Sengketa Lahan pada Pembebasan Lahan

16 memiliki pendapatan lain dari luar pekerjaan bertani jauh lebih tinggi dibanding petani yang semata-mata hanya mengandalkan pendapatan dari bertani saja. Tingkat ketimpangan pendapatan petani tanpa pendapatan di luar pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan ketimpangan pendapatan petani yang telah memasukkan pendapatan dari luar pertanian. Dalam sebuah penelitian terhadap petani miskin di dataran tinggi Kabupaten Kapahiang Provinsi Bengkulu, Bahrin, et al. 2008 mendapatkan bahwa luas pemilikan lahan tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat pendapatan rumah tangga petani, demikian pula sebaliknya. Menurutnya lagi, rendahnya produktifitas lahan petani disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang belum optimal, harga jual produk usaha tani khususnya sektor tanaman pangan tidak sebanding dengan harga produk industri yang sudah menjadi kebutuhan rumah tangga petani, jebakan kemiskinan seringkali membuat kemampuan sumberdaya keluarga terpecah tidak terfokus secara penuh pada upaya pemanfaatan lahan milik sendiri melainkan harus dibagi untuk menjadi buruh tani harian guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan rendahnya kemampuan dalam melihat peluang dan potensi yang ada yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan produktiftas dan pendapatannya. Penelitian dampak pembebasan lahan terhadap aspek lainnya juga telah dilakukan oleh Sumaryanto 1994. Dalam hasil penelitiannya di Jawa Timur dan Jawa Barat, mereka mendapatkan bahwa alih fungsi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif terutama dalam memproduksi hasil pertanian yang terkonversi. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi dan nilainya, pendapatan usahatani dan kesempatan kerja usahatani. Namun demikian, diakui bahwa selain mengakibatkan kerugian, alih fungsi lahan juga memberikan beberapa manfaat berupa pertambahan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan pengembangan ekonomi wilayah. Adanya dampak positif alih fungsi lahan juga dinyatakan oleh Irawan et al. 2000. Menurutnya, petani yang mendapatkan uang ganti rugi lahan sawah yang dijualnya mampu membeli sawah baru yang lebih luas. Selain itu, terjadi perubahan kualitas hidup petani melalui penggunaan uang ganti rugi yang diperolehnya untuk melakukan perbaikan rumah tinggal. Terlihat juga adanya pertambahan aset non tanah atau tabungan serta peningkatan sumberdaya manusia berupa pengalokasian uang hasil penjualan tanah untuk biaya pendidikan anak.

2.5 Sengketa Lahan pada Pembebasan Lahan

Menurut Soimin 2001, pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat di antara pemegang hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik indonesia Nomor 38 tahun 2013, ganti rugi tanah yang diberikan pada saat pembebasan tanah untuk pembangunan ketenagalistrikan 17 menyebabkan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dari pemilik lahan kepada pengusaha ketenagalistrikan sebagai pembeli lahan. Dalam proses pembebasan lahan rakyat sering menjadi korban para penguasa. Rakyat seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan penetapan terutama menyangkut nilai ganti rugi tanah dan prosedur pembebasan lahan. Pada umumnya masyarakat hanya diberi pengarahan satu arah yang harus diterima dengan penuh kepatuhan. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan, rakyat seringkali dibodohi dan diberi janji menggiurkan sehingga pada akhirnya mereka merasa kecewa dan merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan semacam ini tidak ditangani dengan baik dan tidak mendapat perhatian yang serius pada gilirannya akan menimbulkan konflik lahan Munif, 2011. Konflik lahan umumnya didahului oleh terjadinya sengketa lahan yang tidak terselesaikan dengan baik. Untuk menghindari sengketa, semua bagian dari prosedur pembebasan lahan harus dilakukan dengan benar. Beberapa tahapan penting yang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa lahan disebutkan oleh Warokka et al 2006, yaitu berupa: pembentukan tim pembebasan tanah, pemberian sosialisasi kepada masyarakat, pengukuran tanah, inventarisasi kepemilikan hingga pembayaran ganti rugi. Banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi baik antara pribadi maupun kelompok semakin menguatkan arti betapa tingginya nilai ekonomis dari tanah sebagai salah satu sumberdaya alam dan faktor produksi. Disamping itu juga semakin menguatkan betapa potensialnya tanah sebagai pemicu munculnya konflik. Untuk menghindari sengketa tanah, proses pembebasan tanah harus melewati seluruh tahapan pembebasan yang ditempuh dengan cara musyawarah dan tidak manipulatif. Pembebasan tanah tidak hanya sebatas mengalihkan hak kepemilikan atas tanah, khususnya bagi proyek-proyek untuk kepentingan pemerintah, namun harus juga memikirkan nasib para pemilik lahan terkait kepastian tempat tinggal mereka setelah itu Warokka et al, 2006. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Warokka et al 2006 terhadap proses pembebasan tanah untuk pembangunan Bandar Udara Kuala Namu di Deli Serdang ditemukan kasus sengketa lahan dimana beberapa warga menolak menjual dan menyerahkan lahannya kepada Pemerintah yang diwakili PT. Angkasa Pura. Belajar dari kasus tersebut, Warokka et al menyarankan diperketatnya pengawasan terhadap pendataan terhadap: masyarakat yang mengusahakan tanah penggarap, pemilik hak guna usaha, dan pemukim liar sehingga apabila terjadi pembebasan tanah status tanah yang akan mendapat ganti rugi sudah jelas dan tidak tumpang tindih. Selain itu, instansi pertanahan terkait seperti Badan Pertanahan Nasional perlu memetakan dengan benar lokasi tanah yang bermasalah maupun tidak. Masyarakat perlu dipermudah dalam pengurusan 18 surat sertifikat tanah sehingga bukti kepemilikan lebih kuat secara hukum, dan masyarakat tidak dibebankan dengan biaya-biaya lain di luar biaya yang sudah ditetapkan oleh negara. Sering terjadi kepentingan umum dijadikan alasan untuk menekan pemilik lahan untuk membebaskan lahannya secara mudah dengan harga murah di bawah harga pasaran tanah. Tidak jarang terjadi perlakuan sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat pemilik lahan. Untuk menghindari hal ini, pemilik lahan perlu mendapatkan perlindungan hukum sebagai pemegang hak atas tanahnya. Jika di kemudian hari ternyata tanah yang dibebaskan terbukti bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan atau pihak lainnya maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah. Dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan hal tersebut Munif, 2011. Akibat kegiatan pembebasan lahan yang berlangsung cukup masif saat ini terjadi perubahan pola penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Sebagai contoh di Pulau Jawa, pada periode 1999-2002 telah terjadi konversi lahan pertanian hingga lebih dari 150.000 hektar menjadi areal pemukiman, industri dan lahan non pertanian lainnya, dengan tingkat konversi tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Barat. Akibat konversi lahan tersebut menyebabkan jumlah petani gurem dan petani tidak memiliki tanah semakin meningkat dari tahun ke tahun Suryaman, 2005.

2.6 Penelitian Terdahulu yang Relevan