12
akibat kebijakan tersebut. Metode Kaldor-Hicks biasanya digunakan sebagai tes terhadap efisiensi Pareto, bukan ditujukan sebagai suatu standar efisiensi sendiri.
Mereka digunakan untuk menentukan apakah suatu kegiatan ekonomi bergerak ke arah Efisiensi Pareto. Setiap perubahan biasanya membuat beberapa orang merasa
lebih baik sementara membuat orang lain lebih buruk, jadi tes ini menanyakan apa yang akan terjadi jika para pemenang memberikan kompensasi kepada yang kalah
dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan.
Dalam Efisiensi Pareto kondisi superior, suatu hasil lebih efisien jika setidaknya satu orang dibuat lebih baik dan tidak ada yang dibuat lebih buruk,
namun dalam prakteknya, hampir mustahil untuk mengambil sebuah kebijakan pembangunan tanpa membuat dari setidaknya satu orang lebih buruk, bahkan
pertukaran sukarela voluntary exchange sekalipun. Namun, pertukaran sukarela tidak akan menciptakan Superioritas Pareto jika ada biaya eksternal seperti polusi
yang merugikan pihak ketiga, sebagaimana sering terjadi saat ini.
Menurut Kaldor-Hicks, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara para pelaku ekonomi dapat diperoleh dengan
jalan pendistribusian kembali redistribusi pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus lumpsum tax atau subsidi. Dengan
demikian menurut Kaldor-Hicks, pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan. Selain itu, suatu perubahan dapat dikatakan sebagai kemajuan, jika
pelaku ekonomi yang akan dirugikan dari perubahan tersebut harus mau menerima ganti rugi dari pelaku ekonomi yang diuntungkan. Ganti rugi pada
kriteria Kaldor-Hicks adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran kompensasi yang aktual kita perlu menggunakan
pertimbangan nilai value judgement untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik dengan adanya perubahan.
2.3 Faktor Penentu Nilai Harga Lahan
Pembangunan jaringan transmisi sebagai salah satu infrastruktur kelistrikan merupakan bentuk pemenuhan kepentingan umum yang perlu didukung semua
pihak, mulai dari aspek perencanaan, pembebasan lahan, konstruksi hingga operasinya. Karena ditujukan untuk kepentingan umum maka proses pembebasan
lahan untuk jaringan transmisi mendapat dukungan kebijakan peraturan perundangan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian dirubah menjadi
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.
Dalam proses pembebasan lahan untuk penempatan tapak tower jaringan transmisi, pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi lahan beserta bangunan dan
tanaman yang ada di atasnya. Sebagai konsekwensinya, hak pemilikan tanah
13
beralih dari pemilik lahan kepada pembeli atau pengguna lahan. Besarnya nilai ganti rugi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan pemilik
tanah serta berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penilaian harga tanah dilakukan berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak NJOP atau nilai nyata sebenarnya
dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan. Nilai nyata sebenarnya disebut juga sebagai nilai pasar tanah, dapat berpedoman pada variabel: lokasi dan letak tanah,
status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, sarana
dan prasarana yang tersedia, dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah Pasal 28. Selanjutnya hasil penilaian harga tanah tersebut dipergunakan sebagai
dasar musyawarah antara instansi yang memerlukan tanah dengan para pemilik Pasal 30. Informasi harga NJOP tanah, bangunan dan tanaman yang berada di
atas tanah tersebut dapat diperoleh dari Pemerintah Daerah setempat. Pada penerapannya di lapangan, kebijakan jumlah harga ganti rugi lahan yang
diterapkan PT. PLN adalah bahwa harga ganti rugi lahan per m
2
merupakan separuh dari penjumlahan harga NJOP dan harga pasar lahan, atau dengan rumus
sebagai berikut:
Harga Ganti Rugi = 0,5 x NJOP + Harga Pasar
Berbeda dengan tanah yang dibebaskan di bawah tapak tower, tanah yang berada di bawah ruang bebas jaringan transmisi tidak dibebaskan namun pemilik
lahan mendapat kompensasi yang mana dari segi hak kepemilikan dan harga, berbeda dengan ganti rugi. Pemilik lahan yang memperoleh kompensasi tidak
perlu menyerahkan hak pemilikan lahannya kepada pengguna lahan, karena tidak terjadi peralihan hak kepemilikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi
Sumberdaya Mineral Nomor 38 Tahun 2013, pengertian kompensasi merujuk kepada pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan
ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Berdasarkan formulasi kompensasi dalam peraturan tersebut, besarnya nilai
kompensasi tanah bangunan ditetapkan sebesar 15 persen dari luas tanah bangunan dan nilai pasar dari tanah bangunan tersebut. Adapun nilai kompensasi
tanaman ditetapkan sebesar nilai pasar tanaman tersebut. Sebagai salah satu acuan dalam menetapkan nilai pasar bangunan atau tanaman tersebut, beberapa
kabupaten kota telah memiliki daftar harga bangunan atau tanaman yang dikeluarkan sebagai peraturan daerah oleh instansi terkait di bidang pertanian atau
pekerjaan umum di daerah tersebut.
