Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan

(1)

NILAI-NILAI PSIKOLOGIS DALAM CERITA

LAKSAMANA RAJA LAUTAN

Skripsi Sarjana

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA

: ANDA WAHYU R

NIM

: 030702001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

MEDAN


(2)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

NILAI-NILAI PSIKOLOGIS DALAM CERITA

LAKSAMANA RAJA LAUTAN

Skripsi Sarjana Dikerjakan O

L E H

Nama : Anda Wahyu R. NIM : 030702001 Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Drs. Yos Rizal, MSP. Drs. Baharuddin, M.Hum

NIP. 132006290 NIP. 131789087

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat SARJANA SASTRA dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Melayu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN BAHASA DAN SASTRA DAERAH PROGRAM STUDI BAHASA MELAYU


(3)

2008

PENGESAHAN

Diterima oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra Daerah Melayu pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada : Tanggal : Hari :

FAKULTAS SASTRA USU DEKAN

Drs. Syaifuddin, M.A.Ph.D NIP. 131098531

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. ...

2. ...

3. ...

4. ...


(4)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

DISETUJUI OLEH,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

JURUSAN SASTRA DAERAH

Ketua,

Drs. Baharuddin Purba, M.Hum NIP. 131785647


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis banyak menerima bantuan dan dorongan dari berbagai

pihak, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini. Maka pada kesempatan

ini, dari lubuk hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat yang dicurahkan kepada

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

2. Teristimewa kepada Ayahanda M.Idris dan Ibunda Jasmiatty yang

memberi dorongan, semangat kepada penulis sehingga penulis

bisa mengerjakan Skripsi ini dengan baik.

3. Drs. Baharuddin Purba, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra

Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan dorongan dan semangat kepada penulis baik dalam

perkuliahan maupun dalam penyelesaian Skripsi ini.

4. Drs. Yos Rizal, MSP, sebagai pembimbing sekaligus Kakanda

yang sudah sangat membantu penulis menyelesaikan Skripsi.

5. Rizky Julia sartika selaku Adik penulis yang sudah banyak

memberikan semangat dan tenaga agar penulis bisa lancar

mengerjakan Skripsi.

6. Teman-teman penulis yang sudah banyak memberikan

pandangan-pandangan masa depan, agar penulis bisa cepat


(6)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

kasih kepada: Eko Saut Manurung, Christ Sihombing, Cory

Simanjuntak, Kakanda Adi Simanjuntak, Muel Simanjuntak,

Risnawati sinulingga, Oniel “Dedy”, Tama, Bowo, Yuna, Roby,

Friska, Beni, Tony, Feri, Teman-teman semua yang tidak bisa

disebutkan satu persatu.

7. Senior-senior penulis angkatan ’00, ’01, ’02, Universitas Sumatera

Utara, Terima Kasih atas semangatnya.

8. Adik-adik angkatan ’04, ’05, ’06, ’07, ’08 yang juga telah banyak

memberikan dukungan mental kepada penulis, sehingga penulis

bisa menyelesaikan Skripsi seperti sekarang ini.

9. Orang yang sangat penulis sayangi Tony, yang sangat

memberikan dukungan agar cepat menyelesaikan Skripsi, untuk

mencapai masa depan yang cerah.

10. Teman-teman satu angkatan penulis yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, terima kasih atas persahabatan yang baik, terima

kasih juga atas doa-doa kalian. Karena kalian juga penulis bisa

menyelesaikan Skripsi ini dengan cepat.

Medan, Januari 2009

Penulis,

Anda Wahyu R


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa atas limpahan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah NILAI-NILAI PSIKOLOGIS

DALAM CERITA LAKSAMANA RAJA LAUTAN. Skripsi ini diharapkan

dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan skripsi untuk para penulis lain.

Pembahasan tentang Hikayat Seribu Masalah ini memang telah

ada yang mengkaji sebelumnya, tetapi dari sudut pandang psikologis

belum ada yang mengkajinya. Oleh sebab itu penulis mengkaji psikologis

dalam cerita laksamana raja lautan. Masalah dengan menggunakan

pendekatan psikologis sastra.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan

banyak kekurangannya karena keterbatasan yang penulis miliki, namun

penulis berusaha sebaik mungkin untuk mendeskripsikan nilai-nilai

psikologis yang terdapat dalam cerita laksamana raja lautan tersebut.

