkan ke dalam model palka. Pada saat benih-benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam model palka, maka
untuk sesaat benih-benih ikan tersebut akan melakukan adaptasi dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan barunya. Proses adaptasi ini diduga mengakibatkan
adanya peningkatan metabolisme di dalam tubuh benih ikan yang pada akhirnya akan meningkatkan suhu tubuh benih ikan. Peningkatan suhu tubuh benih ikan inilah yang
diduga memberikan kontribusi kepada peningkatan suhu air laut setelah 10 menit benih ikan berada di dalam model palka.
4 Amoniak tak terionisasi NH
3
Un-ionized di dalam model palka
NH
3
un-ionized merupakan zat yang bersifat racun bagi ikan. NH
3
un-ionized tersebut akan lebih bersifat racun apabila terdapat pada perairan dengan konsentrasi
oksigen terlarut yang relatif rendah Boyd, 1982. Gowen and Bradbury 1987 dalam
Leung et al 1999, menyatakan bahwa lebih dari 50 nitrogen yang masuk ke dalam sistem budidaya perikanan laut adalah merupakan hasil pembuangan.
Pada eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek, dilakukan pengambilan contoh uji air untuk diukur konsentrasi NH
3
un-ionized, yaitu di awal dan di akhir hari pengamatan. Pada Tabel 26 disajikan nilai konsentrasi NH
3
un-ionized hasil pengukuran dari eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek.
Tabel 26 Konsentrasi NH
3
un-ionized saat eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek
Pada Tabel 26 terlihat bahwa nilai konsentrasi NH
3
un-ionized di akhir eksperimen mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0,087 mgliter. Secara grafik,
peningkatan nilai konsentrasi NH
3
un-ionized disajikan pada Gambar 54. Timbulnya peningkatan nilai konsentrasi NH
3
un-ionized sebesar 0,087 mgliter, apabila diasumsikan bahwa di dalam air laut tersebut tidak terdapat biota air lainnya selain
benih ikan kerapu bebek, adalah disebabkan oleh adanya aktivitas dari benih ikan kerapu bebek sebanyak 58 ekor. Secara sederhana dikatakan bahwa satu ekor benih
ikan kerapu bebek selama dua jam mengeluarkan NH
3
un-ionized sebesar 0,002 mgliterekor.
Dari hasil eksperimen untuk mengestimasi konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek sub bab 5.3, diketahui bahwa benih ikan kerapu bebek yang berada sendiri di
dalam tabung kondisi I
s
menghasilkan NH
3
un-ionized sebesar 0,021 mgliterekor. Adapun NH
3
un-ionized untuk satu ekor benih ikan pada kondisi tidak sendiri kondisi I
k
adalah sebesar 0,006 mgliterekor. Jika kedua nilai NH
3
un-ionized tersebut
Pengukuran ke-
NH
3
mgliter Awal
Akhir Selisih
1 0,025
0,167 0,142
2 0,037
0,144 0,107
3 0,048
0,061 0,013
Rata-rata 0,037
0,124 0,087
dibandingkan dengan nilai NH
3
un-ionized yang dihasilkan oleh satu ekor benih ikan kerapu bebek saat eksperimen ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek yaitu sebesar
0,002 mgliterekor, maka terlihat bahwa semakin banyak benih ikan dalam suatu volume air NH
3
un-ionized yang dihasilkan satu ekor benih ikan akan semakin sedikit. Merujuk pada apa yang telah disebutkan sebelumnya oleh Inoue et.al 2008 dan
Chandroo et.al 2004, bahwa stres ikan mengakibatkan peningkatan metabolisme atau aktivitas ikan yang salah satunya ditandai dengan meningkatnya produksi amoniak,
maka hal ini menunjukkan bahwa tingkat stres benih ikan di dalam model palka jauh lebih rendah dibandingkan di dalam tabung respirometer.
Keterangan: P1-3 = ulangan ke 1 – 3
Gambar 54 Nilai konsentrasi NH
3
un-ionized selama 48 jam pengamatan