menyelenggarakan pertemuan kasus, dan menyusun hasil laporan pertemuan kasus juga tidak terlaksana.
Berbeda dengan temuan yang didapati di SD tersebut, SD Negri di Semarang Barat mengelompokkan seluruh siswa berkebutuhan khusus pada satu
jenis ABK yaitu tuna grahita, misalnya siswa dengan gangguan belajar digolongkan pula pada jenis tuna grahita. Hal tersebut menunjukkan sekolah tidak
siap baik dalam penyajian data maupun peserta didik karena penggolongan yang dilakukan tidak melalui prosedur identifikasi dan asesmen yang benar sehingga
data siswa berkebutuhan kusus yang dimiliki sekolahpun tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
f. Pembahasan Aspek Sarana-prasarana
Aspek sarana-prasarana tergolong pada kategori tidak siap yaitu sebesar 68,67 yang artinya sebanyak 57 subjek atau guru menilai sekolah tempat
mereka mengajar tidak siap dalam menyediakan sarana-prasarana bagi siswa berkebutuhan khusus. Hasil penelitian yang lebih rinci menunjukkan dari 8
sekolah hanya 3 sekolah yang digolongkan cukup siap antara lain SD Negri maupun Swasta di Semarang Tengah, dan SD Swasta yang ada di Selatan
Semarang. Sedangkan lima sekolah lainnya belum mampu menyediakan sarana- prasarana yang dibutuhkan dalam layanan inklusi. Padahal dijelaskan dalam PP
Nomor 19 Tahun 2005 bahwa satuan pendidikan yang memiliki peserta didik, pendidik, danatau tenaga kependidikan yang memerlukan layanan khusus wajib
menyediakan akses ke sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan mereka Butir 1 pasal 46.
Delapan sekolah dasar inklusi yang menjadi lokasi penelitian tergolong tidak siap dalam aspek sarana-prasarana terbukti dari alat asesmen yang tidak
dimiliki oleh semua sekolah. Bahkan di sekolah-sekolah yang melaksanakan asesmen, alat yang disediakanpun terbatas bagi siswa yang mengalami kesulitan
belajar dan siswa berbakat. Hal yang sama juga nampak pada sarana alat bantu pelajaran akademik. Dibeberapa sekolah seperti SD Negri di Timur Semarang
mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa Alat Peraga Edukatif APE, akan tetapi alat tersebut tidak dipergunakan sama sekali melainkan hanya menjadi
pajangan di almari penyimpanan. SD Negri yang ada di Semarang Barat sesekali menggunakan APE dalam proses belajar megajar namun sekolah tidak dapat
menunjukkan data APE yang dimiliki, sehingga membuktikan pengelolaan sarana yang kurang optimal. SD Swasta di Semarang Barat hanya memiliki satu jenis
APE, alat tersebut diletakkan di salah satu ruang kelas dan jarang digunakan bahkan nampak tidak terawat karena sudah ada bagian yang rusak.
Tidak disetiap sekolah juga memiliki sarana berupa alat bantu visual maupun auditif seperti televisi dan tape recorder. Sekolah yang melengkapi ruang
kelas dengan televisi sebagai media pembelajaran ialah SD Negri dan Swasta di Semarang Tengah dan SD Negri di Semarang Barat. Sedangkan di sekolah lain
hanya memiliki satu unit televisi maupun tape recorder yang jarang digunakan sebagai media pembelajaran. SD Swasta di Selatan Semarang memiliki komputer
yang didesain khusus bagi siswa dengan gangguan autis dan hiperaktif hanya saja jumlah yang dimiliki sangat terbatas. SD Negri di Semarang Barat juga
melengkapi ruang kelas dengan meja-kursi yang didesain khusus bagi siswa
dengan gangguan perhatian, akan tetapi sarana yang ditemui di kedua sekolah tersebut tidak ditemui pula di sekolah yang lain.
Sekolah dasar inklusi di Kota Semarang tidak siap dalam pengadaan prasarana terlihat dari banyaknya sekolah yang belum memiliki ruang khusus
seperti ruang asesmen, ruang remidial, ruang konsultasi, ruang latihan, ruang ketrampilan, ruang penyimpanan barang, dan lapangan olah raga. Seluruh sekolah
dasar inklusi di Kota Semarang memang memiliki lapangan olahraga yang cukup memadai akan tetapi untuk ruang khusus inklusi tidak semua sekolah telah
menyediakan. Sekolah yang memiliki ruang konsultasi ialah SD Negri dan Swasta di Semarang Tengah dan SD Swasta di Selatan Semarang hanya saja ruang
konsultasi yang ada merangkap sebagai ruang terapi dan ruang kesehatan siswa. Begitu juga dengan ruang penyimpanan barang yang hanya ada di beberapa
sekolah seperti di SD Swasta di Semarang Tengah yang merangkap menjadi ruang terapi dan ruang latihan, SD Negri di Semarang Tengah yang hanya dibatasi sekat
dengan ruang ketrampilan dan latihan, SD Negri di Semarang Barat dimana ruang penyimpanan barang tersebut nampak tidak terawat, dan SD Swasta di Selatan
Semarang yang sekaligus menjadi ruang guru.
g. Pembahasan Aspek Proses Belajar Mengajar