Pada kesempatan ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari para

Dosen Penguji dan pembimbing agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik

lagi.

Medan, Januari 2009

Penulis,


(8)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman

UCAPAN TERIMA KASIH ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.5 Orisinilitas Penelitian ... 8

1.6 Objek Penelitian ... 9

1.7 Landasan Teori ... 9

1.7.1 Teori Struktural... 9

1.7.2 Teori Psikologi Sastra ... 13

1.8 Metode Penelitian ... 17

1.8.1 Jenis Penelitian ... 17

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data ... 17

1.8.3 Teknik Analisis Data ... 18

BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA LAKSAMANA RAJA LAUTAN... 19

2.1 Ringkasan Cerita ... 19

2.2 Tema ... 24

2.3 Alur ... 27

2.4 Latar ... 35

2.5 Watak dan Perwatakan ... 38

BAB III NILAI-NILAI PSIKOLOGI CERITA LAKSAMANA MATIDIBUNUH ... 42

3.1 Sifat Jahat ... 42

3.2 Menggunakan Akal Pikiran ... 44

3.3 Percaya Kepada Kekuasan Tuhan ... 46

3.4 Kasih Sayang Saudara Kandung ... 49

3.5 Menjadi Pemimpin Yang Baik...51

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

4.1 Kesimpulan ... 55

4.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah homo fabulans yaitu makhluk bersastra. Istilah homo fabulans ini digunakan A. Teeuw (1984) dalam bukunya Sastra dan llmu Sastra. Hal ini menunjukkan bahwa sejak bayi manusia telah bersastra sehingga manusia disebut makhluk sastra. Contoh lain ketika ketika bayi di pangkuan ibunya, atau melalui nyanyian anak-anak, manusia sudah menjadi makhluk bersastra. Dalam nyanyian tersebut, segala unsure sastra telah hadir sehinga si anak kecil menginsafi adanya dunia imajinasi di luar alam nyata yang senantiasa dihadapinya.

Sejalan dengan homo fabulans, seni sastra mempunyai daya tarik khusus yang menggetarkan hati penikmat (pembaca) karena adanya rangsangan-rangsangan bahwa sadar pada jiwa manusia. Rangsangan-rangsangan bawah sadar yang disebut "citra-citra dasar" atau "citra keinsanan purba", terbentuk lewat pengalaman nenek moyang manusia dan diwariskan sebagai "bawah sadar kelompok" yang menjiwai manusia dalam bentuk angan-angan, mimpi, mitos, dan sastra.

Meskipun sastra adalah bagian dari kehidupan manusia, pada awalnya, dalam pandangan Plato: seni (sastra) dalam perwujudan yang tampak adalah benda yang sangat rendah nilainya. Kepandaian seorang tukang malahan dinilai lebih tinggi dari seniman, sebab tukang yang baik pada prinsipnya lebih efisien meniru ide yang mutlak dalam benda-benda yang diciptakan daripada seniman. Oleh sebab itu, seni lebih rendah dari kenyataan (Teeuw, 1984:221).

Pandangan Plato ini ditentang oleh muridnya, Aristoteles. Pandangan Aristoteles bahwa seniman menciptakan dunianya sendiri dengan probability yang memaksa. Yang terjadi dalam ciptaan si seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Bagi Aristoteles, seniman lebih tinggi nilai karyanya daripada seorang tukang karena


(10)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

pandangan dan penafsiran kenyataanlah yang dominan dan kepandaiannya diabdikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia. Karya seni menurut Aristoteles menjadi sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman mengenai manusia yang tidak dapat diungkapkan dan dikomunikasikan dengan jalan lain (Teeuw, 1984: 222).

Salah satu hakekat seni sastra adalah bahasa. Dalam model semiotic sastra, bahasa merupakan sistem tanda yang kompleks dan beragam. Seniman terikat pada instrument, sarana, yaitu bahasa yang menjadi kerangka formal dan konseptual yang tidak dapat dihindarinya. Ahli semiotik dari Rusia bernama Jurij 'Lotman mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem pembentukan modal yang primer, yang mengikat penulis maupun pembaca, tidak hanya dalam arti bahwa kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut.

