Psikolog di sekolah tersebut berperan dalam proses identifikasi siswa berkebutuhan khusus. SD Swasta di Semarang Tengah melibatkan konselor dan
psikolog untuk bekerjasama dalam menyusun rancangan program ABK, berpartisipasi dalam penjaringan ABK, melaksanakan tes, menyusunan PPI,
mengimplementasikan PPI bekerjasama dengan guru kelas, menyelenggarakan pertemuan dengan orangtua, membantu anak dalam mengembangkan pemahaman
diri. Di sekolah tersebut juga terdapat guru pembimbing khusus atau shadow teacher
yang berperan dalam membantu siswa berkebutuhan khusus saat proses belajar mengajar di dalam kelas, namun tidak dilibatkan dalam kegiatan lain
seperti proses penjaringan, identifikasi, atau penyusunan PPI. Selain itu tidak semua shadow teacher melakukan konsultasi dengan tenaga ahli, sebagian besar
mereka juga tidak pernah melakukan kunjungan rumah.
e. Pembahasan Aspek Peserta Didik
Aspek peserta didik dapat dilihat berada pada kategori siap yaitu sebesar 56,62 atau sebanyak 47 dari 83 guru menilai kondisi peserta didik di sekolah
tempat mereka mengajar siap untuk belajar di kelas inklusi. Direktorat PLB, dalam Buku 7 Pedoman Penyelenggaraan pendidikan inklusi menegaskan bahwa
penerimaan siswa baru pada sekolah inklusi hendaknya memberi kesempatan dan peluang kepada anak luar biasa untuk dapat diterima dan mengikuti pendidikan di
sekolah inklusi terdekat 2004:10. Sekolah dasar yang ditunjuk pemerintah untuk melaksanakan layanan
inklusi cenderung telah siap pada aspek peserta didik yang nampak dari penilaian guru bahwa di sekolah tempat mereka mengajar, peserta didik memiliki buku teks
dan bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhan belajarnya, setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan diri di kelas dan sekolah, serta
kesempatan untuk berpartisipasi pada semua aktifitas sekolah, selain itu peserta didik juga membantu membuat peraturan kelas di sekolah mengenai inklusi, non
diskriminasi, dan kekerasan. Kondisi kesiapan pada aspek peserta didik juga terlihat dari keragaman
jenis anak berkebutuhan khusus, serta proses identifikasi dan perencanaan tindak lanjut untuk penanganan yang lebih profesional. Kesulitan belajar merupakan
jenis ABK yang paling banyak ditemui di tiap sekolah inklusi di Kota Semarang, diikuti siswa dengan gangguan hiperaktif sebanyak 3 anak, autis sebanyak 10
anak, tuna grahita 2 anak, tuna ganda 3 anak, dan tuna rungu 1 anak, serta layanan khusus anak berbakat yang hanya terdapat di SD Swasta di Semarang Tengah.
Penggolongan atau klasifikasi jenis ABK di sekolah inklusi tersebut seharusnya diketahui melalui proses identifikasi dan asesmen, akan tetapi dari
data dokumentasi tidak semua sekolah melaksanakan proses identifikasi dan asesmen terlebih dahulu. Seperti di SD Negri yang ada di Timur Semarang.
Menurut data pelengkap, identifikasi yang dilakukan sekolah tersebut tidak mengikuti prosedur seperti yang tertuang dalam pedoman penyelenggaraan
pendidikan inklusi. Sekolah hanya melaksanakan tahap menghimpun data anak melalui guru bahkan tanpa menggunakan alat identifikasi ABK. Pada tahap
menganalisis dan mengklasifikasikan anak, sekolah menunjukkan tidak siap terlihat dari data yang tanpa mencantumkan jenis ABK. Tahap-tahap selanjutnya
seperti mengadakan pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah,
menyelenggarakan pertemuan kasus, dan menyusun hasil laporan pertemuan kasus juga tidak terlaksana.
Berbeda dengan temuan yang didapati di SD tersebut, SD Negri di Semarang Barat mengelompokkan seluruh siswa berkebutuhan khusus pada satu
jenis ABK yaitu tuna grahita, misalnya siswa dengan gangguan belajar digolongkan pula pada jenis tuna grahita. Hal tersebut menunjukkan sekolah tidak
siap baik dalam penyajian data maupun peserta didik karena penggolongan yang dilakukan tidak melalui prosedur identifikasi dan asesmen yang benar sehingga
data siswa berkebutuhan kusus yang dimiliki sekolahpun tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
f. Pembahasan Aspek Sarana-prasarana