Konsep Jaminan menurut Hukum Positif

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin. 3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. 4. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. 5. Penjualan marhun a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya. b. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksadieksekusi. c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin. b. Ketentuan khusus 1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya. 3. Manfaat Jaminan Manfaat benda jaminan bagi debitur adalah untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya. Fungsi jaminan juga memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank. Sedangkan manfaat benda jaminan bagi kreditur yaitu terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup dan memberikan kepastian hukum bagi kreditur. Jaminan menjamin agar debitor berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil. 6 Jaminan merupakan pernyataan yang sifatnya menjamin suatu pembayaran tertentu yang dikaitkan dengan pembayaran kewajiban nasabah kepada pihak bank. Apabila sesuatu pembiayaan mengalami kredit macet, maka pihak bank harus bertanggung jawab atas pembiayaan tersebut. 7 4. Macam-macam jaminan Penggolongan Jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu: 1. Jaminan yang bersifat umum. Merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Yaitu segala hartahak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan. 6 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003, cet. ke-2, h. 286. 7 Bank Muamalat Indonesia, Buku Panduan Pelaksanaan Pembiayaan, Jakarta: BMT Tbk, 1996, h.30. 2. Jaminan yang bersifat khusus. Merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu bendabarang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utangkewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja. 3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkanbersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk: hipotik Pasal 1162 KUHPerdata, hak tanggungan, gadai pand, dan fidusia. Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh personal guarantee yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum. 5. Eksekusi Jaminan Eksekusi berasal dari kata “executie”, yang artinya melaksanakan putusan hakim, dimana maksud eksekusi adalah melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum, guna menjalankan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Eksekusi putusan perdata berarti menjalankan putusan dalam perkara perdata secara paksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku karena pihak tereksekusi tidak bersedia melaksanakan secara sukarela. 8 Menurut Undang-Undang Hipotik, eksekusi jaminan mengandung hak bagi pelaksanaan pemenuhan piutangnya terhadap benda jaminan. Jika piutangnya sudah dapat ditagih dan debiturnya ternyata wanprestasi, maka seorang kreditur memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa perantara hakim. 9 Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain dari pada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankannya secara sukarela. Pada masa belakangan ini, menurut Yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum eksekusi. 8 Wildan Suyuthi, Sekitar Acara dan Hukum Perdata Agama, PUSDIKLAT: Pegawai Mahkamah Agung RI, 2005, h. 64. 9 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-pokok Hukum Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty Ofset, 2001, cet. ke-2, h. 34. Dengan pengertian di atas, maka pada prinsipnya eksekusi merupakan realisasi kewajiban yang dikalahkan dalam putusan hakim, untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam amar putusan hakim. Dengan kata lain eksekusi terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap BHT, di mana proses ini merupakan tahap terakhir dalam proses acara berperkara di pengadilan, termasuk juga terhadap sengketa perkara di bidang Bisnis Syari‟ah. C. Konsep Jaminan menurut Hukum Islam 1. Pengertian Jaminan Jaminan dalam hukum islam dikenal dengan istilah dhaman. Dhaman artinya adalah jaminan hutang atau dengan kata lain menghadirkan seseorang atau barang ke tempat tertentu untuk diminta pertanggung jawabannya atas barang jaminan. Dalam kamus istilah fiqh, jaminan adalah suatu jenis perjanjian dengan cara memberikan barang yang dijadikan sebagai penguat kepercayaan dalam masalah hutang piutang. 10 Jika ditinjau dari segi istilah, dhaman dalam hukum positif sama dengan penanggungan hutang yaitu suatu perjanjian dimana pihak ketiga menangguh tempo guna kepentingan yang berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang manakala ia tidak mampu memenuhinya. 10 M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 132. Tidak ada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Namun kiranya seseorang dapat menanggung diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tanggungan yang hanya mengenal dirinya pribadi si berhutang, misalnya dalam hal belumnya adanya sifat kedewasaan. 11 Rahn merupakan perjanjian penyerahan barang untuk menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan. Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai harta yang bersifat mengikat. Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn dengan, “menjadikan sesuatu barang sebagai jaminan terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya”. Sedangkan ulama Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan gadai rahn yaitu menjadikan materi barang sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu. Para ulama Mazhab Hambali Al-Hanabilah menjelaskan bahwa dhaman ialah menyanggupi hak yang telah tetap atau bakal tetap atas orang lain karena beserta hak tersebut masih tetap pada orang yang dijamin atau mrnyanggupi untuk mendatangkan orang yang memikul suatu hak. 12 11 Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, h. 10. 