Perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudharabahah dan musyarakat di Bank Syariah Mandiri cabang Warung Buncit

(1)

PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN

PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT

Oleh

HINDAYANTI

NIM. 107046100539

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Juni 2011


(5)

KATA PENGANTAR

ميح لا ح لا ها مسب

Puja dan puji serta sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul: “Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah Cabang Warung Buncit”

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa bimbingan dari semua pihak baik berupa moril maupun materil, dapat membantu skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag. Ketua Program Studi Muamalat Ekonomi Islam. 3. Bapak Drs. Noryamin Aini,M.A sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

4. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Kepada seluruh dosen di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada pimpinan perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan kesempatan kepada


(6)

penulis memanfaatkan dan meminjam buku yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

7. Bapak Ridwan, staf Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit dan karyawan lainnya.

8. Bapak, ibu, kakak-kakakku dan adikku tercinta.

9. Kepada Dimas, Zurrahmah Arif, Salmi Hayati dan teman lainnya yang telah banyak membantu saya.

Semoga semua yang telah mereka berikan baik berupa bimbingan dan bantuan dalam rangka penyelesaian skripsi ini mendapat imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Amin.

Jakarta, 9 Juni 2011 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR iv

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

D. Kajian Pustaka (Review Studi Terdahulu) 8

E. Kerangka Teori dan Konsep 10

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 16

G. Sistematika Penulisan 18

BAB II PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN JAMINAN PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Pengertian Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 20 B. Landasan Hukum Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 22 C. Jenis-Jenis Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 27


(8)

D. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah 30 E. Pandangan Ulama tentang Kedudukan Jaminan pada Akad

Mudhârabah dan Musyârakah 33

BAB III KONSEP PENERAPAN JAMINAN PADA AKAD

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Karakteristik Pembiayaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah 39

B. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif 44

C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam 51

D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah 58

BAB IV PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN

PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN

MUSYARAKAH DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT

A. Profil Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 61 B. Perbedaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah 66 C. Aplikasi Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah


(9)

D. Implementasi Jaminan pada Akad Pembiayaan Mudhârabah dan

Musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 71 E. Analisis Perbandingan Konsep dan Implementasi Jaminan pada

Akad Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah di Bank Syariah

Cabang Warung Buncit 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 79

B. Saran-Saran 82

DAFTAR PUSTAKA 84


(10)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Para rentenir di dalam membantu petani tidak hanya berupa pinjaman uang yang berbunga tinggi, tetapi juga memberikan pinjaman dalam membentuk beras, pangan dan keperluan lainnya, yang ke semua pembayarannya dilakukan dalam bentuk uang sehingga praktis masih menerapkan sistem bunga yang bersifat mencekik.1

Dengan adanya bank syariah, jika pengusaha kekurangan modal untuk menjalankan usahanya maka pengusaha dapat meminjam modal kepada bank syariah. Bank syariah mendorong para pengusaha untuk mengembangkan usahanya dengan prinsip bagi hasil. Penyaluran pembiayaan yang diberikan bank syariah merupakan kegiatan utama bank untuk memperoleh laba namun rawan risiko karena dalam penyaluran pembiayaan dapat mengakibatkan wanprestasi sehingga dapat merugikan bank.

Bank syariah merupakan lembaga intermediasi dalam menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah. Keinginan masyarakat menggunakan jasa perbankan syariah tanpa bunga membuat perkembangan perbankan syariah semakin baik, sehingga bank syariah banyak diminati masyarakat.

1


(11)

Pembiayaan perbankan syariah yang didasarkan pada akad bagi hasil, menempatkan bank sebagai pihak penyandang dana. Untuk iu bank berhak atas kontraprestasi berupa bagi hasil sebesar nisbah terhadap pendapatan atau keuntungan yang diperleh oleh pemilik usaha (mudhârib). Sedangkan apabila bank hanya bertindak sebagai penghubung antara pengusaha dengan nasabah, maka ia berhak atas kontraprestasi berupa fee.2

Bentuk penyaluran dana yang ditunjukan untuk kepentingan investasi dalam perbankan islam secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu musyârakah dan mudhârabah. Musyârakah adalah akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha milik dana/modal bekerjasama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah berjalan.3Musyârakah merupakan pembiayaan

berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Seorang mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

2

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 138.

3


(12)

Jaminan pada dasarnya dalam sebuah kontrak bagi hasil mudhârabah, eksistensi dari jaminan tidak dibutuhkan, mengingat didalamnya sudah mengatur mengenai risiko bagi para pihak ketika terjadi kerugian. Tingkat urgenitas dari jaminan ini adalah berkaitan dengan kekhawatiran shâhibul mâl mengenai kemungkinan terjadinya penyelewengan yang dilakukan mudhârib. Dengan kata lain moral hazard menjadi faktor mengapa jaminan menjadi penting. Adanya jaminan juga diharapkan dapat mengcover kemungkinan terjadinya total loss. Akan tetapi jaminan ini masih menjadi perdebatan para ulama.4

Mudhârabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal (shâhibul mâl) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudhârib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan konstribusi 100% modal dari shâhibul mâl dan keahlian dari mudhârib. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.5

Perbedaan yang esensial dari musyârakah dan mudhârabah terletak pada besarnya konstribusi atas manajemen dan keuangan. Dalam mudhârabah, modal hanya berasal dari satu pihak. Sedangakan dalam musyârakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.

4

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 134.

5

Karnaen Perwataatmadja, Apa dan bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992), cet.1 h. 33.


(13)

Dalam literatur fiqh, musyârakah dan mudhârabah berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al-amanah) yang merupakan tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama.6

Pada dasarnya bila jaminan diperbolehkan dalam kondisi dan situasi tertentu, shâhibul mâl dapat meminta agunan sebagai jaminan modal mudhârabah dari mudhârib, maka tentunya dia juga dapat menyita agunan tersebut bila berbentuk barang, atau meminta pertanggung jawaban dari pemberi surat rekomendasi (memo) untuk mengganti kerugian akibat kesalahan mudhârib.7

Menjaminkan barang-barang yang tidak mengandung risiko biaya perawatan dan tidak menimbulkan manfaat, seperti menjadikan bukti pemilikan bukan barangnya, sebagaimana yang berkembang sekarang ini agaknya lebih baik untuk menghindarkan perselisihan antara kedua belah pihak sehubungan dengan risiko dan manfaat barang jaminan. Pihak yang berhutang menjaga amanah atas pelunasan hutang, sedangkan pihak pemegang jaminan bersikap amanah atas barang yang dipercayakan sebagai jaminan.8 Jika barang jaminan dapat dimanfaatkan maka dapat diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang jaminan.

