7 Lama menggarap
Intensitas atau lamanya masyarakat menggarap dalam kawasan dikategorikan dalam dua kelas yaitu sebelum adanya TNGC 5 tahun dan
setelah adanya TNGC 5 tahun. Persentase jumlah responden menurut lama menggarap disajikan dalam Gambar 21.
Sebanyak 90 orang responden 96 mengaku sudah lama menggarap dalam kawasan taman nasional dan hanya 4 orang responden saja 4 yang baru
menggarap lahan dalam kawasan taman nasional. Mayoritas responden telah lama menggarap sejak status kawasan masih dipegang oleh Perum Perhutani yang
kebijakannya mengarah pada pengelolaan hutan produksi dengan pemeliharaan diserahkan sepenuhnya oleh masyarakat sekitar dengan sistem tumpangsari.
8 Aksesibilitas
Kawasan taman nasional memiliki areal cukup luas dengan akses jalan yang baik, jarak ke pusat pemerintahan cukup jauh dan dikelilingi oleh desa-desa
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi pedesaan berbasis pertanian yang cukup tinggi sehingga memperbesar kesempatan terjadinya gangguan terhadap kawasan.
Hampir seluruh desa di sekitar kawasan berbatasan langsung dengan kawasan, baik itu berbatasan dengan pemukiman, sawah, ladang dan perkebunan
masyarakat.
5.3.2 Pengaruh faktor sosial ekonomi terhadap luas lahan garapan dalam
kawasan
Faktor sosial ekonomi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perambahan lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai. Beberapa
faktor sosial masyarakat yang diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam Gambar 21 Persentase jumlah responden menurut lama garapan.
kawasan dapat dibuat hubungannya berdasarkan karakter responden. Luas lahan garapan dalam kawasan dilihat berdasakan nilai rata-rata luas lahan garapan yang
dimiliki oleh masyarakat. Luas lahan garapan dalam kawasan dikategorikan tinggi apabila luas lahan garapan dalam kawasan lebih besar sama dengan 0.39 ha dan
dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari 0.39 ha. Nilai 0.39 ha diperolah dari nilai rata-rata luas lahan garapan dalam kawasan seluruh masyarakat kedua desa
yang diajadikan sampel.
1 Jumlah tanggungan keluarga
Jumlah tanggungan keluarga dikategorikan besar apabila jumlah tanggungan keluarga lebih besar sama dengan tiga dan dikategorikan kecil apabila
lebih kecil dari tiga. Nilai tiga diperolah dari nilai rata-rata jumlah tanggungan keluarga seluruh masyarakat kedua desa yang dijadikan sampel. Jumlah
tanggungan keluarga diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan dengan asumsi bahwa semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka
kebutuhan hidup keluarga tersebut akan semakin besar sehingga membutuhkan lahan yang lebih besar pula. Hubungan antara jumlah tanggungan keluarga dan
luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hubungan jumlah tanggungan keluarga dengan luas lahan garapan
dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan Jumlah tanggungan keluarga
Total responden Besar
Kecil n
n N
Rendah 27
64 33
63 60
64 Tinggi
15 36
19 37
34 36
Jumlah 42
100 52
100 94
100
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ
2
= 0.0072 χ
2
α
0.05
;1 = 3.84
Berdasarkan uji
χ
2
pada taraf nyata 0.05
,
nilai
χ
2
hitung χ
2
tabel yang berarti terima H
bahwa jumlah tanggungan keluarga ternyata tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini dipengaruhi oleh status
penguasaan lahan terutama petani milik, sedangkan jumlah anggota keluarga tidak dipengaruhi oleh status kepemilikan lahan. Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat
responden yang memiliki tanggungan keluarga sedikit sangat mungkin menggunakan lahan garapan yang tinggi yaitu 19 responden dan sebaliknya yang
memiliki tanggungan keluarga yang besar sangat mungkin menggunakan lahan garapan yang rendah terkait oleh penguasaan lahan yaitu sebesar 27 responden.
