Kondisi dan Resistensi Buruh
Hal itu disebabkan karena mereka harus terlebih dahulu menghitung produktivitas pekerja untuk mengetahui apakah nilai tambah sudah menunjukan
efisiensi dalam penggunaan input pada proses produksinya ataukah belum, disamping itu juga karena mereka menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama
yang berkaitan dengan pengeluaran sejumlah biaya „siluman’ yang tidak berhunungan dengan proses produksi. Selain itu, persediaan tenaga kerja yang
berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan tersendiri untuk tidak segera merespons tuntutan buruh.
48
Kenyataan ini menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan dan produktivitas ibarat pisau bermata dua karena adanya perbedaan persepsi antara pekerja dengan
pengusaha. Dua persepsi dan dua kepentingan yang berbeda ini diharapkan mampu diselesaikan oleh serikat buruh, sebagai lembaga perwakilan buruh yang
mampu menjelaskan apa sesungguhnya yang mereka inginkan.
49
Lahirnya undang-undang Nomor 13 tahun 2003 adalah bagian dari skenario besar
pemerintahan untuk menata dan menegosiasikan kepentingan bersama antara pengusaha, buruh, dan pemerintah.
Jika perusahaan berkepentingan terhadap modal, buruh berkepentingan menaikkan pendapatan maka pemerintah berkepentinag mengamankan makro
ekonominya. Sebab, tanpa kondisi yang kondusif, makro ekonomi sebuah negara akan terguncang. Dan, dalam posisi seperti ini, semua pihak akan terkena
getahnya.
50
Paradigma berpikir model konvensional ini, disadari ataupun tidak, akan menjebloskan kaum buruh pada posisi inverior. Hal ini karena majikan akan
48
Abdul Jalil, Teologi Buruh, h. 51.
49
Abdul Jalil, Teologi Buruh, h. 51.
50
Abdul Jalil, Teologi Buruh, h. 8.
selalu mencari peluang untuk menurunkan upah buruh demi meminimalisir biaya cost minimalitation, disamping juga karena tidak adanya sistem yang
memungkinkan bagi kaum buruh untuk berposisi sejajar egaliter bersama majikan dalam suatu perusahaan tertentu. Buruh akan selamanya menjadi buruh.
51
Lemahnya perlindungan negara terhadap buruh menyebabkan keleluasaan bagi para pemilik modal untuk mengurangi kesejahteraan buruh. Salah satu
contoh misalnya dengan tidak memberikan upah di atas upah maksimum. Kebijakan upah minimum yang dikeluarkan pemerintah justru disalahtafsirkan
menjadi kebijakan upah maksimum dimana berusaha untuk tidak memberikan upah di atas kebijakan itu.
Bila dihitung dari biaya produksi, kenaikan upah sebesar 20-30 sebenarnya tidak mengganggu biaya produksi pabrik. Pengeluaran pabrik justru
lebih banyak dialokasikan kepada biaya birokrasi yang terdiri dari iuran tetap ke birokrasi militer ataupun sipil.
Kelemahan struktur
itu tampaknya
tidak dapat
ditutupi UU
ketenagakerjaan. UU ketenagakerjaan yang diharapkan dapat melindungi buruh ternyata justru secara implicit melindungi kepentingan modal. Salah satu contoh,
seperti pembentukan serikat buruh, telah mengakibatkan serikat buruh telah terpisah-pisah berdasarkan sektor. Demikian pula misalnya dengan hak mogok
yang diakui tetapi harus berkaitan dengan permasalahan yang di dalam pabrik dan tidak boleh dilakukan diluar lokasi pabrik. Pengakuan ini adalah pembatasan bagi
buruh untul mengekspresikan kepentingan politik mereka.
51
Abdul Jalil, Teologi Buruh, h. 9.
38