36
undangan yang mengatur mekanisme dan pedoman prosedur penyediaan lahan untuk kepentingan umum.
5.1.2 Pembebasan Lahan
Setiap kegiatan pembangunan baik untuk kepentingan umum maupun bukan, akan menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup dan masyarakat.
Dampak ini dapat bersifat positif dapat juga negatif. Salah satu jenis kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang dikaji dalam penelitian ini adalah
pembangunan jaringan transmisi. Bagian dari kegiatan pembangunan jaringan transmisi yang menjadi fokus kajian adalah dampak dari kegiatan penyediaan
lahan yang memerlukan kegiatan pembebasan lahan.
Pembangunan jaringan transmisi merupakan salah satu bagian dari kerangka kebijakan pembangunan yang dibuat Pemerintah. Pembangunan ini ditujukan
untuk memberikan manfaat bagi masyarakat dalam hal penyediaan tenaga listrik, dan hingga saat ini manfaat tersebut telah terbukti dapat dirasakan oleh sebagian
besar masyarakat. Selain masyarakat yang memperoleh keuntungan dengan ketersediaan listrik yang memadai, terdapat juga beberapa masyarakat yang
menderita kerugian akibat pembangunan jaringan transmisi tersebut. Hal ini terlihat jelas pada saat kegiatan pengadaan lahan untuk pembangunan tower
transmisi, dimana sumberdaya lahan milik masyarakat diambil untuk kepentingan jaringan transmisi ini.
5.1.3 Permasalahan yang Timbul
Realisasi pembebasan lahan di areal studi telah tuntas dilakukan pada tahun 2011 dimana seluruh responden pemilik lahan telah menerima uang ganti rugi
tanah. Di atas lahan tersebut telah berdiri tower penyangga jaringan transmisi sebanyak 66 buah pada lintasan sepanjang 17,85 km yang membentang dari
Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor hingga Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Berdasarkan hasil penelitian ini
terdapat beberapa masalah yang muncul pasca pembebasan lahan tersebut, yaitu: kehilangan lahan tempat tinggal, kehilangan lahan pertanian, kehilangan mata
pencaharian, kehilangan pendapatan, dan munculnya konflik internal dalam keluarga pemilik lahan.
Setelah pembebasan lahan, responden mengalami penurunan luas pemilikan lahan rata-rata 84 m
2
. Kehilangan lahan terbesar dialami seorang responden dimana seluruh tanah yang dimilikinya seluas 353 m
2
terkena pembebasan lahan, sedangkan luas pembebasan lahan terkecil adalah 5 m
2
. Jika dibandingkan dengan luas pemilikan lahan sebelum pembebasan maka setelah pembebasan
responden kehilangan lahan rata-rata seluas 27,72 persen, dengan kehilangan terendah 2,00 persen dan tertinggi 100,00 persen. Data luas pemilikan lahan
sebelum dan sesudah pembebasan lahan serta perubahan luas pemilikan lahan setiap responden akibat pembebasan lahan disajikan pada Lampiran 1.
37
Dari hasil survei diperoleh rata-rata luas pemilikan awal 60 responden sebelum pembebasan lahan adalah 601 m
2
, dengan luas terendah 40 m
2
dan tertinggi 9.600 m
2
. Setelah pembebasan lahan, luas sisa pemilikan lahan rata-rata menjadi 517 m
2
, dengan luas terendah 0 m
2
dan tertinggi 9.387 m
2
. Jika dibandingkan dengan luas pemilikan lahan sebelum pembebasan, maka sisa lahan
rata-rata setelah pembebasan adalah 72,28 persen, terendah 0,00 persen dan tertinggi 98,00 persen. Gambaran luas lahan maksimum, rata-rata, dan minimum
antara sebelum dan sesudah pembebasan lahan disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Luas pemilikan lahan sebelum dan sesudah pembebasan Jika dilakukan pengelompokan responden berdasarkan luas pemilikan lahan
sebelum dan sesudah pembebasan lahan serta luas lahan terkena pembebasan maka dapat dilihat bahwa mayoritas responden terkena pembebasan lahan seluas
1-50 m
2
, yakni 30 responden 50,00 persen. Kehilangan lahan dengan ukuran demikian akan sangat berpengaruh terhadap pemilik lahan berukuran hingga 100
m
2
, bahkan hal ini menjadi penyebab pindahnya seorang responden yang memiliki lahan berukuran 40 m
2
. Kehilangan lahan terbesar dialami seorang responden yang terkena pembebasan berkisar antara 301 m
2
hingga 400 m
2
. Responden ini juga akhirnya pindah ke daerah lain akibat seluruh lahannya 353 m
2
terkena pembebasan. Pengelompokan responden berdasarkan luas lahan yang dibebaskan
disajikan pada Tabel 11.