2 Tingkat umur
Tingkat umur diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan dengan asumsi bahwa semakin produktif usia seseorang maka semakin banyak
pengalaman dalam teknik berladang sehingga akan semakin tinggi tingkat penggunaan lahannya. Hubungan antara tingkat umur dan luas lahan garapan
dalam kawasan disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Hubungan tingkat umur dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan Tingkat umur
Total responden Produktif
Non produktif n
n N
Rendah 49
64 11
65 60
64 Tinggi
28 36
6 35
34 36
Jumlah 77
100 17
100 94
100
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ
2
= 0.0065 χ
2
α
0.05
;1 = 3.84
Berdasarkan uji
χ
2
pada taraf nyata 0.05
,
nilai
χ
2
hitung χ
2
tabel. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H
diterima yang berarti tingkat usia tidak berpengaruh terhadap tingkat luas garapan dalam kawasan. Hal ini
menggambarkan bahwa usia para penggarap lahan bervariasi mulai dari usia produktif 15-64 tahun sampai non produktif 64 tahun. Dengan kata lain,
tujuan utama mereka adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa memperdulikan faktor usia. Terlihat bahwa terdapat enam responden dengan
kategori usia non produktif yang masih sanggup menggarap lahan dalam kawasan dengan penggarapan yang tinggi.
3 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan diduga berpengaruh terhadap penggunaan lahan dalam kawasan dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan
semakin tinggi tingkat kemampuan individu seseorang dan memperbanyak pilihan seseorang terhadap mata pencaharian lain. Hubungan antara tingkat pendidikan
dan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Hubungan tingkat pendidikan dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan
dalam kawasan
Tingkat pendidikan Total
responden Tidak Sekolah
SD SMP
SMA n
n n
n N
Rendah 2
67 50
66 7
64 1
25 60
64 Tinggi
1 33
26 34
4 36
3 75
34 36
Jumlah 3
100 76
100 11
100 4
100 94
100
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ
2
= 2.768 χ
2
α
0.05
;3 = 7.815
Berdasarkan uji
χ
2
pada taraf nyata 0.05
,
nilai
χ
2
hitung χ
2
tabel. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H
diterima yang berarti tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini disebabkan
karena masyarakat dengan tingkat pendidikan tidak sekolah sampai SMA memiliki luas garapan dalam kawasan yang bervariasi. Berdasarkan Tabel 12,
penggunaan lahan didominasi kategori tingkat SD dan terdapat tiga responden dari kategori lulusan SMA yang memiliki lahan garapan dalam kawasan diatas
rata - rata. Masyarakat memiliki ketergantungan yang sama pada lahan walaupun memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan masyarakat
berada di pelosok desa sehingga pilihan mata pencaharian selain bertani sangat sedikit. Akibatnya masyarakat tetap membutuhkan lahan untuk bertani walaupun
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
4 Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan karena mempunyai implikasi ekonomis dalam mengelola lahan garapan
dalam kawasan TNGC, dengan asumsi bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat di luar kawasan, maka semakin rendah tingkat perambahan lahan
dalam kawasan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendapatan masyarakat di luar kawasan dengan berbagai mata pencaharian, maka semakin tinggi tingkat
perambahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Tingkat pendapatan dikategorikan tinggi apabila jumlah tanggungan keluarga lebih besar sama dengan
Rp 383000,00 dan dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari Rp 383000,00. Nilai Rp 383000,00 diperolah dari nilai rata-rata tingkat pendapatan seluruh
masyarakat kedua desa yang diajadikan sampel. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Hubungan tingkat pendapatan dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan Tingkat pendapatan
Total responden Rendah
Tinggi n
n N
Rendah 26
53 34
77 60
64 Tinggi
23 47
10 23
34 36
Jumlah 49
100 44
100 94
100
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ
2
= 6.3888 χ
2
α
0.05
;1 = 3.84
Berdasarkan uji
χ
2
pada taraf nyata 0.05
,
nilai
χ
2
hitung sebesar 6.388 χ
2
tabel sebesar 3.84. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H
1
diterima yang berarti terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendapatan dengan luas lahan
garapan dalam kawasan TNGC. Hubungan antara tingkat pendapatan berkorelasi negatif dengan luas garapan dalam kawasan di TNGC. Semakin tinggi tingkat
