Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi di Indonesia

dalam pengesahan Anggaran Dasar FAPI, nama FAPI diganti kembali menjadi Dewan Asuransi Indonesia DAI. 12

B. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi di Indonesia

Di Indonesia, asuransi sebagai sebuah bisnis pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Undang- Undang ini menggantikan Ordonnantie op het Levensverzekering bedrijf Staatsblad Tahun 1941 Nomor 101. Pelaksanaan Undang-Undang Usaha Perasuransian ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 yang kemudian diubah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999. Setelah itu, dilakukan perubahan kedua kalinya dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 dan terakhir pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992. Peraturan Pemerintah tersebut diikuti oleh berbagai peraturan lain dibawahnya yang mengatur pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan bisnis asuransi di Indonesia. Asuransi berasal dari kata verzekering Belanda yang berarti pertanggungan atau asuransi. Istilah pertanggungan umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi ilmu hukum di Indonesia. Sedangkan istilah asuransi yang berasal dari istilah assurantie Belanda atau insurance Inggris banyak dipakai dalam praktik dunia bisnis. Bagi yang memakai istilah Verzekering, maka perusahaan sebagai pihak penanggung disebut “verzekeraar” 12 Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Cetakan ke2, Jakarta, 2013, hlm 37. Universitas Sumatera Utara dan tertanggung disebut “verzekerde”. Sedangkan bagi yang menggunakan istilah Insurance, maka pihak penanggung disebut “the insurer” dan pihak tertanggung disebut “ the insured”. Dari istilah-istilah tersebut lahirlah istilah hukum pertanggungan atau hukum asuransi. Dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht dan dalam bahasa Inggris disebut Insurance Law. Pada praktiknya di masyarakat istilah asuransi lebih populer dan lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan istilah pertanggungan. Dengan menyebutkan asuransi masyarakat dapat langsung mengerti apa maksud dari istilah tersebut, sedangkan istilah pertanggungan masih memerlukan penjelasan lebih lanjut agar masyarakat awam paham akan istilah yang dimaksud. Dalam membicarakan asuransi, maka terdapat beraneka ragam pendapat para sarjana. Menurut Wirjono Prodjodikoro, asuransi berarti pertanggungan. Dalam asuransi terlibat dua pihak, yang satu sanggup akan menanggung atau menjamin, bahwa pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan diderita selaku akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan terjadinya atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. 13 Selanjutnya, D. Sutanto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah peniadaan resiko kerugian yang datangnya tak terduga sebelumnya yang menimpa seseorang dengan cara menggabungkan sejumlah besar orang atau manusia yang menghadapi resiko yang sama dan mereka itu 13 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, Intermasa, Jakarta, 1982, hlm. 5. Universitas Sumatera Utara membayar premi yang besarnya cukup untuk menutup kerugian yang mungkin menimpa orang diantara mereka. 14 Masih mengenai pengertian asuransi, Santoso Poejosubroto memberikan definisi asuransi pada umumnya adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak penanggung dengan mana menerima premi, mengikatkan dirinya untuk memberikan pembayaran kepada pengambil asuransi atau orang yang di tunjuk, karena terjadinya suatu peristiwa yang belum pasti disebutkan dalam perjanjian baik karena pengambil asuransi atau tertunjuk menderita kerugian yang disebabkan oleh peristiwa tadi mengenai hidup kesehatan atau validitet seorang penanggung. 15 1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang KUHD Pengertian asuransi beserta pengaturannya diatur dalam beberapa peraturan yang merupakan dasar hukum pelaksanaan asuransi di Indonesia, antara lain yaitu: Pengaturan mengenai asuransi pada umumnya dalam KUHD terdapat di dalam Buku I Bab 9 dan Bab 10, dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 yang pengaturannya sebagai berikut: 16 14 D. Sutanto, Ikhtisar Tentang Pengertian dan Perkembangan Asuransi Jiwa, Yayasan Darmasiswa Bumi Putera 1912, Jakarta, 1995, hlm. 1. 15 Santoso Poejosubroto, Beberapa Aspek Tentang Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, Barata, Jakarta, 1969, hlm. 82. 