6

Ahmad Rodoni, Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Bestari Buana Murni, 2008), h. 28.

7

Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, (Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis), h. 27.

8Ghufron A. Mas‟adi,


(14)

Jaminan merupakan suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Jaminan atau gadai dalam fiqh disebut rahn,yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan atau menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan.9 Salah satu bank yang melakukan pelaksanaan jaminan pada pembiayaan mudhârabah dan musyârakah adalah BSM Cabang Warung Buncit.

Masalah yang timbul kemudian adalah dalam pengajuan pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di BSM Cabang Warung Buncit, dalam penyaluran pembiayaan diperlukan adanya jaminan atau agunan. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, tetapi untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. Namun bagi masyarakat kalangan bawah dan menengah masih sulit melakukan pinjaman dengan adanya jaminan tersebut. Untuk itulah penulis merasa perlu untuk membahas mengenai bagaimana perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit

9

Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2002), h.1.


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka disini penulis merumuskan perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Untuk itu, dalam memudahkan pemahaman sekaligus pengantar dalam skripsi ini, penulis memandang perlu mengadakan penulisan. Setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada, maka penulis merumuskannya dalam pertanyaaan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah?

2. Bagaimana konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah? 3. Apakah konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah

dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit sudah sesuai dengan prinsip jaminan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan skripsi ini, penulisan bertujuan untuk:

1. Mengetahui pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah.


(16)

2. Mengetahui perbedaan konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah.

3. Mengetahui gambaran tentang kesesuaian konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit .

Manfaat Penelitian : a. Manfaat Akademis

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan konstribusi berupa buku bacaan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbankan Syariah.

b. Manfaat Praktis

Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Lembaga Perbankan, khususnya Perbankan Syariah dan sekaligus dapat memberikan penjelasan tentang penerapan jaminan dalam pembiayaan mudhârabah dan musyârakah.

c. Masyarakat

Penelitian skripsi ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya para nasabah untuk selalu menyertakan jaminan dalam rangka


(17)

mendapatkan pembiayaan mudhârabah dan musyârakah dari Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.

D. Kajian Pustaka

Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat di simpulkan bahwa belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Skripsi sebelumnya yang membahas mengenai jaminan dan telah terdaftar dalam pustaka skripsi UIN Syarif Hidayatullah adalah :

1. Aplikasi Agunan dalam Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah, (Studi Kasus PT.BMI,Tbk.), Irawati FSH / Muamalat / Perbankan Syariah, 2007). Dalam skripsi ini dibahas mengenai aplikasi agunan dalam pembiayaan mudharabah dan murabahah. Tinjauannya adalah pada teknis operasional pembiayaan mudharabah dan murabahah di PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.

2. Tinjauan hukum islam dan hukum positif terhadap jaminan di pegadaian syariah oleh Elis Nuryani. 2006. Pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap jaminan di pegadaian syariah, peneliti mengemukakan hadis-hadis dan juga pendapat beberapa ulama tentang pelelangan barang jaminan.


(18)

3. Penjaminan barang gadai dalam perspektif Islam dan aplikasinya pada Bank Syariah (studi kasus pada BNI Syariah) oleh Livia, 201046100855, 2005. Pembahasan mengenai Gadai dalam perbankan Syariah ditetapkan dalam 2 produk perbankan yaitu sebagai produk pelengkap dan produk pinjaman/ produk sendiri.

4. Konsep dan aplikasi pembiayaan Ar-rahn usaha mikro pada pegadaian syariah cabang Dewi Sartika oleh Ahmad Fauki, 2010. Pembahasan mengenai konsep pembiayaan ARRUM serta aplikasinya pada pegadaian syariah cabang Dewi Sartika.

5. Fungsi jaminan dalam pembiayaan mudharabah (studi pada LKS Berkah Madani Kelapa Dua, 2008. Pembahasan mengenai pandangan hukum islam mengenai penyertaan jaminan.

Dalam penelitian ini penulis mengkaji bagaimana perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terlihat pada fokus penelitian yang permasalahannya ada terhadap perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.


(19)

E. Kerangka Teori dan Konsep

Musyârakah merupakan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan di tanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Musyârakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skim pembiayaan syariah.10

Syarat umum musyârakah:11

a. Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan besama-sama menyediakan dana atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu.

b. Nasabah bertindak sebagai penegelola usaha dan bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati.

c. Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha

d. Pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan atau barang.

e. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank dan nasabah.

f. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan.

10

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 49.

11


(20)

g. Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana diuat dalam akad karena kelalaian atau kecurangan.

Objek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)

Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak, atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti dan sebagainya. Jika modal dalam bentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra para pihak, tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyârakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyârakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyârakah. Akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. seorang mitra dapat melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyârakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam akad.

Keuntungan harus dikuantitatifkan dengan jelas untuk menghindarkan perbedaandan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau ketika penghentian


(21)

musyârakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal. Dalam persengketaan, biaya operasional dibebankan pada modal bersama. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Mudhârabah adalah akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), biasa disebut shâhibul mâl, menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut mudhârib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahawa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi diantara meeka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad.12

Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi mudhârabah yaitu kepercayaan dari shâhibul mâl kepada mudhârib. Kepercayaaan merupakan unsur terpenting karena dalam transaksi mudhârabah, shâhibul mâl tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari mudhârib dan tidak boleh ikut campur di dalam pengelolaan.

12


(22)

Sebagai bentuk kontrak, mudhârabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik dana/modal (pemodal), yang disebut shâhibul mâl menyediakan modal (100%) kepada pengusaha sebagai pengelola (mudhârib), untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad (besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar). Shâhibul mâl (pemodal) adalah pihak yang memiliki modal, dan mudhârib (pengelola) adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.

