Pengaruh Sirip Peredam Terhadap Efek
tempat yang lebih rendah pula. Apabila hal ini terjadi, maka lengan penegak righting arm
, akan berkurang Lewis, 1988. Ditambahkan pula bahwa tangki yang terisi
lebih dari 50 hingga 90 memiliki peluang yang lebih besar untuk mengurangi righting arm
kapal. Semakin tinggi keberadaan free surface di dalam suatu tangki, maka pengurangan ringhting arm yang terjadi akan semakin kecil. Oleh karena itu,
Hind 1982 menyarankan untuk mengisi penuh tangki yang berisi muatan liquid dan menutup rapat tangki tersebut. Sehingga pergerakan free surface tidak terjadi.
Berdasarkan hasil kajian sub bab 5.1, maka pada palka KPIH ‘Closed hull’ yang dirancang, akan dilengkapi dengan sirip peredam yang dipasang di sepanjang sisi dalam
dinding palka. Sirip peredam tersebut akan dipasang pada ketinggian 80 volume palka, yaitu tepat di batas ketinggian maksimum muatan liquid yang akan ditempatkan
di dalam palka. Berdasarkan hasil kajian pada Sub Bab 5.1, rasio antara luas sirip peredam
dengan luas permukaan palka sebesar 0,29 telah cukup efektif untuk mengurangi efek free surface
. Oleh karena itu, dengan rasio 0,29, maka lebar sirip peredam yang dapat dipasang di sisi dalam palka kapal adalah sebesar 0,12 m atau 12 cm. Sehingga total
luas free surface pada kapal yang memiliki palka yang tidak dilengkapi dengan sirip peredam adalah sebesar 20,38 m
2
kondisi ‘Full FS’. Adapun luas free surface pada kapal yang memiliki palka yang dilengkapi dengan sirip peredam, berkurang seluas
sirip peredam yang terpasang. Total luas sirip peredam yang terpasang di semua palka dan bak filter adalah sebesar 5,95 m
2
. Sehingga total luas free surface pada kapal yang memiliki palka yang dilengkapi dengan sirip peredam adalah sebesar 14,43 m
2
kondisi ‘FS-Sirdam’. Sedangkan pada kapal dengan kondisi ‘tanpa FS’ tidak memiliki free
surface . Pada Tabel 34 disajikan informasi tentang luasan free surface pada masing-
masing palka dan bak penampung air dalam bak filter pada ketiga kondisi kapal.
Tabel 34 Luas free surface pada masing-masing palka dan bak penampung air pada tiga kondisi simulasi kapal
Jenis Tangki
Volume muatan
m
3
Kondisi ‘tanpa
FS’ Kondisi
‘ Full FS’
Kondisi ‘
FS-Sirdam’ Jenis
muatan Luas
FS m
2
Jenis muatan
Luas FS
m
2
Jenis muatan
Luas FS
m
2
Palka 1 4,004
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 2 4,004
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 3 4,238
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 4 4,238
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 5 4,192
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 6 4,192
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 7 3,810
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Palka 8 3,810
Padat 0,00
Liquid 2,32
Liquid 1,65
Tandon 2,773
Padat 0,00
Liquid 1,82
Liquid 1,23
Total
0,00 20,38
14,43
Pada Tabel 34 tersebut terlihat bahwa secara berurutan, kondisi ‘tanpa FS’, ‘FS- Sirdam’ dan ‘Full FS’ memiliki luas free surface yang semakin besar. Selanjutnya
stabilitas kapal akan dikaji pada ketiga kondisi kapal tersebut, yaitu kondisi ‘tanpa FS’, ‘Full FS’ dan ‘FS-Sirdam’.