38
Tabel 11 Jumlah responden menurut luas terkena pembebasan
No Luas lahan terkena
pembebasan Jumlah responden terkena
pembebasan lahan m
2
orang 1
1-50 30
50,00 2
51-100 13
21,67 3
101-150 4
6,67 4
151-200 8
13,33 5
201-250 3
5,00 6
251-300 1
1,67 7
301-350 -
0,00 8
351-400 1
1,67 Total
60 100,00
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah sandang, pangan dan kesehatan. Pentingnya rumah dapat dilihat dari fungsinya sebagai tempat tinggal,
tempat beristirahat, tempat berlindung dari hujan dan panas dan tempat berlangsungnya proses sosialisasi bagi semua anggota rumah tangga. Keberadaan
rumah dan fasilitasnya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan anggota rumah tangga sekaligus menunjukkan tingkat kesejahteraan penghuninya. Salah satu
indikator yang dapat mencerminkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan penghuninya adalah luas lantai bangunan rumah. Berdasarkan publikasi Statistik
Perumahan Hasil Sensus Penduduk 2012, ukuran luas lantai yang ideal digunakan per orang minimal adalah 9 m
2
. Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat dua responden yang menempati rumah dengan ukuran luas lantai rumah yang tidak
layak karena setelah pembebasan lahan, sisa lahan miliknya adalah masing- masing tinggal 39 m
2
dan 54 m
2
sementara jumlah anggota keluarga yang menempatinya adalah masing-masing sebanyak 5 dan 7 orang.
Sebagai dampak lain dari pembebasan lahan adalah hilangnya seluruh lahan milik dua responden untuk pembebasan. Semula dua responden ini memiliki
lahan seluas 40 m
2
dan 353 m
2
, namun karena seluruh lahannya terkena pembebasan, dua responden tersebut harus pindah ke tempat lain. Menurut Munif
2011 tanah merupakan tempat tinggal masyarakat beserta keluarga dan kerabatnya kemudian di tanah itulah mereka akan menghabiskan hidupnya.
Terdapat ikatan emosional antara masyarakat dengan tanah dimana mereka lahir dan tumbuh. Ketika masyarakat harus pindah ke daerah lain karena lahannya
digunakan untuk kepentingan umum atau pihak lainnya maka hal ini akan memberikan dampak psikologis kepada pemiliknya. Hal ini dialami oleh dua
orang responden tersebut di atas. Bagi responden pemilik lahan 353 m
2
yang
39
mendapatkan nilai ganti rugi yang relative besar sekitar 176,5 juta rupiah dapat dengan mudah mendapatkan lahan pengganti di daerah lain, namun sebaliknya
bagi responden pemilik lahan yang kecil berukuran 40 m
2
dengan nilai ganti rugi 17,2 juta rupiah mendapatkan kesulitan mencari tanah pengganti kediamannya.
Sebelum pembebasan lahan, mayoritas responden memanfaatkan lahannya sebagai pekarangan oleh 29 responden 48,33 persen, bangunan rumah oleh 19
responden 31,67 persen, dan kebun oleh 12 responden 20,00 persen. Pemanfataan lahan untuk kebun yang dilakukan oleh 12 responden tersebut
digunakan untuk melakukan usaha pertanian dengan menanam tanaman singkong, pepaya, jambu, nangka, dan pepaya. Selain itu, salah seorang responden
melakukan usaha ternak kambing di areal kebunnya. Setelah pembebasan lahan, pemanfaatan lahan untuk bangunan rumah dan pekarangan tidak berubah, namun
pada areal kebun terjadi perubahan peruntukan. Setelah pembebasan lahan, 3 dari 12 responden tersebut tidak lagi dapat memanfaatkan lahan kebunnya untuk
pertanian karena dibebaskan untuk tapak tower. Meskipun dari segi luas, penurunan absolut luas lahan pertanian akibat pembebasan lahan relative kecil
yakni sekitar 1.989 m
2
16,63 persen dari total keperluan lahan untuk jaringan transmisi 11.960 m
2
, namun hal ini dapat mengindikasikan bahwa secara perlahan kegiatan pembangunan jaringan transmisi menjadi salah satu kegiatan
penyebab berkurangnya luas lahan pertanian di daerah Bogor dan Depok. Hal ini relevan dengan pernyataan Sumaryanto 1994 bahwa alih fungsi lahan pertanian
di Jawa Barat menimbulkan dampak negatif dalam memproduksi hasil pertanian. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi dan nilainya, pendapatan usahatani
dan kesempatan kerja usahatani.
