Efisiensi alokatif dapat diukur dengan membandingkan antara NPM dan BKM. Sedangkan efisiensi ekonomis dapat dilihat dari persentase harga
pokok dengan persentase harga provenue, nilai titik impas serta nilai kemampuan laba. Dalam penelitian ini akan dicari tingkat efisien alokatifnya.
Dengan efisiensi alokatif ini maka diketahui efisiensi dari faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap produksi gula, dimana efisiensi alokatif menilai
pengorbanan yang dibutuhkan untuk menambah suatu input terhadap hasil. 2.2 Landasan Teori
2.2.1 Kriteria dan Kebijakan Swasembada Gula di Indonesia
Kriteria swasembada gula di Indonesia adalah dimana konsumsi yang meningkat dalam negeri maka produksi harus lebih meningkat agar supaya
kebutuhan gula dalam negeri terpenuhi dan mengurangi impor gula di Indonesia untuk mewujudkan swasembada gula di Indonesia harus juga
meningkatkan efisiensi teknik pabrik agar supaya produksi gula di Indonesia lebih meningkat lagi dan mengekspor gula dan menekan impor gula di
Indonesia. Dimana yang telah di tetapkan oleh Food and Agriculture
Organization FAO, suatu badan internasional yang berada di bawah PBB, apabila produksi dalam negeri mencapai 90, maka maksimal impor harus
10. Implementasi kebijakan gula masih lemah, kebijakan yang diputuskan
oleh berbagai kementerianlembaga pemerintah kurang bersinergi. Masing- masing lembaga belum mengacu ketujuan yang sama. Kebijakan PGR belum
diarahkan sehingga mampu mengurangi kandungan impor dan memakai bahan baku dalam negeri. Pemerintah seharusnya menyusun strategi industri
yang mampu menyeimbangkan dan mensinergikan, diantaranya yang terpenting adalah sector industri dengan sektor pertanian, industri yang berada
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
di Jawa dan di luar Jawa, industri besarasing dengan industri UKM. Kerjasama perusahaan BUMN PG BUMN, Perum BULOG, Bank MandiriBRI belum
berjalan mulus, sehingga belum mampu melindungi petani produsen, dan konsumen, dan mengoreksi struktur pasar oligopsonioligopoli. Peran
Kementerian BUMN belum optimal dalam mensinergikan mereka untuk kepentingan jangka panjang, terutama untuk “memperlemah” peran pedagang
kuat, membuat perdagangan menjadi lebih adil dan kompetitif. PG BUMN belum mampu mengelola industri pengolahan yang terkait erat dengan
usahatani. Pengelolaan usahatani tebu di tangan petani, sedangkan pengelolaan penggilingan tebu ditangani PG, sehingga telah menyulitkan PG
dalam mengatur waktu tebang dan angkut, kualitas tebu, dan lain-lain, sehingga telah berpengaruh buruk terhadap rendemen dan produktivitas gula.