Apabila usaha tersebut mengalami kegagalan sehingga terjadi kerugian yang sampai mengakibatkan sebagian atau seluruh modal shâhibul mâl habis, maka yang menanggung kerugian keuangannya adalah shâhibul mâl sendiri kecuali apabila kerugian tersebut terjadi akibat kecurangan yang dilakukan oleh mudhârib. Agunan atau jaminan tersebut disita sebagai pengganti kerugian atau kehilangan modal yang harus ditanggung oleh mudhârib dalam kondisi seperti diatas.13

Sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Islam yaitu melalui perdamaian, arbitrase dan pengadilan kekuasaan kehakiman. Dalam PBI No. 7/46/2005, terkait dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah diatur dalam ketentuan Bab III pasal 20 tentang penyelesaian sengketa sebagai berikut:

13


(23)

1. Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan diantara bank dan nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.

2. Dalam hal musyawarah sebagaiamana dimaksud pada ayat 1 tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah.

Tata cara pengajuan kredit :

a. Mencari informasi mengenai jenis produk perbankan yang akan di gunakan, informasi di peroleh dari bagian layanan nasabah.

b. Setelah melakukan negoisasi untuk memperoleh informasi, yaitu tahap pendataan yang akan di layani oleh bagian pemberi kredit dan tahap investigasi.

c. Bila di setujui maka selanjutnya adalah akad atau transaksi, di Bank akan di wakili oleh bagian hukum dan investigasi. Sedangkan proses pengucuran dana akan dilakukan bagian Teller.

d. Keputusan akan di putuskan oleh bagian komite pembiayaan.

Untuk mendapatkan fasiltas pembiayaan harus melalui beberapa tahapan yaitu : a. Tahap permohonan (aplikasi), wawancara, pemeriksaan lokasi usaha, evaluasi dan

penilaian, negosiasi, keputusan pembiayaan, pembukaan rekening, dokumentasi, pencairan dan monitoring.


(24)

b. Perjanjian pembiayaan pada bank dibuat dengan sederhana, sehingga pada umumnya hanya mengatur tentang pokok dari hak dan kewajiban para pihak saja. c. Sebagai barang jaminan, nasabah debitur dapat menyerahkan barang tidak

bergerak atau menyerahkan barang bergerak seperti BPKB kendaraan bermotor, emas, sertifikat deposito dan lain-lain yang kemudian diikat dengan akte otentik perjanjian pengikatan jaminan yang dibedakan berdasarkan benda yang dijaminkan.

d. Secara yuridis pada persetujuan akad pembiayaan belum terdapat perlindungan yang memadai terhadap nasabah debitur pada perjanjian pembiayaan, namun pada prakteknya bank memberikan keringan-keringan yang memadai bagi nasabah untuk melunasi kembali piutangnya.

e. Perjanjian pembiayaan bank tidak secara tegas menyatakan wanprestasinya seorang debitur, hanya ditentukan bahwa hak-hak bank hanya dapat dilaksanankan jika telah lewat jangka waktu dan nasabah lalai dalam memenuhi kewajibannya. Untuk penyelesaiannya diutamakan penyelesaian secara musyawarah, akan tetapi jika musyawarah tidak membawa penyelesaian, maka dilaksanakan hak-hak atas barang jaminan dengan tahapan penarikan jaminan, penjualan dengan lelang terbuka, penyelesaian melalui lembaga Peradilan..


(25)

F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Metode penelitian yang digunakan adalah analisis ANN dalam bukunya ”Ruqyah Syar‟iyyah: Teori, Model dan Sistem Ekonomi” oleh Dr.Ir.H.Murasa Sarkaniputra dan Disertasi Dr. Euis Amalia, M.Ag yang berjudul ”Reformasi Kebijakan Bagi Penguatan Peran Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Kecil Mikro di Indonesia (Analisis Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam). Metode penelitian ini digunakan karena berhasil tidaknya suatu penelitian dipengaruhi oleh tepat tidaknya dalam memilih metode yang akan dipakai. Dalam penelitian, metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yaitu suatu penelitian yang menggambarkan atau menerangkan data secara kualitatif, dimana data yang terkumpul berdasarkan proses pemaparan.

Proses pegumpulan data dilakukan penulis untuk menghasilkan penelitian kualitatif menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari Bank Syariah Mandiri Cabang Mampang Prapatan. Untuk memperoleh data primer ini, penulis mengadakan wawancara secara langsung dengan pihak yang telah ditunjuk oleh Bank Syariah Mandiri Cabang Mampang Prapatan.


(26)

b. Data Sekunder

Dokumentasi atau arsip yang berhubungan dengan penelitian.

Penelitian kepustakaan (library research dari buku, artkiel dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian).

Dalam rangka menyusun dan mengumpul bahan skripsi ini, penulis menggunakan dua macam teknik pengumpulan data yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan

Untuk menambah referensi serta kekayaan literatur, penelitian ini mengkaji lebih dalam literatur yang ada, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu.

b. Penelitian Lapangan

Penulis juga langsung terjun ke lapangan penelitian untuk mendapatkan data hasil pengamatan lapangan atau informasi dari responden. Dengan menggunakan metode deskriptif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu pemikiran, atau suatu peristiwa pada masa sekarang.

Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada sistem penulisan skripsi yang terdapat di dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009.


(27)

G. Sistematika Penulisan

Pengolahan data menjelaskan bagaimana suatu data dianalisis atau diolah, dan teknik memberikan gambaran terperinci, penulisan ini disusun bab demi bab yang menunjukan bagaimana perbandingan konsep dan pelaksanaan jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori dan konsep, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab ke dua berisi pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah, yang mencakup teori yang digunakan dalam penelitian. Teori yang digunakan yaitu pengertian pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, landasan hukum pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, jenis-jenis pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, rukun dan syarat pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, pandangan ulama tentang kedudukan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah.

Bab ke tiga merupakan konsep penerapan jaminan pada akad mudhârabah dan musyârakah. Bab ini berisi karakteristik pembiayaan akad mudhârabah dan musyârakah, konsep penerapan jaminan dalam akad mudhârabah dan musyârakah


(28)

menurut hukum positif, konsep penerapan jaminan dalam akad mudhârabah dan musyârakah menurut hukum islam.

