48
BAB IV NILAI
BUSHIDO DALAM DWILOGI NOVEL SAMURAI
4.1 Chūgo 忠義 - Kesetiaan
Kesetiaan atau yang disebut juga dengan pengabdian diri dalam Situmorang 2000: 1 adalah kesediaan melaksanakan perintah atau keinginan orang lain dengan
mengorbankan kepentingan sendiri. Kesetiaan secara umum dapat dibagi menjadi tiga unsure yaitu, setia karena situasi yang terdesak atau terpaksa, setia karena ajaran
moral, dan setia karena untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Kesetiaan seorang samurai termasuk kesetiaan karena ajaran moral. Samurai yang hidup
dalam ie kizoku-nya, akan selalu menjaga dan mengabdi kepada tuannya yang telah mensejahterakan hidupnya.
Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi di dalam melaksanakan tugas, dan puncak kehormatan seorang samurai adalah mati dalam melaksanakan
tugas atau perjuangan. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut. ”Kita adalah samurai klan Okumichi,” kata Taro, memotong-motong
a car lobak menjadi potongan kecil siap santap. ”Adalah tugas kita
untuk mematuhi tuan kita apapun perintahnya.” ”Memang benar,” balas Mune, tetapi bukankah tugas kita juga untuk
melakukannya dengan gembira?’ Yoshi mendengus lagi, tetapi dia mengambil sapu dan mulai
menyapu lantai dapur. ”Ketika seorang pemanah tidak mengenai sasarannya,” kata Taro
mengutip Konfusius, ”Dia melihat ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui apa yang salah. Bukan tempat kita untuk mengkritisi
atasan kita.” Dia meletakkan sup dan acar di atas nampan bersama
semangkuk kecil nasi. Ketika Taro keluar dapur, Mune mencuci kuali, berhati-hati agar kuali-kuali tidak saling berbenturan. S1: 53
Kutipan di atas merupakan gambaran mengenai perkataan samurai yang menyatakan kesadaran bahwa tugas samurai adalah mematuhi tuan apa pun
perintahnya. Bushido salah satunya bersumber dari Konfusianisme yaitu ajaran Konfusius dari China yang berupa ajaran moral hubungan kemasyarakatan. Dalam
cuplikan di atas terdapat kutipan dari ajaran Konfusi us, yaitu ”Ketika seorang
pemanah tidak mengenai sasarannya, dia melihat ke dalam dirinya sendiri untuk mengetahui apa yang salah
”. Kutipan Konfusius ini bermakna bahwa samurai tidak boleh mengkritisi atasan melainkan harus introspeksi diri.
Contoh kutipan lain yang memperlihatkan mengenai kesetiaan dapat dilihat pada cuplikan berikut.
Saiki membungkuk, ”Tuanku, kebodohan hamba membuat hamba tak bisa melihatnya. Hamba akan mempelajari
masalah ini.” Genji mengeluh putus asa. ”Kalau begitu, ayo kita berangkat sebelum
matahari terbenam.” ”Tuanku bergurau lagi,” kata Saiki. ”Matahari baru saja terbit.” Dia
melangkah ke depan, membungkuk dan menutup pintu joli. Para penandu berdiri. Dan, prosesi itu mulai bergerak.
Dari jendela joli, Genji bisa melihat delapan samurai yang berbaris dalam barisan ganda. Jika dia melihat ke belakang, dia akan melihat
dua belas samurai lagi. Dua samurai ada di sebelah kiri joli, dan dua lagi termasuk Saiki, ada di sebelah kanannya. Dua puluh empat orang,
dua puluh delapan jika para penandu dihitung, siap berkorban jiwa untuk melindungi nyawanya. Pengabdian dramatis seperti itu
mengiringi setiap tindakan seorang bangsawan agung, tak peduli betapa tidak penting dan sepelenya tindakan sang bangsawan. Tak
heran masa lalu Jepang penuh dengan kucuran darah dan masa depannya penuh dengan bahaya. S1: 72-73
Kutipan di atas terjadi di saat Genji akan mengadakan perjalanan. Para samurai siap berkorban jiwa untuk melindungi nyawa tuannya. Kesetiaan mengabdi
satu arah dengan mengabdikan jiwa raga bagi tuan melambangkan pengabdian yang tanpa pamrih kepada pimpinannya, bahkan jika perlu dengan mengorbankan nyawa.
Pengabdian diri jiwa dan raga kepada tuan merupakan suatu sikap kepatuhan. Patuh kepada tuan juga merupakan suatu representasi bentuk nilai kesetiaan samurai.