pendapatan di luar kawasan maka kecenderungan untuk membuka dan memanfaatkan lahan dalam kawasan pun semakin kecil. Sebaliknya semakin
rendah tingkat pendapatan di luar kawasan maka kecenderungan untuk membuka dan memanfaatkan lahan dalam kawasan pun semakin besar. Hal ini dapat
dipahami karena sebagian besar responden bermata pencaharian sebagai petani yang lahan dan luasannya menjadi faktor kunci yang dapat berpengaruh terhadap
perilaku masyarakat. Motif masyarakat menggarap dalam kawasan diduga karena masyarakat tidak dibebani biaya sewa lahan pada lahan eks Perum Perhutani
dibandingkan menggarap di lahan milik orang lain sehingga tidak mengurangi pendapatan. Selain itu penguasaan lahan garapan yang sempit di luar kawasan
berimplikasi pada pendapatan yang rendah dan menyebabkan masyarakat
menggarap di dalam kawasan untuk menambah penghasilan. 5
Luas garapan di luar kawasan
Luas lahan garapan di luar kawasan dikategorikan tinggi apabila lebih besar sama dengan 0.27 ha dan dikategorikan rendah apabila lebih kecil dari 0.27
ha. Nilai 0.27 ha diperolah dari nilai rata-rata luas lahan garapan di luar kawasan
seluruh masyarakat kedua desa yang diajadikan sampel.Luas garapan di luar kawasan diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan, dengan
asumsi bahwa semakin tinggi luas lahan yang digarap di luar kawasan maka akan semakin rendah luas garapan di dalam kawasan. Berdasarkan uji
χ
2
pada taraf nyata 0.05
,
nilai
χ
2
hitung χ
2
tabel. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H
diterima yang berarti tidak terdapat hubungan yang nyata antara luas lahan garapan dalam kawasan terhadap luas lahan garapan di luar kawasan. Hubungan
antara luas lahan garapan luar kawasan dengan luas lahan garapan dalam kawasan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Hubungan luas garapan diluar kawasan dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ
2
= 1.0952 χ
2
α
0.05
;1 = 3.84
Hal ini disebabkan karena masyarakat yang menggarap lahan di luar kawasan cenderung untuk menambah pendapatannya dengan tetap menggarap
lahan di dalam kawasan TNGC walaupun kecil luasannya. Namun ada masyarakat yang tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan tidak selalu menggarap lahan
TNGC secara luas. Hal ini mungkin dikarenakan sistem penguasaan lahan oleh para petani milik. Selain itu, jenis penggunaan lahan diduga berpengaruh karena
komoditi ladang lebih menguntungkan dibandingkan perkebunan. Ada kemungkinan masyarakat menggarap kebun secara luas tapi produksinya bisa
lebih kecil dibandingkan menggarap ladang yang tidak terlalu luas namun produksinya cepat dan menguntungkan. Adanya peraturan taman nasional yang
sangat ketat dengan sudah dilarangnya menggarap dalam kawasan menjadi alasan masyarakat tidak memperluas garapannya dan cenderung meninggalkannya.
6 Lama menggarap
Lamanya masyarakat menggarap diduga berpengaruh terhadap luas garapan dalam kawasan dengan asumsi bahwa semakin lama masyarakat
Luas lahan garapan dalam
kawasan Luas lahan garapan luar kawasan
Total responden Rendah
Tinggi n
n N
Rendah 47
67 13
54 60
64 Tinggi
23 33
11 46
34 36
Jumlah 70
100 24
100 94
100
menggarap maka akan semakin tinggi juga tingkat penggunaan lahan dalam kawasan. Lama masyarakat menggarap hanya dibedakan menjadi dua yaitu
sebelum penetapan taman nasional dan setelah penetapan menjadi taman nasional. Hubungan antara lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan
disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hubungan lama menggarap dengan luas lahan garapan dalam kawasan
Luas lahan garapan dalam
kawasan Lama menggarap
Total responden 5 tahun
5 tahun n
n N
Rendah 58
64 3
75 60
64 Tinggi
32 36
1 25
34 36
Jumlah 90
100 4
100 94
100
Keterangan : n= responden per kategori; N= semua responden
χ
2
= 0.2664 χ
2
α
0.05
;1 = 3.84
Berdasarkan uji
χ
2
pada taraf nyata 0.05
,
nilai
χ
2
hitung χ
2
tabel. Nilai tersebut menunjukan bahwa hipotesis H
diterima yang berarti lama masyarakat menggarap tidak berpengaruh terhadap luas lahan garapan dalam kawasan. Hal ini
disebabkan karena lahan yang mereka garap adalah lahan milik negara yang sekarang dikuasai oleh TNGC yang diatur oleh undang-undang dan pemanfaatan
dan penggunaannya semakin dibatasi terkait pergantian status kawasan sehingga masyarakat tidak bisa leluasa dalam memperluas lahan garapannya. Sebagian
besar masyarakat sudah lama menggarap karena sistem PHBM dari Perum Perhutani yang berbasis pemanfaatan lahan intensif bersama masyarakat dan
sudah berjalan sebelum taman nasional ditunjuk.