Bab ke empat tentang perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudharabah dan musyarakah di Bank Syariah Cabang Warung Buncit.. Mengangkat pembahasan dari perbedaan, persamaan jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah, juga analisis perbandingan konsep dan implementasi jaminan pada akad pembiayaan mudhârabah dan musyârakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit.

Bab ke lima adalah bagian penutup yang berisi kesimpulan hasil analisis dan saran-saran yang bermanfaat.


(29)

BAB II

PANDANGAN ULAMA TENTANG KEDUDUKAN JAMINAN PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

A. Pengertian Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Secara teknis, mudhârabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shâhibul mâl) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudhârabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.1

Dalam mengaplikasikan mudhârabah, penyimpanan atau deposan bertindak sebagai shâhibul mâl (pemilik modal) dan bank sebagai mudhârib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudhârabah. Dalam pembiayaan mudhârabah, hasil usahanya akan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati.2

1

Ahmad Al-Syarbasi, Al-Mu’jam Al-Iqtishad Al-islam, (Beirut: Daar Al-„Alamil Kutub, 1987) dalam Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah; Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: 2001), cet. ke-1, h.95. Lihat juga Nrjjatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 15-18.

2


(30)

Mudhârabah adalah produk pembiayaan pada bank syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Pada akad mudhârabah hubungan kontrak terjadi antara penyedia dana (shâhibul mâl) dengan pengusaha (mudhârib). Akad Mudhârabah hampir sama dengan akad musyârakah.

Mudharâbah, modal sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal (shâhibul mâl), keuntungan dibagi atas persetujuan bersama, kerugian materi akan ditanggung penuh oleh pemilik modal jika kerugian dalam berusaha tidak disebabkan oleh kelalain si pengusaha, shâhibul mâl tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan usaha, tetapi boleh ikut mengawasi jalannya usaha.

Dapat disimpulkan bahwa akad mudhârabah adalah akad yang dilakukan oleh nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau pembiayaan yang bersifat produktif. Nasabah akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan dalam kesepakatan.

Sedangkan musyârakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana-mana masing pihak memberikan konstribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.3 Dalam Musyârakah, keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas

untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau

penghentian musyârakah.

3Muhammad Syafi‟i Antonio,


(31)

Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh

keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang

mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah

tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem pembagian

keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Kerugian modal di bagi

berdasarkan persentase modal masing-masing.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pembiayaan musyârakah dilakukan oleh dua orang pemilik modal atau lebih untuk menjalankan suatu proyek. Semua pihak berhak ikut serta dalam manajemen proyek. Proporsi pembagian laba tidak harus sebanding dengan persentase penyertaan modal, karena pada prinsipnya penyertaan tidak hanya modal tetapi juga keahlian dan waktu. Apabila terjadi kerugian masing pihak bertanggung jawab sesuai proporsi modal masing-masing.

B. Landasan Hukum Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Mudhârabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua mudhârib, nasabah bertindak selaku pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Landasan hukum positif terdapat dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan, yakni pada ketentuan pasal 1 ayat 13 yang mendefinisikan mengenai


(32)

prinsip syariah dimana mudhârabah secara eksplisit merupakan salah satu akad yang dipakai dalam produk pembiayaan perbankan syariah.5

Akad mudhârabah berdasarkan UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan Fatwa DSN No.7/DSN-MUI/IV/2000. Mengenai pembiayaan mudhârabah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad mudhârabah.

Dalam Fatwa DSN No.2/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000 bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syariah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudhârabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

5

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 126.


(33)

Ada juga yang mengatakan diambil dari kata dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki. Disebut juga dengan qiradh, karena diambil dari kata muqaradhah, yang artinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan

Dua orang penyair melakukan muqaradhah

Yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Adapun yang dimaksud dengan qiradh disini, yaitu perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang.

QS. Al Baqarah 198

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.


(34)

Firman Allah QS. al-Nisa‟ [4]: 29 :

كت أ اإ لطا لاب مك يب مكلا مأ ا لكأت ا ا مآ ي لا ا يأ اي

ًا يح مكب اك هللا إ مكسف أ ا لتقت ا مك م ضا ت ع ً اجت

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu”.6

Allâh Ta'ala berfirman : (QS al Muzzammil:20)

Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu, orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang lain yang berperang di jalan Allah.

6

Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000), h.1.


(35)

Musyârakah adalah kemitraan antara bank dan nasabah untuk bersama-sama memberikan modal dengan cara membeli saham untuk membiayai suatu investasi.7 Musyârakah merupakan pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukum musyârakah berdasarkan UU no 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah dan Fatwa DSN No.8/DSN-MUI/IV/2000.

Secara teknis pembiayaan musyârakah ini diatur dalam pasal 36 huruf b poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang initinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad musyârakah.8

Firman Allah QS. al-Ma‟idah [5]: 1:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.9

7

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007), h. 57.

8

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, h. 128.

9

Dewan Syariah Nasional (DSN), Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000), h.1.


(36)

C. Jenis-jenis Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Secara umum, mudhârabah terbagi menjadi dua jenis yaitu mudhârabah muthlaqah dan mudhârabah muqayyadah. Mudhârabah muthlaqah dalam perbankan syariah pada umumnya diterapkan di sisi penghimpun dana. Sedangkan dalam kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, bank akan cenderung memilih akad mudhârabah muqayadah untuk memudahkan monitoring dari bank terhadap usaha nasabah.10

1. Mudhârabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shâhibul mâl dan mudhârib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Pemilik dana memberikan dana kepada pengusaha dan memberikan kekuasaan mutlak kepada pengusaha untuk menggunakan dana tersebut selama kegiatan yang dilakukan dianggap meguntungkan. Pengelola bertanggung jawab mengelola dana tersebut sebaik-baiknya.

2. Mudhârabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudhârabah muthlaqah. Mudhârib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Pemilik dana menentukan batasan-batsan tertentu kepada pengusaha dalam menjalankan usahanya. Misalnya jenis usaha, tempat usaha, jangka waktu usaha dan lainnya.

10


(37)

Musyarâkah ada dua jenis yaiu musyârakah pemilikan dan musyârakah akad (kontrak). Dalam musyârakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.11

Musyârakah akad terbagi dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyârakah. Merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.

