Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat.

(1)

TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

ARIFIN MUHTAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalm teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Arifin Muhtar NIM PO52110324


(3)

RINGKASAN

ARIFIN MUHTAR. Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan HARIYADI.

Pembangunan jaringan transmisi diperlukan untuk meningkatkan distribusi ketersediaan tenaga listrik. Kegiatan ini membutuhkan lahan untuk pembangunan pondasi tower, oleh karena itu perlu dilakukan pembebasan lahan pada area terkena tower. Dalam pembangunan SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak yang melintasi lima desa dan tujuh kelurahan di lima kecamatan dalam Kota Depok, Kabupaten Bogor dan Kota Bogor, lahan milik masyarakat yang dibebaskan adalah seluas 8.690 m2 dengan jumlah pemilik sebanyak 94 orang.

Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji permasalahan yang timbul akibat kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur transmisi; mengkaji perubahan jenis mata pencaharian pemilik lahan dan tingkat penghasilan dengan beralihnya hak pemilikan lahan dari pemilik lahan kepada pemrakarsa pembangunan jaringan transmisi, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan milik masyarakat, dan mengkaji alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan kegiatan pembebasan lahan.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei dan wawancara terhadap 60 responden pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan. Analisis data perubahan jenis mata pencaharian dan pengkajian alternatif solusi dampak pembebasan lahan dilakukan dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Kajian perubahan tingkat penghasilan dilakukan dengan loos of earnings, sedangkan kajian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga ganti rugi lahan menggunakan regresi linear berganda.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pembebasan lahan sebagai bagian dari pembangunan jaringan transmisi menyebabkan munculnya berbagai masalah, yaitu: menyebabkan hilangnya tempat tinggal bagi 3,33 persen responden sehingga harus direlokasi ke daerah lain, menyebabkan hilangnya 16,63 persen lahan pertanian masyarakat yang terkena pembangunan tower jaringan transmisi, dan menyebabkan terjadinya konflik dalam internal keluarga sebesar 5,00 persen responden dalam hal pembagian uang ganti rugi yang diterima. Perubahan jenis mata pencaharian akibat pembebasan lahan dialami oleh responden yang menjadikan lahan sebagai modal utama usahannya, yaitu petani (6,67 persen), pemilik usaha warung kelontong dan warung makan minum (3,33 persen), serta pemilik usaha kontrakan rumah (3,33 persen). Perubahan jenis mata pencaharian ini menyebabkan kehilangan penghasilan terhadap 26,67 persen responden, dengan total kehilangan penghasilan sebesar Rp. 6.605.000,- per bulan


(4)

atau rata-rata sebesar Rp. 412.813 per bulan per responden. Model ganti rugi lahan yang terkena jaringan transmisi memiliki R-Square (adj) sebesar 73.9 persen, dengan faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi adalah: NJOP tanah, harga pasar tanah, dan luas pemilikan tanah responden, dengan tingkat signifikansi masing-masing 0,000. Hasil uji asumsi klasik membuktikan bahwa model regresi yang dibangun sesuai dengan kaidah ekonometrika adalah baik tanpa ada autokorelasi, multikolinierisasi, heteroskedastisitas, juga data tersebar secara normal. Untuk meminimalkan dampak pembebasan lahan perlu diperhatikan tentang bagaimana kelanjutan usaha ekonomi masyarakat yang mengandalkan tanah sebagai modal utama usahanya dan bagaimana nilai ganti rugi yang ditetapkan harus memenuhi aspek ketaatan kepada perundang-undangan dan musyawarah dengan masyarakat pemilik lahan.

Kata kunci: pembebasan lahan, jaringan transmisi, perubahan mata pencaharian, kehilangan penghasilan


(5)

SUMMARY

ARIFIN MUHTAR. Impact Assessment on Land Acquisition of Transmission Line Development toward Socio-economic Conditions of Society. Supervised by EKA INTAN KUMALA PUTRI and HARIYADI.

Development of transmission line are needed to improve the availability of electric power distribution. This development require land for the tower foundation construction, therefore it is necessary for land acquisition in the affected area tower. The 150 kV Depok-Kedung Badak Transmission Line crosses 12 villages in 5 districts in from Depok regency to and Bogor regency, and 8.690 m2 land area owned by 94 people. The objectives of study were to analyze: problems caused by land acquisition; the changes of livehood and income caused by land acquisition; factors affected price of land compensation; and to analyze alternatives solution to minimize impact of land acquisition.

Data used in this study are primary and secondary data. Primary data was collected through survey and interview 60 respondents landowners affected by land acquisition. The data analysis of livelihood changes and alternative solutions to minimize land acquisition impact are using qualitative descriptive. The loss of income is used to analyze decreasing of income caused by land acquisitoned. The multiple linear regression is used to see factors that influenced the price of land compensation.

The result of study showed that the transmission lines development the emergencing of various problems, namely: (a) land acquisition is causing the loss of home for 3,33 percent of respondents that had to be relocated to other areas, (b) land acquisition is causing the loss of 16,63 percent agricultural land owned by community that affected by the transmission line, (c) land acquisition is causing internal conflict within the family of 5.00 percent respondents in terms of the distribution of compensation money received. The land acquisition causes change of livelihood of farmers (6,67 percent), owners of grocery shop and drink stalls business (3.33 percent), and business owners of rental house (3,33 percent). This causes loss of earning for 26.67 percent respondent, with the total loss of earnings of IDR 6,605,000 per month or an average of IDR 412,813 per month per respondent. The regression model of land compensation price has R-Square (adj) 73,9 percent, with the factors that significantly affect the value of land compensation are: NJOP land, market price of the land, and the size area of respondents landholding, with a significance level of each respectively 0,000. The result of classical assumption test proves that the regression model is built in accordance with the rules of econometrics is good with no autocorrelation, no multicollinieraty, no heteroscedasticity, and the data is also distributed normally.


(6)

To minimize the land acquisitioned impact should be noted about how the continuation of economic enterprise communities that rely on land as the main capital of the business, and how the compensation value specified must meet the aspect of obedience to the law and agreement with the land owners.

Key words: land acquisition, transmission line, change of livelihood, loss of earnings


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

KAJIAN DAMPAK PEMBEBASAN LAHAN

PEMBANGUNAN JARINGAN TRANSMISI LISTRIK

TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

ARIFIN MUHTAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr


(10)

Judul Tesis : Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Nama : Arifin Muhtar

NIM : PO52110324

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi Ketua

Dr Ir Hariyadi, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(11)

PRAKATA

Dengan mengucap syukur alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi Listrik Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Tema tesis ini dilatarbelakangi dan dipilih setelah penulis ikut menjadi penyusun dalam beberapa studi analisis dampak lingkungan hidup dimana kegiatan pembebasan lahan hampir selalu menjadi dampak penting dalam setiap kajian dampak lingkungan kegiatan pembangunan baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta. Meski menyebutkan sebuah BUMN sebagai subyek pelaksana pembebasan lahan dalam tesis ini namun penulis tidak memiliki kaitan dan kerjasama dengan BUMN tersebut baik dalam proses penelitian hingga penulisan tesis ini. Penelitian ini murni dibiayai secara pribadi oleh penulis.

Dalam penulisan tesis ini penulis sangat berterima kasih kepada komisi pembimbing yaitu: Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Hariyadi, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang selama ini dengan penuh kesabaran telah memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis, juga terima kasih kepada Ketua Program Studi PSL IPB Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf Sekretariat PSL IPB Nur Sulianti dan Herlin yang banyak membantu, serta manajemen Arthayu Group yang telah memberikan dukungan penuh dalam penyelesaian tesis ini. Tidak lupa juga kepada yang tercinta Ayu, Amiral, Jeanan, Nayla dan Kareemah, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, kesabaran dan doanya dalam proses penelitian dan penyusun tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Oktober 2015


(12)

DAFTAR ISI

Daftar Tabel ... xiii

Daftar Gambar ... xiv

Daftar Lampiran ... xiv

1. Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 2

1.3 Perumusan Masalah ... ... ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Hipotesis Penelitian ... 7

1.7 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

2. Tinjauan Pustaka ... 9

2.1 Kedudukan dan Arti Penting Lahan ... 9

2.2 Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Lahan ... 9

2.3 Faktor Penentu Nilai Harga Lahan ... 12

2.4 Dampak Pembebasan Lahan Terhadap Petani ... 15

2.5 Sengketa Lahan pada Pembebasan Lahan ... 16

2.6 Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 18

3. Metode Penelitian ... 21

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 21

3.3 Metode Pengambilan Data dan Sampel ... 21

3.4 Metoda Analisis Data ... 23

4. Gambaran Umum Lokasi ... 25

4.1 Gambaran Lokasi Jaringan Transmisi ... 25

4.2 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 27


(13)

5. Hasil dan Pembahasan ... 34

5.1 Permasalahan Pasca Pembebasan Lahan ... 34

5.2 Perubahan Jenis Mata Pencaharian dan Tingkat Penghasilan ... 42

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Ganti Rugi Lahan ... 48

5.4 Alternatif Solusi Dampak Pembebasan Lahan ... 56

6. Kesimpulan dan Saran ... 59

6.1 Kesimpulan ... 59

6.2 Saran ... 59

Daftar Pustaka ... 61


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Matriks hasil penelitian terdahulu yang relevan ... 19

