dengan gangguan perhatian, akan tetapi sarana yang ditemui di kedua sekolah tersebut tidak ditemui pula di sekolah yang lain.
Sekolah dasar inklusi di Kota Semarang tidak siap dalam pengadaan prasarana terlihat dari banyaknya sekolah yang belum memiliki ruang khusus
seperti ruang asesmen, ruang remidial, ruang konsultasi, ruang latihan, ruang ketrampilan, ruang penyimpanan barang, dan lapangan olah raga. Seluruh sekolah
dasar inklusi di Kota Semarang memang memiliki lapangan olahraga yang cukup memadai akan tetapi untuk ruang khusus inklusi tidak semua sekolah telah
menyediakan. Sekolah yang memiliki ruang konsultasi ialah SD Negri dan Swasta di Semarang Tengah dan SD Swasta di Selatan Semarang hanya saja ruang
konsultasi yang ada merangkap sebagai ruang terapi dan ruang kesehatan siswa. Begitu juga dengan ruang penyimpanan barang yang hanya ada di beberapa
sekolah seperti di SD Swasta di Semarang Tengah yang merangkap menjadi ruang terapi dan ruang latihan, SD Negri di Semarang Tengah yang hanya dibatasi sekat
dengan ruang ketrampilan dan latihan, SD Negri di Semarang Barat dimana ruang penyimpanan barang tersebut nampak tidak terawat, dan SD Swasta di Selatan
Semarang yang sekaligus menjadi ruang guru.
g. Pembahasan Aspek Proses Belajar Mengajar
Aspek proses belajar mengajar di Sekolah Dasar Inklusi di Kota Semarang digolongkan pada kategori cukup siap dengan perolehan 59,03 yang artinya
sebanyak 49 subjek atau guru menilai sekolah tempat mereka mengajar cukup siap dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar di kelas inklusi. Hal tersebut
dapat dilihat dari perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi kegiatan belajar
mengajar yang bertujuan agar siswa berkebutuhan khusus mendapat kesempatan belajar melaui pengalaman nyata.
Hasil analisis deskriptif yang dilihat di masing-masing sekolah menunjukkan hanya satu sekolah yang tergolong cukup siap yaitu SD Negri yang
ada di Selatan Semarang sedangkan tujuh sekolah lainnya dikategorikan telah siap. Akan tetapi dari data pelengkap yang dikumpulkan peneliti melalui metode
dokumentasi menunjukkan lebih banyak sekolah yang belum siap dalam aspek proses belajar mengajar. Salah satunya nampak dari delapan sekolah yang
menjadi lokasi penelitian hanya satu sekolah yang melaksanakan metode pengajaran tim asisten-guru yakni SD Swasta di Semarang tengah. Di sekolah
tersebut setiap siswa penyandang hambatan memiliki satu orang guru pendamping yang disebut shadow teacher.
Pada buku panduan Menciptakan Kelas Inklusi yang Ramah Terhadap Peserta Didik, dijelaskan bahwa tidak ada anak yang “berkelainan belajar”.
Apabila diberikan kondisi yang tepat semua anak, baik laki-laki ataupun perempuan dapat belajar secara efektif, khususnya jika mereka “belajar sambil
mempraktekkan”. Artinya seorang tenaga pendidik seharusnya mampu menciptakan kegiatan belajar yang melibatkan siswa untuk secara aktif
berpartisipasi dalam pembelajaran. Beragam cara dapat dilakukan oleh seorang guru dalam menciptakan
pembelajaran yang aktif dan parsipatori, namun demikian dari delapan sekolah inklusi yang menjadi lokasi penelitian hampir seluruhnya masih menggunakan
sistem kelas tradisional. Hal tersebut terlihat dari hubungan jarak dengan peserta
didik, seperti guru yang sering memanggil peserta didik tanpa kontak mata. Selain itu pengaturan tempat duduk masih klasikal yakni semua anak duduk di meja
berbaris dengan arah yang sama, kecuali SD Negri di Semarang Barat yang pengaturan tempat duduknya dibuat bervariasi. Pada saat tertentu tempat duduk di
kelas inklusi tersebut dibuat berkelompok sehingga menarik bagi siswa berkebutuhan khusus.
Hasil temuan menunjukkan salah satu SD Negri dan Swasta di Semarang Tengah, dan SD Swasta yang ada di Selatan Semarang menggunakan berbagai
bahan ajar yang bervariasi serta menggunakan sumber belajar lain dalam memberikan pembelajaran misalnya melalui media komputer, televisi, atau belajar
di laboratorium. Sedangkan lima sekolah lain hanya menggunakan buku teks, buku latihan, dan papan tulis dalam menyajikan materi. Pada sekolah dasar inklusi
yang menjadi lokasi penelitian, kesemuanya melakukan evaluasi berupa ujian tertulis terstandarisasi hanya saja dari delapan sekolah hanya SD Swata di Selatan
Semarang, serta SD Negri dan Swasta di Semarang Tengah yang menggunakan penilain lain dari observasi, portofolio, atau karya siswa.
h. Pembahasan Aspek Dana