Asymmetric Information Theory and Signaling Theory

menjadi dasar munculnya signaling theory dan agency theory.Signaling theory merupakan langkah-langkah manajemen dari perusahaan yang sebenarnya memberikan petunjuk secara implisit kepada investor tentang bagaimana yang menguntungkan akan menghindari emisi saham baru dan mengusahakan modal baru dengan cara-cara lain termasuk dengan penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang normal. Hal ini disebabkan karena dengan menerbitkan saham baru maka akan memberikan sinyal bahwa prospek perusahaan sedang kurang baik. Dampaknya akan terlihat dengan rendahnya harga saham pada waktu pertama kali dilakukan public offering. Brigham dan Houtson 2001 menyatakan bahwa sinyal adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan modal baru dengan cara-cara lain seperti dengan menggunakan hutang. Ross 1977 dalam Mega 2010 mengembangkan model struktur modal bahwa penggunaan hutang merupakan sinyal yang disampaikan oleh manajer ke pasar dengan harapan investor dapat menangkap sebagai sinyal positif. Jika manajer mempunyai keyakinan bahwa perusahaan memiliki prospek yang baik dan harga saham nilai perusahaan akan meningkat, serta ingin mengkomunikasikan hal tersebut ke investor, maka manajer dapat menggunakan hutang lebih banyak sebagai sinyal positif. Perusahaan yang meningkatkan hutang bisa dipandang oleh investor sebagai perusahaan yang yakin akan prospek perusahaan di masa mendatang. Pertimbangan dasarnya adalah penambahan hutang menyebabkan keterbatasan arus kas dan akan meningkatkan biaya modal sehingga manajer hanya akan menerbitkan hutang baru yang lebih banyak apabila mereka yakin perusahaan kelak dapat memenuhi kewajibannya, terkait biaya emisi penerbitan hutang lebih rendah dibandingkan biaya emisi penerbitan saham serta penggunaan hutang dapat mengurangi biaya pajak. Maka Investor dalam hal ini diharapkan dapat menangkap sinyal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik, dengan demikian hutang merupakan tanda atau sinyal positif.

2.5 Agency Theory

Teori agensi muncul setelah fenomena terpisahnya kepemilikan perusahaan antara pemegang modal dengan pengelola modal, khususnya pada perusahaan besar modern, sehingga teori perusahaan klasik tidak bisa lagi dijadikan dasar analisis. Pada teori perusahaan klasik, pemilik perusahaan yang berjiwa wiraswasta akan mengendalikan sendiri perusahaannya dan mengambil keputusan demi kehidupan perusahaan, sehingga yang diharapkan adalah maksimum profit sebagai syarat utama untuk bisa bertahan hidup dan berkembang. Agency Theory menjawab dengan menggambarkan hal-hal apa saja yang berpeluang akan terjadinya konflik, manakala pengelolaan perusahaan diserahkan kepada agen manajemen oleh pemegang saham dan bilamana agen menggunakan dana pinjaman dalam menjalankan usahanya, maka perbedaaan kepentingan akan di mulai. Sehingga konflik kepentingan akan terjadi baik antara pengelola dengan pemegang saham maupun antara pemegang saham dengan pemegang saham. Munculnya konflik tersebut pada saat kedua belah pihak mempunyai tujuan yang berbeda.Pemegang saham menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran pada pemilik modal, sedangkan manajer menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer.Oleh karena itu, maka munculah konflik kepentingan antara pemilik saham dengan manajer. Konflik kepentingan tersebut memicu terjadinya biaya agensi, dimana biaya agensi agency cost yang timbul dari konflik kepentingan antara pengelola perusahaan agency dengan pemegang saham principal berpotensi menimbulkan jenis biaya agensi sebagai berikut: 1. Biaya akibat ketidakefisienan pengelolaan yang dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan. 2. Biaya yang timbul akibat pilihan proyek yang tidak sama, pilihan tersebut dilakukan oleh pemegang saham karena risiko meruginya tinggi. 3. Biaya yang timbul karena dilakukannya kegiatan monitoring kerja dan prilaku agency oleh principal. 4. Biaya yang timbul karena dilakukannya pembatasan-pembatasan bagi kegiatan agency oleh principal. Van Horne dan John 1997 dalam Karinaputri 2012 menjelaskan bahwa biaya agensi merupakan biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk menyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditor dan pemegang saham. Oleh sebab itu, untuk dapat mengatasi agency problem dan meminimalisasi munculnya agency cost para memiliki saham dan manajer dapat melakukan institusional investor sebagai monitoring agents. Moh’d, et al 1998 dalam Putera 2006 menyatakan bahwa bentuk distribusi saham antara pemegang saham dari luar outside shareholders yaitu institusional investors dapat mengurangi agency cost. Kepemilikan mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen, maka penyebaran kekuasaan menjadi suatu hal yang relevan. Adanya kepemilikan oleh investor-investor institusional seperti bank, perusahaan asuransi, dan perusahaaninstitusi lainnya akan mendorong peningkatan pengawasan atas kinerja manajemen yang lebih optimal. Dengan demikian timbulnya institutional investors di dalam perusahaan akan mempengaruhi kebijakan hutang yang dikeluarkan.

2.6 Kepemilikan Institusional Institutional Investors

Kepemilikan Institusional merupakan kepemilikan saham oleh pihak institusi lain berbentuk perusahaan atau lembaga dan blockholder, di mana blockholder adalah kepemilikan saham oleh perseorangan dengan nilai diatas 5 dan tidak masuk dalam jajaran manajemen Ismiyanti dan Hanafi, 2003 dalam Soesetio 2008. Kepemilikan institusional yang besar juga dapat mengurangi pengaruh dari kepentingan-kepentingan lain dalam perusahaan seperti kepemilikan pemegang saham lainnya, manajer, ataupun debtholders.Kepemimpinan institusional memiliki pengawasan yang lebih kuat dibanding pemegang saham lainnya. Hal ini dapat dilihat dan diperkuat dengan teori keagenan agency theory dimana ketika terdapat banyak institutional investor, menandakan adanya suatu kontrol yang banyak dan kuat dari pihak