Overal Recovery OR Sejarah Industri Gula Di Indonesia

2. Boiling House Recovery BHR

BHR yang telah dicapai PG Wringinanom selama sepuluh tahun terakhir cenderung menurun, hal ini mengindikasikan bahwa pabrik gula tersebut mengalami penurunan efisiensi di stasiun pengolahan sehingga mengakibatkan menurunya kemampuan pabrik gula dalam mengolah nira mentah menjadi gula kristal putih GKP. Umur pabrik gula yang sudah tua masih menjadi faktor utama atas kondisi demikian, akibatnya alat-alat pada mesin pabrik menurun kemampuanya. Selain itu, juga tidak adanya perbaharuan teknologi pada mesin- mesin dan perlatan pabrik. Dari revitalisasi industri gula yang pernah dicanangkan pemerintah untuk mendukung program swasembada gula Indonesia masih belum menyentuh PG Wringinanom. Hal ini karena peningkatan produksi gula pada pabrik gula sebagai upaya mendukung swasembada gula dikonsentrasikan pada pabrik gula-pabrik gula yang memiliki kapasitas besar kurang lebih 3000 TCD. Artinya ke depan Pabrik Gula Wringinanom masih sulit untuk bersaing dengan pabrik gula-pabrik gula lainya dengan kondisi demikian. Nilai boiling house recovery BHR yang cenderung semakin menurun selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa telah terjadi kehilangan pol yang semakin meningkat juga. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai persentase pol yang hilang di blotong, HK tetes dan pol yang hilang tidak diketahui juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat Purwono, 2003:56.

3. Overal Recovery OR

Overal recovery OR sebagai indikator efisiensi teknis mempunyai nilai standar untuk efisiensi normalnya, yaitu 85. Sebagai Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. indikator efisiensi teknis yang merupakan penggabungan antara stasiun penggilingan dan pengolahan, nilai OR sangat bergantung pada nilai ME dan BHR. Semakin tinggi nilai OR maka menunjukkan pabrik gula kinerjanya semakin baik, karena mampu menekan jumlah pol yang hilang. Selama tahun 2001–2010 OR PG Wringinanom masih dibawah 85 dan cenderung menurun, artinya bahwa kinerja pabrik gula dalam menghasilkan gula krisal putih dari tebu secara umum tidak efisien karena kehilangan terhadap pol tinggi yaitu di atas 15 pol yang tidak bisa diselamatkan, karena hilang terbawa ampas, blotong, tetes, atau yang tidak diketahui. OR yang PG yang masih dibawah 85 merupakan kewajaran, karena rata-rata OR nasional masih dibawah 80 sehingga yang perlu dilakukan adalah meningkatkan OR Purwono, 2003:56. 4. Pol Tebu Selama tahun 2001-2010, pol tebu di Indonesia berkisar antara 8,28 – 9,46 . Angka tersebut masih jauh dibawah angka efisiensi normalnya sebesar 14, artinya pol tebu yang dihasilkan di Indonesia belum memiliki efisiensi teknis tanaman. Kondisi ini mengindikasikan dari aspek kualitas bahan baku tebu yang digiling juga belum optimal dalam pencapaian kadar sukrosanya. Hal ini dipengaruhi beberapa hal, seperti faktor kemasakan tebu yang ditebang, manajemen terhadap tebu tebu yang sudah ditebang, karena meskipun tingkat kemasakan tebu yang ditebang tinggi tetapi tebu tersebut terlalu lama menunggu untuk digiling oleh PG maka mengakibatkan kewayuan. Waktu tunggu tebu digiling maksimal adalah 36 jam setelah ditebang, jika sudah melebihi waktu tersebut belum digiling maka kandungan sukrosa dalam tebu menurun Purwono, 2003:56. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.2.3 Penawaran Dan Permintaan Gula Domestik