5.2 Perubahan Penutupan Lahan
Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda. Berdasarkan
hasil interpretasi citra Landsat ETM+ tahun 2006 dan citra Landsat TM tahun 2009, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan penutupan lahan di kawasan
TNGC. Perubahan penutupan lahan secara umum dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perubahan penutupan lahan di TNGC tahun 2006 dan 2009
No Tipe
penutupan lahan
Luas penutupan lahan ha Perubahan penutupan
lahan Total
Total 2006
2009 2006-2009
ha Laju3tahun
1 Hutan alam
6345.99 41.78
6294.78 41.48
-51.21 -0.01
2 Hutan
tanaman 1458.27
9.60 1551.15
10.22 92.88
0.06 3
Ladang 789.3
5.20 967.59
6.38 178.29
0.18 4
Semak 3295.26
21.70 4041.99
26.64 746.73
0.18 5
Lahan terbuka 1413.36
9.31 434.16
2.86 -979.2
-2.26 6
Badan air 21.51
0.14 19.89
0.13 -1.62
-0.08 7
Tidak ada data
1864.35 12.28
1864.35 12.29
Penutupan lahan di TNGC terbagi dalam 12 kecamatan yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGC. Sebagian wilayah TNGC termasuk ke dalam
batas wilayah-wilayah administrasi kecamatan yang berada di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan. Luasan penutupan lahan pada masing-
masing kecamatan dan perubahan penutupan lahannya selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7 Penutupan lahan tiap kecamatan
No Kabupaten
Kecamatan 2006
2009 Hutan
alam ha
Hutan tanaman
pinus ha
Semak belukar
ha Lahan
terbuka ha
Ladang ha
Badan air
ha Tidak
ada data
ha Hutan
alam ha
Hutan tanaman
pinus ha
Semak belukar
ha Lahan
terbuka ha
Ladang ha
Badan air
ha Tidak
ada data
ha 1 Majalengka Cikijing
17.64 2.61
21.24 0.90
2.07 49.23
28.08 4.95
6.75 0.18
3.60 49.23
2 Talaga
264.24 126.81
124.65 48.60
220.59 19.17
169.38 352.08
130.77 120.51
45.36 137.70
17.64 169.38
3 Argapura
1932.48 477.99
622.53 152.91
440.19 142.38 1985.49
379.44 524.70
116.73 617.04
142.29 4
Sukahaji 14.67
1.17 92.25
0.09 12.24
1.17 15.03
5.76 68.94
9.45 18.27
1.17 5
Rajagaluh 525.06
107.19 261.81
31.77 28.26
367.02 528.12
123.66 230.13
35.91 23.76
367.02 6
Sindangwangi 27.27
101.97 76.05
3.51 3.33
11.88 44.91
84.6 66.69
6.48 6.39
11.88 7 Kuningan
Darma 507.06
43.92 141.03
25.02 30.06
586.8 471.42
60.57 181.44
1.8 39.33
586.8 8
Cigugur 802.17
59.31 301.05
37.26 36.27
62.64 720.72
85.77 308.7
34.29 87.84
62.64 9
Jalaksana 662.67
91.17 194.49
5.76 6.84
122.58 586.35
130.32 226.89
6.66 15.21
122.58 10
Cilimus 718.83
65.79 385.74
26.82 1.71
7.38 695.34
166.86 332.19
1.98 6.66
7.38 11
Mandirancan 391.68
200.43 441.81
65.43 1.71
21.87 348.66
247.86 487.89
9.70 6.03
21.87 12
Pasawahan 564.3
187.65 671.76
1025.55 11.25
2.34 339.84
598.14 141.57 1532.07
170.91 8.91
2.25 339.93
43
Tabel 8 Perubahan penutupan lahan tiap kecamatan
No Kabupaten
Kecamatan Hutan alam ha
Hutan tanaman pinus ha
Semak ha Lahan terbuka ha
Ladang ha Badan air ha
Luas total
2006 Luas
total 2009
Luas ha
Laju perubahan
Luas ha
Laju perubahan
Luas ha
Laju perubahan
Luas ha
Laju perubahan
Luas ha
Laju perubahan
Luas ha
Laju perubahan
1 Majalengka Cikijing 10.44
0.59 2.34
0.90 -14.49
-0.68 -0.72
-0.8 1.53
0.74 93.69
92.79 2
Talaga 87.84
0.33 3.96
0.03 -4.14
-0.03 -3.24
-0.07 -82.89
-0.38 -1.53
-0.08 973.44
973.44 3
Argapura 53.01
0.03 -98.55
-0.21 -97.83