16 Abdul Muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-bentuk Perasuransian, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Cetakan ke-2, Medan, 2005, hlm 5. Buku I Bab 9 : mengatur tentang Asuransi pada umumnya. Buku I Bab 10 : mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran, terhadap Universitas Sumatera Utara bahaya yang mengancam hasil pertanian di sawah dan tentang asuransi jiwa. Buku I Bab 10 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu : − Bagian pertama : mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran. − Bagian kedua : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil- hasil pertanian di sawah. − Bagian ketiga : mengatur asuransi jiwa. Buku II Bab 9 : mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan bahaya- bahaya perbudakan. Buku II Bab 9 ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu : − Bagian pertama : mengatur tentang bentuk dan isi asuransi. − Bagian kedua : mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang diasuransikan. − Bagian ketiga : mengatur tentang awal dan akhir bahaya. − Bagian keempat : mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban penanggung dan tertanggung. − Bagian kelima : mengatur tentang abandonnemen. − Bagian keenam : mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hak-hak makelar di dalam asuransi laut. Buku II Bab 10 : mengatur tentang asuransi terhadap bahaya-bahaya pengangkutan di darat dan sungai-sungai serta perairan pedalaman. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 246 KUHD disebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak pasti. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa asuransi merupakan suatu perikatan timbal balik antara penanggung yang memberikan jaminan dan dengan tertanggung yang memberikan imbalan pembayaran premi asuransi. Pengertian dalam Pasal 246 KUHD tersebut hanya mengatur penggantian kerugian kepada tertanggung dimana objeknya adalah harta kekayaan sehingga asuransi jiwa tidaklah termasuk dalam rumusan Pasal 246 KUHD, karena jiwa manusia bukanlah harta kekayaan. Pengaturan asuransi dalam KUHD meliputi hal-hal berikut ini: a. Asas-asas asuransi b. Perjanjian asuransi c. Unsur-unsur asuransi d. Syarat-syarat asuransi e. Jenis-jenis asuransi 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 memberikan pengertian asuransi secara lengkap, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa: Universitas Sumatera Utara “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 dua pihak atau lebih, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung, karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.” Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ternyata lebih luas jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena tidak hanya melingkupi asuransi kerugian, tetapi juga asuransi jiwa. Dengan demikian, objek asuransi tidak hanya meliputi harta kekayaan, tetapi juga jiwaraga manusia. Untuk memahami lebih lanjut , berikut ini disajikan perbandingan antara rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dan Pasal 246 KUHD : 17 1. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi kerugian dibuktikan oleh kalimat “penggantian karena kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan. Asuransi jiwa dibuktikan oleh bagian kalimat “memberikan pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang”. Bagian ini tidak ada dalam definisi Pasal 246 KUHD. 17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-4, Bandung, 2006, hlm11-12. Universitas Sumatera Utara 2. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 secara eksplisit meliputi juga asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Hal ini terdapat dalam bagian kalimat “ tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”. Bagian ini tidak terdapat dalam definisi Pasal 246 KUHD. 3. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi objek asuransi berupa benda, kepentingan yang melekat atas benda, sejumlah uang dan jiwa manusia. Objek asuransi berupa jiwa manusia tidak terdapat dalam definisi Pasal 246 KUHD. 4. Definisi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 meliputi evenemen berupa peristiwa yang menimbulkan kerugian pada benda objek asuransi dan peristiwa meninggalnya seseorang. Peristiwa meninggalnya seseorang tidak terdapat dalam definisi Pasal 246 KUHD. Pengaturan usaha perasuransian dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 terdiri dari 13 tiga belas bab dan 28 dua puluh delapan pasal dengan rincian substansi sebagai berikut : 18 a. Bidang usaha perasuransian meliputi kegiatan: 1 Usaha asuransi, dan 2 Usaha penunjang asuransi. b. Jenis usaha perasuransian sebagai meliputi: 1 Usaha asuransi terdiri dari: asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi. 18 Ibid, hlm 18-19. Universitas Sumatera Utara 2 Usaha penunjang asuransi terdiri dari: pialang asuransi, pialang reasuransi, penilai kerugian asuransi, konsultan aktuaria, dan agen asuransi. c. Perusahaan Perasuransian meliputi: 1 Perusahaan Asuransi Kerugian. 