Pada umumnya, dinding kapal yang bersiku dengan lantai dek dibuat lubang, yaitu masing-masing tiga lubang di dek kiri dan kanan kapal. Lubang tersebut
berfungsi untuk mengeluarkan air yang terperangkap di atas lantai dek kapal. Lantai dek KPIH ‘Closed hull’ di bagian tengah atau tepatnya lantai dek yang
berada tepat di atas palka, adalah terbuka. Terbukanya lantai dek kapal mengakibatkan kapal tidak dalam kondisi kedap air. Oleh karena itu maka KPIH ‘Closed hull’
memiliki sudut maksimum pada range of stability pada sudut 31,5º. Sudut tersebut terbentuk pada saat kapal oleng hingga sheer kapal terendah tepat berada di permukaan
air Gambar 69. Posisi kemiringan kapal pada sudut sebagaimana tertera pada Gambar 69 umumnya diistilahkan sebagai Floading Angle FA. Apabila KPIH tersebut oleng
lebih dari besarnya floading angle, maka air laut akan segera masuk ke atas dek kapal. Terbukanya lantai dek kapal mengakibatkan air laut yang masuk ke lantai dek kapal
dapat masuk ke bagian bawah dek kapal melalui lubang di lantai dek dan kondisi ini akan memperburuk stabilitas kapal. Oleh karena itu, untuk menahan masuknya air ke
bagian bawah dek kapal, maka di sepanjang lubang yang terdapat di lantai dek kapal dipasangi dinding setinggi 60 cm. Sehingga diharapkan keberadaan dinding tersebut
mampu menahan air laut yang masuk ke lantai dek apabila kapal terpaksa oleng hingga sudut lebih dari 31,5º.
Gambar 69 Floading angle KPIH ‘Closed hull’
Pada Gambar 70 disajikan kurva stabilitas statik KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi simulasi muatan. Adapun nilai-nilai kajian stabilitas kapal yang terdiri dari
nilai-nilai , sudut oleng pada
maks
dan initial , disajikan pada Tabel 35. Secara
rinci, tiga kondisi simulasi muatan KPIH disajikan pada Lampiran 7. 32º
garis air
31,5º
Keterangan: FS = free surface FA = Floading angle Sirdam= sirip peredam
Gambar 70 Kurva stabilitas statis KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi muatan liquid
Tabel 35 Nilai ,
dan rolling period KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi simulasi muatan
Kondisi KPIH ‘
Closed hull’
Nilai parameter stabilitas
maks
m Sudut oleng
pada
maks
º Initial
m pada FA
m Rolling
period detik
‘Tanpa FS’ 0,653
71,4 0,644
0,379 2,96
‘FS-Sirdam’ 0,607
69,5 0,595
0,352 3,01
‘Full FS’ 0,588
68,6 0,576
0,339 3,08
Pada Gambar 70 terlihat bahwa nilai
maks
KPIH ‘Closed hull’ pada tiga kondisi simulasi terjadi pada sudut oleng yang berbeda, yaitu sudut 71,4º pada kondisi
‘tanpa FS’, sudut 69,5º pada kondisi ‘FS-Sirdam’ dan sudut 68,6º pada kondisi ‘Full FS
’. Sudut kemiringan kapal yang memiliki lengan penegak righting arm, terbesar untuk selanjutnya disimbolkan dengan sudut
. Pada sudut kemiringan kapal yang lebih besar dari sudut
, lengan penegak kapal akan mulai
mengalami pengurangan hingga akhirnya tidak lagi terdapat lengan penegak atau
FA= 31,5º
= 0. Pada kondisi = 0, kapal sudah tidak dapat kembali ke posisi tegak semula.
Mengacu pada sudut , terlihat bahwa keberadaan free surface dapat
memperkecil sudut . Pada kondisi riil, KPIH ‘Closed hull’ ini tidak akan
mencapai sudut . Hal ini disebabkan karena KPIH tersebut dibatasi oleh FA
yaitu 31,5º. Selain mengurangi sudut oleng kapal yang menghasilkan
maks
, keberadaan free surface juga dapat mengurangi nilai
. Hal ini terlihat dari nilai pada KPIH kondisi ‘Full FS’ yang lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai
pada KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’. Sedangkan nilai
pada KPIH kondisi ‘Full FS’ dan ‘FS- Sirdam
’ lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai pada KPIH kondisi ‘tanpa FS’.
Ketiga nilai tersebut menunjukkan bahwa KPIH kondisi ‘tanpa FS’ memiliki
stabilitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan kedua kondisi KPIH lainnya. Adapun stabilitas KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’ masih lebih baik jika dibandingkan
dengan stabilitas KPIH kondisi ‘Full FS’. Pengurangan nilai ini disebabkan karena
pergerakan free surface pada saat kapal mengalami oleng. Pergerakan free surface ini mengakibatkan pergeseran titik berat G kapal ke arah atas. Pergeseran titik G kapal ke
atas mengakibatkan yang terjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan yang
seharusnya terjadi. Fenomena yang terjadi pada KPIH kondisi ‘FS-Sirdam’ berbeda dengan yang
terjadi pada KPIH kondisi ‘Full FS’. Walaupun kedua kondisi kapal tersebut sama- sama mengangkut muatan liquid yang memiliki free surface, akan tetapi luas free
surface pada kedua kondisi kapal berbeda. Luas free surface pada KPIH kondisi ‘FS-
Sirdam ’ lebih kecil jika dibandingkan dengan luas free surface pada KPIH kondisi ‘Full
FS ’. Hal ini disebabkan karena free surface pada masing-masing palka pada KPIH
kondisi ‘FS-Sirdam’ berkurang dengan dipasangnya sirip peredam di permukaan free surface.