-0.16 -36.18
-0.24 176.85 0.40
0 3768.48 3765.69 4
Sukahaji 0.36
0.02 4.59
3.92 -23.31
-0.25 9.36
104 6.03
0.49 121.59
118.62 5
Rajagaluh 3.06
0.01 16.47
0.15 -31.68
-0.12 4.14
0.13 -4.5
-0.16 0 1321.11 1308.60
6 Sindangwangi
17.64 0.65
-17.37 -0.17
-9.36 -0.12
2.97 0.85
3.06 0.92
224.01 220.95
7 Kuningan Darma
-35.64 -0.07
16.65 0.38
40.41 0.29
-23.22 -0.93
9.27 0.31
0 1333.89 1341.36 8
Cigugur -81.45
-0.10 26.46
0.45 7.65
0.03 -2.97
-0.08 51.57
1.42 1298.7 1299.96
9 Jalaksana
-76.32 -0.12
39.15 0.43
32.4 0.17
0.90 0.16
8.37 1.22
0 1083.51 1088.01 10
Cilimus -23.49
-0.03 101.07
1.54 -53.55
-0.14 -24.84
-0.93 4.95
2.89 0 1206.27 1210.41
11 Mandirancan
-43.02 -0.11
47.43 0.24
46.08 0.10
-55.73 -0.85
4.32 2.53
0 1122.93 1122.01 12
Pasawahan 33.84
0.06 -46.08
-0.25 860.31
1.28 -854.64
-0.83 -2.34
-0.21 -0.09
-0.04 2802.69 2793.78
44
Penutupan lahan hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder di TNGC selama periode 2006-2009 mengalami penurunan luas hutan sebesar 51.21
ha dengan laju perubahan luas sebesar 0.01. Penurunan luas hutan alam terbesar yaitu di Kecamatan Cigugur dengan 81.45 ha dan peningkatan hutan alam terbesar
yaitu di Kecamatan Talaga 87.84 ha. Hutan alam mengalami penurunan luas dan perubahan menjadi semak belukar sebesar 7.80, menjadi hutan tanaman sebesar
4.19, dan menjadi ladang sebesar 0.80 dari luas tahun 2006 pada tahun 2009. Penurunan luas hutan ini mengindikasikan adanya gangguan kawasan hutan
berupa pencurian dan penebangan kayu, penggarapan lahan serta beberapa kejadian kebakaran hutan yang merusak pohon dan menyebabkan lahan tersebut
menjadi kurang tertutup vegetasi. Selain itu juga karena adanya lahan hutan yang dimanfaatkan untuk kebun campuran karena merupakan kawasan enclave.
Wilayah enclave ini memang sudah ada lama sejak masih dikelola Perum Perhutani. Kawasan TNGC terdapat dua lokasi yang menjadi kawasan enclave
dan keduanya berada di wilayah resort pasawahan dengan luas masing-masing 12.5 ha dan 67.5 ha. Lokasi enclave ini cenderung merupakan hutan campuran
sekunder dan tidak ada pemukiman di dalamnya. Hutan sekunder mendominasi kawasan hutan di TNGC karena ekosistem ini banyak dijumpai baik di daerah-
daerah hutan tropika basah maupun hutan musim, di dataran rendah dan bukit- bukit. Selain itu adanya ekosistem hutan sekunder di TNGC disebabkan karena
faktor alam yaitu letusan gunung berapi yang sudah terjadi sebanyak 7 kali diantaranya tahun 1698, 1772, 1775, 1805, 1917, 1924 dan 1938 BTNGC 2006
sehingga vegetasi hutan alam pada masa lalu mengalami suksesi dan menjadi hutan sekunder. Secara umum persebaran deforestasi dan reforestasi hutan di
TNGC selama periode 2006-2009 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Peta deforestasi dan reforestasi hutan TNGC tahun 2006-2009. Hutan tanaman pinus dalam wilayah TNGC mengalami peningkatan luas
pada periode 2006-2009 yaitu sebesar 92.88 ha dengan laju perubahannya sebesar 0.06. Penurunan luas hutan tanaman pinus terbesar yaitu di wilayah Kecamatan
Argapura dengan luas 98.55 ha dan peningkatan luas hutan tanaman pinus terluas di Kecamatan Cilimus dengan 101.07 ha. Selama periode 2006-2009, hutan
tanaman pinus yang mengalami perubahan menjadi vegetasi semak sebesar 8.