Tabel 2 Matriks metode penelitian ... 22

Tabel 3 Jumlah dan luas tapak tower serta luas pembebasan lahan ... 25

Tabel 4 Struktur kependudukan daerah penelitian ... 28

Tabel 5 Tingkat pendidikan masyarakat daerah penelitian ... 29

Tabel 6 Jenis mata pencaharian masyarakat daerah penelitian ... 30

Tabel 7 Karakteristik responden terkena pembebasan lahan ... 31

Tabel 8 Jenis mata pencaharian responden setelah pembebasan lahan .. 32

Tabel 9 Kebutuhan dan ketersediaan lahan untuk jaringan transmisi ... 34

Tabel 10 Data pemilik lahan sebelum dibebaskan (tahun 2011) ... 35

Tabel 11 Jumlah responden menurut luas terkena pembebasan ... 38

Tabel 12 Perubahan jenis mata pencaharian setelah pembebasan lahan .. 42

Tabel 13 Kehilangan penghasilan responden akibat pembebasan lahan .. 46

Tabel 14 Harga ganti rugi lahan yang diperoleh responden ... 50

Tabel 15 Kisaran harga ganti rugi, NJOP dan harga pasar tanah ... 51

Tabel 16 Pengaruh variabel bebas terhadap variabel respon ... 52

Tabel 17 ANOVA Regresi ... 52

Tabel 18 Hasil Uji Normalitas Kolmogorv-Smirnov ... 53

Tabel 19 Hasil Uji Multikolinieritas ... 54


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ... 3

Gambar 2 Peta lokasi daerah penelitian ... 26

Gambar 3 Luas pemilikan lahan sebelum dan sesudah pembebasan... 37

Gambar 4 Perubahan mata pencaharian setelah pembebasan lahan ... 43

Gambar 5 Skema proses pembebasan lahan jaringan transmisi ... 49

Gambar 6 Normal Q-Q Plot of Unstandarized Residual ... 53

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perubahan luas pemilikan lahan responden ... 65

Lampiran 2 Jenis mata pencaharian responden sebelum dan sesudah pembebasan lahan ... 67

Lampiran 3 Penghasilan responden sebelum dan sesudah pembebasan lahan ... 71

Lampiran 4 Data variabel bebas untuk analisis regresi ... 75

Lampiran 5 Hasil Uji Regresi Linear dan Uji Asumsi Klasik ... 79


(16)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyediaan energi listrik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat disamping pemenuhan prasarana kehidupan lainnya seperti air bersih, perumahan yang sehat, layanan kesehatan serta pendidikan dan lain-lain. Untuk itu perlu dilakukan pembangunan infrastruktur pembangkit tenaga listrik yang cukup beserta jaringan transmisi untuk mendistribusikannya.

Pemerintah Republik Indonesia melalui program Nawa Cita akan membangun sumber tenaga listrik sebesar 35.000 MW selama periode 2014-2019. Dalam rangka mengimplementasikan program tersebut, PT. PLN (Persero) sebagai badan usaha milik negara yang ditunjuk Pemerintah untuk menangani penyediaan energi listrik nasional telah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero). Dalam rencana tersebut, selama periode 2014-2019 pembangkit listrik yang akan dibangun PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik Pulau Jawa dan Bali adalah 3.624 MW sedangkan jaringan transmisi adalah sepanjang 10.209 km (PT. PLN, 2013). Salah satu dari program tersebut adalah pembangunan jaringan transmisi listrik bertegangan 150 kV sepanjang 17,85 km yang melintas dari Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok hingga Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor. Jaringan transmisi ini melintasi lima desa, tujuh kelurahan, lima kecamatan, satu kabupaten dan dua kota.

Dalam rangka pembangunan jaringan transmisi dibutuhkan lahan untuk penempatan pondasi tower. Pemenuhan kebutuhan lahan tersebut ditempuh melalui pembebasan lahan milik masyarakat. Luas areal yang diperlukan untuk pondasi tower tergantung kepada jumlah tower dan panjang jaringan transmisi yang dibangun. Luas ini menentukan luas pembebasan lahan yang dilakukan. Areal lahan yang akan dibebaskan untuk tapak tower tersebar dalam bentuk kavling-kavling pada jarak tertentu di sepanjang jalur jaringan transmisi. Pembebasan lahan ini berpotensi menimbulkan dampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat, dan besarnya dampak dipengaruhi oleh luas lahan yang dibebaskan dan seberapa penting lahan tersebut dalam kehidupan pemilik lahan. Beberapa jenis dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan pembebasan lahan dan menjadi topik yang dikaji dalam tesis ini adalah: perubahan luas pemilikan lahan, perubahan jenis mata pencaharian, perubahan tingkat penghasilan, dan munculnya persepsi positif atau negatif masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan.

Menurut Bahrin et al (2008), pada beberapa kasus pembebasan lahan di Pulau Jawa, beralihnya kepemilikan lahan akibat pembebasan telah menjadi salah satu sebab hilangnya mata pencaharian masyarakat. Hal ini selanjutnya


(17)

menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat. Di perdesaan, lahan merupakan modal utama dalam bekerja mencari nafkah, dengan ketiadaan lahan atau sempitnya pemilikan dan penguasaan lahan dapat menjadi awal mula terjadinya kemiskinan masyarakat. Pentingnya tanah bagi petani juga dinyatakan oleh Soekartawi (1990). Tanah merupakan modal hidup utama dalam mengusahakan pertanian untuk menjamin kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Tanpa tanah seseorang tidak dapat melakukan usahatani. Berkurangnya luas areal pertanian akan berdampak terhadap kehidupan petani terkait luas pemilikan tanah, jenis pekerjaan, pendapatan keluarga, dan aspek sosial lainnya.

Pada kegiatan pembebasan lahan seringkali menyebabkan konflik antara masyarakat pemilik lahan dan pihak pengguna lahan, tidak terkecuali pada pembebasan lahan yang diperuntukkan untuk kegiatan pembangunan atau kepentingan umum. Jika kegiatan pembebasan lahan tidak tertangani dengan baik maka konflik lahan dapat berkepanjangan dan mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat. Hal ini akan membentuk persepsi yang buruk di mata masyarakat dan menjadi penghambat terhadap kegiatan pembebasan lahan di tempat lainnya. Oleh karena itu hak-hak rakyat atas lahan perlu mendapat perlindungan hukum terutama dalam menghadapi kesewenang-wenangan pemrakarsa yang berdalih pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan dan kepentingan umum (Munif, 2011).

Sampai saat ini PT. PLN (Persero) dalam kedudukannya sebagai salah satu badan usaha milik negara telah melakukan pembebasan lahan terhadap jutaan hektar lahan untuk keperluan pembangunan jaringan transmisi dalam rangka pendistribusian energi listrik. Dalam proses pembebasan lahan yang telah dilakukan badan usaha ini sadar akan adanya dampak sosial ekonomi yang timbul akibat pembebasan lahan tersebut. Oleh karena itu untuk mengantisipasi dan menangani dampak yang timbul mereka menerapkan pedoman prosedur dan mekanisme pembebasan lahan yang telah dimilikinya. Dalam rangka mengevaluasi prosedur tersebut, beberapa pihak telah melakukan kajian serta memberikan saran dan masukan dengan harapan prosedur pembebasan lahan menjadi semakin baik dalam mengantispasi dan menangani dampak yang timbul. 1.2 Kerangka Pemikiran

Pembangunan jaringan transmisi diperlukan untuk menyalurkan energi listrik dari sebuah pembangkit listrik ke pengguna listrik melalui serangkaian gardu induk dan jaringan distribusi lainnya. Pembangunan ini membutuhkan lahan untuk penempatan tapak tower jaringan transmisi. Untuk memenuhi kebutuhan lahan ini perlu dilakukan pembebasan lahan terhadap lokasi yang diplot sebagai areal tapak tower jaringan transmisi. Pembebasan lahan berpotensi menimbulkan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat terutama terhadap pemilik lahan terkait mata pencaharian, tingkat penghasilan, dan persepsi


(18)

Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat

Pembangunan Jaringan Transmisi

Dampak Positif

Penerimaan Ganti Rugi Lahan

Permasalahan Pasca

Pembebasan Lahan Mata PencaharianPerubahan Jenis

Penurunan Tingkat Penghasilan

Pembangunan Pembangkit Listrik

Dampak Negatif Pembebasan

Lahan Pemukiman Penyediaan Tenaga Listrik

Memerlukan Lahan

Alternatif Solusi Pembebasan Lahan

Penyediaan Air Bersih Pelayanan

Kesehatan

Faktor Berpengaruh Pada Nilai Ganti Rugi

masyarakat terhadap dampak pembebasan tersebut. Hal ini dapat diilustrasikan dalam sebuah diagram alir kerangka pemikiran sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Dalam melakukan pembebasan lahan, PT. PLN (Persero) mengacu kepada prosedur dan mekanisme pembebasan lahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2013 tentang Kompensasi atas Tanah, Bangunan dan Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Saluran Udara Tegangan Tinggi dan Sularan Udara Tegangan Ekstra Tinggi. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa ganti rugi merupakan imbal balik pengguna (pembeli) lahan kepada pemilik lahan di tapak tower jaringan transmisi sebagai akibat lahannya terkena pembebasan. Setelah


(19)

pemberian ganti rugi terjadi pelepasan dan penyerahan hak atas tanah dari pemilik lahan kepada pengguna lahan.

Berdasarkan hasil survei dan identifikasi lahan yang telah dilakukan PT. PLN (Persero) terhadap areal rencana tapak tower SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak diperoleh informasi jumlah pemilik lahan yang akan terkena pembebasan sebanyak 103 pemilik lahan, terdiri dari 94 orang pemilik masyarakat perorangan dan 9 pemilik lahan bukan masyarakat perorangan berupa instansi pemerintah, perusahaan milik negara, perusahaan swasta, dan pengembang perumahan. Legalitas kepemilikan lahan di jalur jaringan transmisi ini terdiri dari: Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Akte Jual Beli, dan Girik.

Pembebasan lahan tentu akan mengubah luas kepemilikan lahan masyarakat karena hak pemilikan atas tanah beralih kepada pengguna yang membeli lahan, akibatnya terjadi kehilangan mata pencaharian dan sumber nafkah keluarga bagi masyarakat yang menjadikan tanah tersebut sebagai sumber mata pencaharian. Dengan demikian untuk dapat tetap mempertahankan hidupnya, petani harus beralih mencari jenis mata pencaharian yang lain (Soekartawi, 1990).