Musyârakah akad terbagi menjadi :

1. Syirkah al-inan adalah kontrak dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka. Mayoritas ulama membolehkan jenis musyârakah ini.

2. Syirkah a‟maal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Musyârakah ini kadang-kadang disebut musyârakah abdan atau sanaa‟i.

Misalnya, kerja sama dua orang arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.

11


(38)

3. Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra.

Jenis al-musyârakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyârakah piutang.

4. Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama, dengan demikian, syarat utama dari jenis musyârakah ini adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.12

12

Al-Mabsuth, vol. XI, h. 203 dan sesudahnya; Abu Bakar Ibn Mas‟ud Al-Kasani, Al-Bada‟i Was Sana‟i fi Tartib Ash-Shara‟i, (Beirut: Darul Kitab Al-Arabi), edisi ke-2, vol. VI, h. 72 dalam


(39)

D. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudhârabah dan Musyârakah

Rukun mudhârabah yaitu adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor dan pengelola, objek transaksi kerjasama yaitu modal, usaha dan keuntungan, dan akad lafal perjanjian. Menurut Zulkifli, rukun mudhârabah yaitu pemilik modal, pemilik usaha, proyek, modal, ijab dan qabul serta nisbah bagi hasil.13

Rukun-rukun syirkah ini ada tiga:

a. Dua pihak transaktor yang memiliki kompetensi beraktivitas. Boleh dilakukan bersama non muslim, asal dia tidak dibiarkan mengoperasikan modal sendirian, karena khawatir akan memasuki berbagai bentuk usaha yang diharamkan.

b. Objek transaksi yakni modal, usaha dan keuntungan. Modal syaratnya harus diketahui dan harus ada ketika dilakukan transaksi pembelian, tidak boleh berupa hutang di tangan orang yang kesulitan membayarnya. Sementara berkaitan dengan usaha, masing-masing dari transaktor bebas beroperasi sesuai dengan kebiasaan dikalangan para pedagang. Masing-masing juga bisa menyerahkan tugasnya kepada pihak lain. Adapun tentang keuntungan, syaratnya harus diketahui prosentasenya.

c. Pelafalan perjanjian, yakni yang disebut ijab qabul. Pelafalan ini dapat dilakukan dengan segala cara yang dapat mengindikasikan kearah terlaksananya perjanjian, baik berupa ucapan maupun tindakan.

13

Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007), cet. ke-3, h. 57.


(40)

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudhârabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan menurut Jumhur, rukun mudhârabah terdiri atas shâhibul mâl dan mudhârib, modal, pekerjaan, keuntungan, ijab dan qabul.14

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa akad mudhârabah dibagi ke dalam dua golongan yaitu mudhârabah fasidah dan mudhârabah shohihah. Jika mudhârabah yang dilakukan itu jatuh kepada fasid, menurut ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, maka pekerja itu hanya berhak menerima upah kerja sesuai dengan standar yang berlaku di daerah itu. Sementara seluruh keuntungan menjadi milik shâhibul mâl.

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa dalam mudhârabah fasidah, status pekerja tetap seperti dalam mudhârabah shahihah. Artinya bahwa pengelola tetap mendapatkan bagian dari keuntungan. Namun yang terpenting adalah proses dan faktor yang menyebabkan adanya unsur ketidak jelasan tersebut.15

Adapun syarat-syarat mudhârabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :

a. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.

b. Mengenai modal disyaratkan : berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhya kepada mudhârib (pengelola).

14

Azharuddin lathif, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 135.

15


(41)

Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.

c. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akad mudhârabah pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul. Adapun syaratnya adalah modal harus berupa uang, modal harus jelas dan diketahui jumlahnya, modal harus tunai bukan utang, modal harus diserahkan kepada mitra kerja.

Rukun dari akad musyârakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu :16

1. Pelaku akad yaitu para mitra usaha

2. Objek akad yaitu modal, kerja, dan keuntungan 3. Ijab dan Kabul

Syarat-syarat umum syirkah :

Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain.

Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya. Keuntungan harus disebar kepada semua patner.

16


(42)

Syarat-syarat khusus:

Modal yang disetor berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain.

Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.

Dapat ditarik kesimpulan rukun musyârakah sama dengan mudhârabah yaitu pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul. Adapun syarat musyârakah adalah keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan, tidak diperbolehkan modal masih berupa hutang.

E. Pandangan Ulama tentang Jaminan dalam akad Mudhârabah dan Musyârakah Di Indonesia, praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah sah adanya baik berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) juga membolehkan praktek jaminan tersebut.


(43)

Dalam fiqih Islam, mudhârabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara shâhibul mâl (investor) dengan seorang pihak kedua (mudhârib) yang

berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudhârabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.

Mudhârabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha.17 Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan mudhârabah atau qiradh dengan: “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.

Musyârakah di dalam bahasa arab berasal dari kata syaraka yang artinya pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian yang ditentukan.

Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah.

17


(44)

Namun menurut pandangan ulama dalam jaminan, mengingat hubungan antara investor dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib

adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudhârib kepada investor.

Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudhârib untuk mengembalikan

modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudhârib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudhârabah

mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi‟i.

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini

mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib

sesuai dengan syarat-syarat kontrak.

Asy-Syafi‟i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib tidak ada keputusan. Mahzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadaian


(45)

(murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadaian (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, berbeda dengan pendapat Imam Asy-Syafi‟i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan atau membahayakan pemegang gadaian.18

Pada dasarnya biaya pemeliharaan barang gadai adalah kewajiban bagi rahin dalam kedudukannya sebagai pemilik yang sah. Namun apabila marhun (barang gadaian) menjadi kekuasaan murtahin dan murtahin mengizinkan untuk memelihara marhun, maka yang menanggung biaya pemeliharaan marhun adalah murtahin. Sedangkan untuk mengganti biaya pemeliharaan tersebut, apabila murtahin diizinkan rahin, maka murtahin dapat memungut hasil marhun sesuai dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan.