Hal ini memungkinkan karena selama periode 2006-2009 telah terjadi kebakaran lahan hutan sebesar 2245.9 ha Tabel 9. Hutan tanaman pinus merupakan
vegetasi yang mudah terbakar dan interpretasi pada citra Landsat akan terlihat
vegetasi bawahnya yang berupa semak. Hutan tanaman pinus juga mengalami perubahan menjadi hutan alam sebesar 16. Perubahan penutupan ini diduga
karena adanya pemanfaatan intensif lahan garapan berupa kebun campuran di bawah tegakan pinus sehingga klasifikasi diinterpretasikan menjadi hutan alam.
Penggunaan lahan untuk kebun campuran tidak bisa dideteksi berdasarkan klasifikasi citra Landsat karena agak tertutup oleh kelompok hutan tanaman pinus.
Selain itu, hutan tanaman pinus juga mengalami perubahan menjadi ladang sebesar 10 dari luas tahun 2006 pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan
bahwa masyarakat tidak merawat hutan tanaman pinus. Hutan tanaman pinus sengaja dicuri dan ditebang agar tidak menghalangi ladang sayuran yang tidak
membutuhkan naungan. Selain itu, lokasi hutan pinus ini pun dekat dengan daerah rawan kebakaran, seperti di Pesawahan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
tunggak batang sisa kebakaran yang masih hitam tegak berdiri. Hutan tanaman pinus yang dahulu dikelola dengan sistem tumpangsari dalam program PHBM
menyebabkan banyaknya masyarakat yang menggarap lahan TNGC sehingga memungkinkan adanya perubahan penutupan lahan menjadi ladang sayuran tanpa
memelihara tegakan utamanya yaitu pinus. Kondisi ini terlihat di wilayah TNGC sebelah barat seperti di Kecamatan Bantaragung, Argalingga, Argamukti, Talaga
sampai wilayah timur TNGC seperti Cigugur, dan sebagian Cilimus. Masyarakat yang berkebun dan berladang dengan sistem tumpangsari
seharusnya menggarap lahan sampai tegakan pinus menjadi besar dan terpelihara dan kemudian masyarakat menggarap di lahan yang lain terutama di lahan bekas
tebangan pinus. Namun kenyataannya di lapangan masyarakat justru tidak memelihara tegakan pinus dan pohon hutan lainnya. Mereka justru menebang
pohon tersebut agar masyarakat bisa terus menggarap lahan lebih lama. Hal ini kemungkinan diduga karena sudah tidak ada wewenang Perum Perhutani terkait
adanya peralihan status menjadi taman nasional sehingga masyarakat beranggapan bahwa pemeliharaan pinus akan menjadi sia-sia. Secara umum penurunan
deforestasi dan peningkatan reforestasi areal hutan tanaman pinus pada beberapa wilayah kecamatan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Peta deforestasi dan reforestasi hutan tanaman pinus TNGC tahun 2006-2009.
Ladang di kasawan TNGC mengalami peningkatan luas pada periode
2006-2009 sebesar 178.29 ha dengan laju perubahan luasnya sebesar 0.18. Peningkatan luas ladang di dalam kawasan taman nasional sangat tidak terkendali.
