pada penelitian ini hanya memungkinkan untuk melakukan sentrifugasi pada suhu 4
o
C. Walaupun kekentalan minyak tidak berkurang pada suhu tersebut, kekuatan gaya sentrifugal mampu menarik lendir gum dan air sehingga terpisah dari fase
minyak. Lendir gum dan air yang berada di bagian bawah tabung sentrifuse menyisakan minyak biji karet yang lebih bersih. Selain itu, proses sentrifugasi
pada suhu 4
o
C juga otomatis membersihkan minyak dari lemak-lemak jenuh yang memadat pada suhu tersebut. Rendemen minyak biji karet yang dihasilkan setelah
proses degumming dilanjutkan sentrifugasi adalah sebesar 80,06. Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Tazora 2011 yang
menghasilkan rendemen sebesar 83,44. Hal ini dimungkinkan karena penelitian ini menggunakan tahapan sentrifugasi yang memisahkan kotoran dan asam-asam
lemak jenuh lebih banyak dibandingkan Tazora 2011 yang tidak menggunakan metode sentrifugasi.
Kadar ALB minyak biji karet setelah dipisahkan fase gum dan disentrifugasi 10,96 sedikit meningkat bila dibandingkan dengan kadar ALB minyak
sebelum di-degumming 10,08. Menurut Ketaren 2008 degumming dilanjutkan sentrifugasi pada prinsipnya hanya bertujuan untuk memisahkan
gum dari minyak dan tidak mengurangi jumlah asam lemak bebas di dalam minyak. Adanya peningkatan sebesar 0,88 tersebut diperkirakan berasal dari
residu asam fosfat yang masih tertinggal pada proses degumming. Kadar ALB minyak biji karet setelah degumming pada penelitian ini tidak
berbeda jauh dengan hasil penelitian Tazora 2011, yang menghasilkan minyak biji karet setelah degumming dengan kadar ALB 13,01. Oleh karena karena
kadar ALB minyak biji karet yang dihasilkan 5, maka perlu dilakukan esterifikasi untuk menurunkan kadar ALB minyak biji karet tersebut, sebelum
dilakukan proses transesterifikasi menggunakan katalis basa.
4.2. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Katalis Homogen NaOH dan Katalis Heterogen CaO
Pengaruh kombinasi faktor waktu dan suhu kalsinasi pada katalis CaO ditetapkan pada faktor waktu kalsinasi selama 1 dan 2 jam, sedangkan suhu tanur
yang digunakan adalah sebesar 600
o
C, 700
o
C, 800
o
C, dan 900
o
C. Katalis CaO
yang telah dikalsinasi kemudian didinginkan dan digunakan untuk proses transesterifikasi metode konvensional pada olein sawit. Pertimbangan penggunaan
olein sawit dikarenakan terbatasnya jumlah minyak biji karet untuk penelitian ini. Hasil yang diperoleh dari tahap penelitian ini akan digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pemilihan katalis pada tahapan penelitian selanjutnya. Berdasarkan data pada Tabel 11, terlihat bahwa proses kalsinasi CaO hanya
berhasil memperoleh biodiesel pada kombinasi perlakuan kalsinasi 800
o
C dan 900
o
C selama 2 jam. Namun, biodiesel yang diperoleh mempunyai kelemahan masing-masing. Proses pencucian pada biodiesel yang diperoleh dari penggunaan
CaO kalsinasi 800
o
C selama 2 jam membentuk emulsi yang sangat kuat dengan air pencuci, sedangkan dari CaO kalsinasi 900
o
C 2 jam selain membentuk emulsi juga terdapat gumpalan putih yang cukup banyak ±20 g di bagian fase biodiesel.