Meskipun bahasa mempakan sistem pembentukan model primer, dalam memahami seni sastra, pembaca juga harus akrab dengan konvensi sastra. Tanpa pengetahuan latar belakang konvensi sastra, pembaca tidak mempunyai jalan masuk yang hakikat sebuah karya sastra. Konvensi sastra menurut Lotman adalah sistem pembentuk model yang sekunder, model yang kedua, yaituu sistem konvensi yang atas dasar sistem primer, yaitu bahasa, menyediakan acuan yang mewujudkan makna. Sistem sekunder itu mengikat baik pembaca maupun penulis sebagai anggota masyarakat sastra.

Dalam ilmu sastra modern, bahasa adalah sistem tanda yang secara primer membentuk model dunia bagi pemakainya; model itu menjadi perlengkapan konseptual manusia untuk menafsirkan segala sesuatu; dan sistem ini mengikat sastrawan dan pembaca. Dalam hal ini, sastra adalah sistem tanda sekunder yang membentuk model yang


(11)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

tergantung pada sistem primer yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam pertentangannya dengan system bahasa. Ini berhubungan dengan prinsip seiotik sastra: pertentangan antara meaning (arti) dan significance (makna).

Di samping makhluk bersastra, manusia adalah homo estetikus yakni manusia suka akan keindahan seni. Demikian juga halnya dengan kreasi sastra, disamping memiliki aspek kebahasaan sastra memilikin aspek kesenian yang disebut dengan estetik. Jadi, disini manusia dan sastra dihubungkan oleh estetik seni sebagai aspek dasar karya sastra. Pada awalnya estetika adalah filsafat keindahan. Akan tetapi sejak abad ke-18, Baumgarten (bapak estetika) telah mengubah konsep awal kedalam pengertian keindahan seni (artistic). Dalam perkembangannya, estetik seni atau keindahan seni diartikan sebagai berikut:

a. Seni adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar melalui perantaraan tanda-tanda lahiriah menyampaikan perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan dan juga mengalami perasaan tersebut.

b. Seni adalah suatu kegiatan manusian menciptakan realita baru dalam suatu cara diluar akal dan berdasarkan penglihatan menyajikan realita itu secara perlambang atau kiasan sebagai kebetulan dunia kecil yang mencerminkan sebuah kebulatan dunia besar.

c. Seni adalah suatu kegiatan yang dirancang untuk mengubah bahan alamiah menjadi benda-benda yang berguna atau indah. Dengan demikian, keindahan srtistik ialah keindahan yang diciptakan manusia, bukan keindahan alam. Dalam arti yang luas, keindahan meliputi eni yang sublime, seni magis, dan sebagainya. Ragam seni tersebut, disamping .indah, juga disebut juga dengan karya seni yang bernilai.

Dalam pandangan semiotic (berdasarkan sistem tanda) estetik seni berada pada penikmat (pembaca). Pengalaman estetik secara mutlak ada


(12)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

pada pembaca, penonton, dan pendengar. Nilai estetik baukanlah sesuatu yang secara objetif terletak dalam karya seni: penikmat menjadi pencipta serta tapi bukanlah dalam arti seribu kepala seribu penilaian.

Demikian juga pemberian makna oleh pembaca terhadap karya sastra. Pemberian makna adalah aktivitas yang terus menerus, seperti yang disebut oleh ahli semiotik sastra Michael Riffaterre: semacam kelingkaran semiotic atau mundur-maju dari nilai tanda yang yang satu ke yang lain, yang merupakan cirri khas praktek pemberian makna yang disebut puisi. Dalam pikiran pembaca, suatu permulaan yang terus menerus, suatu ketakterputusan yang selesai satu detik muncul lagi detik yang berikut. Setiap kali art! yang terungkap dihidupi kembali. Inilah yang menjadikan sajak tidak henti-hentinya terulang baca dan mempesona: Ikalau tidak karena adal, atau Itakkan tempua bersarang rendahl, Ikalau tidak karma dinda/kanda, Itakkan kandajatuh cintal dalam pantun Melayu. Estetik atau nilai sen! ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan sikap atau pengalaman seorang penikmat (pembaca) yan tetap berubah.

