BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Taman Nasional Gunung Ciremai
4.1.1 Sejarah kawasan
Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan tinggi 3078 m dpl. Gunung Ciremai awalnya merupakan kawasan hutan yang ditunjuk
oleh Pemerintah Hindia Belanda dan disahkan pada tanggal 28 Mei 1941. Kawasan hutan ini kemudian berubah status menjadi hutan produksi pada tahun
1978 yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terbagi dalan dua unit wilayah yaitu KPH Kuningan dan KPH Majalengka berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.143KptsUm31978. Sebagian kawasan hutan produksi di Gunung
Ciremai kemudian diubah statusnya sebagai kawasan hutan lindung di Kawasan Hutan Produksi Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Kabupaten
Majalengka berdasarkan Kepmenhut nomor 195Kpts-II2003 tanggal 4 Juli 2003
tentang penunjukan areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816603 ha.
Pada saat kawasan dikelola Perum Perhutani, telah ada sistem yang berjalan salah satunya adalah sistem PHBM Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat yang dimulai sekitar tahun 1999 Suryadarma 2009. PHBM adalah sebuah sistem yang sama sekali berbeda dengan sistem pengelolaan taman
nasional pada umumnya. Kebijakan PHBM ini tertuang dalam pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tentang penggunaan dan pemanfaatan hutan
berbasis sosial forestry. Program PHBM antara masyarakat dan Perum Perhutani dengan memanfaatkan pola tumpangsari agroforestry. Menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990, dijelaskan bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi dengan tujuan perlindungan ekosistem penyangga kehidupan,
pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata untuk kelestarian kawasan sehingga tidak diperbolehkan adanya aktivitas masyarakat
khususnya pemanfaatan lahan. Pemanfaatan lahan hutan di kawasan ini telah dilakukan sejak lama, yaitu sejak kawasan hutan Gunung Ciremai masih berstatus
hutan produksi. Seperti dibeberapa wilayah yang dimanfaatkan untuk pertanian, lahan tumpangsari justru banyak dikonversi lahannya menjadi ladang sayur mayur
tanpa memelihara hutan pinus sebagai tegakan utama. Pemanfaatan ini semakin tidak terkendali dan sangat berpotensi mengakibatkan lahan kritis. Berdasarkan
permasalahan tersebut, maka Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk mengajukan perubahan fungsi
kawasan hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ciremai menjadi TNGC. Kawasan hutan lindung Gunung Ciremai kemudian mengalami perubahan fungsi
menjadi taman nasional dengan dikeluarkannya surat keputusan menteri kehutanan nomor 424Menhut-II2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang
perubahan fungsi kawasan hutan lindung Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Selanjutnya pada 30 Desember 2004, dilakukan penunjukan BKSDA
Jawa Barat II sebagai pengelola TNGC hingga terbentuknya organisasi TNGC berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA No.SK. 140IVSet-
32004.
Penyelesaian proses perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional banyak mendapat penolakan dari berbagai pihak mulai
dari masyarakat desa sekitar sampai organisasi non pemerintah yang berpendapat bahwa penunjukan kawasan menjadi taman nasional agak terburu-buru, tanpa
sosialisasi ke masyarakat dan tidak sesuai prosedur. Mereka menganggap keberadaan taman nasional sangat merugikan masyarakat karena telah dirubah
peruntukannya, tidak dapat lagi dikelola dengan tujuan produksi dan masyarakat tidak diperbolehkan lagi menggarap dalam kawasan. Hal ini seperti pernyataan
Hermawan 2005 bahwa penolakan penunjukan kawasan menjadi taman nasional disebabkan: 1 proses penetapan TNGC dianggap tidak mengindahkan proses
pembicaraan yang sedang berlangsung, 2 proses penetapan yang penuh ketergesaan dikhawatirkan akan merugikan masyarakat, 3 tidak adanya
sosialisasi penetapan TNGC kepada masyarakat dan 4 kekhawatiran tertutupnya akses masyarakat pada kawasan Gunung Ciremai setelah ditetapkan menjadi
taman nasional. Perubahan fungsi kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang berada
di kawasan TNGC menjadi kawasan konservasi telah menyebabkan perubahan sistem pengelolaan kawasan hutan. Kawasan hutan lindung tidak hanya berperan
untuk melindungi terhadap tanah dan air sebagai daerah resapan, tetapi juga
ditingkatkan sebagai kawasan pelestarian alam. Begitupun dengan kawasan hutan produksi yang semula dikelola oleh Perum Perhutani, dengan adanya peralihan
kawasan menjadi taman nasional, masyarakat sudah tidak bisa lagi menggarap lahan dalam kawasan.
4.1.2 Letak dan luas wilayah