Para ahli hukum Islam kontemporer, di antaranya adalah Muhammad Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam bukunya Nahwa Tathwiri Nidhami al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyah, menyatakan bahwa jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dalam praktek perbankan syari‟ah diperbolehkan dan sangat penting keberadaannya atas dasar 2 (dua) alasan berikut ini:

1. Pada konteks perbankan syari‟ah saat ini mudhârabah yang dilakukan berbeda dengan mudhârabah tradisional yang hanya melibatkan dua pihak shâhibul mâl

dan mudhârib, di mana keduanya sudah saling bertemu secara langung.

18

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003), h. 160.


(46)

Sementara praktek mudhârabah di perbankan syari‟ah saat ini, bank berfungsi sebagai lembaga intermediari memudhârabahkan dana shâhibul mâl yang

jumlahnya banyak kepada mudhârib lain, dan shâhibul mâl yang jumlahnya

banyak tersebut tidak bertemu langsung dengan mudhârib sehingga mereka tidak

bisa mengetahui dengan pasti kredibilitas dan kapabilitas mudhârib. Oleh karena itu, untuk menjaga kepercayaan dari nasabah investor, bank syari‟ah harus menerapkan asas prudential, di antaranya dengan mengenakan jaminan kepada nasabah penerima pembiayaan.

2. Situasi dan kondisi masyarakat saat ini telah berubah dalam hal komitmen terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur, seperti kepercayaan (trust) dan kejujuran. Berkaitan dengan hal ini, Abdul Mun‟im Abu Zaid dalam karyanya yang lain “Al -Dhaman fi al-Fiqh al-Islamy” juga menyatakan bahwa faktor terbesar yang menjadi hambatan perkembangan perbankan syari‟ah, khususnya dalam bidang investasi adalah rendahnya moralitas para nasabah penerima dana pembiayaan dalam hal kejujuran (al-shidq) dan memegang amanah (al-amanah). Oleh sebab itu, larangan jaminan dalam mudhârabah karena bertentangan dengan prinsip dasarnya yang bersifat amanah bisa berubah karena adanya perubahan kondisi obyektif masyarakat dalam bidang moralitas. sesuai dengan kaidah al hukmu yaduru ma‟a illat wujudan wa „adaman. Artinya: keberadaan hukum ditentukan oleh ada atau tidaknya „illat (alasan). Jika „illat berubah maka akibat hukumnya


(47)

pun berubah. Namun demikian, meskipun jaminan dalam mudhârabah dalam praktek perbankan saat ini diperbolehkan, tetapi disyaratkan bahwa jaminan tersebut harus didasarkan pada tujuan menjaga agar tidak terjadi moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana (taqshir al-amiil), bukan bertujuan mengembalikan modal bank atau sebagai ganti rugi (dhaman) setiap kerugian atas kegagalan usaha mudhârib secara mutlak. Oleh karena itu, jaminan hanya dapat

dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran (ta‟addi), kelalaian (taqshir), atau menyalahi kesepakatan yang telah ditentukan (mukhalafatu al syurut). Di samping itu, kewajiban adanya jaminan dalam mudhârabah tidak harus dibebankan kepada mudhârib tetapi bank dapat meminta

jaminan kepada pihak ketiga yang akan menjamin mudhârib bila melakukan


(48)

BAB III

KONSEP PENERAPAN JAMINAN

PADA AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH A. Karakteristik Pembiayaan Akad Mudhârabah dan Musyârakah

Pembiayaan mudhârabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shâhibul mâl (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudhârib atau pengelola usaha. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha). Mudhârib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari‟ah dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.1

Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudhârabah kecuali jika mudhârib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudhârabah tidak ada jaminan, namun agar mudhârib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudhârib atau pihak ketiga.

1

Dewan Syarian Nasional (DSN), Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000), h.3.


(49)

Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudhârib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Pembiayaan musyârakah: pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:2

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak. b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.

b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.

2

Dewan Syarian Nasional (DSN), Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN, 2000), h.2.


(50)

c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyârakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian): modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.

Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyârakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyârakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

Kerja: Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan; musyârakah akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya. Setiap mitra


(51)

melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

Dengan pengertian di atas, kesimpulan dari karakteristik akad musyârakah adalah: a. Dalam pembiayaan musyârakah setiap mitra tidak dapat menjamin modal mitra

lainnya, namun setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja.

b. Keuntungan atau pendapatan musyârakah dibagi di antara mitra musyârakah berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian musyârakah dibagi diantara mitra musyârakah secara proporsional berdasarkan modal yang disetorkan Keuntungan dibagi menggunakan nisbah yang disepakati dan menggunakan nilai realisasi keuntungan jaminan modal, setiap mitra dapat meminta mitra lainnya untuk menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang di sengaja.

c. Perjanjian: untuk menghindari persengketaan di kemudian hari, sebaiknya akad kerjasama dibuat secara tertulis dan dihadiri para saksi. Akad atau perjanjian tersebut harus mencakup berbagai aspek antara lain terkait dengan besaran modal


(52)

dan penggunaannya (tujuan usaha musyârakah), pembagian kerja diantara mitra, nisbah yang digunakan sebagai dasar pembagian laba, periode pembagian laba dan lain sebagainya.

d. Persengketaan: Apabila terjadi perselisihan diantara dua belah pihak maka dapat diselesaikan secara musyawarah diantara mereka berdua atau melalui badan arbitrase syari‟ah.

Sedangkan karakteristik akad mudhârabah:

a. Shâhibul mâl (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudhârib atau pengelola usaha.

b. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudhârabah kecuali jika mudhârib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.

c. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudhârabah tidak ada jaminan, namun agar mudhârib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudhrâib atau pihak ketiga.


(53)

B. Konsep Jaminan menurut Hukum Positif 1. Pengertian Jaminan

Jaminan dalam kamus Bahasa Indonesia, jaminan berasal dari kata jamin yang artinya adalah menanggung. Jaminan adalah tanggungan atas pinjaman yang diterima atau garansi atau janji seseorang untuk menanggung utang atau kewajiban tersebut tidak terpenuhi.3

Jaminan adalah segala sesuatu yang diserahkan debitur kepada kreditur untuk menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat. Menurut UU no.10 tahun 1998 pasal 1 ayat 23 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah agunan tambahan yang diserahkan nasabah kepada bank dalam pemberian fasilitas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.4

Dalam peraturan perundang-undangan, kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU yang diubah. Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No.23/69/KEP/DIR pada tanggal 28 februari 1991, yaitu: "Suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan".