Oleh karena itu, luasan free surface menentukan besar kecilnya pengurangan nilai
. Semakin besar luas free surface, maka akan semakin besar pula pengurangan nilai
yang terjadi. Mengacu pada grafik stabilitas tersebut, terlihat keberadaan sirip peredam pada
palka, dengan rasio antara luas sirip peredam A
sp
dengan luas free surface Afs sebesar 0,30, cukup mampu menahan penurunan nilai
. Kondisi ini disebabkan
karena pergerakan free surface pada saat kapal oleng, tertahan oleh keberadaan sirip peredam yang di pasang di sepanjang sisi dalam dinding palka. Tertahannya gerakan
free surface ini mengakibatkan pergeseran titik berat pada KPIH ‘Closed hull’ kondisi
‘FS-Sirdam’ tidak sejauh yang terjadi pada KPIH ‘Closed hull’ kondisi ‘Full FS’.
Pada Tabel 35 terlihat bahwa, keberadaan free surface tidak saja menurunkan
nilai , akan tetapi juga mempengaruhi nilai initial
. Semakin besar luas free surface
, maka nilai initial akan semakin kecil.
Selain mempengaruhi nilai dan initial
, keberadaan free surface juga mempengaruhi periode rolling kapal. Informasi tentang periode rolling juga dapat
dijadikan sebagai indikator tingkat kestabilan kapal yang berkaitan dengan keselamatan kapal. Pada kondisi fisik gelombang yang sama, apabila terdapat dua kapal dengan
periode rolling yang berbeda, maka kapal dengan periode rolling lebih besar memiliki ancaman keselamatan yang lebih besar dibandingkan dengan kapal yang memiliki
periode rolling lebih kecil. Berdasarkan periode rolling, sebagaimana disajikan pada Tabel 35, terlihat
bahwa pada kapal yang muatannya tidak terdapat free surface kondisi ‘tanpa FS’, memiliki periode rolling yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi kapal yang
memiliki free surface kondisi ‘Full FS’ dan ‘FS-Sirdam’. Pada kondisi kapal ‘Full FS
’, terjadi penambahan periode rolling sebesar 0,12 detik 4,1 . Lain halnya pada kapal dengan kondisi muatan ‘FS-sirdam’, penambahan periode rolling hanya sebesar
0,05 detik 1,7 . Kondisi ini menunjukkan bahwa pemasangan sirip peredam di sisi dalam dinding palka, dapat mengurangi peningkatan periode rolling kapal. Lebih
lamanya periode rolling kapal yang memiliki free surface pada muatannya dibandingkan dengan periode rolling kapal yang tidak memiliki free surface pada
muatannya, diduga karena adanya sloshing. Lee et.al 2005 mendefinisikan sloshing sebagai suatu istilah yang menunjukkan fenomena saat free surface membentur dinding
palka saat kapal mengalami oleng. Berdasarkan definisi tersebut, maka saat free surface membentur dinding palka atau terjadi sloshing, maka timbulah moment tumbukan yang
mengakibatkan gerakan balik kapal tertahan lebih lama pada posisi kemiringannya. Setelah moment tumbukan berkurang atau bahkan hilang, maka barulah kapal tersebut
melakukan gerakan oleng ke arah yang berlawanan. Sloshing inilah yang mengakibatkan periode rolling kapal yang memiliki free surface menjadi lebih lama.