Saat Shigeru menggantungkan kedua pedang itu di pinggangnya, Sohaku mengubah sedikit posisi duduknya. Sehingga, jika Shigeru
menebaskan pedangnya ke Genji, dia bisa melemparkan diri di antara Genji dan Shigeru. Ini akan memberi kesempatan kepada Hide dan
Shimoda, dua samurai lain yang bersenjata di situ untuk membunuh Shigeru,
jika mereka
bisa. Atau
setidaknya, keduanya
menghalanginya, dan para rahib dapat mengeroyoknya, sebelum Shigeru mencapai Genji. Meski Sohaku adalah rahib kepala di kuil
Zen, dia tidak menemukan ketenangan di dalam Zen. Zen mengajarkan seseorang bagaimana caranya hidup dan mati. Agama itu
sama sekali tidak menyinggung kehidupan setelah mati. Kini, saat dia bersikap berdiri untuk meninggalkan dunia ini, Sohaku mengucapkan
doa dalam kepercayaan Buddha Honganji di hatinya. Namu Amida Butsu. Semoga rahmat Buddha Cahaya Sejati menyinariku. Semoga
Buddha Penuh Kasih menunjukkan jalanku ke Tanah Murni. Bahkan saat dia berdoa, Sohaku waspada mengawasi setiap langkah Shigeru
menuju tempat duduk junjungan mereka. S1: 237
Pada kutipan di atas, nilai kesetiaan tercermin dari tindakan Sohaku, yaitu ketika Sohaku merasa dengan Shigeru menggantungkan kedua pedang di
pinggangnya, maka akan mengancam keselamatan Genji, Sohaku sudah bersiap-siap untuk melindungi tuannya.
”Kesetiaanku adalah pada Okumichi no kami Genji, Bangsawan Agung Akaoka,” kata Saiki, ”Bukan perampas kekuasaan yang
menyombongkan gelar Shogun dan menduduki Istana Shogun.” Dia membungkuk dan berdiri. ”Jika tuanku memerintahkanku untuk
mematuhi orang itu, aku akan patuh. Jika dia memerintahkanku untuk membunuh orang itu, hanya kematianku yang dapat mencegahku
melaksanakan tugas itu. Aku tahu siapa diriku. Aku yakin kalian juga
tahu siapa diri kalian.” S1: 347
Pada kutipan di atas, dapat kita lihat ucapan Saiki yang mencerminkan kesetiaan yaitu sumpah setia kepada atasannya yaitu Genji, Daimyo Akaoka. Apa
pun yang menjadi perintah oleh atasan akan dipenuhi oleh anak buahnya, walaupun hal itu akan menyebabkan kematiannya. Kesetiaan dengan cara mengabdikan diri
jiwa dan raga kepada pimpinannya merupakan sebuah nilai falsafah bushido yang paling utama.
Meski dia merasa sedih kehilangan pengikut setia, Genji sama sekali tak khawatir mendengar kegagalan Gojiro meninggalkan Edo. Saat
mengajukan diri, Gojiro tahu risiko penangkapan, siksaan, dan kematian bisa menjadi nasibnya. Saiki telah mengirim pembawa
pesan lain pada saat yang sama, mungkin pembawa pesan tersebut sekarang telah sampai di Akaoka. S1: 420
Gojiro merupakan anak buah dari Genji yang mengajukan diri untuk menjadi pembawa pesan, walaupun hal itu mempunyai resiko yang tinggi yaitu kematian
dirinya. Dari kutipan di atas, dapat kita lihat tindakan Gojiro yang mencerminkan nilai bushido adalah nilai keberanian dan kesetiaan.
Kutipan lain yang memperlihatkan nilai kesetiaan adalah ketika Genji terluka parah karena diserang oleh sekelompok orang. Namun Hide merasa itu semua adalah
kesalahannya karena ia tidak berada di sana untuk melindungi tuannya. Walaupun ketidakhadirannya di sana adalah karena ia diperintahkan oleh Genji untuk tetap
tinggal dan tidak ikut mengadakan perjalanan bersama dengan Genji. Hide merasa bersalah dan juga malu karena tidak bisa melindungi Genji dan memohon ampun
kepada Genji. Berikut adalah perkataan Saiki, kepala rumah tangga Lord Genji . ”Hamba setuju dengan Hide,” kata Saiki.” Luka-luka yang Anda
derita adalah akibat kesalahannya. Dia seharusnya mengabaikan
perintah Anda dan terus menjaga Anda dengan diam-diam. Memang tetap membuntuti anda menunjukkan dia tidak patuh dan karenanya
harus dihukum bunuh diri. Tetapi, setidaknya saat itu dia bisa mengawal Anda sesuai tugasnya.” S1: 572
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa rasa bersalah Hide mencerminkan kesetiaannya kepada Genji.