3

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), h. 348.

4

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003), cet. ke-3, h.73.


(54)

Dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas i‟tikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.5

2. Dasar Hukum Jaminan

Bahwa dasar hukum jaminan menurut hukum positif adalah Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998, peraturan Bank Indonesia No.8/3/PBI/2006 pasal 40 dinyatakan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya, artinya bank tidak mungkin memberikan fasilitas tanpa adanya jaminan dan pasal 24 UU Perbankan No.14 tahun 1967 yang dinyatakan bahwa bank tidak akan memberikan kredit tanpa adanya jaminan.

Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Ketentuan umum :

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

5


(55)

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan marhun

a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.

b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.

c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.


(56)

b. Ketentuan khusus

1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

3. Manfaat Jaminan

Manfaat benda jaminan bagi debitur adalah untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Fungsi jaminan juga memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi kreditur yaitu terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur.Jaminan menjamin agar debitor berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau


(57)

proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.6

Jaminan merupakan pernyataan yang sifatnya menjamin suatu pembayaran tertentu yang dikaitkan dengan pembayaran kewajiban nasabah kepada pihak bank. Apabila sesuatu pembiayaan mengalami kredit macet, maka pihak bank harus bertanggung jawab atas pembiayaan tersebut.7

4. Macam-macam jaminan

Penggolongan Jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Jaminan yang bersifat umum.

Merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.

Yaitu "segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".

6

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003), cet. ke-2, h. 286.

7

Bank Muamalat Indonesia, Buku Panduan Pelaksanaan Pembiayaan, (Jakarta: BMT Tbk, 1996), h.30.


(58)

2. Jaminan yang bersifat khusus.

Merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang/kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.

3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan.

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan/bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk: hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata), hak tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh (personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum.


(59)

5. Eksekusi Jaminan

Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan hakim, dimana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela.8 Menurut Undang-Undang Hipotik, eksekusi jaminan mengandung hak bagi pelaksanaan pemenuhan piutangnya terhadap benda jaminan. Jika piutangnya sudah dapat ditagih dan debiturnya ternyata wanprestasi, maka seorang kreditur memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantara hakim.9

Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. Pada masa belakangan ini, menurut Yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum eksekusi.

8

Wildan Suyuthi, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, (PUSDIKLAT: Pegawai Mahkamah Agung RI, 2005), h. 64.

9

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Ofset, 2001), cet. ke-2, h. 34.


(60)

Dengan pengertian di atas, maka pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (BHT), di mana proses ini merupakan tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan, termasuk juga terhadap sengketa perkara di bidang Bisnis Syari‟ah.

C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam 1. Pengertian Jaminan

Jaminan dalam hukum islam dikenal dengan istilah dhaman. Dhaman artinya adalah jaminan hutang atau dengan kata lain menghadirkan seseorang atau barang ke tempat tertentu untuk diminta pertanggung jawabannya atas barang jaminan.

Dalam kamus istilah fiqh, jaminan adalah suatu jenis perjanjian dengan cara memberikan barang yang dijadikan sebagai penguat kepercayaan dalam masalah hutang piutang.10

Jika ditinjau dari segi istilah, dhaman dalam hukum positif sama dengan penanggungan hutang yaitu suatu perjanjian dimana pihak ketiga menangguh tempo guna kepentingan yang berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala ia tidak mampu memenuhinya.

10


(61)

Tidak ada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun kiranya seseorang dapat menanggung diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tanggungan yang hanya mengenal dirinya pribadi si berhutang, misalnya dalam hal belumnya adanya sifat kedewasaan.11

Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”.

Sedangkan ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan gadai (rahn) yaitu menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. Para ulama Mazhab Hambali (Al-Hanabilah) menjelaskan bahwa dhaman ialah menyanggupi hak yang telah tetap atau bakal tetap atas orang lain karena beserta hak tersebut masih tetap pada orang yang dijamin atau mrnyanggupi untuk mendatangkan orang yang memikul suatu hak.12

11

Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995), h. 10.

12


(62)

6. Dasar Hukum Jaminan

Berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 283:

Jika (hendak bermuamalah secara tidak tunai) engkau dalam perjalanan sedangkan engkau tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan. Jika kamu sekalian saling mempercayai, maka hendaklah orang yang dipercayai tersebut selalu menjaga kepercayaan tersebut. (Al-Baqarah: 283). 13

Pada hakekatnya, para ulama kontemporer berfatwa dan berpendapat tentang bolehnya bagi shahibul maal untuk meminta suatu jaminan dari „amil berpijak pada kaedah ushul fiqh yaitu „Al Mashaalih Al Mursalah” yang mengacu kepada kebutuhan, kepentingan, kebaikan dan mashlahat umum selama tidak bertentangan dengan prinsip dan dalil syari‟at dan benar-benar membawa kepada kebaikan bersama yang tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang atau pihak lain secara umum.14

13

Ghufron A.Mas‟adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h.176.

14


(63)

7. Manfaat Jaminan

Tujuan jaminan menurut islam adalah turut dan melaksanakan serta menjunjung tinggi kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar jaminan. Secara spesifik, tujuan jaminan menurut islam adalah menghindari praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman yang tidak wajar lainnya.15

Manfaat jaminan :

a. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembiayaan kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank

b. Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga keuangan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit.

c. Memberikan hak dan kekuasaan pada lembaga keuangan untuk mendapat pelunaan dari agunan apabila debitor melakukan cidera janji yaitu untuk pengembalian dana yang telah ditentukan oleh debitor pada waktu yang telah ditentukan.

15


(64)

Manfaat jaminan adalah proses cepat. Dalam Perbankan Syariah, nasabah dapat memperoleh pinjaman yang diperlukan dalam waktu relatif cepat baik proses administrasi maupun penaksiran barang jaminan. Manfaat lain dari adanya jaminan adalah caranya cukup mudah yakni dengan membawa jaminan beserta bukti kepemilikan jaminan. Manfaat jaminan yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan keamanan atas jaminan yang diserahkan dengan standar keamanan yang telah teruji dan diasuransikan.16

8. Macam-Macam Jaminan

Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang dijadikan jaminan atas utang debitur. Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan perorangan adalah jaminan seseorang dari pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Selain jaminan perorangan, jenis lain dari jaminan adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah suatu tindakan berupa suatu penjamin yang dilakukan oleh kreditur terhadap debiturnya, atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga guna memenuhi kewajiban-kewajiban debitur.17

16

Muhammad Firdaus, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Reinansan, 2005), cet. ke-1, h. 18.