Lain halnya pada kapal yang dilengkapi dengan palka bersirip peredam, gerakan free surface
saat kapal oleng, tertahan oleh sirip peredam. Sehingga moment tumbukan pada dinding palka yang diakibatkan oleh sloshing menjadi lebih kecil. Walaupun periode
rolling kapal yang dilengkapi palka dengan sirip peredam masih lebih lama
dibandingkan dengan kapal yang tidak memiliki free surface, akan tetapi periode rolling
-nya masih lebih cepat dibandingkan dengan kapal yang dilengkapi palka tanpa sirip peredam.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stabilitas kapal akan semakin memburuk apabila terdapat free surface di atas kapal tersebut. Hal ini
ditandai dengan terjadinya penurunan nilai , initial
, sudut oleng pada maksimum dan peningkatan rolling period yang terjadi. Selain itu, keberadaan sirip
peredam terbukti pula mampu menahan penurunan nilai , initial
dan sudut oleng pada
maksimum serta peningkatan rolling period yang lebih besar lagi.
7 PEMBAHASAN UMUM
Berdasarkan hasil identifikasi terhadap tingkat risiko KPIH ‘Opened hull’ apabila digunakan sebagai KPIH untuk mengangkut benih ikan, sumber risikonya
adalah desain palka, sistem sirkulasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air yang digunakan, dan densitas ikan di dalam palka. Oleh karena itu, langkah mitigasi risiko
yang harus dilakukan adalah: 1
Memodifikasi desain palka yang ada menjadi desain palka yang mampu meredam efek free surface,
2 Mengganti sistem sirkulasi menjadi sistem resirkulasi sebagai sistem
pemeliharaan kualitas air di dalam palka kapal, dan 3
Menentukan densitas benih ikan yang akan dimuat di dalam palka kapal. Berdasarkan hasil kajian langkah mitigasi risiko terhadap desain palka, maka
desain palka yang disarankan untuk meredam efek free surface yang terjadi adalah desain palka berbentuk kotak yang dipasangkan sirip peredam di sepanjang dinding
dalam palka. Mengacu pada hasil kajian terhadap keberadaan sirip peredam yang dipasangkan di dinding dalam model palka menunjukkan bahwa keberadaan sirip
peredam mampu meredam pergerakan free surface liquid di dalam model palka pada saat terjadi gerakan rolling kapal ataupun setelah terjadinya gerakan rolling kapal.
Terbatasnya gerakan free surface oleh sirip peredam pada saat terjadinya gerakan rolling
kapal, juga mengakibatkan posisi benih ikan di dalam liquid saat terjadinya gerakan rolling tidak bergeser jauh. Kondisi ini diduga dapat meredam respon berlebih
dari ikan akibat adanya pergerakkan air yang berlebihan di sekitarnya. Bahkan keberadaan sirip peredam turut berperan dalam peningkatan konsentrasi oksigen terlarut
pada saat terjadinya gerakan rolling kapal. Dampak sirip peredam terhadap tingkah laku benih ikan dan peningkatan konsentrasi oksigen terlarut telah dibuktikan dalam uji
coba saran mitigasi risiko terhadap ketahanan hidup benih ikan. Saran mitigasi risiko berikutnya adalah mengganti sistem sirkulasi dengan
sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka. Pada kajian mitigasi terhadap sistem pemeliharaan kualitas air, dilakukan
pengkajian terhadap tiga sistem pemeliharaan kualitas air yang dikategorikan sebagai sistem resirkulasi. Ketiga sistem tersebut adalah sistem aerasi, sistem resirkulasi dan
sistem kombinasi resirkulasi-aerasi. Sistem aerasi adalah merupakan sistem pemeliharaan kualitas air yang sangat sederhana, yaitu dengan memasukkan unit aerator
ke dalam air. Fungsi aerator adalah untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air. Selanjutnya sistem resirkulasi adalah merupakan sistem pemeliharaan
kualitas air yang dilengkapi dengan sistem filtrasi. Sistem filtrasi ini berfungsi untuk mereduksi senyawa-senyawa kimia di dalam air yang dapat merugikan hidup ikan dan
menyaring pertikel-partikel fisik yang terdapat di dalam air. Adapun sistem kombinasi resirkulasi-aerasi adalah merupakan sistem pemeliharaan kualitas air yang lebih lengkap
dibandingkan dengan kedua sistem lainnya. Ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut sering digunakan sebagai sistem untuk memeliharan kualitas air di dalam
akuarium atau balai budidaya ikan. Berdasarkan hasil kajian terhadap ketiga sistem pemeliharaan kualitas air yang
terdiri dari sistem aerasi, sistem resirkulasi dan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, menunjukkan bahwa ketiga sistem memiliki kemampuan yang hampir sama dalam