Selaku manusia, sepanjang hidupnya tetap berubah terutama pada latar sosiobudaya dan bahasanya terus berkembang. Kata-kata mendapat makna baru atau kehilangan makna lama. Setiap manusia dalam setiap saat aktif sebagai pemberi makna, setiap kali dalam situasi baru. Selaku penikmat sastra, rangka pemberian makna sastra berubah terus. Hortison harapannya atau kompetensinya, atau sistem konvensi yang dikuasainya dipengaruhi atau bergeser oleh pembaca buku baru. Dengan demikian, kenikmatan estetik ditentukan secara umum oleh tegangan antara penemuan baru dengan pengenalan kembali. Penikat yang seratus persan baru tidak mungkin, pembaca memerlukan kerangka acuan yang memungkinkannya meahami dan memberi makna yang baru itu.

Sesungguhnya sejak dulu para ahli sastra telah mempertanyakan fungsi sastra bagi manusia. Fungsi sastra yang paling dikenal sejak masa aristoteles hingga sekarang ialah katharsis. Katharsis mengandung art!


(13)

bahwa seni sastra menyucikan jiwa manusia. Dengan menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan dalam hati, seni sastra memungkinkan pembaca membebaskan diri dari nafsu yang rend ah. Karya seni mempunyai dampak tetapi lewat pemuasan estetik keadaan jiwa dan budi manusia ditingkatkan sehingga dia menjadi budiman.

Berdasarkan konsep katharsis, sejumlah teoritikus sastra memandang fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan seniman dari tekanan emosi. Mengeksprsikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Pembaca novel mengalami perasaan lega. Emosi mereka sudah diberi focus dalam karya sastra dan lepas pada akhir pengalaman estetis dan mendapatkan ketenangan pikiran.

Sejalan dengan katharsis, dalam fungsi sastra dikenal istilah defense mechanism yaitu karya sastra (budaya) dijaikan alat pertahanan dan perlindungan jiwa. Istilah ini dikenal dalam sastra, terutama dalam bidang folklore dibawah payung dongeng.

Dalam sastra rakyat, sebagai objek folklore, ada dikenal cerita rakyat yang terdiri dari mite, legenda dan dongeng. Di antara ketiga jenis ini, legenda adalah bentuk yang paling popular dan digemari oleh penikmat. Bentuk legenda yang digemari pembaca ialah perorangan atau tokoh yang Legenda memiliki hakikat dan fungsi yakni defense mechanism. Legenda menjasi defense mechanism setelah rumor atau desas-desus yang beredar dalam bentuk kasar telah disublimasikan dalam bentuk budaya.

Penyublimasian sebuah legenda dapat berupa pengukuhan kebesaran kedudukan seorang raja, protes social, pelepasan ketegangan jiwa dan pelipur lara. Sebagai pengukuhan kebesaran kerajaan, hal itu terlihat dalam cerita Laksmana Raja Lautan (selanjutnya disingkat menjadi: LRL) mengenai kebesaran Bilah di Labuhan Batu.

Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang yang bemama Dang Tuanku. la adalah kemenakan Bunda Kanduang dari Minangkabau dan


(14)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

setelah dewasa menjadi raja di Bilah Labuhan Batu Sumatera Utara. la mempunyai empat orang anak dan semuanya laki-laki.

Di suatu hari Raja Dang Tuanku memanggil keempat anaknya untuk berkumpul. la merasa keadaannya semakin lemah. Oleh karena itu keempat anaknya diminta agar segera mencari jodoh dan menikah.

Atas perintah ayahnya, keempat anak Raja Bilah berangkat menaiki galiung (semacam perahu yang terbuat dari pohon kayu besar yang bias 'berlayar untuk mengarungi sungau atau laut lepas). Pertama mereka berangkat menuju Pekan Baru. Di sana mereka berjumpa dengan anak Raja Siak. Dengan tidak memakan waktu lama anak yang paling tahu dari Raja Bilah Dang Tuanku kemudian dipinangkan dengan putri Raja Siak yang tertua pula, yang bernama Mahmudsyah.

