Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak diperbolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.
c. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus
jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa akad mudhârabah pelaku akad, objek
akad, dan ijab kabul. Adapun syaratnya adalah modal harus berupa uang, modal harus jelas dan diketahui jumlahnya, modal harus tunai bukan utang, modal harus
diserahkan kepada mitra kerja. Rukun dari akad musyârakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa, yaitu :
16
1. Pelaku akad yaitu para mitra usaha
2. Objek akad yaitu modal, kerja, dan keuntungan
3. Ijab dan Kabul
Syarat-syarat umum syirkah : Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan
kepada orang lain. Hal ini penting karena dalam kenyataan, sering kali satu patner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain.
Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Masing-masing patner harus mengetahui saham keuntungannya. Keuntungan harus
disebar kepada semua patner.
16
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, h. 52.
Syarat-syarat khusus: Modal yang disetor berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal
masih berupah utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para patner itu dicampur satu sama lain.
Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang. Karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan
ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan di kemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal
yang disetor akibat sulitnya dinilai. Dapat ditarik kesimpulan rukun musyârakah sama dengan mudhârabah yaitu
pelaku akad, objek akad, dan ijab kabul. Adapun syarat musyârakah adalah keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha harus diketahui dengan jelas. Modal
yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan, tidak diperbolehkan modal masih berupa hutang.
E. Pandangan Ulama tentang Jaminan dalam akad Mudhârabah dan Musyârakah
Di Indonesia, praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah sah adanya baik berdasarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan
maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional DSN juga membolehkan praktek jaminan tersebut.
Dalam fiqih Islam, mudhârabah merupakan salah satu bentuk kerjasama
antara shâhibul mâl investor dengan seorang pihak kedua mudhârib yang
berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudhârabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh.
Mudhârabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukul kakinya dalam menjalankan usaha.
17
Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan mudhârabah atau qiradh dengan:
“Pemilik modal investor menyerahkan modalnya kepada pekerja pedagang untuk diperdagangkan,
sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”.
Musyârakah di dalam bahasa arab berasal dari kata syaraka yang artinya pencampuran atau keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu
dengan sejumlah modal yang di tetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan dan kerugian dalam bagian
yang ditentukan. Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan,
akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat
meminta jaminan kepada nasabah.
17
Muhammad Syafi‟i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95.
Namun menurut pandangan ulama dalam jaminan, mengingat hubungan
antara investor dengan mudhârib adalah hubungan yang bersifat gadai dan mudhârib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudhârib kepada investor.
Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudhârib untuk mengembalikan
modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari
mudhârib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudhârabah
mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi‟i.
Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan
dari mudhârib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta jaminan. Hal ini
mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan
dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudhârib sendiri maupun dari pihak
ketiga. Jaminan yang diminta oleh bank bank Islam tersebut tidak dibuat untuk
memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudhârib
sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Asy-
Syafi‟i mengatakan Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda dengan
aslinya, maka wajib tidak ada keputusan. Mahzab Maliki berpendapat, gadai wajib dengan akad setelah akad orang yang menggadaikan rahn dipaksakan untuk
menyerahkan borg jaminan untuk dipegang oleh yang memegang gadaian