14
Penilaian atas lahan didasarkan pada kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya. Teori
mengenai nilai lahan pertama kali dicetuskan oleh David Ricardo, kemudian selanjutnya dikembangkan oleh Von Thunen. Dalam teorinya, Ricardo merujuk
pada sewa lahan land rent dimana perbedaan nilai lahan dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah terutama di sektor pertanian. Dalam analisis David
Ricardo, terdapat asumsi bahwa pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya tanah yang subur dan berlimpah. Menurutnya, sewa lahan ditentukan
bedasarkan perbedaan dalam kualitas tanah hanya melihat faktor kemampuan tanah untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi tanah Ricardo
dalam Suparmoko, 1989
Dalam teori tentang sewa tanah Ricardo menjelaskan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Ada yang subur, kurang subur hingga tidak subur sama sekali.
Tanah yang subur memiliki produktivitas yang lebih tinggi; dalam menghasilkan satu satuan unit produksi memerlukan biaya produksi yang lebih rendah pula.
Makin rendah tingkat kesuburan tanah, makin tinggi pula biaya yang diperlukan untuk mengolah tanah tersebut. Makin tinggi biaya produksi dengan sendirinya
keuntungan per hektar tanah menjadi semakin kecil pula. Dengan memperhitungkan faktor biaya produksi, maka adalah wajar jika sewa tanah yang
lebih subur lebih tinggi dibanding tanah yang kurang subur apalagi yang tidak subur Ricardo dalam Suparmoko, 1989. Menurut Ricardo, sewa tanah timbul
karena keterbatasan kekurangan tanah. Teori sewa tanah Ricardo dikenal dengan Teori Sewa Tanah Diferensial. Teori ini menyatakan bahwa pada tahap
awal orang akan menggunakan tanah yang subur, dan karena keterbatasannya maka selanjutnya akan menggunakan tanah yang kurang subur. Masing-masing
memiliki sewa tanah yang berbeda-beda. Sewa tanah adalah ganti rugi yang harus dibayar kepada pemilik tanah untuk pemakaian dan pemanfaatan tanah tersebut
Ricardo dalam Suparmoko, 1989.
Berdasarkan teori nilai lahan yang dikembangkan oleh Von Thunen menyatakan bahwa selain faktor kemampuan tanah, pola penggunaan lahan sangat
ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan dengan jarak dan sifat barang dagangan khususnya hasil pertanian. Nilai sewa tanah berkaitan dengan perlunya
biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar. Pengaruh biaya transport kaitannya dengan perpindahan produk dari berbagai lokasi ke pasar terhadap sewa
tanah. Semakin jauh jarak lokasi tanah dari pasar, akan menyebabkan semakin tinggi biaya transportas Von Thunen dalam Djojo, 1992.
Penggunaan sumberdaya tanah pada umumnya ditentukan oleh kemampuan tanah, khususnya untuk pertanian dan oleh lokasi ekonomi yaitu jarak sumberdaya
tanah dari pusat pasar, misalnya untuk penggunaan daerah industri, pemukiman, perdagangan atau rekreasi. Penggunaan tanah yang paling besar adalah untuk
aktivitas pertanian, yang meliputi penggunaan untuk pertanian tanaman pangan,
15
pertanian tanaman keras, untuk kehutanan maupun untuk ladang pengembalaan dan perikanan. Tanah memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda.
Dalam teori ekonomi sumberdaya tanah, sewa tanah merupakan salah satu konsep penting, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: sewa tanah
contract rent sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik melalui kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu; dan keuntungan usaha economic rent atau
land rent yang merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam
proses produksi. Sewa tanah land rent secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu kelebihan nilai produksi total di atas biaya total.
Salah satu cara dalam menentukan nilai atau faktor produksi tanah adalah dengan menggunakan konsep economic rent, yaitu perbedaan nilai produk yang
dihasilkan oleh tanah tersebut dikurangi dengan seluruh biaya produksi tidak termasuk pajak atau royalti, dan pungutan lainnya serta laba yang layak yang
harus diterima oleh pengusaha. Faktor-faktor yang menentukan harga tanah dipengaruhi oleh: kegunaan dan kepuasan utility, kelangkaan scarcity,
permintaan demand, dan kemudahan untuk dipindahkan transferability.
2.4 Dampak Pembebasan Lahan Terhadap Petani