mempertahankan kestabilan kualitas air. Kestabilan kualitas air yang dimaksud adalah kestabilan terhadap nilai konsentrasi oksigen terlarut, nilai pH, suhu air dan kandungan
NH
3
un-ionized di dalam air. Mengacu pada keempat parameter yang diukur tersebut,
maka sistem kombinasi resirkulasi-aerasi merupakan sistem yang memiliki kemampuan yang lebih baik lagi jika dibandingkan dengan kemampuan sistem resirkulasi dan sistem
aerasi. Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian terhadap sistem pemeliharaan kualitas air, sistem kombinasi resirkulasi-aerasi direkomendasikan sebagai sistem pemelihara
kualitas air di dalam KPIH. Selanjutnya pada kajian mitigasi terhadap densitas benih ikan, disarankan untuk
menentukan densitas benih ikan di dalam palka berdasarkan kebutuhan oksigen tiap individu ikan dan ketersediaan oksigen terlarut di dalam air. Hal ini disebabkan karena
kebutuhan dasar bagi makhluk hidup adalah kebutuhan akan oksigen. Oleh karena itu, penentuan densitas benih ikan ini diawali dengan kajian terhadap tingkat konsumsi
oksigen benih ikan. Pengukuran tingkat konsumsi oksigen benih ikan dilakukan dengan menggunakan closed respirometer. Berdasarkan hasil kajian terhadap tingkat konsumsi
oksigen benih ikan, khususnya benih ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis berukuran antara 5 – 7 cm TL, menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan
antara hasil pengukuran konsumsi oksigen terhadap benih ikan yang berada sendirian di
dalam tabung respirometer dengan benih ikan yang tidak sendirian di dalam tabung respirometer. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa tingkat konsumsi oksigen benih
ikan yang diukur secara sendirian di dalam tabung respirometer lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diukur secara tidak
sendirian di dalam tabung respirometer. Oleh karena itu, tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 TL adalah berkisar antara 0,816 –
1,734 mg O
2
jam per ekor. Nilai 0,816 mg O
2
jam per ekor adalah merupakan nilai tengah dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen benih ikan kerapu yang diukur
secara tidak sendirian di dalam tabung respirometer, sedangkan nilai 1,734 mg O
2
jam per ekor adalah merupakan nilai tengah dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen
benih ikan kerapu bebek yang diukur secara sendiri di dalam tabung respirometer. Untuk selanjutnya, tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh dari hasil
pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang tidak sendirian di dalam tabung respirometer dijadikan sebagai tingkat konsumsi oksigen minimum dari benih ikan.
Adapun tingkat konsumsi oksigen benih ikan yang diperoleh dari hasil pengukuran konsumsi oksigen benih ikan yang sendirian di dalam tabung respirometer dijadikan
sebagai tingkat konsumsi oksigen maksimum dari benih ikan. Berdasarkan hasil kajian terhadap nilai konsentrasi oksigen terlarut di dalam air
yang berada di dalam sistem kombinasi resirkulasi-aerasi yang diperoleh dari hasil kajian terhadap sistem pemeliharaan kualitas air serta besarnya nilai konsumsi oksigen
ikan yang diperoleh dari hasil kajian tingkat konsumsi oksigen benih ikan, maka ditentukanlah densitas benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm TL.
Densitas benih ikan yang ditentukan terdiri dari densitas minimum yang berasal dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen maksimum dan densitas maksimum yang
berasal dari hasil pengukuran tingkat konsumsi oksigen minimum. Hasil kajian mitigasi terhadap desain palka, sistem pemeliharaan kualitas air dan
densitas benih ikan, untuk selanjutnya diuji coba untuk melihat ketahanan hidup benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm TL dalam simulasi transportasi selama
48 jam perjalanan. Dalam uji coba telah digunakan saran-saran yang diperoleh dari hasil kajian mitigasi, yaitu menggunakan desain palka berbentuk kotak yang dilengkapi
dengan sirip peredam yang di pasang di dinding dalam palka, dan dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam
palka. Untuk densitas benih ikan yang digunakan adalah 80 dari densitas maksimum. Penggunaan 80 dari densitas maksimum dimaksudkan untuk memperbesar zona
aman safety zone bagi benih ikan. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengkondisikan apabila unit percobaan ini diterapkan pada kondisi yang sesungguhnya.