Lahan pertanian yang terkena pembebasan tentu akan mengalami penyusutan luas yang selanjutnya dapat berakibat pada menurunnya produksi pertanian setempat. Menurut Suryaman (2005), luas konversi lahan pertanian sawah menjadi lahan non pertanian di Pulau Jawa selama periode tahun 1999 hingga 2002 adalah sekitar 150.000 hektar dengan tingkat konversi tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Barat. Akibat penyusutan lahan pertanian ini telah menyebabkan peningkatan jumlah petani gurem dan petani tanpa memiliki tanah dari tahun ke tahun.

Kehilangan sumber mata pencaharian yang dialami masyarakat yang hidup mengandalkan tanah secara langsung akan mengurangi penghasilan rumah tangga pemilik lahan. Meskipun pemilik mendapatkan uang ganti rugi atas tanahnya, namun karena penerimaan tersebut berlangsung hanya sekali maka dampaknya terhadap peningkatan penghasilan pemilik lahan dianggap tidak begitu berarti, apalagi jika diketahui bahwa penggunaan uang ganti rugi umumnya untuk keperluan yang bersifat konsumtif. Pada proses penetapan harga ganti rugi tanah berikut bangunan dan tanaman di atasnya, masalah yang paling sering muncul adalah ketidakcocokan harga, dimana harga yang diminta pemilik lahan lebih tinggi dari pada harga penawaran yang diajukan pembeli lahan. Ketidakcocokan ini seringkali menyisakan konflik yang tidak kunjung selesai, bahkan hingga setelah kepemilikan lahan sudah beralih ke pembeli. Konflik ini berpotensi membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap proses pembebasan lahan di tempat lainnya.


(20)

1.3 Perumusan Masalah

Ketersediaan energi listrik di Provinsi Jawa Barat khususnya di Kota Depok dan Kabupaten dan Kota Bogor masih belum memadai untuk memenuhi kebutuhan industri, perumahan, pariwisata dan keperluan lainnya. Oleh karena itu diperlukan pembangunan pembangkit tenaga listrik dan jaringan transmisi yang mendistribusikannya. Salah satu jaringan transmisi yang dibangun adalah saluran udara tegangan tinggi berkapasitas 150 kV sepanjang 17,85 km dari Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok hingga Kelurahan Kedung Badak Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor.

Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik itu bersifat positif maupun negatif tergantung jenis dan seberapa besar kegiatan pembangunan tersebut menggunakan sumberdaya alam yang tersedia (Soemarwoto, 2005). Pada pembangunan jaringan transmisi dibutuhkan sejumlah lahan untuk tapak tower sehingga perlu dilakukan pembebasan lahan. Mengingat lintasan jaringan transmisi ini sebagian besar melalui kawasan pemukiman penduduk dan merupakan milik masyarakat perorangan, maka kegiatan pembebasan lahan berdampak langsung kepada masyarakat pemilik lahan.

Dampak pembebasan lahan akan mengubah luas dan pola penggunaan lahan pada lokasi tapak tower sepanjang jaringan transmisi. Karena pada areal lintasan jaringan transmisi yang dibangun masih terdapat lahan pertanian maka pembebasan ini akan mengurangi luas lahan pertanian dan tentu juga jumlah produksi pertanian. Hilangnya lahan pertanian sebagai modal utama petani selanjutnya akan mengubah jenis mata pencahariannya dan mendorong petani untuk mencari jenis pekerjaan lain di luar sektor pertanian.

Pada areal lintasan jaringan transmisi yang dibangun masih terdapat lahan pertanian yang menjadi tumpuan hidup beberapa orang petani yang menggantungkan hidup diri dan keluarganya dari pekarangan dan kebun yang diolahnya tersebut. Beberapa dari petani tersebut tidak memiliki keahlian lain selain bertani, bahkan tidak memiliki lahan selain yang dimilikinya saat ini. Akibatnya, petani yang kehilangan lahan dan tidak mampu mendapatkan pekerjaan selain bertani akan menganggur dan kehilangan sumber nafkah. Kehilangan sumber nafkah ini selanjutnya menyebabkan kehilangan penghasilan.

Proses pembebasan lahan tidak hanya berpotensi menimbulkan kehilangan lahan usaha dan tempat tinggal, serta kehilangan mata pencaharian dan penghasilan bagi pemilik lahan, namun juga berpotensi menimbulkan konflik baik di antara masyarakat pemilik lahan sendiri maupun dengan pemrakarsa sebagai pengguna (pembeli) lahan. Konflik ini dapat dipicu oleh ketidaksesuaian nilai ganti rugi lahan, kehilangan lahan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian


(21)

dan penghasilan. Hal ini dapat menimbulkan persepsi negatif pada masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan.

Timbulnya persepsi negatif masyarakat terhadap dampak pembebasan lahan serta pembangunan jaringan transmisi dapat juga diakibatkan oleh penggunaan tenaga kerja dari daerah lain dalam pekerjaan konstruksi; kerusakan struktur tanah akibat gali-urug pondasi tower; adanya kerusakan tanaman akibat penarikan kabel jaringan dan pemeliharaan rutin jaringan transmisi; adanya dugaan medan listrik dan medan magnet kabel jaringan transmisi dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat dan merusak peralatan listrik di bawahnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Permasalahan apa yang timbul pasca kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur jaringan transmisi yang dibangun.

b. Bagaimana pengaruh pembebasan lahan terhadap perubahan jenis mata pencaharian dan tingkat penghasilan pemilik lahan di sepanjang wilayah jaringan transmisi yang dibangun

c. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai ganti rugi lahan milik masyarakat.

d. Apa alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak kegiatan pembebasan lahan

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum yang hendak dicapai adalah mengkaji dampak pembebasan lahan yang diperlukan untuk pembangunan jaringan transmisi listrik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar jaringan transmisi tersebut. Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mengkaji permasalahan yang timbul akibat kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur transmisi.

b. Mengkaji perubahan jenis mata pencaharian pemilik lahan dan tingkat penghasilan dengan beralihnya hak pemilikan lahan dari pemilik lahan kepada pemrakarsa pembangunan jaringan transmisi.

c. Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan milik masyarakat.

d. Mengkaji alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan kegiatan pembebasan lahan.

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa manfaat sebagai berikut:


(22)

a. Memberikan informasi kepada pelaku pembebasan lahan terkait efektivitas proses pembebasan lahan yang diterapkan selama ini.

b. Menjadi salah satu bahan untuk saran dan masukan dalam upaya perbaikan proses pembebasan lahan di masa yang akan datang.

1.6 Hipotesis Penelitian

Beberapa hipotesis yang dibangun terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Apakah NJOP tanah responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima responden.

H0: b1 = 0 NJOP tanah responden tidak berpengaruh nyata terhadap

harga ganti rugi lahan yang diterima.

H1: b1≠ 0 NJOP tanah responden berpengaruh nyata terhadap harga

ganti rugi lahan yang diterima.

b. Apakah harga pasar tanah berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima responden.

H0: b2 = 0 Harga pasar tanah tidak berpengaruh nyata terhadap harga

ganti rugi lahan yang diterima.

H1: b2≠ 0 Harga pasar tanah berpengaruh nyata terhadap harga ganti

rugi lahan yang diterima.

c. Apakah luas pemilikan lahan responden berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima responden.

H0: b3 = 0 Luas pemilikan lahan responden tidak berpengaruh nyata

terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.

H1: b3≠ 0 Luas pemilikan lahan responden berpengaruh nyata

terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.

d. Apakah mata pencaharian responden berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi lahan yang diterima responden.

H0: b4 = 0 Mata pencaharian responden tidak berpengaruh nyata

terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.

H1: b4≠ 0 Mata pencaharian responden berpengaruh nyata terhadap

harga ganti rugi lahan yang diterima.

e. Apakah penghasilan responden sebelum pembebasan lahan berpengaruh nyata terhadap nilai ganti rugi lahan yang diterima responden.

H0: b5 = 0 Penghasilan responden sebelum pembebasan lahan tidak

berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.


(23)

H1: b5≠ 0 Penghasilan responden sebelum pembebasan lahan

berpengaruh nyata terhadap harga ganti rugi lahan yang diterima.

1.7 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup kegiatan pembebasan lahan di areal tapak tower jaringan transmisi yang berlangsung pada tahap perencanaan atau pra konstruksi dimana jaringan transmisi belum dibangun dan beroperasi. Penelitian ini berfokus kepada masyarakat perorangan pemilik lahan yang terkena dampak pembebasan lahan pembangunan SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak dan beberapa masyarakat lainnya yang bertempat tinggal di lima desa dan tujuh kelurahan yang berada di bawah jaringan transmisi tersebut.


(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kedudukan dan Arti Penting Lahan

Tanah memiliki kedudukan dan arti yang penting bagi pemiliknya. Menurut Munif (2011), ada dua hal pokok yang menyebabkan tanah menjadi sangat penting, yaitu karena sifatnya dan karena faktanya. Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya benda kekayaan bagi pemiliknya yang bagaimanapun keadaannya masih bersifat tetap atau bahkan kadang-kadang menguntungkan. Karena faktanya, suatu kenyataan bahwa tanah merupakan tempat tinggal kerabatnya, merupakan penghitungan bagi anggota kerabatnya, merupakan tempatnya dikebumikan, dan merupakan tempat tinggal para roh dan dayang-dayang leluhur kerabatnya.

Berdasarkan Soekartawi (1990), bagi seorang petani yang tidak memiliki pilihan sumber mata pencaharian lain, lahan merupakan modal hidup utama dalam mengusahakan pertanian dalam rangka menjamin kelangsungan hidup anak dan keluarganya, sehingga tanpa tanah seorang petani tidak dapat melakukan usahatani Umumnya petani tidak memiliki keahlian lain dalam mencari nafkah, sehingga ketika usaha bertaninya berhenti, sulit bagi petani untuk mendapatkan sumber mata pencaharian lainnya.