Secara singkat, setelah perkawinan mereka diselesaikan, lalu mereka segara berangkat ke Selat Malaka dan merekapun sampai di Negeri Johor. Di negeri ini mereka lalu meminang putrid Negeri Johor untuk anak Dang Tuanku yang kedua. Mereka pun diterimanya dan dikawinkan dengan putri Raja Johor yang bernama Akbariyah. Begitu selesai acara perkawinannya, lalu berangkat menuju arah pulang dan singgah di Palembang.

Di sana mereka meminang putrid Raja keturunan Sriwijaya justru putri itupun anak yang ketiga pula. la bernama Muazanayah. Dan perkawinan ini pun segara dilaksanakan. (LRL, hal. 1-2)

Kutipan singkat di atas menunjukkan bahwa kerajaan Bilah dahulu adalah kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar di Sumatera dan Malaysia, Rajanya bernama Dang Tuanku. Hal ini terlihat dari silsilahnya yang berasal dari keturunan Raja Minangkabau, berbesankan Raja Siak, Raja Johor, dan Raja Sriwijaya yang seperti diketahui adalah kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Dengan demikian terlihat bahwa kedudukan kerajaan Bilah sangat kuat dimata kerajaan manapun di Nusantara ini.


(15)

Fungsi legenda pada umumnya, baik yang bersifat budaya maupun social, yang terutama, adalah penglipur hati pendengar yang sedang lara. Dalam keadaan terhibur, ketegangan batin tersalurkan. Ketegangan batin dapat dikendurkan melalui cerita yang dapat meredakan ketegangan. Ketenangan akibat mendengarkan legenda dapat memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan social dalam menghadapi keadaan yang bertentangan, keadaan yang tidak tersangka-sangka, atau perpecahan masyarakat.

Legenda mempunyai kemampuan (potensi) besar untuk kebaikan dalam hubungannya dengan situasi-situasi masyarakat yang keburukannya timbul sebagai akibat kebencian dan kecurigaan yang terjadi diantara kelompok-kelompok yang ada didalamnya, sebagaimana kita hadapi pada masa sekarang ini. Ketenangan yang ditimbulkan oleh legenda dapat berupa kejayaan dalam kecerdasan jiwa bila legenda itu dapat menyebabkan super ego melihat kenyataan yang diselubungi oleh kecemasan serta kebencian yang rasional dan sejenisnya.

Dengan demikian maka hakikat dan fungsi legenda adalah mekanisme perlindungan diri seseorang (defense mechanism). Secara sosial, salah satu bentuk mekanisme perlindungan jiwa (psyche) adalah sublimasi. Dengan berlindung kepada legenda, seseorang dapat menyamari masyarakatnya. Di sini, seseorang dapat menyalurkan agresivitasnya dengan aman tanpa ada kekhawatiran akan tindak oleh masyarakat. Jiwanya menjadi sejahtera karena masyarakat menyambutnya dengan kenikmatan.

Berdasarkan paparan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji cerita legenda LRL dengan pendekatan psikologi sastra. Pertimbangan ini penulis ambil karena setelah membaca dan memahami cerita LRL ternyata banyak nilai-nilai psikologis yang dapat dijadikan karharsis bagi pembacanya sehingga tujuan sastra untuk memanusiakan manusia dapat terwakili melalui cerita tersebut. Pada sisi lain, kajian ini diharapkan dapat


(16)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

menjadi salah satu menginventarisasi dan menambah khasanah pengkajian terhadap karya sastra Melayu.

1.2 Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan penelitian, maka masalah yang hendak dibahas dalam penelitian ini adalah: sejauh mana nilai-nilai psikologis yang terdapat di dalam LRL.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang dicapai dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan struktur pembentuk dalam (intrinsic) dari cerita LRL.

2. Menjelaskan nilai-nilai psikoiogis yang terkandung didalam LRL.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah khasanah pengkajian terhadap kesusastraan Melayu, terutama pengkajian terhadap LRL.