12 Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, jilid IV, Semarang: CV. Asy- Syifa‟, 1994, h. 376. 6. Dasar Hukum Jaminan Berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 283: Jika hendak bermuamalah secara tidak tunai engkau dalam perjalanan sedangkan engkau tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan. Jika kamu sekalian saling mempercayai, maka hendaklah orang yang dipercayai tersebut selalu menjaga kepercayaan tersebut. Al-Baqarah: 283. 13 Pada hakekatnya, para ulama kontemporer berfatwa dan berpendapat tentang bolehnya bagi shahibul maal untuk meminta suatu jaminan dari „amil berpijak pada kaedah ushul fi qh yaitu „Al Mashaalih Al Mursalah” yang mengacu kepada kebutuhan, kepentingan, kebaikan dan mashlahat umum selama tidak bertentangan dengan prinsip dan dalil syari‟at dan benar-benar membawa kepada kebaikan bersama yang tidak berdampak menyulitkan serta merugikan orang atau pihak lain secara umum. 14 13 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalat Kontekstual, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h.176. 14 Bank Muamalat, Konsep Al-Mudharabah, Jakarta: Grup Rekayasa Bisnis, h. 27. 7. Manfaat Jaminan Tujuan jaminan menurut islam adalah turut dan melaksanakan serta menjunjung tinggi kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pinjaman atas dasar jaminan. Secara spesifik, tujuan jaminan menurut islam adalah menghindari praktek ijon, pegadaian gelap, riba dan pinjaman yang tidak wajar lainnya. 15 Manfaat jaminan : a. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembiayaan kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitor dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank b. Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak lembaga keuangan bahwa kreditnya akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan kredit. c. Memberikan hak dan kekuasaan pada lembaga keuangan untuk mendapat pelunaan dari agunan apabila debitor melakukan cidera janji yaitu untuk pengembalian dana yang telah ditentukan oleh debitor pada waktu yang telah ditentukan. 15 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: FEUI, 2001, cet. ke-4, h.503. Manfaat jaminan adalah proses cepat. Dalam Perbankan Syariah, nasabah dapat memperoleh pinjaman yang diperlukan dalam waktu relatif cepat baik proses administrasi maupun penaksiran barang jaminan. Manfaat lain dari adanya jaminan adalah caranya cukup mudah yakni dengan membawa jaminan beserta bukti kepemilikan jaminan. Manfaat jaminan yang tidak kalah pentingnya adalah jaminan keamanan atas jaminan yang diserahkan dengan standar keamanan yang telah teruji dan diasuransikan. 16 8. Macam-Macam Jaminan Jaminan yg tergolong dalam jaminan umum ialah seluruh harta debitur yang dijadikan jaminan atas utang debitur. Jaminan khusus ialah jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan perorangan adalah jaminan seseorang dari pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Selain jaminan perorangan, jenis lain dari jaminan adalah jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan adalah suatu tindakan berupa suatu penjamin yang dilakukan oleh kreditur terhadap debiturnya, atau antara si berpiutang dengan seorang pihak ketiga guna memenuhi kewajiban-kewajiban debitur. 17 16 Muhammad Firdaus, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Jakarta: Reinansan, 2005, cet. ke-1, h. 18. 17 Azharuddin Lathif, Pengantar Hukum Bisnis; Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, cet. ke-1, h. 199. Pemberian jaminan kebendaan selalu berupaya menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakan guna pemenuhan kewajiban seorang debitur. Kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan debitur sendiri atau kekayaan pihak ketiga. Pemberian jaminan kebendaan ini kepada kreditur tertentu, memberikan kepada debitur tersebut suatu hak istimewa terhadap kreditur lainnya. 9. Eksekusi Jaminan Proses eksekusi jaminan harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata kepada Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi 3 tiga bentuk , yaitu: 1. Melaksanakan suatu perbuatan Jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyata ia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan. 2. Eksekusi Riil Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyatariil” seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengkosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan putusan tanpa memerlukan lelang. 3. Eksekusi membayar sejumlah uang Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang. Ini kebalikannya dari eksekusi riil, dimana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yang akan dieksekusi itu bernilai uang. 18 Adapun proses eksekusi jaminan pada BSM Cabang Warung Buncit tidak jauh beda dengan proses eksekusi jaminan. Jaminan yang diagunkan nasabah kepada BSM Cabang Warung Buncit dapat dilakukan penyitaan. Masalah eksekusi jaminan pada bank syariah tergantung kebijakan manajemen. Ada yang memberlakukan upaya rescheduling yaitu dengan cara melakukan penjadwalan ulang tagihan, reconditioning berupa penyelamatan terhadap kondisi nasabah dan pembiayaan ulang dalam bentuk Al-Qardhul Hasan dan jaminan harus tetap ada sebagai persyaratan jaminan. 19 18 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta : Liberty, 1998, h.181. 19 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: AMI YKPN, 2005, cet. ke-2.