Rendahnya kepemilikan lahan pertanian secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan rendahnya pendapatan rumah tangga petani. Menurut Santoso (1996), beralihnya kepemilikan lahan dari petani akibat pembebasan lahan menyebabkan hilang atau berkurangnya lahan garapan mereka, padahal luas lahan usahatani yang dimiliki sangat menentukan besar kecilnya tingkat pendapatan keluarga petani. Meskipun luas kepemilikan lahan tidak berbanding lurus dengan tingkat pendapatan petani, namun sempitnya kepemilikan lahan berakibat pada rendahnya investasi, dan selanjutnya akan menyebabkan rendahnya pendapatan rumah tangga petani.

Selain luas lahan, salah satu faktor utama yang juga menentukan tingkat pendapatan rumah tangga petani adalah pengetahuan dan kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan lahan secara produktif. Bahrin et al (2008) dalam penelitiannya terhadap masyarakat petani di dataran tinggi Kabupaten Kapahiang Propinsi Bengkulu mendapatkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani miskin memiliki dan menguasai lahan pertanian yang cukup luas, namun pada kenyataannya memiliki tingkat pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pangan, perumahan, serta akses terhadap lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha pada kategori rendah.

2.2 Efisiensi Penggunaan Sumberdaya Lahan

Pembangunan merupakan upaya manusia dalam mengolah dan memanfaatkan sumberdaya yang dipergunakan bagi pemenuhan kebutuhan dan


(25)

peningkatan kesejahteraan hidup. Setiap kegiatan pembangunan termasuk untuk kepentingan umum berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan, baik positif maupun negatif (Soemarwoto, 2005). Tanah merupakan modal dasar pembangunan, hampir tak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan. Kini pembangunan terus meningkat dan tiada henti tetapi persediaan tanah semakin sulit dan terbatas. Keadaaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum dan kepentingan perorangan atau kelompok saling berbenturan.

Salah satu jenis pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah adalah pembangunan jaringan transmisi listrik untuk pendistribusian energi listrik dari sumber pembangkit listrik. Untuk memenuhi kebutuhan tanah ini dilakukan pembebasan lahan yang umumnya merupakan milik masyarakat perorangan (private) dan sebagian kecil milik negara. Menurut Guerin (2003), dalam sistem hak milik (property right), hubungan tanah dan manusia akan mengatur tentang cara memiliki, mengelola, menggunakan dan memindahkan atas tanah. Hubungan formalnya disebut dengan pemilikan tanah (land tenure).

Pada dasarnya ada dua cara pemilik tanah melepaskan hak kepemilikan yaitu melalui pelepasan secara sukarela dan melalui pembebasan tanah (Eggertsson, 1995). Pelepasan sukarela sangat dipengaruhi sikap dari pemilik tanah terhadap cara pandang secara sosial, pengaruh adat atau nilai historis, nilai ekonomi dan kondisi fisik tanah. Dalam pelepasan tanah melalui cara pembebasan, persoalan yang sering dihadapi dan menimbulkan konflik adalah nilai kompensasi. Dalam pemberian ganti rugi, pengertian harga pasar sering menjadi sumber perbedaan karena cara pandang pemilik tanah dengan pihak pemerintah atau pengguna lahan tidak selalu sama. Hal lain yang sering muncul dalam proses pembebasan lahan adalah penggunaan definisi kepentingan umum dalam proses tersebut yang sering tak definitip (Andrian, 2007). Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 telah ditetapkan kegiatan pembangunan yang tergolong kepentingan umum yaitu: jalan umum dan jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/ air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi; waduk, bendungan, bendungan irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal; fasilitas keselamatan umum seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; tempat pembuangan sampah; cagar alam dam cagar budaya; pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pihak yang berperan adalah pemerintah, pemilik tanah dan pihak swasta yang akan membeli dan menggunakan tanah (Fischer, 2005). Keterlibatan pemerintah adalah dengan memberlakukan aturan-aturan formal seperti hak kepemilikan. Pemilik tanah ada yang aktif dan ada yang pasif. Pemilik aktif dicirikan dengan keinginan untuk


(26)

membangun tanah, mau bekerjasama dengan swasta untuk membangun atau menyerahkan tanah bila tidak mampu membangun, sedangkan pemilik pasif dicirikan tidak adanya langkah yang diambil untuk membangun atau membawa ke pasar tanah. Ada beberapa alasan yang menyebabkan kendala dalam pembebasan tanah, yaitu harapan pemilik tanah untuk memperoleh harga ganti rugi yang tinggi, tidak adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli, atau memang tak ada keinginan dari pemilik untuk melepaskan tanah miliknya (Adams, 1994). Alasan pemilik tanah menolak melepaskan tanahnya sangat terkait dengan adanya hubungan multidemensi antara manusia dengan tanah dimana tanah dianggap sebagai faktor produksi, unsur lingkungan, barang yang mempunyai nilai emosional (Djurdjani, 2009).

Pembebasan lahan untuk sebuah kegiatan pembangunan berpotensi menimbulkan dampak sosial ekonomi masyarakat. Semakin luas sumberdaya lahan yang diperlukan semakin besar potensi dampak yang ditimbulkan, oleh karena itu penggunaan sumberdaya lahan perlu dilakukan secara efisien dan bijaksana. Dalam ilmu ekonomi dikenal ada dua jenis efisiensi, yakni: efisiensi produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi mencerminkan kemampuan untuk menghasilkan produk yang bermutu dengan harga yang bersaing. Sedangkan efisiensi alokasi merujuk kepada tingkat dimana harga pasar yang dibebankan kepada pembeli, selaras dengan biaya pemasaran termasuk pengembalian suatu laba normal (normal profit) pada pemasok. Sementara itu, Posner mendefenisikan efisiensi sebagai kondisi dimana sumberdaya dialokasikan dimana nilainya dimaksimalkan.

Menurut Pareto dalam Nicholson dan Snyder (2010), jika seandainya sumberdaya dialokasikan membuat paling tidak satu pihak merasa diuntungkan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan maka kondisi ini disebut Pareto Superiority atau Efisiensi Pareto. Jika seandainya suatu kebijakan pembangunan membuat setidak-tidaknya satu pihak merasa untung dan tidak ada satupun pihak yang merasa dirugikan maka kondisi inilah yang disebut Superioritas Pareto. Dikenal juga kondisi Pareto Optimality yang merupakan suatu kondisi dimana sumberdaya didistribusikan dengan cara tertentu yang membuat paling tidak satu pihak yang merasa dirugikan. Dengan kata lain, dalam suatu kebijakan yang membuat paling tidak salah satu pihak merasa dirugikan maka memenuhi kriteria Optimalitas Pareto. Sebenarnya kondisi yang terakhir inilah yang sering terjadi dalam kehidupan nyata, dimana hampir tidak mungkin tidak ada pihak yang tidak dirugikan dalam suatu kebijakan.

Nicholas Kaldor dan John Hicks dalam Nicholson dan Snyder (2010), memberikan tanggapan atas efisiensi yang disampaikan oleh Pareto. Menurut mereka berdua dalam teorinya Kaldor-Hicks Efficiency menyatakan bahwa apakah dengan perubahan tersebut maka mereka yang merasa diuntungkan dapat menyediakan kompensasi yang seimbang kepada mereka yang merasa dirugikan


(27)

akibat kebijakan tersebut. Metode Kaldor-Hicks biasanya digunakan sebagai tes terhadap efisiensi Pareto, bukan ditujukan sebagai suatu standar efisiensi sendiri. Mereka digunakan untuk menentukan apakah suatu kegiatan ekonomi bergerak ke arah Efisiensi Pareto. Setiap perubahan biasanya membuat beberapa orang merasa lebih baik sementara membuat orang lain lebih buruk, jadi tes ini menanyakan apa yang akan terjadi jika para pemenang memberikan kompensasi kepada yang kalah dan besarnya keuntungan yang diperoleh adalah lebih besar dari ganti rugi yang dibayarkan.

Dalam Efisiensi Pareto (kondisi superior), suatu hasil lebih efisien jika setidaknya satu orang dibuat lebih baik dan tidak ada yang dibuat lebih buruk, namun dalam prakteknya, hampir mustahil untuk mengambil sebuah kebijakan pembangunan tanpa membuat dari setidaknya satu orang lebih buruk, bahkan pertukaran sukarela (voluntary exchange) sekalipun. Namun, pertukaran sukarela tidak akan menciptakan Superioritas Pareto jika ada biaya eksternal seperti polusi yang merugikan pihak ketiga, sebagaimana sering terjadi saat ini.

Menurut Kaldor-Hicks, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi utilitas antara para pelaku ekonomi dapat diperoleh dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus (lumpsum tax) atau subsidi. Dengan demikian menurut Kaldor-Hicks, pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu dibayarkan. Selain itu, suatu perubahan dapat dikatakan sebagai kemajuan, jika pelaku ekonomi yang akan dirugikan dari perubahan tersebut harus mau menerima ganti rugi dari pelaku ekonomi yang diuntungkan. Ganti rugi pada kriteria Kaldor-Hicks adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran kompensasi yang aktual kita perlu menggunakan pertimbangan nilai (value judgement) untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik dengan adanya perubahan.

2.3 Faktor Penentu Nilai Harga Lahan

Pembangunan jaringan transmisi sebagai salah satu infrastruktur kelistrikan merupakan bentuk pemenuhan kepentingan umum yang perlu didukung semua pihak, mulai dari aspek perencanaan, pembebasan lahan, konstruksi hingga operasinya. Karena ditujukan untuk kepentingan umum maka proses pembebasan lahan untuk jaringan transmisi mendapat dukungan kebijakan peraturan perundangan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian dirubah menjadi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006.