2. Menjadi bahan perbandingan bagi peneliti terhadap cerita legenda Melayu, khususnya LRL.

3. Menginventarisasikan kesusastraan Melayu yang mulai punah, khususnya inventarisasi naskah Melayu.

1.5 Orisinilitas Penelitian

Penelitian terhadap Laksamana Raja Lautan ini sepanjang penulis ketahui belum pernah oleh pengakaji atau peneliti sastra, baik dar pendekatan bahasa maupun sastra. Penulis telah menelusuri beberapa tempat seperti Perustakaan USU, website, dan perpustakaan Departemen Sastra Dearah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara ternyata memang belum ada kajian tentang cerita LRL.


(17)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa kajian yang penulis kerjakan terhadap LRL merupakan karya ilmiah yang masih asli (orisinil) dan belum pernah dikaji oleh peneliti manapun. Adapun kajian yang penulis fokuskan adalah nilai-nilai psikologis yang terkandung di dalam cerita LRL.

1.6 Objek Penelitian

Naskah yang menjadi objek penelitian penulis adalah naskah yang diterbitkan oleh Departemen Sastra Daerah dan masih dalam bentuk yang sederhana yang merupakan Seri Koleksi Departemen Sastra Daerah.

Adapun rincian dari naskah ini adalah sebagai berikut: Judul : Laksamana Raja Lautan

Penerbit : Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra USU Pengumpul : Ibrahim

Tebal Halaman : 23 halaman Ukuran : 15x27 cm

Cover Depan : Putih dan Bergambar Pohon Cover Belakang : Putih Polos

1.7 Landasan Teori

Untuk membahas tentang struktur pembentuk dalam (intrinsic) dan nilai-nilai didaktis yang terkandung di dalam LRL digunakan dua teori pendekatan yaitu Teori struktural dan Teori Psikologi Sastra. Kedua teori pendeatan tersebut digunakan untuk mengetahui sekaligus mendeskripsikan unsure-unsur intrinsic dan entrinsik yang terdapat di dalam cerita tersebut. Berikut akan dipaparkan kedua teori pendekatan tersebut.

1.7.1 Teori Struktural

Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat pengrauh langsung dari


(18)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

teori Saussure yang megubah Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan masalah antarunsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.

Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum Strukturalisme adalah sebauh totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyanto, 2001 : 46).

Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran kepada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbale balik, sating menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatun yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsure, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tapi bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana.

Selain istilah structural diatas, dunia kesastraan mengenal istilah sturkturalisme. Sturkturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang bersangkutan. Jadi, strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektif Abrams) dapat dipertentangkan dengan pendekatan yang lain, sepetri pendekatan mimetic, ekspresif, dan progmatic (Abrams dalam Teeuw, 1989 : 189).

Namun di pihak lain, strukturalisme, menurut Hawkes (dalam Nurgiyantoro, 2004 : 47), pada dasarnya juga dapat dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia yang lebih merupakan susunan hubungan dari pada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian system sturktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan. Unsur-unsur yang lain yang terkandung di


(19)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

dalamnya. Kedua pengertian tersebut tidak perlu dipertentangkan namun justru dapat dimanfaatkan secara saling melengkapi.

Analisi struktural karya sastra, yang dalam hal ini Hikayat Seribu Masalah, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik hikayat yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasikan dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah coba dijelskan bagaimana fungsi-fungsi masing-masing unsure dalam meunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antar usur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lian, kaitannya degan pemplotan yang tidak selalu konologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.

Dengan demikian pada dasarnya analisis sturktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan kekaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis keseluruhan tidak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya sastra, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakuan mengingat bahwa karya sastra merupkan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping seetip karya .sastra mempunyai ciri kekompleksan dan keunikan sendiri. Hal inilah antara lain yang membedakan karya yang satu dengan karya yang lain. Namun, tak jarang analisis fragmentaris yang terpisah-pisah. Analisis yang demikian inilah yang dapat dituduh sebagai mencincang karya sastra sehingga justru menjadi tidak bermakna.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi unsur-unsur dalam mikrotes, satu keseluruhan wacana, dan wacana


(20)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

intertekstual (Hartoko dan Rahmanto, 1996 :136). Analisis unsur-unsur mikrotes itu misalnya berupa analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks wacana yang lebih besar. Namun, ia juga dapat juga berupa analisis fungsi dan hubungan antara unsur satu keseluruhan wacana dapat berupa analisis bab per bab, atau bagian-bagian secara keseluruhan seperti dibicarakan diatas. Analisis relasi intertekstual berupa kajian antarteks, baik dalam satu priode (misainya untuk karya-karya sastra Melayu zaman Hindu) maupun dalam periode-periode yang bereda (misalnya antara karya-karya sastra Melayu zaman Hindu dengan sastra Melayu zaman Islam).