Pemanfaatan lahan untuk ladang ini dapat dikatakan sebagai perambahan yang disebabkan konversi lahan menjadi ladang sayuran. Hal ini dikarenakan aktivitas
masyarakat dalam bertani lebih banyak memanfaatkan lahan di dalam kawasan dibandingkan di luar kawasan terkait dengan keberadaan lahan garapan yang
sudah ada sebelum kawasan TNGC ditunjuk. Pada periode tahun 2006-2009 telah
terjadi perubahan lahan dari ladang menjadi semak sebesar 17. Hal ini
memungkinkan karena pada sebagian wilayah di Kecamatan Talaga masyarakat menanam jagung dimana komoditi jagung memiliki pencitraan yang agak serupa
dengan semak yang berwarna kekuning-kuningan. Selain itu diduga adanya masyarakat yang meninggalkan sebagian lahan garapannya dalam kawasan untuk
tidak menggarap lagi dikarenakan adanya sosialisasi dari petugas taman nasional dalam rangka penutupan kawasan untuk lahan garapan sehingga lahan yang
ditinggalkan tersebut berubah menjadi semak. Distribusi ladang dalam kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan peta distribusi ladang dalam kawasan TNGC, dapat dilihat penyebaran lokasi penggarapan lahan khususnya ladang sayur tanpa naungan
sebagian besar berada di wilayah administrasi Kabupaten Majalengka seperti wilayah Kecamatan Argapura dengan luas peningkatan sebesar 176.85 ha.
Sedangkan sebagian kecil berada di wilayah Kabupaten Kuningan yaitu wilayah Kecamatan Cigugur dan sebagian Cilimus. Hal ini dapat dipahami karena
Gambar 10 Peta distribusi ladang dalam kawasan a tahun 2006; b tahun 2009.
wilayah-wilayah tersebut berada pada ketinggian antara 800-1200 m dpl yang cocok ditanami sayuran. Namun pemanfaatannya menjadi tidak terkendali dan
sampai masuk ke dalam kawasan taman nasional diantaranya ada yang mencapai ketinggian sekitar 1980 m dpl yaitu pada lokasi Blok Ciinjuk, Desa Cipulus,
Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka. Perambahan ini diduga karena masyarakat lebih senang menanam sayuran seperti kol, kentang, bawang daun,
petcay dan cabai yang memiliki musim panen yang cepat sekitar 3-4 bulan sekali panen sehingga lebih produktif dibandingkan harus menanam dan memelihara
tanaman kerasbuah-buahan seperti kopi, cengkeh dan alpukat yang memiliki masa panen relatif lama yaitu sekitar 1-3 tahun sekali panen. Hal ini akan
berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan akan memperluas lahan garapannya apabila tidak dilakukan sosialisasi intensif dan langkah konkrit
dalam rangka penutupan kawasan untuk penggarapan. Semak belukar mengalami peningkatan luas lahan yang cukup tinggi pada
periode 2006-2009 yaitu sebesar 746.73 ha dengan laju perubahan luasan sekitar 0.18. Peningkatan penutupan semak terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan
dengan luas 860.30 ha. Semak belukar yang mengalami perubahan vegetasi diantaranya menjadi ladang sebesar 7.36 dan hanya 3.70 yang berubah
menjadi lahan terbuka. Pada periode 2006-2009 di wilayah TNGC terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar yang menghabiskan semak belukar
dan membakar hutan-hutan di sekitarnya, terutama hutan tanaman pinus. Kebakaran hutan yang sering terjadi terutama pada saat musim kemarau, yaitu
antara bulan Juni sampai dengan Oktober. Daerah yang rawan terjadi kebakaran hutan adalah daerah puncak Gunung Ciremai dan bagian kaki Gunung Ciremai
sebelah utara di wilayah Kabupaten Kuningan serta sebelah timur wilayah Kabupaten Majalengka BTNGC 2010. Distribusi semak belukar dapat dilihat
pada Gambar 11.