Dalam proses pembebasan lahan untuk penempatan tapak tower jaringan transmisi, pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi lahan beserta bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. Sebagai konsekwensinya, hak pemilikan tanah


(28)

beralih dari pemilik lahan kepada pembeli atau pengguna lahan. Besarnya nilai ganti rugi ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pembeli dengan pemilik tanah serta berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Mengenai Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penilaian harga tanah dilakukan berdasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan. Nilai nyata/ sebenarnya disebut juga sebagai nilai pasar tanah, dapat berpedoman pada variabel: lokasi dan letak tanah, status tanah, peruntukan tanah, kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada, sarana dan prasarana yang tersedia, dan faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah (Pasal 28). Selanjutnya hasil penilaian harga tanah tersebut dipergunakan sebagai dasar musyawarah antara instansi yang memerlukan tanah dengan para pemilik (Pasal 30). Informasi harga NJOP tanah, bangunan dan tanaman yang berada di atas tanah tersebut dapat diperoleh dari Pemerintah Daerah setempat. Pada penerapannya di lapangan, kebijakan jumlah harga ganti rugi lahan yang diterapkan PT. PLN adalah bahwa harga ganti rugi lahan (per m2) merupakan separuh dari penjumlahan harga NJOP dan harga pasar lahan, atau dengan rumus sebagai berikut:

Harga Ganti Rugi = 0,5 x (NJOP + Harga Pasar)

Berbeda dengan tanah yang dibebaskan di bawah tapak tower, tanah yang berada di bawah ruang bebas jaringan transmisi tidak dibebaskan namun pemilik lahan mendapat kompensasi yang mana dari segi hak kepemilikan dan harga, berbeda dengan ganti rugi. Pemilik lahan yang memperoleh kompensasi tidak perlu menyerahkan hak pemilikan lahannya kepada pengguna lahan, karena tidak terjadi peralihan hak kepemilikan. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumberdaya Mineral Nomor 38 Tahun 2013, pengertian kompensasi merujuk kepada pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/ atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Berdasarkan formulasi kompensasi dalam peraturan tersebut, besarnya nilai kompensasi tanah/ bangunan ditetapkan sebesar 15 persen dari luas tanah/ bangunan dan nilai pasar dari tanah/ bangunan tersebut. Adapun nilai kompensasi tanaman ditetapkan sebesar nilai pasar tanaman tersebut. Sebagai salah satu acuan dalam menetapkan nilai pasar bangunan atau tanaman tersebut, beberapa kabupaten/ kota telah memiliki daftar harga bangunan atau tanaman yang dikeluarkan sebagai peraturan daerah oleh instansi terkait di bidang pertanian atau pekerjaan umum di daerah tersebut.


(29)

Penilaian atas lahan didasarkan pada kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya dengan produktivitas dan strategi ekonominya. Teori mengenai nilai lahan pertama kali dicetuskan oleh David Ricardo, kemudian selanjutnya dikembangkan oleh Von Thunen. Dalam teorinya, Ricardo merujuk pada sewa lahan (land rent) dimana perbedaan nilai lahan dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah terutama di sektor pertanian. Dalam analisis David Ricardo, terdapat asumsi bahwa pada daerah pemukiman baru terdapat sumberdaya tanah yang subur dan berlimpah. Menurutnya, sewa lahan ditentukan bedasarkan perbedaan dalam kualitas tanah hanya melihat faktor kemampuan tanah untuk membayar sewa tanpa memperhatikan faktor lokasi tanah (Ricardo dalam Suparmoko, 1989)

Dalam teori tentang sewa tanah Ricardo menjelaskan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Ada yang subur, kurang subur hingga tidak subur sama sekali. Tanah yang subur memiliki produktivitas yang lebih tinggi; dalam menghasilkan satu satuan unit produksi memerlukan biaya produksi yang lebih rendah pula. Makin rendah tingkat kesuburan tanah, makin tinggi pula biaya yang diperlukan untuk mengolah tanah tersebut. Makin tinggi biaya produksi dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah menjadi semakin kecil pula. Dengan memperhitungkan faktor biaya produksi, maka adalah wajar jika sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding tanah yang kurang subur apalagi yang tidak subur (Ricardo dalam Suparmoko, 1989). Menurut Ricardo, sewa tanah timbul karena keterbatasan (kekurangan) tanah. Teori sewa tanah Ricardo dikenal dengan Teori Sewa Tanah Diferensial. Teori ini menyatakan bahwa pada tahap awal orang akan menggunakan tanah yang subur, dan karena keterbatasannya maka selanjutnya akan menggunakan tanah yang kurang subur. Masing-masing memiliki sewa tanah yang berbeda-beda. Sewa tanah adalah ganti rugi yang harus dibayar kepada pemilik tanah untuk pemakaian dan pemanfaatan tanah tersebut (Ricardo dalam Suparmoko, 1989).

Berdasarkan teori nilai lahan yang dikembangkan oleh Von Thunen menyatakan bahwa selain faktor kemampuan tanah, pola penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan dengan jarak dan sifat barang dagangan khususnya hasil pertanian. Nilai sewa tanah berkaitan dengan perlunya biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar. Pengaruh biaya transport kaitannya dengan perpindahan produk dari berbagai lokasi ke pasar terhadap sewa tanah. Semakin jauh jarak lokasi tanah dari pasar, akan menyebabkan semakin tinggi biaya transportas (Von Thunen dalam Djojo, 1992).

Penggunaan sumberdaya tanah pada umumnya ditentukan oleh kemampuan tanah, khususnya untuk pertanian dan oleh lokasi ekonomi yaitu jarak sumberdaya tanah dari pusat pasar, misalnya untuk penggunaan daerah industri, pemukiman, perdagangan atau rekreasi. Penggunaan tanah yang paling besar adalah untuk aktivitas pertanian, yang meliputi penggunaan untuk pertanian tanaman pangan,


(30)

pertanian tanaman keras, untuk kehutanan maupun untuk ladang pengembalaan dan perikanan. Tanah memiliki nilai ekonomi dan nilai pasar yang berbeda-beda. Dalam teori ekonomi sumberdaya tanah, sewa tanah merupakan salah satu konsep penting, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: sewa tanah (contract rent) sebagai pembayaran dari penyewa kepada pemilik melalui kontrak sewa dalam jangka waktu tertentu; dan keuntungan usaha (economic rent atau land rent) yang merupakan surplus pendapatan di atas biaya produksi atau harga input tanah yang memungkinkan faktor produksi tanah dapat dimanfaatkan dalam proses produksi. Sewa tanah (land rent) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai surplus ekonomi yaitu kelebihan nilai produksi total di atas biaya total. Salah satu cara dalam menentukan nilai atau faktor produksi tanah adalah dengan menggunakan konsep economic rent, yaitu perbedaan nilai produk yang dihasilkan oleh tanah tersebut dikurangi dengan seluruh biaya produksi tidak termasuk pajak atau royalti, dan pungutan lainnya serta laba yang layak yang harus diterima oleh pengusaha. Faktor-faktor yang menentukan harga tanah dipengaruhi oleh: kegunaan dan kepuasan (utility), kelangkaan (scarcity), permintaan (demand), dan kemudahan untuk dipindahkan (transferability). 2.4 Dampak Pembebasan Lahan Terhadap Petani

Menurut Suryana (2000), meningkatnya kelangkaan lahan pertanian yang diikuti dengan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan jumlah petani berlahan sempit, kurang subur dan petani tidak berlahan semakin banyak. Kelangkaan ini juga disebabkan oleh konversi lahan melalui pembebasan lahan yang ditujukan untuk keperluan non pertanian. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan penguasaan sumberdaya lahan dan pendapatan antar kelompok masyarakat khususnya petani. Dalam hasil penelitiannya, Suryana menemukan bahwa setelah pembebasan lahan yang menyebabkan pemilikan lahan menjadi lebih sempit, terjadi perubahan jenis mata pencaharian pada para pemilik lahan dimana jenis pekerjaan petani pemilik lahan menjadi lebih beragam dibanding sebelumnya. Dalam penelitian tersebut Suryana juga mendapatkan bahwa kegiatan pembebasan lahan tidak begitu berpengaruh terhadap aspek sosial masyarakat pada hubungan keluarga, hubungan kemasyarakatan dan harga diri petani yang terkena pembebasan. Hanya untuk aspek kebahagiaan hidup, tampaknya ada dampak positif terhadap petani yang terkena pembebasan tanah pertanian dimana petani merasa lebih berbahagia setelah tanahnya terkena pembebasan.

Meskipun tidak sepenuhnya benar, luas penguasaan lahan mempunyai pengaruh terhadap tingkat pendapatan rumah tangga petani. Dalam penelitiannya Mudakir (2011) melihat bahwa petani yang mempunyai penguasaan lahan lebih luas cenderung mempunyai pendapatan yang lebih besar dibanding penguasaan lahan yang lebih sempit. Menurutnya, pendapatan rumah tangga petani yang


(31)

memiliki pendapatan lain dari luar pekerjaan bertani jauh lebih tinggi dibanding petani yang semata-mata hanya mengandalkan pendapatan dari bertani saja. Tingkat ketimpangan pendapatan petani tanpa pendapatan di luar pertanian relatif lebih tinggi dibandingkan ketimpangan pendapatan petani yang telah memasukkan pendapatan dari luar pertanian.

Dalam sebuah penelitian terhadap petani miskin di dataran tinggi Kabupaten Kapahiang Provinsi Bengkulu, Bahrin, et al. (2008) mendapatkan bahwa luas pemilikan lahan tidak memiliki hubungan nyata dengan tingkat pendapatan rumah tangga petani, demikian pula sebaliknya. Menurutnya lagi, rendahnya produktifitas lahan petani disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang belum optimal, harga jual produk usaha tani khususnya sektor tanaman pangan tidak sebanding dengan harga produk industri yang sudah menjadi kebutuhan rumah tangga petani, jebakan kemiskinan seringkali membuat kemampuan sumberdaya keluarga terpecah tidak terfokus secara penuh pada upaya pemanfaatan lahan milik sendiri melainkan harus dibagi untuk menjadi buruh tani harian guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga, dan rendahnya kemampuan dalam melihat peluang dan potensi yang ada yang dapat dimanfaatkan bagi peningkatan produktiftas dan pendapatannya.