17

Azharuddin Lathif, Pengantar Hukum Bisnis; Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), cet. ke-1, h. 199.


(65)

Pemberian jaminan kebendaan selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakan guna pemenuhan kewajiban seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan debitur sendiri atau kekayaan pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada kreditur tertentu, memberikan kepada debitur tersebut suatu hak istimewa terhadap kreditur lainnya.

9. Eksekusi Jaminan

Proses eksekusi jaminan harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.

Jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk ,yaitu: 1. Melaksanakan suatu perbuatan

Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan. 2. Eksekusi Riil

Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil” seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau


(66)

rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan putusan tanpa memerlukan lelang.

3. Eksekusi membayar sejumlah uang

Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Ini kebalikannya dari eksekusi riil, dimana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang.18 Adapun proses eksekusi jaminan pada BSM Cabang Warung Buncit tidak jauh beda dengan proses eksekusi jaminan. Jaminan yang diagunkan nasabah kepada BSM Cabang Warung Buncit dapat dilakukan penyitaan.

Masalah eksekusi jaminan pada bank syariah tergantung kebijakan manajemen. Ada yang memberlakukan upaya rescheduling yaitu dengan cara melakukan penjadwalan ulang tagihan, reconditioning berupa penyelamatan terhadap kondisi nasabah dan pembiayaan ulang dalam bentuk Al-Qardhul Hasan dan jaminan harus tetap ada sebagai persyaratan jaminan.19

18

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty, 1998), h.181.

19


(67)

D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah

Jaminan adalah sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan dalam bentuk pinjaman uang. Jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan. Jaminan adalah sesuatu yg diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yg dapat dinilai dengan uang yg timbul dari suatu perikatan. Dalam hukum islam jaminan identik dengan kata rahn. Secara etimologi, rahn berarti harta yang jadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat.20

Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah. Biasanya bila terjadi perselisihan para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka perselisihan sepakat untuk diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).

Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional (DSN) yang membolehkan praktik jaminan tersebut.

20

Azharuddin lathif, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009), cet. ke-1, h. 208.


(68)

Dalam cara penentuan jaminan, pada dasarnya jaminan bukan menjadi tujuan bank, yang menjadi tujuan bank adalah pemberian pembiayaan usaha. Jadi pembiayaan usaha itulah nomor satu yang dilakukan bank. Sementara, jaminan atau agunan hanyalah salah satu cara bank untuk menjamin apakah peminjam itu akan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jaminan dianggap sebagai jalan keluar kedua atau jalan keluar terakhir pada saat nasabah tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik jaminan itulah yang dicairkan untuk melunasi kewajibannya.

Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan modal pinjaman maka dilakukan pelelangan jaminan. Pada prinsipnya, islam membolehkan jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh disebut sebagai akad Ba‟I muzayadah. Praktek lelang dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Lelang itu sendiri merupakan suatu bentuk penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi.


(69)

Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelang/penjualan marhun yakni Fatwa DSN No: 25/DSN-MUI/2002 yaitu:

1. Apabila telah jatuh tempo, murtahin (Pegadaian Syariah) harus memperingatkan rahin (nasabah) untuk segera melunasi hutangnya.

2. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa / dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.

3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan (jasa simpan-pen) yang belum dibayar serta biaya penjualan (bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen ).

4. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.


(70)

BAB IV

PERBANDINGAN KONSEP DAN IMPLEMENTASI JAMINAN PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH

DI BANK SYARIAH MANDIRI CABANG WARUNG BUNCIT

A. Profil Bank Syariah Mandiri Cabang Warung Buncit 1. Sejarah dan Tujuan Pendirian

BSM merupakan anak perusahaan dari Bank Mandiri. Pertama didirikan pada tanggal 1 November 1999. Pemegang saham BSM Cabang Warung Buncit adalah 99,999999% milik PT Bank Mandiri Tbk. dan 0,000001% milik PT Mandiri Sekuritas. Bank Mandiri merupakan Bank komersial terbesar di Indonesia.

BSM Cabang Warung Buncit memiliki Dewan Pengawas Syariah yang diketuai oleh Prof. KH. Ali Yafie, komisaris independen Ahmad Marzuki, direktur utama Yuslam Fauzi. Adanya Bank Syariah Mandiri untuk menawarkan sistem perbankan secara prinsip syariah, yang tidak memakai sistem riba.1

Bank Syariah Mandiri berkembang pesat selama lebih kurang 11 tahun, hal ini dibuktikan dengan aset tahun 2011 sebesar 32,59 Triliun. BSM memiliki Cabang pembantu di Cilitan, Kemang, Ciracas, dan Kantor Layanan Kas Syariah di Plaza Mandiri dan Departemen Pertanian.

1


(71)

Tujuan didirikan BSM Cabang Warung Buncit yaitu untuk mempromosikan akad syariah dan mengembangkan penerapan prinsip-prinsip syariah kedalam perbankan dan bisnis lainnnya.2

2. Visi dan Misi

Visi BSM Cabang Warung Buncit adalah menjadi bank syariah terpercaya pilihan mitra usaha. Adapun moto BSM lebih adil dan menentramkan. Adapun misi BSM adalah :

- Mewujudkan pertumbuhan dan keuntungan yang berkesinambungan

- Mengutamakan penghimpunan dana konsumer dan penyaluran pembiayan pada segmen UMKM

- Merekrut dan mengembangkan pegawai yang profesional pada lingkungan kerja yang sehat

- Mengembangkan nilai-nilai syariah universal

- Menyelenggarakan operasional perbankan sesuai standar perbankan yang sehat

3. Prinsip Operasional BSM

BSM Cabang Warung Buncit melakukan kegiatan operasionalnya mengacu kepada prinsip syariah yang terkandung dalam al-qur‟an dan hadis Rasulullah SAW.

2


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)