PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahan Bakar Fosil BBF berupa minyak bumi, batu bara, dan gas alam telah menjadi kebutuhan energi global terbesar. Konsumsi terhadap BBF tersebut
diperkirakan oleh Energy Information Administration bagian dari Departemen Energi AS akan meningkat 57 dari tahun 2002 hingga 2025. Padahal, di sisi
lain ternyata cadangan minyak sumber BBF semakin berkurang. Berdasarkan laporan dari Congressional Research Service CRS kepada Komisi Energi, jika
tidak ada perubahan pola konsumsi, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 30-50 tahun lagi Prihandana Hendroko 2007.
Berangkat dari hal tersebut, pemerintah di seluruh dunia menjadi semakin peduli pada upaya-upaya mengurangi penggunaan BBF. Salah satu alternatif yang
telah dilakukan adalah dengan menggunakan Bahan Bakar Nabati BBN sebagai pengganti BBF, yang sifatnya lebih terbarukan karena diproduksi dari tanaman.
BBN tersebut dapat dibagi menjadi biodiesel, bioetanol, biogas, dan biobriket. Biodiesel merupakan BBN yang diolah dari minyaklemak. Indonesia
sebagai negara agraris memiliki beberapa tanaman penghasil minyaklemak, misalnya tanaman sawit dan karet. Sawit dan karet selama ini telah menjadi
komoditas perkebunan unggulan dari Indonesia. Kedua komoditas tersebut menjadikan Indonesia sebagai tiga besar eksportir sawit dan karet ke pasar global.
Tahun 2011, Indonesia memproduksi 2,8 juta ton karettahun dengan luas areal 3,4 juta hektar Kementan 2011. Menurut Suparno et al. 2010, produksi
biji karet Indonesia adalah sebesar 1500 kghatahun, sehingga dapat dihitung potensi biji karet Indonesia tidak kurang dari 5,1 juta ton per tahun. Menurut
Soerawidjadja et al. 2005, biji karet mengandung 40-50 minyak, sehingga dapat dihitung potensi minyak biji karet Indonesia adalah sekitar 2,04 - 2,55 juta
ton per tahun. Namun, potensi minyak biji karet sebesar itu masih belum termanfaatkan secara maksimal.
Minyak biji karet mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 79,45 Abdullah Salimon 2009 sehingga jika diolah menjadi biodiesel akan
memiliki titik tuang dan titik kabut yang rendah, dan lebih mampu bertahan untuk
digunakan pada musim dingin. Namun, karena tingginya ester asam-asam lemak tidak jenuh yang dikandungnya, menyebabkan stabilitas oksidatif biodiesel biji
karet menjadi lebih rendah, serta bilangan iod-nya menjadi cukup tinggi di atas standar SNI Biodiesel Prihandana Hendroko 2007.
Selama ini kualitas biodiesel sawit telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh SNI Biodiesel SNI-04-7182-2006. Namun, permasalahan yang
dapat terjadi dalam pelaksanaan ekspor biodiesel sawit adalah titik kabut yang tidak sesuai jika biodiesel tersebut diekspor ke negara bermusim dingin. Berbeda
dengan minyak solar yang memiliki titik kabut mencapai -16
o
C hingga -31
o
C Dunn 2005, biodiesel sawit memiliki titik kabut sekitar 12
o
C dan titik tuang sekitar 8-9
o
C Sundaryono 2011; Aziz et al. 2011. Hal ini dapat mempengaruhi kelancaran aliran biodiesel sawit di dalam filter, pompa, dan injektor sehingga
akan menyulitkan dalam pengoperasian mesin di musim dingin Dunn 2005. Penurunan titik kabut biodiesel sawit dapat dilakukan dengan beberapa
metode, salah satunya melalui pencampuran dengan solar ataupun dengan biodiesel lain. Pencampuran biodiesel sawit dengan biodiesel biji karet diharapkan
dapat meningkatkan komposisi ester asam lemak tidak jenuh di dalam biodiesel sawit hasil pencampuran. Tingginya komposisi ester asam lemak tidak jenuh
berikatan rangkap akan membantu biodiesel sawit menjadi lebih tahan terhadap kristalisasi atau pemadatan pada suhu dingin. Hal ini berimbas pada penurunan
titik kabut biodiesel sawit. Selain itu, adanya perlakuan pencampuran juga akan membantu dalam meningkatkan stabilitas oksidatif maupun penurunan bilangan
iod biodiesel biji karet akibat meningkatnya jumlah ester asam-asam lemak jenuh yang diberikan dari biodiesel sawit.
Proses transesterifikasi pada prinsipnya adalah mereaksikan metanol dengan minyak dibantu dengan katalis basa sehingga terbentuk metil ester dan gliserol.
Menurut Wu et al. 2007, metanol, dan katalis basa berupa alkoksida maupun alkali bersifat tidak terlalu larut di dalam minyak dan laju reaksi transesterifikasi
hanya dibatasi pada daerah antar muka metanol-minyak. Oleh sebab itu, secara konvensional reaksi transesterifikasi membutuhkan agitasi mekanis menggunakan
pengaduk propeller maupun magnetic stirrer yang akan mengecilkan ukuran droplet
metanol maupun minyak. Semakin tinggi kecepatan putaran pengadukan,
semakin kecil ukuran droplet reaktan, sehingga meningkatkan jumlah area antar muka metanol-minyak Wu et al. 2007.
Metode konvensional menggunakan pengadukan mekanis umumnya memakan waktu cukup lama sekitar 1 jam dan sebenarnya dapat dipersingkat
dengan bantuan energi ultrasonik. Menurut Wu et al. 2007, gelombang ultrasonik yang dirambatkan pada cairan akan menimbulkan peregangan dan
pemampatan pada ruang antar cairan, yang selanjutnya akan menyebabkan terbentuknya gelembung mikro. Gelembung mikro bersifat sangat tidak stabil,
berumur sangat singkat kurang dari 1 x 10
-7
detik, dan ketika gelembung tersebut pecah, proses pecahnya gelembung mikro ini membantu mengecilkan
ukuran droplet metanol maupun droplet minyak menjadi lebih kecil 42 lebih kecil daripada droplet hasil metode pengadukan konvensional. Hal ini
menyebabkan jumlah area antar muka kedua fase reaktan metanol dan minyak bertambah banyak, sehingga membantu proses emulsifikasi dan transfer massa
yang sangat cepat di antara kedua reaktan tersebut Sampayo Javier 2005; Ji et al.
2006; Wu et al. 2007. Selanjutnya akan menyebabkan proses pembentukan metil ester biodiesel yang lebih cepat dibandingkan dengan metode
konvensional.
1.2. Tujuan Penelitian