Penelitian dampak pembebasan lahan terhadap aspek lainnya juga telah dilakukan oleh Sumaryanto (1994). Dalam hasil penelitiannya di Jawa Timur dan Jawa Barat, mereka mendapatkan bahwa alih fungsi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif terutama dalam memproduksi hasil pertanian yang terkonversi. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi dan nilainya, pendapatan usahatani dan kesempatan kerja usahatani. Namun demikian, diakui bahwa selain mengakibatkan kerugian, alih fungsi lahan juga memberikan beberapa manfaat berupa pertambahan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan pengembangan ekonomi wilayah.

Adanya dampak positif alih fungsi lahan juga dinyatakan oleh Irawan et al. (2000). Menurutnya, petani yang mendapatkan uang ganti rugi lahan sawah yang dijualnya mampu membeli sawah baru yang lebih luas. Selain itu, terjadi perubahan kualitas hidup petani melalui penggunaan uang ganti rugi yang diperolehnya untuk melakukan perbaikan rumah tinggal. Terlihat juga adanya pertambahan aset non tanah atau tabungan serta peningkatan sumberdaya manusia berupa pengalokasian uang hasil penjualan tanah untuk biaya pendidikan anak. 2.5 Sengketa Lahan pada Pembebasan Lahan

Menurut Soimin (2001), pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat di antara pemegang hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Republik indonesia Nomor 38 tahun 2013, ganti rugi tanah yang diberikan pada saat pembebasan tanah untuk pembangunan ketenagalistrikan


(32)

menyebabkan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dari pemilik lahan kepada pengusaha ketenagalistrikan sebagai pembeli lahan.

Dalam proses pembebasan lahan rakyat sering menjadi korban para penguasa. Rakyat seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan penetapan terutama menyangkut nilai ganti rugi tanah dan prosedur pembebasan lahan. Pada umumnya masyarakat hanya diberi pengarahan satu arah yang harus diterima dengan penuh kepatuhan. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan, rakyat seringkali dibodohi dan diberi janji menggiurkan sehingga pada akhirnya mereka merasa kecewa dan merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan semacam ini tidak ditangani dengan baik dan tidak mendapat perhatian yang serius pada gilirannya akan menimbulkan konflik lahan (Munif, 2011).

Konflik lahan umumnya didahului oleh terjadinya sengketa lahan yang tidak terselesaikan dengan baik. Untuk menghindari sengketa, semua bagian dari prosedur pembebasan lahan harus dilakukan dengan benar. Beberapa tahapan penting yang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya sengketa lahan disebutkan oleh Warokka et al (2006), yaitu berupa: pembentukan tim pembebasan tanah, pemberian sosialisasi kepada masyarakat, pengukuran tanah, inventarisasi kepemilikan hingga pembayaran ganti rugi.

Banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi baik antara pribadi maupun kelompok semakin menguatkan arti betapa tingginya nilai ekonomis dari tanah sebagai salah satu sumberdaya alam dan faktor produksi. Disamping itu juga semakin menguatkan betapa potensialnya tanah sebagai pemicu munculnya konflik. Untuk menghindari sengketa tanah, proses pembebasan tanah harus melewati seluruh tahapan pembebasan yang ditempuh dengan cara musyawarah dan tidak manipulatif. Pembebasan tanah tidak hanya sebatas mengalihkan hak kepemilikan atas tanah, khususnya bagi proyek-proyek untuk kepentingan pemerintah, namun harus juga memikirkan nasib para pemilik lahan terkait kepastian tempat tinggal mereka setelah itu (Warokka et al, 2006).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Warokka et al (2006) terhadap proses pembebasan tanah untuk pembangunan Bandar Udara Kuala Namu di Deli Serdang ditemukan kasus sengketa lahan dimana beberapa warga menolak menjual dan menyerahkan lahannya kepada Pemerintah yang diwakili PT. Angkasa Pura. Belajar dari kasus tersebut, Warokka et al menyarankan diperketatnya pengawasan terhadap pendataan terhadap: masyarakat yang mengusahakan tanah (penggarap), pemilik hak guna usaha, dan pemukim liar sehingga apabila terjadi pembebasan tanah status tanah yang akan mendapat ganti rugi sudah jelas dan tidak tumpang tindih. Selain itu, instansi pertanahan terkait seperti Badan Pertanahan Nasional perlu memetakan dengan benar lokasi tanah yang bermasalah maupun tidak. Masyarakat perlu dipermudah dalam pengurusan


(33)

surat (sertifikat) tanah sehingga bukti kepemilikan lebih kuat secara hukum, dan masyarakat tidak dibebankan dengan biaya-biaya lain di luar biaya yang sudah ditetapkan oleh negara.

Sering terjadi kepentingan umum dijadikan alasan untuk menekan pemilik lahan untuk membebaskan lahannya secara mudah dengan harga murah di bawah harga pasaran tanah. Tidak jarang terjadi perlakuan sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat pemilik lahan. Untuk menghindari hal ini, pemilik lahan perlu mendapatkan perlindungan hukum sebagai pemegang hak atas tanahnya. Jika di kemudian hari ternyata tanah yang dibebaskan terbukti bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan atau pihak lainnya maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah. Dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan hal tersebut (Munif, 2011).

Akibat kegiatan pembebasan lahan yang berlangsung cukup masif saat ini terjadi perubahan pola penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Sebagai contoh di Pulau Jawa, pada periode 1999-2002 telah terjadi konversi lahan pertanian hingga lebih dari 150.000 hektar menjadi areal pemukiman, industri dan lahan non pertanian lainnya, dengan tingkat konversi tertinggi terjadi di Propinsi Jawa Barat. Akibat konversi lahan tersebut menyebabkan jumlah petani gurem dan petani tidak memiliki tanah semakin meningkat dari tahun ke tahun (Suryaman, 2005).

2.6 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Salah satu penelitian terdahulu yang terkait dengan pembebasan lahan dilakukan oleh Sudarto et al. (2007) yang mengkaji dampak pembebasan tanah pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani di Kabupaten Sidorajo. Dalam penelitian tersebut kajian terpusat pada dampak konversi lahan pertanian menjadi lahan untuk perumahan dan industri sehubungan dengan posisi Kabupaten Sidoarjo sebagai daerah penyangga Kota Surabaya. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa setelah pembebasan lahan, jenis pekerjaan pemilik lahan yang sebelumnya adalah petani menjadi lebih beragam. Selain itu terjadi penurunan tingkat pendapatan rumah tangga pemilik lahan yang berasal dari usahatani. Hal ini disebabkan oleh mengecilnya luas pemilikan lahan akibat pembebasan lahan.

Penelitian lain terkait dengan dampak pembebasan lahan adalah Studi Kasus Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Bandar Udara Kuala Namu di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dilakukan oleh Warokka at al. (2006) dengan temuan beberapa konflik sengketa lahan antara masyarakat pemilik lahan dengan PT. Angkasa Pura II sebagai pelaksana pembangunan dan pengoperasian bandar udara tersebut. Dalam proses pembebasan lahan terjadi penolakan oleh


(34)

beberapa orang pemilik lahan dikarenakan nilai ganti rugi lahan yang tidak disepakati pemilik. Pembebasan lahan menimbulkan reaksi masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan nilai penerimaan ganti rugi oleh masyarakat berbeda satu sama lainnya. Selain itu, akibat status tanah yang berbeda antara tanah milik pribadi dan tanah milik perkebunan menyebabkan perbedaan nilai ganti rugi.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah bahwa penggunaan lahan dalam penelitian ini sebelum dibebaskan sangat beragam tidak terbatas hanya untuk pertanian dan perkebunan. Pada penelitian ini luas lahan yang dibebaskan relative kecil dibanding penelitian terdahulu namun terdapat lahan di bawah jaringan transmisi yang tidak mendapat ganti rugi namun akan mengalami dampak pembatasan penggunaan. Meskipun masyarakat terkena dampak pembebasan lahan dalam penelitian ini tidak sebanyak penelitian terdahulu namun latar belakang mata pencaharian dan sosial budaya yang lebih beragam. Untuk melihat perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat diihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Matriks hasil penelitian terdahulu yang relevan No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Teguh Sudarto, Setyo Parsudi, dan Indra Tjahaya Amir (2007)

Kajian Dampak Pembebasan Tanah Pertanian Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani di Kabupaten Sidorajo (2007)

Pembebasan tanah pertanian

menyebabkan secara nyata berkurangnya luas pemilikan tanah petani, perubahan jenis pekerjaan petani, berkurangnya jam kerja keluarga petani, berkurangnya pendapatan keluarga petani dari usahatani, dan kebahagiaan hidup petani.

2 Tania Dora Warokka, Zulkifli, dan Muba Simanihuruk (2006)

Sengketa Tanah: Suatu Bentuk Pertentangan Atas Pembebasan Tanah Rakyat Untuk

Pembangunan (Studi Kasus Pembebasan tanah Untuk Pemindahan Bandara Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang)

Pembebasan lahan berpotensi

menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pihak pelaku pembebasan lahan akibat kurangnya sosialisasi, proses yang tidak demokratis, tidak jelasnya status kepemilikan lahan. Pada proses

pembebasan tersebut potensi konflik juga timbul akibat perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat dan perusahaan perkebunan pemilik lahan.

Keunggulan penelitian ini dibandingkan penelitian terdahulu terletak pada keragaman karakter pemilik lahan disebabkan lokasi pembebasan lahan dekat bahkan berada dalam wilayah perkotaan Bogor dan Depok. Hal ini akan mempengaruhi keragaman persepsi masyarakat terhadap rencana pembebasan lahan khususnya dan rencana pembangunan jaringan transmisi pada umumnya.


(35)

Selain itu, dari segi waktu pelaksanaan pembebasan lahan, penelitian ini akan merepresentasikan permasalahan pembebasan lahan saat ini dimana masyarakat pemilik lahan memiliki posisi tawar yang lebih tinggi sehubungan dengan meningkatnya semangat reformasi aspek hak-hak masyarakat.


