Suhu air laut Sistem Pemeliharaan Kualitas Air

Pada grafik tersebut terlihat adanya perbedaan antara suhu air laut yang berada pada sistem aerasi, resirkulasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi. Hal ini diperkuat dari hasil uji statistik yang menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Pada grafik juga terlihat bahwa suhu air laut pada sistem aerasi lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem resirkulasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi. Lebih rendahnya suhu air laut pada sistem aerasi dimungkinkan dapat terjadi. Kondisi isi disebabkan karena pada dua sistem lainnya terdapat pompa air yang pemasangannya berada di dalam bak filter. Selama mesin pompa air tersebut bekerja, mesin pompa tersebut menghasilkan panas yang selanjutnya mempengaruhi suhu air laut yang berada di sekitarnya. Air laut yang berada di dalam filter tersebut untuk selanjutnya dialirkan ke dalam model-model palka. Jika dibandingkan antara sistem resirkulasi dan sistem kombinasi aerasi- resirkulasi, walaupun keduanya dilengkapi dengan pompa air yang dipasang di dalam bak filter, akan tetapi suhu air laut yang terdapat di dalam model palka berbeda. Suhu air laut pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi lebih besar jika dibandingkan dengan suhu air laut pada sistem kombinasi aerasi-resirkulasi. Kondisi ini diduga terjadi karena keberadaan aerasi yang melengkapi sistem kombinasi aerasi- resirkulasi turut membantu menurunkan suhu air laut di dalam model palka. Proses aerasi memungkinkan terjadinya pencampuran air yang lebih merata di dalam model palka. Pada model palka yang hanya dilengkapi dengan sistem resirkulasi, pencampuran massa air di dalam model palka tersebut hanya tergantung kepada aliran air yang masuk ke dalam model palka melalui saluran inlet dan keluar dari dalam model palka melalui saluran outlet. Selanjutnya jika pada grafik tersebut ditarik garis ‘trend’, terlihat bahwa pada model palka yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi cenderung untuk terus mengalami peningkatan suhu. Lain halnya dengan model palka yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan kombinasi aerasi-resirkulasi, berdasarkan garis ‘trend’ terlihat bahwa model palka yang dilengkapi dengan kedua sistem tersebut tidak menunjukkan peningkatan suhu yang signifikan. Pada sistem aerasi dan kombinasi resirkulasi-aerasi, terlihat bahwa walaupun terjadi peningkatan suhu air laut, yaitu mulai siang atau sore hari, akan tetapi menjelang pagi hari, suhu air laut mulai mengalami penurunan. Pada sistem kombinasi resirkulasi-aerasi, kisaran suhu air laut yang terjadi selama 24 jam berkisar antara 25,5 – 25,9 ºC. Adapun kisaran suhu air laut pada sistem aerasi dan resirkulasi masing-masing berkisar antara 24,9 – 25,5 ºC dan 26,0 – 26,9 ºC. Berdasarkan perubahan suhu air laut yang terjadi di dalam model palka selama 24 jam, terlihat bahwa suhu air laut di dalam model palka yang dilengkapi dengan sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menunjukkan kestabilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem aerasi dan sistem resirkulasi. Sun et.al 2007, dalam penelitiannya terhadap benih ikan kerapu kuning Epinephelus awoara, menyatakan bahwa benih ikan kerapu kuning pada kondisi air laut dengan kisaran suhu air antara 25,7 – 29,1ºC terlihat dalam kondisi normal. Normal yang dimaksud di sini adalah kondisi ikan terlihat sehat, aktivitas dan warna badan normal FishVet.Inc., 2000. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketiga sistem pemeliharaan kualitas air tersebut dapat mempertahankan suhu air pada kisaran yang dapat mempertahankan hidup benih ikan kerapu.

5.2.2 Konsentrasi oksigen terlarut Dissolved oxygen concentration

Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya interaksi antara permukaan air dengan udara di atasnya, serta seberapa besar interaksi tersebut terjadi sehingga mengakibatkan masuknya oksigen dari udara ke dalam massa air. Penambahan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air juga dipengaruhi oleh ada atau tidaknya tumbuhan laut yang dapat memproduksi oksigen, seperti ganggang laut, phytoplankton dan sebagainya. Adapun pengurangan konsentrasi oksigen terlarut di dalam air bergantung pada banyak atau sedikitnya organisme hidup yang menggunakan oksigen untuk mempertahankan hidupnya. Organisme hidup tersebut mulai dari yang berukuran kecil seperti plankton, hingga berukuran besar seperti ikan. Pada Gambar 43 disajikan hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut di dalam model palka pada setiap perlakuan, dan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang terukur disajikan pada Tabel 18. Gambar 43 Fluktuasi konsentrasi oksigen terlarut selama 24 jam pengamatan Tabel 18 Rata-rata nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan mg O 2 liter Jam Sistem pemeliharaan kualitas air Rersirkulasi-aerasi Resirkulasi Aerasi 7:30 6,8 6,6 6,5 10:30 6,8 6,5 6,6 13:30 6,7 6,5 6,6 16:30 6,7 6,5 6,6 19:30 6,6 6,4 6,5 22:30 6,6 6,4 6,5 1:30 6,5 6,5 6,5 4:30 6,6 6,5 6,5 Kisaran: 6,5 – 6,8 6,4 – 6,6 6,5 – 6,6 Rata-rata: 6,66 6,49 6,54 Pada Gambar 43 terlihat bahwa berdasarkan kisaran nilai konsentrasi oksigen terlarut pada setiap perlakuan, menunjukkan adanya perbedaan. Berdasarkan uji statistik pun menunjukkan adanya beda nyata antar perlakuan terhadap konsentrasi oksigen terlarut yang dihasilkan. Hasil uji statistik disajikan pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil uji Tukey Beda Nyata Jujur, sistem kombinasi resirkulasi- aerasi memberikan dampak yang berbeda bila dibandingkan dengan sistem resirkulasi dan aerasi. Mengacu pada nilai rata-rata yang terdapat pada Tabel 18, terlihat bahwa sistem kombinasi resirkulasi-aerasi menghasilkan konsentrasi oksigen terbesar