Salah satu solusinya adalah merancang cara baru, seperti yang disarankan IPB 2002 dan Sawitet al. 2004, yaitu petani menyerahkan lahan sebagai
saham petani agar dikelola oleh PG. Alternatif lain adalah pemerintah kembali ke sistem sewa lahan, seperti yang pernah ditempuh sebelum era Tebu Rakyat
Indonesia TRI. Indonesia belum merancang industri hilir tebu yang kuat terintegrasi dengan PG, sehingga diversifikasi produksi belum terlaksana,
lambat dalam usaha untuk meningkatkan nilai tambah dan mengurangi risiko insta bilitas harga. Hampir semua PG putih berkonsentrasi sebagai produsen
gula, sedikit sekali yang telah memperdalam industri hilirnya.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
Tabel 2.1 Kebijakan Pergulaan di Indonesia
No. Kebijakan
Perihal Tujuan
1 Kepmen perindag
NOMOR: 643MPPKep92002
Tentang Tata Niaga Impor
Gula Meningkatkan
upaya perlindungan kesehatan
masyarakat dari dampak penggunaan atau konsumsi
langsung gula kristal mentahgula kasar raw sugar
dan untuk menjamin tingkat pendapatan petaniprodusen
tebu dalam negeri, dipandang perlu mengatur tata niaga impor
gula;
2 Kepmenkeu
324KMK.012002 TANGGAL 3 JULI
2002 Tentang
Perubahan Tarif Bea
Masuk Atas Impor Gula
Bahwa dalam rangka mendukung program
restrukturisasi industri gula nasional dengan tetap
memperhatikan
kepentingan petani tebu dan konsumen gula,
dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula;
3 Kepmen perindag
NOMOR: 527MPPKep92004
Tentang Ketentuan
Impor Gula mewujudkan ketahanan pangan
dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat
Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan
meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan
industri Gula, perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan
Gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari
impor;
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
No. Kebijakan
Perihal Tujuan
4 Permendag
NOMOR : 19M- DAGPER4
2006 Tentang
Perubahan Ketiga Atas
Keputusan Menteri
Perindustrian Dan
Perdagangan Nomor
527MppKep9 2004
Tentang Ketentuan
Impor Gula mempertimbangkan berbagai
kepentingan dari petani tebu, industri gula, industri pengguna
gula sebagai bahan bakupenolong proses produksi
dan masyarakat selaku konsumen gula, maka
dipandang perlu dilakukan perubahan atas Keputusan
Menteri Perundustrian dan Perdagangan Nomor
527MPPKEP92004 tentang
Ketentuan Impor Gula; 5
Permendag NOMOR :
18MDAGPER4 2007
Tentang Perubahan
Keempat Atas Keputusan
Menteri Perindustrian
Dan Perdagangan
Nomor 527MppKep9
2004 Tentang Ketentuan
Impor Gula ditetapkan harga Gula Kristal
Putih Plantation White Sugar di tingkat petani dengan Peraturan
Menteri Perdagangan;
6 Permendag
NOMOR : 19M‐DAGPER
52008 Tentang
Perubahan Kelima Atas
Keputusan Menteri
Perindustrian Dan
Perdagangan Nomor
527MppKep9 2004 Tentang
Ketentuan Impor Gula
Bahwa penyesuaian harga gula di tingkat petani perlu
mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan
produktivitas rendemen gula sesuai dengan program
revitalisasi industri gula di dalam negeri;
7 Permenkeu
NOMOR 150PMK.011
2009 Penetapan
Tarif Bea Masuk Atas
Impor Gula Dalam rangka menjaga stabilitas
harga gula di dalam negeri dengan memperhatikan
kepentingan konsumen, perlu menetapkan tarif Bea Masuk
atas impor gula;
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
No. Kebijakan
Perihal Tujuan
8 Permendag
NOMOR : 20M- DAGPER5
2010 Penetapan
Harga Patokan Petani Hpp
Gula Kristal Putih
Plantation White Sugar
mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula,
dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu
dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk menjaga
persedian dan stabilitas harga Gula Kristal Putih Plantation
White Sugar;
9 Permendag
NOMOR : 11M- DAGPER5
2011 Penetapan
Harga Patokan Petani Hpp
Gula Kristal Putih
Plantation White Sugar
mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula,
dan meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan
petani tebu dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk
menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal
Putih Plantation White Sugar; dan meningkatkan efisiensi dan
rendemen gula
10 Permendag No.
28M- DAGPER5
2012 Penetapan
Harga Patokan Petani Gula
Kristal Putih Penetapan HPP ini sebagai
upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani dalam upaya
meningkatkan produksi tebu dan produktivitas lahan agar
swasembada gula di dalam negeri tercapai, serta dapat
memenuhi kebutuhan gula bagi mayarakat dengan harga yang
stabil dan terjangkau.
11 Permendag No.
27M- DAGPER6
2013 Penetapan
Harga Patokan Petani Gula
Kristal Putih Penetapan HPP ini sebagai
upaya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani dalam upaya meningkatkan produksi tebu dan
produktivitas lahan agar swasembada gula di dalam
negeri tercapai, serta dapat memenuhi kebutuhan gula bagi
mayarakat dengan harga yang stabil dan terjangkau.
Sumber : Permendag
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
2.2.2 Sejarah Industri Gula Di Indonesia