5.3.3 Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC 1 Pengetahuan masyarakat terhadap kawasan TNGC
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai memiliki pengetahuan yang cukup baik terhadap
keberadaan kawasan tersebut karena memang sudah lama mereka telah berinteraksi dengan hutan di kawasan Gunung Ciremai. Tabel 16 mendeskripsikan
beberapa aspek pengetahuan responden terhadap kawasan TNGC.
Tabel 16 Pengetahuan responden mengenai TNGC
No Aspek pengetahuan
Jumlah responden
Persentase
1 Mengetahui kawasan sebagai taman nasional
94 100
2 Mengetahui batas-batas kawasan TNGC
92 98
3 Mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh
Undang-undangPeraturan 94
100 4
Mengetahui manfaat Gunung Ciremai sebagai penyedia air, perlindungan satwa, dan mencegah erosi
74 79
5 Pernah menerima penyuluhan
63 67
Berdasarkan hasil wawancara responden, diketahui seluruh masyarakat 100 mengetahui keberadaan taman nasional sebagai pemangku wilayah
Gunung Ciremai setelah peralihan status kawasan dari Perum Perhutani ke TNGC. Sekitar 98 responden juga mengetahui batas-batas kawasan taman nasional. Hal
ini dikarenakan batas yang digunakan wilayahnya masih sama dengan batas Perum Perhutani meskipun sudah ada sebagian pal batas yang dibuat oleh pihak
TNGC. Selain itu responden pun mengetahui bahwa kawasan TNGC dilindungi oleh Undang-undang, dan sebanyak 100 responden sudah mengetahuinya. Dari
aspek fungsi dan manfaat, sebesar 79 responden mengetahui fungsi Gunung Ciremai sebagai kawasan penyangga kehidupan. Mereka memahami dan
menyadari bahwa kawasan lindung tersebut memiliki beragam manfaat yang bersifat tangible dan intangible yang menyangga sistem kehidupannya, seperti
penyedia air bagi kebutuhan masyarakat, pencegah dari bahaya erosi, perlindungan satwaliar, penyedia sumberdaya alam dan lainnya. Namun untuk
sebagian lainnya, mereka hanya mengetahui manfaat kawasan sebatas tidak boleh diganggu, namun tetap saja masyarakat menggarap dalam kawasan dengan alasan
untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini tentu dapat mengakibakan pemahaman yang salah terhadap fungsi kawasan. Sedangkan untuk penyuluhan mengenai
TNGC nampaknya sering dilakukan kepada masyarakat penggarap khususnya dengan 67 responden menyatakan pernah menerima penyuluhan seperti
sosialisasi masyarakat mengenai status dan fungsi kawasan, pencegahan kebakaran hutan serta penyelesaian masalah lahan garapan dalam kawasan
konservasi.
2 Sikap masyarakat terhadap kawasan TNGC
Sikap responden dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kawasan TNGC. Persepsi menggambarkan pengertian dan pandangan seseorang mengenai
suatu objek serta menghubungkan informasi itu dengan dirinya. Adanya pandangan masyarakat yang mengatakan bahwa apabila masyarakat tinggal di
pesisir laut, maka sebagian besar masyarakat pasti menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian utama dengan sumberdaya lautnya yang melimpah. Begitu pula
dengan masyarakat yang tinggal di kaki gunung, maka sebagian besar masyarakat menjadikan petani sebagai mata pencaharian utama dengan memanfaatkan
sumberdaya hutan dan lahannya. ”leuweungna hejo,rahayatna hejo” merupakan sebuah visi program PHBM yang selalu dipegang masyarakat sekitar kawasan
TNGC. Masyarakat sekitar hutan merasa mereka yang paling berpengaruh terhadap kelestarian hutan dengan penanaman pohon sehingga Gunung Ciremai
terlihat hijau. Kecenderungan masyarakat yang awalnya tetap ingin menggarap dalam kawasan disebabkan oleh beberapa motif yang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Alasan responden menggarap lahan TNGC
No Motif Penggarapan
Jumlah Responden
Persentase
1 Sudah terbiasa dengan pola pengelolaan
Perum Perhutani 90
96 2
Keterdesakan ekonomi 68
72 3
Tidak mempunyai lahan diluar kawasan 20
21 4
Tidak mempunyai pekerjaan sampingan selain petani
77 82
Berdasarkan motif masyarakat yang menggarap dalam kawasan, sebanyak 90 responden 96 mengaku sudah lama menggarap di lahan eks Perum
Perhutani. Hal ini disebabkan karena faktor sejarah kawasan Gunung Ciremai itu sendiri. Sistem pengelolaan hutan Perhutani yang membolehkan masyarakat
menggarap lahan untuk pertanian dengan tetap memelihara pohon pinus menyebabkan masyarakat semakin terbiasa dan senang karena akan meningkatkan
pendapatan mereka, dan pada akhirnya mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap kawasan yang saat ini telah menjadi kawasan taman nasional.