2 Perusahaan Asuransi Jiwa. 3 Perusahaan Reasuransi. 4 Perusahaan Pialang Asuransi. 5 Perusahaan Pialang Reasuransi. 6 Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi. 7 Perusahaan Konsultan Aktuaria. 8 Perusahaan Agen Asuransi. d. Bentuk hukum usaha perasuransian terdiri dari: 1 Perusahaan Perseroan Persero. 2 Koperasi. 3 Perseroan Terbatas. 4 Usaha Bersama mutual. e. Kepemilikan Perusahaan Perasuransian oleh: 1 Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia. 2 Warga Negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia bersama dengan perusahaan perasuransian yang tunduk pada hukum asing. f. Perizinan usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan. Universitas Sumatera Utara g. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian oleh Menteri Keuangan mengenai: 1 Kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi. 2 Penyelenggaraan usaha perasuransian dan modal usaha. h. Kepailitan dan likuidasi Perusahaan Asuransi melalui keputusan Pengadilan Niaga. i. Ketentuan sanksi pidana dan sanksi administratif meliputi: 1 Sanksi pidana karena kejahatan: menjalankan usaha perasuransian tanpa izin, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan kekayaan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, menerima atau menadah atau membeli kekayaan Perusahaan Asuransi hasil penggelapan, pemalsuan dokumen Perusahaan Asuransi, Reasuransi. 2 Sanksi administratif berupa: ganti kerugian, denda administratif, peringatan, pembatasan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha perusahaan. 3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata KUHPerdata Menurut KUHPerdata, perjanjian asuransi diklasifikasi sebagai perjanjian untung-untungan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1774 sebagai berikut: Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung dari suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah: Universitas Sumatera Utara Perjanjian pertanggungan; Bunga cagak hidup; Perjudian dan pertaruhan, Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Meskipun asuransi dan perjudian ditempatkan dalam pasal yang sama sebagai perjanjian untung-untungan, namun antara kedua perbuatan itu terdapat perbedaan yang prinsipil. Menurut Sri Rejeki Hartono, penggolongan perjanjian asuransi secara umum oleh KUHPerdata sebagai salah satu bentuk perjanjian sama sekali tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip-prinsip perjanjian asuransi. Alasannya yaitu karakteristik perjanjian untung-untungan adalah berdasarkan kemungkinan yang sangat bersifat spekulatif dengan tujuan utama hanya kepentingan keuangan, sementara perjanjian asuransi pada dasarnya mempunyai tujuan yang lebih pasti, yaitu memperalihkan resiko yang sudah ada yang berkaitan pada kemanfaatan ekonomi tertentu sehingga tetap berada dalam posisi yang sama. 19 Dapat dikatakan bahwa asuransi yang pada dasarnya berisikan hak dan kewajiban para pihak sebagai akibat dari perjanjian pengalihan dan penerimaan resiko oleh para pihak, merupakan objek hukum perdata. Namun apabila tidak ditentukan lain dalam KUHD sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus, maka asuransi sebagai sebuah perjanjian harus tunduk kepada KUHPerdata. 19 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 81. Universitas Sumatera Utara 4. Peraturan Perundang-Undangan Lain Di samping ketiga peraturan di atas, asuransi juga diatur dalam beberapa perauran perundang-undangan lainnya, antara lain yaitu: a Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian b Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 1988 Tentang Usaha di Bidang Asuransi Kerugian. c Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1249 Tahun 1988 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Usaha di Bidang Asuransi Kerugian. d Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423 Tahun 2003 Tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian. e Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425 Tahun 2003 Tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi. f Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426 Tahun 2003 Tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

C. Subjek dan Objek Asuransi