(36)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di lima desa dan tujuh kelurahan yang dilintasi jaringan transmisi SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak yang membentang sepanjang kurang lebih 17,85 km yang terdapat dalam lima kecamatan di dua kota dan satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, yaitu:

a. Kelurahan Kedung Badak, Sukaresmi, Sukadamai, dan Kencana Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor

b. Desa Waringin Jaya, Kedung Waringin, Susukan, dan Pabuaran Kecamatan Bojong Gede; serta Desa Sukmajaya Kecamatan Tajur Halang Kabupaten Bogor

c. Kelurahan Pondok Terong dan Ratu Jaya Kecamatan Cipayung; serta Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok

Pelaksanaan penelitian berlangsung selama lima bulan yaitu sejak bulan November 2014 hingga Maret 2015.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil wawancara masyarakat dan dan pengamatan langsung di lapangan terhadap masyarakat pemilik lahan yang terkena dampak pembebasan lahan jaringan transmisi. Data sekunder berupa peta lokasi dan nama pemilik lahan bersumber dari PT. PLN (Persero), sedangkan data karakterisitik wilayah dan masyarakatnya diperoleh dari literatur dan publikasi yang dikeluarkan berbagai instansi pemerintah daerah di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

3.3 Metode Pengambilan Data dan Sampel

Pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan menggunakan metode wawancara menggunakan kuisioner dan observasi langsung. Pengambilan sampel dilakukan secara tidak acak dengan menggunakan metode purposive sampling dimana sampel diambil secara tidak acak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu disesuaikan dengan latar belakang masalah dan tujuan penelitian (Indriantoro dan Supomo, 1999). Matriks metode penelitan yang menunjukkan jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data disajikan pada Tabel 2.


(37)

Tabel 2 Matriks metode penelitian

No Tujuan

penelitian Jenis dan sumber data Metode pengum-pulan data Metode analisis data 1 Mengkaji

permasalahan yang timbul akibat kegiatan pembebasan lahan di sepanjang jalur transmisi

Data primer dari responden terkait permasalahan yang timbul akibat pembebasan lahan Data sekunder dari

Dinas dan Instansi terkait

 Wawancara dan kuisioner dengan responden  Penelusuran data

sekunder ke Dinas dan Instansi terkait

Analisis deskriptif kualitatif

2 Mengkaji perubahan jenis mata

pencaharian dan tingkat penghasilan pemilik lahan dengan beralihnya hak pemilikan lahan kepada pemrakarsa pembangunan jaringan transmisi

Data primer dari responden terkait jenis mata pencaharian dan tingkat penghasilan sebelum dan sesudah pembebasan lahan Data sekunder dari Dinas dan Instansi terkait

 Wawancara dan kuisioner dengan responden  Penelusuran data

sekunder ke Dinas dan Instansi terkait

Analisis deskriptif kualitatif Analisis kehilangan penghasilan (loss of earnings)

3 Mengkaji faktor-faktor yang

mempengaruhi nilai ganti rugi lahan milik masyarakat

Data primer dari responden terkait faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan. Data sekunder dati

Dinas dan Instansi terkait

 Wawancara dan kuisioner dengan responden  Data sekunder

NJOP diperoleh dari desa/ kelurahan setempat Analisis regresi linear berganda

4 Mengkaji alternatif solusi dampak pembebasan lahan

Data primer dari responden terkait faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan.

 Wawancara dan kuisioner dengan responden

Analisis deskriptif kualitatif

Jumlah responden yang telah diwawancara adalah 60 orang pemilik lahan masyarakat perorangan yang terkena tapak tower sebagai pihak yang menerima ganti rugi pembebasan lahan dari PLN. Dalam kuisioner yang digunakan terdapat pertanyaan dengan pilihan beberapa alternative jawaban, dan pertanyaan yang harus dijawab secara bebas. Adapun observasi langsung diperlukan untuk mendapatkan data lingkungan di sekitar lokasi pembebasan lahan terkait kondisi sosial ekonomi masyarakat. Dalam pengumpulan data sekunder digunakan teknik inventarisasi data yang bersumber dari instansi pemerintah terkait. Data sekunder yang dikumpulkan terkait antara lain dengan: informasi kependudukan, jenis mata


(38)

pencaharian masyarakat, harga tanah yang terkena pembebasan dan sekitarnya, dan data lain yang terkait.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan untuk mengkaji perubahan jenis mata pencaharian, dan mengkaji alternatif solusi dampak pembebasan lahan adalah deskriptif kualitatif. Dalam mengkaji perubahan tingkat penghasilan digunakan analisis loss of earning, sedangkan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ganti rugi lahan menggunakan analisis regresi linear berganda.

3.4.1 Analisis Deskriptif Kualitatif

Deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak pembebasan lahan terhadap perubahan jenis mata pencaharian masyarakat, dan mengkaji alternatif solusi pengendalian dampak pembebasan lahan. Data jenis mata pencaharian masyarakat terdiri dari jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan baik sebelum maupun sesudah pembebasan lahan berlangsung. Data tersebut di atas disajikan dalam bentuk tabel kemudian dilakukan interpretasi. 3.4.2 Analisis Loss of Earnings

Penggunaan analisis loss of earnings diterapkan pada kajian dampak pembebasan lahan terhadap perubahan tingkat penghasilan responden. Formulasi loss of earnings disajikan sebagai berikut:

LoE = (Ea1 - Ea2) + (Eb1 - Eb2) ... (1)

Keterangan

LoE = Loss of Earnings = Kehilangan Penghasilan (Rp/bulan) Ea1 = Penghasilan responden dari mata pencaharian utama

sebelum pembebasan lahan (Rp/bulan)

Ea2 = Penghasilan responden dari mata pencaharian utama

setelah pembebasan lahan (Rp/bulan)

Eb1 = Penghasilan responden dari mata pencaharian sampingan

sebelum pembebasan lahan (Rp/bulan)

Eb2 = Penghasilan responden dari mata pencaharian sampingan

setelah pembebasan lahan (Rp/bulan)

Dari hasil wawancara diperoleh data jumlah penghasilan responden yang bersumber dari mata pencaharian utama maupun sampingan responden terkena dampak pembebasan lahan. Untuk menggali informasi jumlah penghasilan yang lebih akurat digunakan juga data pengeluaran respoden beserta keluarganya. Data tersebut selanjutnya dihitung menggunakan formula di atas. Hasil perhitungan


(39)

yang bernilai positif mengindikasikan adanya penurunan tingkat penghasilan pasca pembebasan lahan.

3.4.3 Analisis Regresi

Penggunaan analisis regresi diterapkan untuk mengevaluasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai ganti rugi lahan yang diterima responden. Sebagai variabel respon adalah nilai ganti rugi lahan, sedangkan sebagai faktor bebas yang diduga berpengaruh terhadap variabel respon adalah: nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah, harga pasar tanah, luas pemilikan tanah, mata pencaharian responden, penghasilan responden sebelum pembebasan lahan, dan penghasilan responden setelah pembebasan lahan. Persamaan regresi disajikan sebagai berikut:

y = b

0

+ b

1

X

1

+ b

2

X

2

+ b

3

X

3

+ b

4

X

4 +

b

5

X

5 ...(2)

Keterangan

Y = Nilai ganti rugi lahan (Rp/m2) b0 = Intersep

b1... b5 = Penduga parameter gradien model regresi

X1 = Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tanah responden (Rp/m2)

X2 = Harga pasar tanah responden (Rp/m2)

X3 = Luas pemilikan tanah responden (m2)

X4 = Mata pencaharian responden; petani = 1 atau non petani = 0

X5 = Penghasilan responden sebelum pembebasan lahan

(Rp/bulan)

Untuk menguji kevalidan model yang dibuat perlu dilakukan uji asumsi klasik yang terdiri dari: uji normalitas, uji autokorelasi, uji multikolinieritas, dan uji heteroskedastisitas.


(40)

4. GAMBARAN UMUM LOKASI

4.1 Gambaran Lokasi Jaringan Transmisi

Pada pembangunan SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak jumlah tower yang dibangun adalah 66 buah. Lokasi tower ini menyebar di lima desa dan tujuh kelurahan sebagaimana tercantum pada Tabel 3. Sebagian besar tower (28 buah) terdapat di Kabupaten Bogor, setelah itu Kota Bogor (21 buah) dan Kota Depok (18 buah). Dari lima kecamatan yang diteliti, tower terbanyak (26 buah) terdapat di Kecamatan Bojong Gede, setelah itu Kecamatan Tanah Sareal (21 buah), Kecamatan Cipayung (15 buah), Kecamatan Pancoran Mas (tiga buah), dan jumlah tower terendah (dua buah) terdapat di Kecamatan Tajur Halang. Lokasi pembangunan jaringan transmisi yang menjadi daerah penelitian dipetakan pada Gambar 2.

