Gambar 4.10 Diagram Ringkasan Tingkat Kesiapan Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
4.6 Pembahasan
4.6.1 Pembahasan Kesiapan Sekolah dalam Implementasi Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus
Sekolah adalah suatu lembaga yang sangat penting untuk menghasilkan manusia-manusia penerus bangsa yang mempunyai kemampuan intelegensi,
moral, dan spiritual yang seimbang. Salah satu bentuk memajukan sekolah ialah dengan melaksanakan program layanan inklusi. Pendidikan inklusi tersebut
menjadi salah satu wadah untuk mencapai ketuntasan Wajib belajar Sembilan Tahun serta untuk efisiensi layanan pendidikan. Pemerintahan Provinsi Jawa
Tengah menargetkan pada tahun 2013 jumlah ABK yang telah memperoleh pendidikan meningkat hingga mencapai 40, untuk mewujudkan hal itu maka
telah dilakukan akselerasi program pendidikan khusus baik melalui sekolah khusus maupun sekolah inklusi Susnadati, 2010.
Tingkat kesiapan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan angket, dimana semakin tinggi skor yang diperoleh menunjukkan semakin tinggi tingkat
kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek akan
menunjukkan semakin rendah pula tingkat kesiapan sekolah tempat subjek mengajar.
Hasil penelitian menunjukkan delapan sekolah dasar penyelenggara pendidikan inklusi yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah di
Kota semarang masih tergolong cukup siap untuk mengimplementasikan program pendidikan anak berkebutuhan khusus. Guru sebagai fungsi sentral dalam proses
pendidikan menilai sekolah tempat mereka mengajar bersedia namun belum mampu dalam mempraktekkan program layanan inklusi sebagai respon terhadap
upaya memajukan pendidikan di Indonesia. Secara umum tingkat kesiapan sekolah dalam implementasi pendidikan
anak berkebutuhan khusus tergolong pada kategori cukup siap dengan perolehan hasil sebesar 63,85 atau 53 subjek yang ditinjau dari delapan aspek antara lain
aspek kurikulum dengan perolehan hasil terbanyak 51 atau 42 subjek menilai kurikulum termasuk pada kategori siap, aspek tenaga pengajar dengan perolehan
hasil terbanyak 53 atau 44 subjek termasuk pada kategori cukup siap, aspek sarana-prasarana dengan perolehan hasil terbanyak 68,67 atau 57 subjek
termasuk pada kategori tidak siap, aspek manajemen sekolah dengan perolehan
hasil terbanyak 68,67 atau 57 subjek termasuk pada kategori siap, aspek dana dengan perolehan hasil terbanyak 38,55 atau 32 subjek berada pada kategori
cukup siap, aspek peserta didik dengan perolehan hasil terbanyak 56,62 atau 47 subjek termasuk pada kategori siap, aspek lingkungan dengan perolehan hasil
terbanyak 77,10 atau 64 subjek termasuk pada kategori tidak siap, dan aspek proses belajar mengajar dengan perolehan hasil terbanyak 59,03 atau 49 subjek
termasuk pada kategori cukup siap. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa guru menilai sekolah tempat mereka mengajar tergolong cukup siap dalam
mengimplementasikan program layanan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Setelah hasil dari metode angket diketahui kemudian peneliti melanjutkan
kroscek melalui data dokumentasi yang telah terkumpul. Hasil data dokumentasi menunjukkan sekolah dasar di kota Semarang belum memenuhi kriteria kesiapan
dalam mengimplementasikan layanan inklusi. Temuan dari data dokumentasi tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh melalui metode angket.
Hasil dari metode angket mengungkapkan delapan sekolah dasar yang ditunjuk pemerintah cenderung telah siap dalam mengimplementasikan layanan inklusi di
sekolah mereka. Perbedaan dari metode angket dan dokumentasi terjadi karena adanya harapan ekspektasi dari guru yang merupakan responden dalam
penelitian ini. Ivanvevich, Konopaske, dan Matteson mengemukakan ekspektasi merujuk
pada keyakinan individu berkenaan dengan kemungkinan, atau probabilitas subjektif, bahwa suatu perilaku tertentu akan diikuti dengan hasil tertentu
2005:157. Menurut Robbins teori ekspektasi menyatakan bahwa kekuatan dari
kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu serta
pada daya tarik hasil tersebut bagi individu 2002:67. Tindakan guru dalam menilai kesiapan sekolah dipengaruhi persepsi guru
akan hasil outcome yang diprediksi. Terdapat dua bentuk outcome yang pertama ialah positive outcome seperti penghargaan dan kepercayaan, yang kedua ialah
negative outcome yang berupa kritik, penurunan nilai akreditasi, dan hilangnya
kepercayaan masyarakat atau stake holder pada sekolah tersebut. Guru yang menilai sekolah mereka cukup siap sekalipun pada
kenyataannya masih belum memenuhi kriteria kesiapan dalam mengimplementasikan layanan inklusi merasa yakin bahwa jika mereka
memberikan penilaian lebih bagus dapat menghindari negative outcome yang diprediksi. Harapan lain sekolah mereka mendapat penghargaan serta kepercayaan
lebih dari pemerintah dan masyarakat sekitar.
a. Pembahasan Aspek Tenaga Pengajar