Lokasi-lokasi pada tiap resort di wilayah TNGC yang mengalami kebakaran lahan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Data luasan kebakaran di TNGC
No Resort
2006 ha 2007 ha
2008 ha 2009 ha
Total ha
1 Pasawahan
208.6 64
219.8 488
980.4 2
Mandirancan 202
30 217
449 3
Cilimus 347
159 5
511 4
Jalaksana 5
35 30
70 5
Cigugur 5
5 6
Sangiang 14
5 40
59 7
Argalingga 32
4 36
8 Gunung Wangi
13 13
9 Bantaragung
65 26.5
31 122.5
Total 767.6
223 474.3
781 2245.9
Sumber: Data dan informasi kebakaran hutan TNGC 2010
. Berdasarkan Tabel 9, daerah yang paling rawan kebakaran lahan adalah di Resort Pasawahan, Mandirancan dan Cilimus. Data menunjukan tahun 2006
Gambar 11 Peta distribusi semak belukar a tahun 2006; b tahun 2009
merupakan kebakaran terbesar yang pernah terjadi di kawasan Gunung Ciremai dengan luas lahan yang terbakar sebesar
767.60 ha. Hal ini dapat terdeteksi dari citra Landsat yang diambil pada 24 September 2006 yang merupakan lahan semak
namun terdeteksi sebagai lahan terbuka karena cukup besar semak yang terbakar. Pada wilayah-wilayah
ini tutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan kondisi lahan yang berbatu dengan total luas kebakaran selama 2006-2009
mencapai 2245.9 ha. Selain itu, pola penggunaan lahan sebagian masyarakat dengan
menggunakan sistem land clearing. Masyarakat membuka lahan dengan melakukan pembakaran lahan terlebih dahulu, yang bertujuan agar lahan yang
digarapnya lebih subur karena areal bekas pembakaran dipercaya mengandung humus, sehingga sewaktu-waktu pembukaan lahan yang disebabkan oleh land
clearing dapat mengakibatkan kebakaran lahan dan hutan. Hal ini didukung oleh Hadiprasetyo 2009 yang mengatakan bahwa selain penggarap mengolah lahan
dengan cara mencangkul dan memupuk, sebagian masyarakat lain masih membersihkan lahan dengan cara membakar karena membutuhkan waktu yang
relatif cepat dan biaya yang lebih murah daripada memupuk. Lahan terbuka di kawasan TNGC berupa tanah bebatuan di daerah puncak
gunungkawah dan sebagian wilayah Kecamatan Pasawahan. Pada lahan terbuka
terjadi penurunan yang tinggi yaitu sebesar 979.2 ha dengan laju perubahan luasan sebesar 2.26. Penurunan lahan terbuka terluas yaitu di Kecamatan Pasawahan
dengan luas 854.64 ha, kemudian Kecamatan Mandirancan dengan luas 55.73 ha. Kemudian di sekitar penutupan hutan tanaman pinus terdeteksi lahan terbuka yang
merupakan areal bekas kebakaran dan tebangan Perum Perhutani yang lahannya kurang tertutup vegetasi dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk digarap dengan
perubahan vegetasi lahan terbuka menjadi ladang pada tahun 2009 sebesar 5.8 dari total luasan lahan terbuka tahun 2006. Lahan terbuka mengalami perubahan
penutupan vegetasi yang tinggi menjadi semak sebesar 69. Hal ini karena adanya sistem suksesi alam pada hutan sekunder atau semak bekas lahan
kebakaran. Sebaran lahan terbuka di kawasan TNGC dapat dilihat pada Gambar 12.
Penutupan lahan berupa badan air mengalami penurunan luas pada tahun 2006-2009 yaitu sebesar 1.62 ha dengan laju perubahan luasan sebesar 0.08.
penurunan luas badan air ini disebabkan karena fluktuasi debit air sehingga dapat mempengaruhi dalam interpretasi citra. Pada saat musim kemarau atau saat curah
hujan kecil, jumlah air cenderung berkurang. Pada saat musim hujan jumlah air meningkat dan air akan melimpah kepinggiran daratan disekitarnya. Badan air ini
terdeteksi baik di wilayah Situ Sangiang dan Talaga Remis. Tidak ada data merupakan penutupan lahan berupa awan, bayangan awan
serta punggungan bukit yang tidak bisa terdeteksi dalam citra dan tidak mengalami perubahan luas pada periode tahun 2006-2009. Pada saat proses
klasifikasi citra, luas tidak ada data disamakan setiap tahun. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan luas tipe penutupan lahan yang sama pada citra yang
terklasifikasi. Gambar 12 Peta distribusi lahan terbuka a tahun 2006; b tahun 2009.
5.3 Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mempengaruhi Perambahan