Kondisi yang dimaksud adalah kondisi ekstrim yang mungkin saja dialami oleh KPIH saat beroperasi. Selain itu, pada pelaksanaan di atas kapal, pensterilan air laut di dalam
palka tidak dapat dilakukan hingga air laut di dalam palka steril 100 dari mikro organisme. Berdasarkan hasil uji coba mitigasi risiko terhadap ketahanan hidup benih
ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm TL, menunjukkan hasil yang sangat baik. Tingkat survival ratio benih ikan kerapu bebek mencapai 100 untuk simulasi
transportasi selama 2 × 24 jam perjalanan. Bahkan dari hasil pengamatan terhadap kondisi benih ikan pasca simulasi transportasi, menunjukkan bahwa benih-benih ikan
tersebut hanya dalam waktu kurang lebih 5 menit setelah simulasi trasnportasi, telah mau memakan makanan yang diberikan. Padahal pada saat setelah simulasi transportasi
dilakukan, benih-benih ikan tersebut dipindahkan ke dalam bak penampungan tanpa dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu. Pada umumnya, para transportir ikan hidup
mulai dari fase benih hingga dewasa, selalu melakukan aklimatisasi terhadap ikan-ikan tersebut pasca transportasi sebelum dimasukkan ke dalam bak-bak penampungan di
tempat tujuan transportasi. Selanjutnya hasil kajian dan uji coba terhadap saran mitigasi risiko di kaji ulang
kembali tingkat risikonya terhadap survival ratio. Berdasarkan hasil kajian ulang tingkat risiko tersebut menunjukkan bahwa ketiga langkah mitigasi risiko yang
disarankan dapat menurunkan tingkat risiko yang dimiliki oleh KPIH terhadap survival ratio
benih ikan kerapu yang akan dibawanya. Oleh karena itu, berdasarkan hasil kajian mitigasi risiko, maka modifikasi KPIH yang dapat dilakukan adalah merubah kasko
KPIH yang semula terbuka karena terdapat lubang inlet dan outlet menjadi tertutup semua tanpa lubang di kasko kapal. Kondisi kasko yang demikian mengakibatkan
KPIH ‘Opened hull’ dimodifikasi menjadi KPIH ‘Closed hull’ . Dengan demikian, maka KPIH ‘Closed hull’ harus dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi
sebagai sistem pemeliharaan kualitas air di dalam palka dan untuk mengurangi efek free surface
, maka palka harus dilengkapi dengan sirip peredam yang dipasang di sisi dalam dinding palka. Dengan demikian tingkat risiko KPIH ‘Closed hull’ apabila digunakan
untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek berukuran antara 5 – 7 cm TL adalah risiko rendah dengan nilai 1.
KPIH ‘Closed hull’ yang didesain berukuran kurang lebih 30 GT memiliki panjang total kapal sebesar 19,00 m, lebar maksimum sebesar 3,33 m dan tinggi kapal
sebesar 1,95 m. KPIH ‘Closed hull’ tersebut digerakkan oleh mesin jenis marine engine berkekuatan kurang lebih 170 HP, dengan kecepatan maksimum yang dapat dilakukan
adalah sebesar 10 knot. Adapun jarak jelajah yang dapat dilakukan adalah sejauh maksimal 480 mil. Kapal tersebut dapat berlabuh pada pelabuhan-pelabuhan yang
memiliki kedalaman perairan lebih dari 2 m. Berdasarkan hasil kajian terhadap stabilitas KPIH ‘Closed hull’, keberadaan
sirip peredam juga mampu mengurangi penurunan stabilitas kapal yang disebabkan karena adanya free surface pada muatan liquid yang terdapat di dalam palka kapal.
Keberadaan sirip peredam pun juga mampu meredam rolling periode yang membesar akibat tumbukan free surface pada dinding palka kapal yang miring saat terjadinya
rolling .
Pada saat ini transportasi benih ikan kerapu bebek berukuran TL antara 5 – 7 cm sebagaimana telah dipaparkan dalam bab pendahuluan maupun kajian risiko, dilakukan
dengan transportasi sistem tertutup closed system. Dimana benih ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diisi dengan air laut dan oksigen dengan perbandingan
1 : 3. Selanjutnya kantong-kantong plastik berisi benih ikan tersebut dimasukkan ke dalam kotak sterofoam berukuran 0,30 × 0,80 × 0,35 m 0,084 m
3
. Biasanya dalam satu kotak sterofoam memuat benih ikan kerapu bebek sebanyak 300 – 360 ekor. Untuk
selanjutnya, kotak-kotak sterofoam berisi benih ikan kerapu tersebut ditransportasikan dari lokasi pembenihan ikan ke lokasi tujuan yaitu lokasi pembesaran benih ikan.