“Mereka bisa saja sekelompok teman yang berjalan-jalan di sore hari. ”Ayo terus. Dan jangan melakukan tindakan apa pun tanpa perintah
dariku.” “Ya, Tuanku,” Hide, yang tetap tak bisa menghilangkan ekspresi
khawatir dari wajahnya, menderap kudanya ke posisi paling depan. Jika rombongan itu memang pembunuh, mereka mungkin akan
menyerangnya terlebih dahulu, sehingga junjungannya punya kesempatan untuk lari. S1: 428
Kutipan di atas terjadi ketika Genji dan para samurai akan mengadakan perjalanan keluar dari kota Edo. Di tengah perjalanan mereka melihat dua lusin
samurai di depan. Kewaspadaan mengakibatkan kekhawatiran dari Hide, samurai Genji. Kewaspadaan bahwa mungkin saja di antara samurai-samurai tersebut ada
yang ingin membunuh Genji. Ada dua nilai bushido yang terdapat di dalam kutipan ini, yaitu nilai kepatuhan dan kesetiaan untuk melindungi tuannya jiwa dan raga.
“Hide.” Peringatan junjungannya adalah satu-satunya sebab mengapa kepala samurai itu masih menempel di badannya. Hide mengendurkan
pegangan pada pedangnya dan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, meski tak terlalu berhasil. S1: 430
Cuplikan di atas terjadi ketika para samurai bertemu dengan samurai dari pihak lain di tengah jalan. Namun Genji sama sekali tidak ingin pada perjalanannya
kali itu terjadi hal yang sia-sia karena ia memiliki tujuan yang lebih penting. Genji
memperingatkan Hide agar ia tidak sampai membunuh samurai asing tersebut. Peringatan dari Genji-lah yang menyebabkan ia tidak sampai membunuhnya karena
kepatuhannya terhadap perintah Genji. Ini menunjukkan nilai bushido yaitu kepatuhan Hide terhadap atasannya. Samurai harus selalu mematuhi perintah
tuannya walaupun itu bertentangan dengan keinginannya. Mematuhi perintah tuan merupakan represenetasi dari bentuk kesetiana seorang samurai kepada
pemimpinnya. Kemudian seorang samurai juga harus bisa mengendalikan dirinya. Nilai kepatuhan juga menjadi salah satu dari representasi nilai kesetiaan
dalam bushido. Nilai ini tidak hanya terdapat di dalam novel Samurai yang pertama namun juga terdapat di dalam novel lanjutannya yaitu novel Samurai: Aki no hashi.
Berikut adalah kutipannya. Saiki tidak melanjutkan protesnya. Sebagai seorang samurai
tradisional, sekali tuannya membuat keputusan, kepatuhan adalah satu- satunya jalan. Dia membungkuk dan berkata, “Akan segera dilakukan,
Tuan.” S2: 67. Kutipan di atas menunjukkan bahwa kepatuhan seorang samurai adalah satu-
satunya jalan ketika tuannya membuat keputusan.
Salah satu representasi dari kesetiaan samurai terhadap anak buahnya adalah Adauchi yang berarti mewujudkan balas dendam tuan yang sering dilakukan anak
buah sebagai tanda pengabdian kepada tuannya Situmorang, 1995: 21. Adauchi dapat kita lihat pada kutipan berikut ini.
“Baik, Tuan,” kata Hide, sama sekali tanpa keyakinan. Enam tahun lalu, dia adalah salah seorang yang berhasil selamat dari jebakan
Kawakami yang berkhianat di Kuil Mushindo. Karena pelatihan dan
kecenderungan, Hide adalah seorang samurai yang setia terhadap tradisi. Balas dendam adalah satu-satunya motivasi yang dapat
dipahaminya benar, dan dia mengasumsikan semua samurai adalah sama
– kecuali Lord Genji, yang dipandang Hide sebagai nabi yang unik dan menimbulkan ketakziman tiada bandiing. S2: 125.
Dari kutipan di atas terlihat bahwa samurai sangat setia terhadap tradisi. Salah satunya adalah adauchi yaitu mewujudkan balas dendam tuan.
4.2 Rei 礼- Kehormatan