Karena pandangan keotonomian karya di atas, di samping juga pandangan bahwa karya sastra memiliki keunikannya sendiri, analisis terhadap sebuah karya pun tidak perlu dikaitkan dengan karya-karya yang lain. Karya-karya yang lain pun berarti sesuatu yang diuar karya yang di analisis itu. Atau, jika melibatkan karya-karya lain, hal itu bersifat sangat terbatas pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Pandangan ini sejalan dengan konsep analisis di duna strukturalisme linguistic yang memisahkan kajian aspek kebahasaan pada tataran fonetik, morfomik, sintaksis, antara hubungan paradigmatic dan sintagmatik (Abrams dalam Teeuw, 1989:188). Hal itu bisa dimengerti sebab analisis struktural dalam bidang kesastraan mendasarkan diri pada model srtukturalisme dalam bidang linguistik.

Pandangan di atas sebenarnya bukannya tidak ada keuntungannya. Sebab analisis karya sastra, dengan demikian, tidak lag! membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya dari referensi sosiologi, psikologi, filsafat, dan lain-lain. Namun penekanan pada sifat otonomi karya sastra dewasa ini di pandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan atau kajian sturkturtal. Hal ini disebabkan sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang social budaya dan atau latar belakang kesejarahannya.


(21)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

Melepaskan karya sastra dari latar belakang social budaya dan kesejarahannya, akan menyebabakan karya itu menjadi kurang bermakna, atau paling'tidak maknanya akan menjdadi terbatas, atau bahkan makna menajdi sulit ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra menjadi kurang berarti dan bermanfaat bagi kehidupan. Oleh karena itu, analisis sturktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, yang dalam hal ini dikaitkan dengan keadaan social budaya secara luas.

1.7.2 Teori Psikologi Sastra

Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. .Manusia senantiasa selalu memprlihatkan prilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan psikologi. Lebih-lebih di zaman kemajuan teknologi seperti sekarang ini manusia mengalami konflok kejiwaan yang bermula dari sikap kejiwaan tertentu serta bemnuara pula ke permasalahan kejiwaan. Tidak sedikit jumlah manusia yang sudah sukses dalam kehidupan kebendaan senantiasa berusaha kersa untuk mecapai tingkat kemampuan yang lebih tiggi tanpa ada batasnya akhirnya kandas dan menemukan dirinya terbenam dalam penyakit kejiwaan.

Penjelajahan kedalam batin atau keiwaan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk manusia yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang berusaha mendalami masalah psikologi untuk memahami karya sastra di luar kerangkanya sebagai sebuah teks yang otonomi. Memang banyak hal dalam kehidupan umat manusia dapat dipulangkan ke teori-teori psikologi sastra. Karena didorong oleh cara berpikir semacam itulah munculnya pendekatan psikologi sastra dalam telaah atau penelitian sastra.

Beberapa tokoh psikologi ternama seperti Sigmund Freud, Carl Gustaf Jung, Adler, dan Brill memberikan inspirasi yang banyak tentang pemecahan misteri tingkah laku manusia melalui teori-teori psikologi.


(22)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

Tetapi di antara mereka, Freudlah secara langsung berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat tekanan dan timbunan masalah di alam bawah sadar yang kemudian disublumasikan ke dalam bentuk penciptaan karya seni. Psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud ini dinamakan Psikoanalisis. Oleh .sebab itu, teori psikoanalisis ini pula yang banyak di dalam pendekatan psikologi sastra.