Pembebasan lahan menjadi salah satu penyebab hilangnya mata pencaharian masyarakat. Dalam penelitian ini, tiga responden kehilangan lahan miliknya
untuk bertani. Namun karena tidak memiliki keahlian dan keterampilan lain selain bertani maka ketiga responden ini tetap menjadi petani penggarap pada lahan
milik orang lain. Hal ini relevan dengan pernyataan Soekartawi 1990 bahwa umumnya petani tidak memiliki keahlian lain selain bertani, sehingga ketika
usaha bertani mereka berhenti, sulit untuk mendapatkan sumber mata pencaharian lainnya.
Kehilangan mata pencaharian utama juga dialami oleh satu responden pemilik usaha warung kelontong dan satu responden pemilik usaha warung makan
minum. Akibat lahannya terkena pembebasan kedua responden ini kehilangan pekerjaan utama sehingga salah seorang menjadi pengangguran dan seorang
lainnya bekerja serabutan. Hal ini kurang sejalan dengan pernyataan Suryana 2000 bahwa setelah pembebasan lahan jenis pekerjaan pemilik lahan menjadi
lebih beragam dibanding sebelumnya dan lebih mudah mendapatkan pekerjaan baru. Selain kedua responden tersebut terdapat dua responden lain yang memiliki
pekerjaan sampingan berupa usaha kontrakan rumah. Usaha tersebut hilang
40
setelah lahannya terkena pembebasan. Karena sifatnya sebagai usaha sampingan, kehilangan sumber mata pencaharian tersebut masih dapat teratasi dengan adanya
pekerjaan utama sebagai karyawan swasta dan pensiunan.
Hilangnya mata pencaharian beberapa responden akibat pembebasan lahan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tingkat pendapatan
responden tersebut. Hal ini sangat terasa bagi responden yang mengandalkan tanahnya sebagai usaha utama mencari nafkah. Dalam penelitian ini, seorang
responden terpaksa kehilangan penghasilan dari pekerjaan utamanya berupa usaha warung kelontong karena lahan tempatnya berusaha terkena pembebasan lahan.
Beruntung responden ini masih memiliki penghasilan lain dari pekerjaan sampingan sebagai pekerja serabutan untuk menopang hidup keluarganya. Selain
itu, terdapat seorang responden pensiunan PNS kehilangan penghasilan dari usaha kontrakan rumahnya akibat terkena pembebasan.
Berdasarkan hasil penelitian pasca pembebasan lahan, tidak diperoleh informasi terkait adanya konflik antara pemilik lahan dan Tim Pembebasan Lahan
ketika proses pembebasan berlangsung. Potensi konflik yang dikhawatirkan muncul pada proses pemberian uang ganti rugi adalah ketidakcocokan harga ganti
rugi, dan penyerahan uang ganti rugi kepada pihak yang tidak berhak. Pada kenyataannya dua faktor ini tidak terlihat menyebabkan konflik antara pemilik
dan tim pembebasan lahan. Konflik yang terjadi justru dalam internal keluarga beberap reponden pemilik lahan. Konflik ini diakui oleh tiga responden yang
mengalami konflik internal keluarga. Berdasarkan pengakuan responden, konflik terjadi ketika uang ganti rugi diterima dan dibagikan kepada anggota keluarga
pemilik lahan, dimana terdapat anggota keluarga yang tidak menyetujui komposisi pembagian uang ganti rugi di antara merekea. Pada kasus ini, lahan yang dimiliki
oleh tiga responden ini berstatus bukan milik pribadi akan tetapi masih merupakan milik orang tua atau mertua yang belum dibagikan kepada ahli waris. Seiring
dengan berjalannya waktu, adanya komunikasi intensif dan tumbuhnya rasa saling pengertian di antara para anggota keluarga, konflik internal tersebut akhirnya
reda. Saat ini, konflik internal tersebut sudah hilang menurut pengakuan tiga responden tersebut.
Menurut Warokka et al 2006 konflik lahan umumnya didahului dengan sengketa lahan yang tidak terselesaikan dengan baik. Untuk menghindari
sengketa, semua bagian dari prosedur pembebasan lahan harus dilakukan dengan benar. Beberapa tahapan penting yang harus dilakukan untuk menghindari
terjadinya sengketa lahan adalah: pembentukan tim pembebasan tanah, pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat, pengukuran tanah yang benar,
inventarisasi pemilik dan status kepemilikan tanah, penetapan nilai ganti rugi yang disepakati pemilik lahan dan pembeli, dan penyerahan uang ganti rugi
kepada pihak yang betul-betul berhak. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan untuk pembangunan jaringan transmisi ini, nampaknya telah melakukan
41
mekanisme dan prosedur pembebasan yang benar sehingga tidak terjadi konflik antara pemilik dan pembeli lahan.
5.1.4 Dampak Sosial Pembebasan Lahan