Contoh salah satu rute transportasi yang dilalui oleh benih ikan kerapu adalah dari lokasi budidaya pembenihan ikan di Gondol, Bali menuju ke lokasi pembesaran benih
ikan di Kepulauan Seribu, Jakarta. Ilustrasi rute transportasi benih ikan kerapu bebek dari Gondol, Bali ke Kepulauan Seribu, Jakarta dengan transportasi sistem tertutup
disajikan pada Gambar 71. Pada saat pemindahan kotak-kotak sterofoam berisi benih ikan dari moda yang satu ke moda lainnya, digunakan gerobak atau mobil troli. Tiap
moda yang digunakan, memiliki kapasitas angkut tersedia yang terbatas Tabel 36. Biasanya, dalam penyusunan kotak-kotak sterofoam pada moda transportasi adalah
dengan menumpuk kotak-kotak tersebut hingga maksimal 3 tingkat. Hal ini disebabkan keterbatasan kotak sterofoam dalam menahan beban maksimal di atasnya. Akan tetapi
pengangkutan dengan menggunakan gerobak yang didorong oleh tenaga manusia, penumpukan hanya dilakukan maksimal 2 kotak. Hal ini disebabkan keterbatasan
kemampuan tenaga manusia dan kestabilan posisi kotak saat berada di atas gerobak. Berdasarkan kapasitas angkut tersedia pada masing-masing moda transportasi
sebagaimana disajikan pada Tabel 36, untuk pengangkutan benih ikan dalam 150 kotak sterofoam dari Gondol, Bali ke Kepulauan Seribu, Jakarta adalah sekitar 9,5 jam tidak
termasuk waktu bongkar muat antar moda dan waktu menunggu keberangkatan moda yang ditumpanginya. Berdasarkan hasil kajian Slamet et al 2002 , waktu selama 9,5
jam atau bahkan lebih tersebut diperkirakan tingkat survival ratio benih ikan adalah antara 95 - 98 .
Tabel 36 Kapasitas angkut tersedia pada masing-masing jenis moda transportasi
No Jenis moda
Kapasitas angkut tersedia maksimal
Keterangan
1 Mobil bak
terbukamobil boks 60 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap
tingkat terdiri dari 20 kotak 2
Pesawat udara 150 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap
tingkat terdiri dari 50 kotak 3
Kapal laut 300 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap
tingkat terdiri dari 100 kotak 4
Gerobak yang didorong oleh
manusia 8 kotak Kotak disusun dua tingkat, tiap
tingkat terdiri dari 8 kotak 5
Troli yang ditarik oleh mobil moda
yang digunakan di bandara
30 kotak Kotak disusun tiga tingkat, tiap tingkat terdiri dari 10 kotak
Lain halnya jika benih ikan nantinya akan ditransportasikan dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ . Transportasi benih ikan dengan menggunakan
KPIH ‘Closed hull’ merupakan transportasi sistem terbuka dengan prinsip menjaga kualitas air laut di dalam palka agar selalu sesuai dengan toleransi benih ikan yang
terdapat di dalamnya. Untuk KPIH ‘Closed hull’ yang saat ini didesain, memiliki
kemampuan untuk mengangkut benih ikan kerapu bebek sebanyak 195.400 ekor per trip. Perkiraan lamanya waktu transportasi benih ikan kerapu dengan menggunakan
KPIH ‘Closed hull’ jika dihitung dari lokasi pembenihan di Gondol, Bali melalui Pelabuhan Buleleng, Bali menuju ke Kepulauan Seribu, Jakarta adalah selama kurang
lebih 48,5 jam tidak termasuk waktu bongkar muat dari moda darat ke KPIH ‘Closed hull
’ . Ilustrasi rencana rute transportasi benih ikan kerapu bebek dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ dari Gondol, Bali ke Kepulauan Seribu, Jakarta disajikan pada
Gambar 72. Jika pengangkutan benih ikan kerapu bebek sebanyak 195.400 ekor dilakukan
dengan menggunakan transportasi tertutup yang saat ini telah dilakukan, maka diperkirakan ke 195.400 ekor benih ikan kerapu terbagi dalam 543 kotak sterofoam.