Tabel 11
Hasil transesterifikasi olein sawit menggunakan katalis CaO
Perlakuan kalsinasi CaO Waktu Rendemen
600
o
C 1 jam
- 2 jam
-
700
o
C 1 jam
- 2 jam
-
800
o
C 1 jam
- 2 jam
81,32
900
o
C 1 jam
- 2 jam
63,13
kondisi transesterifikasi : 65
o
C, CaO 2,5 berat minyak, 2,5jam, rasio molar metanol : minyak = 28:1
Nazir 2011 melaporkan bahwa aktivasi kapur tohor CaCO
3
seperti yang digunakan pada penelitian ini menjadi CaO melalui proses kalsinasi
menggunakan tanur pada suhu tinggi akan meningkatkan kekuatan basa dan luas permukaan dari kapur tohor tersebut. Secara berturut-turut luas permukaan kapur
tohor CaCO
3
sebelum kalsinasi dan CaO setelah kalsinasi adalah sebesar 10 m
2
g dan 13 m
2
g sedangkan kekuatan basanya secara berturut-turut adalah sebesar 7,2-9,3 dan 15,0-18,4. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu
kalsinasi, akan semakin meningkatkan luas permukaan dan kekuatan basa dari CaO yang dihasilkan. Selain itu, kalsinasi akan menghilangkan pengotor mineral
pengganggu yang berupa oksida logam sehingga daya tukar ion dan daya adsorpsi menjadi optimal. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan sifat katalitik
dari CaO sehingga akan menyebabkan peningkatan pada rendemen biodiesel. Perlakuan kalsinasi pada suhu 600
o
C dan 700
o
C ternyata masih belum mampu untuk meningkatkan sifat katalitik CaO, begitupun pada perlakuan kalsinasi
800
o
C dan 900
o
C selama 1 jam. Hal ini dibuktikan dengan tidak terbentuknya biodiesel dari transesterifikasi menggunakan CaO hasil kalsinasi pada perlakuan
tersebut. Transesterifikasi olein sawit menggunakan CaO hasil kalsinasi 800
o
C selama 2 jam telah mampu menghasilkan biodiesel dengan rendemen sebesar
81,32. Ketika dilakukan pencucian, terjadi pembentukan emulsi antara biodiesel dengan air pencuci. Menurut Huaping et al. 2006, metode pencucian air untuk
memurnikan biodiesel yang disintesis menggunakan katalis CaO hanya mampu menghilangkan separuh ion kalsium. Ion kalsium yang masih tertinggal di dalam
biodiesel, bersama metanol akan membentuk anion metoksida, yang menyebabkan reaksi transesterifikasi belum terhenti dengan sempurna.
Transesterifikasi yang masih berlanjut, dan disertai dengan reaksi balik, akan membentuk ALB. Jika ALB ini beraksi dengan katalis yang masih tersisa, akan
menyebabkan terbentuknya sabun dan memicu terjadinya emulsi yang dapat mengurangi rendemen biodiesel.
Biodiesel yang dihasilkan dari penggunaan katalis CaO kalsinasi 900
o
C selama 2 jam selain membentuk emulsi pada saat dilakukan pencucian, juga
terdapat gumpalan putih yang cukup banyak. Gumpalan putih tersebut diperkirakan merupakan sisa katalis CaO hasil kalsinasi 900
o
C 2 jam yang sangat halus sehingga tidak ikut tersaring pada proses pemisahan CaO dari biodiesel
menggunakan pompa vakum. Katalis CaO hasil kalsinasi 900
o
C yang tidak ikut tersaring tersebut menyelimuti dan mengurung cairan biodiesel yang berada di
bagian bawah corong pemisah sehingga mengurangi rendemen yang dihasilkan. Hal ini dapat dihindari dengan menerapkan pemisahan menggunakan sentrifugasi
seperti yang dilakukan oleh Nazir 2011 sehingga CaO yang tersisa dapat terpisah secara sempurna dari fase biodiesel. Diharapkan hal ini akan
meningkatkan rendemen biodiesel yang dihasilkan. Konversi pereaksi menjadi produk sangat tergantung pada perpindahan fisik
pereaksi ke sisi aktif katalis, sedangkan kecepatan reaksi ditentukan oleh reaksi yang terjadi di permukaan dan adanya transfer massa. Katalis NaOH memiliki
fase yang sama dengan reaktan cair-cair dibandingkan katalis CaO cair-padat serta luas permukaannya lebih besar dibandingkan CaO, sehingga lebih mudah
bagi reaktan untuk berpindah dan kontak dengan katalis NaOH Singh 2008. Oleh sebab itu, konversi reaktan menjadi produk pada transesterifikasi
menggunakan katalis NaOH menjadi lebih tinggi. Rendemen biodiesel hasil transesterifikasi menggunakan katalis NaOH pada penelitian ini adalah sebesar
95.
4.3. Transesterifikasi Olein Sawit Menggunakan Ultrasonic Probe Instrument