Kerangka Teori dan Konsep
musyârakah. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan
bagi seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Sistem
pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham
masing-masing dalam modal. Dalam persengketaan, biaya operasional dibebankan pada modal bersama. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Mudhârabah adalah akad bagi hasil ketika pemilik danamodal pemodal, biasa disebut shâhibul mâl, menyediakan modal 100 kepada pengusaha sebagai
pengelola, biasa disebut mudhârib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahawa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi diantara meeka menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad.
12
Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi mudhârabah yaitu kepercayaan dari shâhibul mâl kepada mudhârib. Kepercayaaan merupakan unsur
terpenting karena dalam transaksi mudhârabah, shâhibul mâl tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari mudhârib dan tidak boleh ikut campur di dalam
pengelolaan.
12
Warkum, Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam, h.129.
Sebagai bentuk kontrak, mudhârabah merupakan akad bagi hasil ketika pemilik danamodal pemodal, yang disebut shâhibul mâl menyediakan modal 100
kepada pengusaha sebagai pengelola mudhârib, untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara
mereka menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad besarnya juga dipengaruhi oleh kekuatan pasar. Shâhibul mâl pemodal adalah pihak yang
memiliki modal, dan mudhârib pengelola adalah pihak yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal.
Apabila usaha tersebut mengalami kegagalan sehingga terjadi kerugian yang sampai mengakibatkan sebagian atau seluruh modal shâhibul mâl habis, maka yang
menanggung kerugian keuangannya adalah shâhibul mâl sendiri kecuali apabila kerugian tersebut terjadi akibat kecurangan yang dilakukan oleh mudhârib. Agunan
atau jaminan tersebut disita sebagai pengganti kerugian atau kehilangan modal yang harus ditanggung oleh mudhârib dalam kondisi seperti diatas
.
13
Sistem penyelesaian sengketa menurut hukum Islam yaitu melalui perdamaian, arbitrase dan pengadilan kekuasaan kehakiman. Dalam PBI No. 7462005, terkait
dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah diatur dalam ketentuan Bab III pasal 20 tentang penyelesaian sengketa sebagai berikut:
13
Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, h. 28.
1. Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi perselisihan diantara bank dan nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah.
2. Dalam hal musyawarah sebagaiamana dimaksud pada ayat 1 tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase syariah.
Tata cara pengajuan kredit : a.
Mencari informasi mengenai jenis produk perbankan yang akan di gunakan, informasi di peroleh dari bagian layanan nasabah.
b. Setelah melakukan negoisasi untuk memperoleh informasi, yaitu tahap pendataan
yang akan di layani oleh bagian pemberi kredit dan tahap investigasi. c.
Bila di setujui maka selanjutnya adalah akad atau transaksi, di Bank akan di wakili oleh bagian hukum dan investigasi. Sedangkan proses pengucuran dana akan
dilakukan bagian Teller. d.
Keputusan akan di putuskan oleh bagian komite pembiayaan. Untuk mendapatkan fasiltas pembiayaan harus melalui beberapa tahapan yaitu :
a. Tahap permohonan aplikasi, wawancara, pemeriksaan lokasi usaha, evaluasi dan
penilaian, negosiasi, keputusan pembiayaan, pembukaan rekening, dokumentasi, pencairan dan monitoring.
b. Perjanjian pembiayaan pada bank dibuat dengan sederhana, sehingga pada
umumnya hanya mengatur tentang pokok dari hak dan kewajiban para pihak saja. c.
Sebagai barang jaminan, nasabah debitur dapat menyerahkan barang tidak bergerak atau menyerahkan barang bergerak seperti BPKB kendaraan bermotor,
emas, sertifikat deposito dan lain-lain yang kemudian diikat dengan akte otentik perjanjian pengikatan jaminan yang dibedakan berdasarkan benda yang
dijaminkan. d.
Secara yuridis pada persetujuan akad pembiayaan belum terdapat perlindungan yang memadai terhadap nasabah debitur pada perjanjian pembiayaan, namun pada
prakteknya bank memberikan keringan-keringan yang memadai bagi nasabah untuk melunasi kembali piutangnya.
e. Perjanjian pembiayaan bank tidak secara tegas menyatakan wanprestasinya
seorang debitur, hanya ditentukan bahwa hak-hak bank hanya dapat dilaksanankan jika telah lewat jangka waktu dan nasabah lalai dalam memenuhi kewajibannya.
Untuk penyelesaiannya diutamakan penyelesaian secara musyawarah, akan tetapi jika musyawarah tidak membawa penyelesaian, maka dilaksanakan hak-hak atas
barang jaminan dengan tahapan penarikan jaminan, penjualan dengan lelang terbuka, penyelesaian melalui lembaga Peradilan..