D. Konsep Penerapan Jaminan pada Akad Mudhârabah dan Musyârakah

Jaminan adalah sesuatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan dalam bentuk pinjaman uang. Jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan. Jaminan adalah sesuatu yg diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yg dapat dinilai dengan uang yg timbul dari suatu perikatan. Dalam hukum islam jaminan identik dengan kata rahn. Secara etimologi, rahn berarti harta yang jadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat. 20 Pada dasarnya dalam akad mudhârabah dan musyârakah tidak ada jaminan, akan tetapi untuk menghindari terjadinya kemungkinan adanya penyimpangan dan untuk memberi rasa tenang bagi kedua pihak maka lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah. Biasanya bila terjadi perselisihan para pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui musyawarah. Apabila musyawarah tidak menghasilkan kesepakatan, maka perselisihan sepakat untuk diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional Basyarnas. Praktek pengenaan jaminan untuk pembiayaan mudhârabah dan musyârakah berdasarkan UU No.10 tahun 1998 tentang perbankan maupun menurut peraturan Bank Indonesia. Bahkan Majelis Ulama melalui lembaga Dewan Syari‟ah Nasional DSN yang membolehkan praktik jaminan tersebut. 20 Azharuddin lathif, Pengantar Hukum Bisnis: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009, cet. ke-1, h. 208. Dalam cara penentuan jaminan, pada dasarnya jaminan bukan menjadi tujuan bank, yang menjadi tujuan bank adalah pemberian pembiayaan usaha. Jadi pembiayaan usaha itulah nomor satu yang dilakukan bank. Sementara, jaminan atau agunan hanyalah salah satu cara bank untuk menjamin apakah peminjam itu akan melaksanakan kewajibannya dengan baik. Jaminan dianggap sebagai jalan keluar kedua atau jalan keluar terakhir pada saat nasabah tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik jaminan itulah yang dicairkan untuk melunasi kewajibannya. Bila terjadi wanprestasi dan pihak nasabah tidak bisa mengembalikan modal pinjaman maka dilakukan pelelangan jaminan. Pada prinsipnya, islam membolehkan jual-beli barang yang halal dengan cara lelang yang dalam fiqh disebut sebagai akad Ba‟I muzayadah. Praktek lelang dalam bentuknya yang sederhana pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Lelang itu sendiri merupakan suatu bentuk penjualan barang di depan umum kepada penawar tertinggi. Lelang dapat berupa penawaran barang tertentu kepada penawar yang pada mulanya membuka lelang dengan harga rendah, kemudian semakin naik sampai akhirnya diberikan kepada calon pembeli dengan harga tertinggi. Ketentuan Umum Fatwa DSN yang memuat tentang lelangpenjualan marhun yakni Fatwa DSN No: 25DSN-MUI2002 yaitu: 1. Apabila telah jatuh tempo, murtahin Pegadaian Syariah harus memperingatkan rahin nasabah untuk segera melunasi hutangnya. 2. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. 3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan jasa simpan-pen yang belum dibayar serta biaya penjualan bea lelang pembeli, bea lelang penjual dan dana sosial- pen . 4. Kelebuhan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.