Adapun waktu transportasi yang dibutuhkan adalah antara 3 – 7 hari. Sehingga diperkirakan survival ratio benih ikan tersebut menjadi lebih kecil lagi dari 95, yaitu
sekitar 90 – 93 Slamet et al, 2002. Waktu selama itu dengan memperhitungkan lamanya waktu tunggu keberangkatan moda yang ditumpangi dan lamanya waktu
bongkar muat antar moda. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kapasitas angkut tersedia yang terbatas pada masing-masing moda transportasi.
Estimasi performa dari transportasi benih ikan kerapu bebek sebanyak 195.400 ekor dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ dan transportasi tertutup yang ada saat
ini, secara rinci disajikan dalam Tabel 37.
\
Gambar 71 Ilustrasi rute transportasi benih ikan kerapu bebek dengan transportasi sistem tertutup, dari Gondol Bali ke Kepulauan
Seribu Jakarta
tanpa skala tanpa skala
Gambar 72 Ilustrasi rencana rute transportasi benih ikan kerapu bebek dengan KPIH ‘Closed hull’ dari Gondol Bali ke Kepulauan
Seribu Jakarta
Tabel 37 Estimasi performa pengangkutan 195.400 ekor benih ikan dengan transportasi
menggunakan KPIH ‘Closed hull’ dan transportasi sistem tertutup. Parameter
Transportasi sistem tertutup
Transportasi sistem terbuka dengan KPIH
‘ Closed hull’
Jumlah benih ikan yang diangkut
195.400 ekor benih ikan yang dimasukkan ke dalam
543 kotak sterofoam 195.400 ekor benih ikan
dalam 1 unit kapal
Contoh rute transportasi Bali – Kepulauan Seribu, Jakarta
Bali – Kepulauan Seribu, Jakarta
Rute pengangkutan Bandara Ngurah Rai
Bandara Soekarno Hatta Pesawat, Bandara
Soekarno Hatta Muara
Angke mobil pick up, Muara Angke
Kep. Seribu kapal
Melintasi Laut Jawa Bali Kepulauan Seribu, Jakarta
Lama transportasi 3 – 7 hari tergantung
ketersediaan tempat pada moda yang ditumpanginya
dan jadwal keberangkatan pesawat dan kapal, dan
harus dilakukan re- packing
± 2 hari tanpa harus mengganti air
Survival ratio 90 – 93
Mencapai 100 Biaya angkut per benih
ikan Rp. 333,-
tidak termasuk sewa gudang tempat
penyimpanan sementara saat pergantian antar moda, bea
masuk-keluar bandara, bea tidak resmi dsb
Rp. 128,- - Rp. 281,-
Aklimatisasi 6 – 24 jam
5 – 10 menit Kebutuhan lainnya
Membutuhkan tempat penyimpanan sementara jika
terjadi antrian pengangkutan terutama saat akan
menggunakan moda udara dan laut
-
Keterangan: Slamet et al 2002
Hasil eksperimen penulis dalam skala laboratorium Simulasi perhitungan disajikan pada Lampiran 8
Pada Tabel 37 disajikan bahwa survival ratio benih ikan yang diangkut dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ mencapai 100. Nilai survival ratio tersebut adalah
merupakan hasil eksperimen yang dilakukan dalam skala laboratorium. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui nilai survival ratio pada kondisi
sesungguhnya di alam. Adapun biaya angkut per benih ikan sebesar Rp. 128,- - Rp. 281,- per ekor, adalah merupakan hasil simulasi dengan memperhitungkan biaya
operasional kapal termasuk upah ABK dan biaya investasi kapal dan perlengkapannya. Biaya angkut per benih ikan akan semakin besar dengan semakin besarnya biaya
investasi kapal dan perlengkapannya yang ditetapkan oleh pemilik kapal. Pada Tabel 37, perkiraan biaya transportasi per ekor benih ikan kerapu bebek
adalah Rp. 333,- per ekor untuk pengangkutan benih ikan dengan transportasi sistem tertutup dan antara Rp. 128,- – Rp. 281,- per ekor untuk pengangkutan benih ikan
dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’. Terlihat bahwa biaya angkut per benih ikan dengan menggunakan KPIH ‘Closed hull’ lebih murah dibandingkan dengan
sistem transportasi tertutup yang saat ini diterapkan. Selain keuntungan ekonomis sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 37, penggunaan KPIH ‘Closed hull’ sebagai moda
transportasi benih ikan, mampu mencapai pulau-pulau terluar di wilayah Indonesia yang tidak dapat didatangi oleh pesawat udara.
8 KESIMPULAN DAN SARAN