Tabel 3 Jumlah dan luas tapak tower serta luas pembebasan lahan

Wilayah administrasi Jumlah

Tower

Luas tapak tower

Luas pembebasan lahan

(buah) (m2) (m2)

1. Kota Bogor 21 5.075 4.936

a. Kecamatan Tanah Sareal 21 5.075 4.936

 Kelurahan Kedung Badak 3 850 1.011

 Kelurahan Sukaresmi 3 850 751

 Kelurahan Sukadamai 4 900 863

 Kelurahan Kencana 11 2.475 2.311

2. Kabupaten Bogor 27 4.825 3.884

a. Kecamatan Bojong Gede 25 4.375 3.552

 Desa Waringin Jaya 3 1.025 649

 Desa Kedung Waringin 9 425 544

 Desa Susukan 8 1.800 1.545

 Desa Pabuaran 5 1.125 814

b. Kecamatan Tajur Halang 2 450 332

 Desa Sukmajaya 2 450 332

3. Kota Depok 18 4.639 3.140

a. Kecamatan Cipayung 15 3.789 2.427

 Kelurahan Pondok Terong 9 2.089 1.440

 Kelurahan Ratu Jaya 6 1.700 987

b. Kecamatan Pancoran Mas 3 850 713

 Kelurahan Depok 3 850 713

Total 66 14.539 11.960


(41)

KEL. KEDUNG WARINGIN KEL. KENCANA KEL. SUKA RESMI KECAMATAN TANAH SEREAL KECAMATAN BOJONGGEDE KEL. KEDUNG BADAK KEL. SUKA DAMAI KEL. WARINGIN JAYA KECAMATAN CIPAYUNG KECAMATAN TAJUR HALANG KEL. DEPOK KEL. RATUJAYA KEL. PONDOK TERONG KEL. SUKMAJAYA KE L. PABUARAN DESA SUSUKAN KABUPATEN BOGOR KOTA BOGOR KECAMATAN BOJONGGEDE KECAMATAN PANCORAN MAS KEL. KEDUNG WARINGIN KEL. KENCANA KEL. SUKA RESMI KECAMATAN TANAH SEREAL KECAMATAN BOJONGGEDE KEL. KEDUNG BADAK KEL. SUKA DAMAI KEL. WARINGIN JAYA KECAMATAN CIPAYUNG KECAMATAN TAJUR HALANG KEL. DEPOK KEL. RATUJAYA KEL. PONDOK TERONG KEL. SUKMAJAYA KE L. PABUARAN DESA SUSUKAN KABUPATEN BOGOR KOTA BOGOR KECAMATAN BOJONGGEDE KECAMATAN PANCORAN MAS GI KEDUNG BADAK BARU

GI DE P OK III

GI KEDUNG BADAK BARU

GI DE P OK III

LEGENDA : Gardu Induk Tower

Jalur Lintasan SUTT Batas Desa


(42)

Berdasarkan Laporan Pengadaan Tanah PT. PLN (Persero) tahun 2011, pemilik tanah tapak tower sebelum dibebaskan terdiri dari 94 orang dari masyarakat perorangan, satu instansi pemerintah, dua badan usaha milik negara, dan enam perusahaan swasta. Dalam penelitian ini responden yang diteliti semuanya berasal dari masyarakat perorangan, dengan jumlah responden 60 orang. Adapun pemilik lahan dari bukan masyarakat perorangan tidak diteliti karena dianggap kurang relevan dengan tujuan penelitian ini.

Luas lahan yang diperlukan untuk pembangunan setiap tower berbeda berdasarkan tipe tower yang dibangun yaitu: 225 m2 (15 m x 15 m), 289 m2 (17 m x 17 m), dan 400 m2 (20 m x 20 m). Untuk memenuhi kebutuhan lahan 66 buah tapak tower diperlukan tanah seluas 14.539 m2. Dari luasan tersebut lahan yang menjadi milik masyarakat perorangan sehingga perlu dibebaskan adalah 8.691 m2 atau 59,78 persen dari luas total ketersediaan lahan. Adapun sisa keperluan lahan seluas 5.848 m2 (40,22 persen) bukan merupakan milik masyarakat perorangan yaitu: PT. PLN (persero), Dinas Pertanian, PT. Kereta Api Indonesia (Persero), perusahaan swasta non pemerintah, dan developer perumahan.

Proses pembebasan lahan sudah selesai menjelang akhir tahun 2011 dan pada kondisi saat ini tahun 2015, SUTT tersebut telah selesai dibangun dan telah beroperasi menyalurkan tenaga listrik. Pada proses pembebasan lahan, seluruh pemilik lahan telah menerima uang ganti rugi lahan, dengan demikian hak pemilikan lahan beralih kepada PT. PLN (Persero).

4.2 Kondisi Umum Daerah Penelitian

Pada penelitian ini digunakan data sekunder mengenai kependudukan, tingkat pendidikan, dan mata pencaharian masyarakat dari publikasi BPS tahun 2011 berupa Kota Bogor Dalam Angka 2011, Kabupaten Bogor Dalam Angka 2011, dan Kota Depok Dalam Angka 2011. Data ini dipilih untuk menggambarkan kondisi daerah penelitian pada saat sebelum pembebasan lahan berlangsung. Berdasarkan data tersebut, diketahui jumlah penduduk setiap desa dan kelurahan yang diteliti berkisar 7.703-46.502 jiwa, terendah di Desa Sukmajaya dan terpadat di Kelurahan Depok. Luas wilayah desa dan kelurahan studi berkisar antara 98 ha hingga 373 ha, terendah Kelurahan Sukaresmi dan terluas Kelurahan Depok. Tingkat kepadatan penduduk desa dan kelurahan berkisar antara 27 jiwa/ha hingga 155 jiwa/ha, terendah di Desa Sukmajaya dan tertinggi di Desa Pabuaran. Jumlah anggota keluarga di setiap rumah tangga berkisar antara 3 jiwa/KK hingga 5 jiwa/KK, terendah di Desa Sukmajaya dan tertinggi di Kelurahan Ratu Jaya. Rincian data kependudukan daerah penelitian disajikan pada Tabel 4.


(1)

R Square Change

F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 ,873a ,763 ,739 81773,309 ,763 32,147 5 50 ,000 1,645

df F Sig.

Regression 5 32,147 ,000b

Residual 50 Total 55 214961455287,181 6686874114,139 Mean Square 1074807276435,900 334343705706,954 1409150982142,860

Sum of Squares

Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

Durbin-Watson

a. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum Pembebasan Lahan, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian Sebelum Pembebasan

b. Dependent Variable: Nilai Ganti Rugi Lahan

ANOVAa

Model

1

a. Dependent Variable: Nilai Ganti Rugi Lahan

b. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum Pembebasan, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian


(2)

Standardized Coefficients

B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound Tolerance VIF

(Constant) 172035,895 35989,756 4,780 ,000 99748,344 244323,447

Harga NJOP Tanah 1,002 ,231 ,364 4,344 ,000 ,539 1,466 ,677 1,476

Harga Pasar Tanah ,077 ,017 ,359 4,412 ,000 ,042 ,112 ,718 1,392

Luas Pemilikan Tanah 73,427 9,125 ,655 8,047 ,000 55,100 91,755 ,716 1,397

Mata Pencaharian 20098,334 32389,720 ,056 ,621 ,538 -44958,334 85155,002 ,580 1,723

Penghasilan Sebelum ,004 ,008 ,043 ,548 ,586 -,011 ,020 ,787 1,271

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

t Sig.

95,0% Confidence Interval

for B Collinearity Statistics

1


(3)

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

,094 56 ,200* ,969 56 ,157

Unstandardized Residual

Tests of Normality

Shapiro-Wilk Kolmogorov-Smirnova

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction


(4)

(5)

R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F Change

1 ,381a ,145 ,060 41947,98000 ,145 1,701 5 50 ,152 1,549

df F Sig.

Regression 5 1,701 ,152b

Residual 50

Total 55

b. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian

ANOVAa

1759633025,733 14963393979,255

87981651286,658 102945045265,912

Mean Square Sum of Squares

2992678795,851 Model Summaryb

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics

Durbin-Watson

a. Predictors: (Constant), Penghasilan Sebelum, Harga NJOP Tanah, Luas Pemilikan Tanah, Harga Pasar Tanah, Mata Pencaharian Sebelum Pembebasan Lahan

b. Dependent Variable: abserror

Model

1


(6)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Arifin Muhtar, lahir di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 19 September 1964 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Muhtar Adele dam Siti Suaebah. Pendidikan dasar hingga menengah atas ditempuh di SDN 5 kemudian SMPN5 dan SMAN 4, semuanya di Kota Makassar. Melalui penerimaan mahasiswa Program Perintis II penulis diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1982 hingga lulus dari Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian pada tahun 1987. Sambil kuliah penulis juga menjadi santri di Pesantren Al-Ihya Bogor hingga 1994. Pada periode tahun 1992-1993 penulis mengikuti pascasarjana dan mendapatkan gelar Master Business Administrastion di Colegio de San Juan de Letran, Calamba, Manila, Filipina.

Semasa kuliah penulis aktif di Senat Fakultas Pertanian, Badan Kerohanian Islam, dan Himpunan Mahasiswa Islam. Setelah lulus kuliah ikut membidani lahirnya SMP dan SMA Insan Kamil Bogor dan menjadi pengajar dan Wakil Direktur di sekolah tersebut dari tahun 1989 hingga 1994. Pada tahun 1989 hingga 1993 menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Nusa Bangsa- Bogor. Sejak tahun 2000 hingga saat ini penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta.

Penulis pernah bekerja di sebuah konsultan lingkungan Woodward-Clyde International Ltd. dan Ansaldo Energia Ltd. selama periode 1994-1999. Sejak keluar dari dua perusahaan tersebut, penulis mendirikan sekaligus menjadi Direktur Utama PT. Busindo Polanusa pada tahun 1999-2001, kemudian mendirikan sekaligus menjadi Direktur Utama PT. Arthayu Rali Perdana sejak tahun 2002 hingga saat ini, dan PT. Arthayu Jeanan Lintasbuana sejak tahun 2008 hingga saat ini.

Sambil bekerja penulis melanjutkan studi pascasarajana IPB program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan sejak 2011. Di bagian akhir studi penulis menyusun tesis berjudul Kajian Dampak Pembebasan Lahan Pembangunan Jaringan Transmisi terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat. Dorongan untuk memilih tema tesis ini didapatkan pada saat penulis menjadi Ketua Tim Penyusun AMDAL SUTET 500 kV Mandirancan-Tx (Pedan-Ungaran) dengan lintasan sepanjang 250 km dan Ketua Tim Monitoring LARP SUTT 150 kV Depok-Kedung Badak. Dari dua studi tersebut penulis melihat bahwa kegiatan pembebasan lahan jaringaan transmisi adalah sensitive dan tidak jarang menimbulkan konflik sosial. Oleh karena itu kegiatan pembebasan lahan perlu mendapat perhatian yang cermat dari pelaksana pembangunan yang memerlukan lahan.