Sebanyak 68 responden 72 mengaku faktor ekonomi sebagai pendorong masyarakat membuka lahan dalam kawasan. Umumnya responden ini menggarap
di luar kawasan namun luasannya kurang mencukupi. Pengetahuan masyarakat yang tinggi terhadap fungsi kawasan tidak diimbangi dengan sikap masyarakat
dalam melestarikan hutan terkait faktor ekonomi. Pemilikan lahan garapan di luar kawasan yang sempit tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehingga adanya
kesempatan menguasai lahan yang mudah dalam kawasan dan menjamin pendapatan masyarakat yang lebih baik. Sebanyak 20 responden 21 mengaku
bahwa mereka sama sekali tidak memiliki lahan garapan di luar kawasan sehingga seluruh penghasilan pertaniannya diperoleh dari dalam kawasan TNGC. Sebanyak
77 responden 82 mengaku bahwa mereka tidak punya profesi lain selain sebagai petani. Belum adanya alternatif usaha untuk masyarakat sekitar
menjadikan penggarap masih ada yang menggarap. Alasan masyarakat merambah kawasan tersebut dapat mempengaruhi sikap responden terhadap kawasan TNGC.
Beberapa sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC tersaji pada Tabel 18.
Tabel 18 Sikap responden terhadap kebijakan manajemen TNGC
No Sikap responden
Jumlah responden
Persentase
1 Setuju bahwa kita harus menjaga Gunung Ciremai
tetap lestari 94
100 2
Tidak setuju apabila kawasan Gunung Ciremai ditutup untuk aktivitas penggarapan
78 83
3 Setuju dan ikut serta bersama pihak petugas dalam
mencegah kerusakan di Gunung Ciremai 85
90 4
Bersedia mengikuti program pemberdayaan kesejahteraan masyarakat
94 100
Pada umumnya masyarakat mengetahui kawasan Gunung Ciremai sebagai kawasan yang perlu dilestarikan. Hal ini terlihat dari sikap responden yang
semuanya setuju 100 bahwa masyarakat harus menjaga Gunung Ciremai agar tetap lestari dan sumberdaya yang ada di dalamnya tidak rusak. Mereka mayoritas
setuju 90 dan bekerjasama dengan pihak petugas dalam mencegah kerusakan seperti kebakaran lahan di TNGC. Namun permasalahannya masyarakat akan ikut
melestarikan kawasan taman nasional apabila mereka masih diizinkan untuk menggarap dalam kawasan. Hal ini terlihat bahwa sebanyak 78 responden 83
tidak setuju apabila kawasan ini ditutup untuk aktivitas penggarapan. Interaksi yang kuat dengan ketergantungan yang tinggi antara masyarakat sekitar dengan
hutan khususnya semenjak diberlakukan PHBM dapat dipahami terkait untuk penghidupan masyarakat.
Adanya peraturan TNGC saat ini yang tidak memperbolehkan adanya aktivitas pertanian dalam kawasan menyebabkan masyarakat mengalami
ketidakpastian khususnya nasib lahan yang mereka garap dalam kawasan. Masyarakat sebenarnya mengerti jika suatu saat dilakukan penutupan lahan
garapan oleh pihak TNGC mereka bersedia meninggalkan lahan garapan tersebut. Namun masyarakat khawatir apabila mereka sudah tidak diperbolehkan
menggarap dalam kawasan belum ada tindak lanjut dari Pemda Kabupaten Majalengka dan Kuningan serta TNGC terkait alternatif usaha sebagai
kompensasi untuk masyarakat penggarap.
5.4 Pengendalian Penggunaan Lahan