hanya saja psikolog tersebut tidak dilibatkan langsung dalam proses belajar mengajar. Psikolog hanya dilibatkan dalam kegiatan tertentu, misalnya pada
proses identifikasi maupun asesmen, sehingga kompetensi kolaboratif antara guru reguler dan tenaga ahli tersebut kurang berkembang maksimal.
Dibanding guru reguler di sekolah yang melibatkan tenaga ahli tersebut, sekolah lain tidak terbiasa dalam menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai
pihak. Hal ini mengakibatkan banyaknya guru yang frustasi pada kelambatan proses belajar siswa slow learner atau misalnya dalam mengatasi kegaduhan yang
diakibatkan siswa hiperaktif.
b. Pembahasan Aspek Kurikulum
Hasil yang diperoleh dari aspek kurikulum dapat dilihat berada pada kategori siap yaitu sebesar 50,60 atau 42 subjek yang artinya guru menilai
sekolah tempat mereka mengajar dalam kondisi siap untuk mengimplementasikan kurikulum bagi siswa berkebutuhan khusus. Secara lebih rinci dari delapan
sekolah yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan layanan inklusi, lima sekolah dikategorikan siap sedangkan tiga sekolah lain masih dikategorikan
cukup siap pada aspek kurikulum. Direktorat PLB dalam Buku 3 mengenai Pengembangan Kurikulum
2004:14 menjelaskan bahwa setiap satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusi tetap menggunakan kurikulum nasional untuk satuan
pendidikan yang bersangkutan, hanya saja diperlukan format GBPP yang lebih sederhana. Khusus bagi peserta didik berkelainan danatau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa diperlukan persiapan program pendidikan atau pengajaran individual PPI, yang disusun dengan mengacu kurikulum nasional
satuan pendidikan yang bersangkutan dengan disesuaikan kebutuhan peserta didik secara individual. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, sekolah dasar
penyelenggara pendidikan anak berkebutuhan khusus di Kota Semarang pada tingkat siap untuk mengimplementasikan kurikulum khusus dilihat dari mengikuti
proses pengembangan PPI, membentuk tim pengembang PPI, melaksanakan pengembangan PPI, melakukan modifikasi kurikulum dan isi materi,
merencanakan waktu dan format PPI, serta memiliki model atau format PPI. Pada indikator proses pengembangan PPI beberapa sekolah inklusi mampu
melaksanakan dengan baik, namun di beberapa sekolah lain masih banyak guru yang belum memahami proses tersebut. Hal ini nampak dari hasil wawancara
dengan delapan guru yang masing-masing mewakili sekolah tempat mereka mengajar hanya tiga orang yang mengetahui proses PPI, guru yang lain bahkan
belum mengenal istilah PPI. Lima dari delapan sekolah dasar inklusi di Kota Semarang juga belum melaksanakan pengembangan PPI, dan tiga sekolah lainnya
sudah melaksanakan namun belum maksimal. Seluruh sekolah telah melaksanakan program penjaringan namun tidak satupun dari sekolah inklusi
pernah melaksanakan kampanye kepedulian atau survey untuk mengidentifikasi penyandang kelainan. Dari tiga sekolah yang melaksanakan PPI dua diantaranya
melakukan kerjasama dengan yayasan sosial, sedangkan lainnya tidak bekerjasama dengan instansi lain.
Setelah melalui proses penjaringan dan identifikasi selanjutnya sekolah perlu mengadakan pertemuan tim rujukan, dari delapan sekolah hanya terdapat
satu sekolah yang diketahui pernah melaksanakan rujukan ke tim pendidikan khusus, yaitu SD Negeri di Timur Semarang.
Tahap pengembangan PPI selanjutnya ialah asesmen yang mencakup tes kemampuan akademik, tes inteligensi, tes perilaku sosial, tes kemampuan
berbahasa, tes kemampuan dan kelemahan anak, serta riwayat perkembangan anak. Salah satu SD Negeri dan Swasta di daerah Semarang Tengah serta SD
Swasta yang ada di Selatan Semarang, secara rutin mengagendakan berbagai tes pada tiap tahun ajaran. Sekolah lain juga telah melaksanakan hanya saja beberapa
tes terkait ABK belum dilaksanakan dengan optimal. Seluruh sekolah dasar penyelenggara pendidikan anak berkebutuhan
khusus di Kota Semarang tetap menggunakan kurikulum baku yaitu KTSP, namun hasil temuan menunjukkan tidak semua sekolah melaksanakan modifikasi
isi materi. Misalnya guru di SD Swasta di Selatan Semarang memodifikasi kurikulum sekolah reguler dengan mengurangi isi materi bagi siswa tunagrahita.
Sedangkan guru di SD Swasta yang ada di Semarang tengah telah menyiapkan kurikulum terpadu dengan kurikulum normal bagi siswa berbakat dan
berkecerdasan istimewa, dengan cara menambah materi yang ada di dalam kurikulum normal pada pokok bahasan berikutnya percepatan.
Berbeda dengan dua sekolah di atas, salah satu SD Negeri di Semarang Tengah melakukan modifikasi dengan menyiapkan kurikulum pengembangan
bina diri guna menambah ketrampilan siswa. Selain mata pelajaran yang ada di kurikulum Sekolah Dasar, sekolah juga memberikan layanan pembelajaran lain
yaitu Pendidikan Teknologi Dasar sebagai mata pelajaran tambahan yang dimuat dalam Kurikulum Lokal Pilihan Sekolah bagi siswa kelas 5 dan 6. Di pelajaran
tersebut siswa diberi kesempatan untuk mempelajari dan mempraktekkan berbagai kegiatan, misalnya ketrampilan pertukangan melalui kegiatan mengebor dengan
alat khusus, ketrampilan pembangunan dengan kegiatan membuat maket dan miniatur bangunan, ketrampilan pertukangan melalui kegiatan budidaya ikan
gurami dan lele di area halaman sekolah, dan banyak lagi. Selain ditunjang dengan laboratorium khusus Pendidikan Tekhnologi Dasar juga dilengkapi
berbagai alat bantu ajar, selain itu juga terdapat laboratorium komputer dan bahasa untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan siswa dalam bidang
teknologi informasi dan komunikasi. Berbagai kegiatan di atas tentu sangat bermanfaat bagi siswa berkebutuhan khusus karena melalui pembelajaran nyata
siswa dapat memperoleh pembelajaran yang lebih maksimal dan bermakna.
c. Pembahasan Aspek Manajemen Sekolah