Pendekatan psikologi sastra yang banyak bersandar kepada psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud setelah melakukan berbagai penelitian, bahwa manusia banyak dikuasai oleh alam batinya sendiri. Terdapat id, ego, dan super-ego dalam diri manusia yang menyebabkan manusia selalu berada dalam keadaan berperang dalam dirinya, resah, gelisah, tertekan, dan lain-lain bila terdapat ketidakseimbangan antara ketiga unsure tersebut; tetapi apabila ketiganya bekerja dengan seimbang akan memperlihatkan watak yang wajar. Bila terjadi ketidakseimbangan akan muncul neurosis yang menghendaki adanya penyaluran. Di dalam pelaksanaan pendekatan psikologi sastra hanya diambil bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja dari teori psikoanalisis, terutama yang terkait dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia (Pradopo, 2000:77).

Adapun konsepsi dasar dan criteria yang digunakan pada pendekatan psikologi sastra untuk mengkaji karya sastra adalah:

1. Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar (concius) dalam bentuk penciptaan karya sastra.

2. Mutu karya sastra bergantung kepada kemampuan pengarang untuk bisa keluar dari keadaan pertama, subconcius, ke keadaan yang kedua, concius, dan kemudian menatanya kedalam perwatakan agar lebih mudah dicerna bahasanya.


(23)

3. Selain membahas proses penciptaan dan kedalaman segi perwatakan tokoh, perlu pula mendapat perhatian dan kajian yaitu aspek makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra.

4. Karya yang bermutu adalah karya yang mampu menyajikan symbol-simbol, wawsan, dan perlambangan yang bersifat universal, yang mempunyai kaitan dengan mitologi, kepercayaan, tradisi, moral, budaya, dan lain-lain. Sealin itu, harus mampu pula menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia karena hakikat kehidupan manusia itu adalah perjuangan dalam menghadapi setiap kesulitan dan kekalutan dalam dirinya. (Semi, 1998:97)

Sigmund Freud dengan teori psikoanalisisnya menggambarkan bahwa pengarang didalam mencipta diserang oleh penyakit jiwa yang dinamakan "neurosis11. Bahkan kadang-kadang sampai kepada tahap "psikosis" seperti sakit saraf dan mental yang membuatnya bareda dalam kondisi sangat tertekan.

Berkeluh kesah akibat ide dan gagasan yang menggelora yang menghendakai agar disublimasikan atau disalurkan dalam bentuk penciptaan karya sastra.

Oleh karena karya sastra tidak dapat dilepaskan dari masalah penciptaan yang diliputi oleh berbagai macam masalah kejiwaan, maka untuk menggunaka pendekatan psikologi sastra ini harus melalui dukungan ilmu psikologi. Pengetahuan psikologi yang minim bagi peneliti sastra akan menyulitkan dalam pemakaian dan pengoprasian pendekatan ini.

Menurut Atar Semi (1998:79-80) metode atau langkah kerja dari pendekatan psikologi sastra adalah:

1) Pendekatan psikologi sastra menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra bag! segi intrinsic maupun segi ekstrinsik.


(24)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

Namun tekanan diberikan kepada segi intrinsic. Dari segi intrinsic yang ditekankan adalah penokohan atau perwatakannya.

2) Segi ekstrinsik ysng dipentingkan untuk dibahas adalah mengenai pengarang yang menyangkut masalah kejiwaannya; cita-cita, aspirasi, keinginan, falsafah hidup, obsesi, dan lain-lain. Dalam hubungan ini perlu dilacak riwayat hidup pengarang dari kecil karena adanya anggapan bahwa peristiwa kejiwaan dan pengalaman masa kecil akan mempengaruhi kehidupan, tindakan, dan cara berpikir yang bersangkutan pada masa dewasa. Dengan memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam memahami prilau dan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang ditulisnya. Apa yang ditulis pengarang jelas merupakan tumpukan pengalaman kejiwaan pengarang. Dengan demikian, akan menjadi mudah pula menalarkan segi-segi lain yang ada kaitannya dengan prilaku dan perwatakan tokoh cerita.

3) Disamping menganalisis penokohan dan tokoh cerita dilakukan pula analisis yang lebih tajam tentang tema utama karya sastra, karena pada masalah perwatakan dan tema ini pula pendekatan psikologi sastra ini sangat tepat diterapkan, sedangkan aspek lain lebih cocok digunakan pendekatan lain.

4) Di dalam analisis perwatakan harus dicari nalar tentang prilaku tokoh. Apakah prilaku tersebut dapat diterima ditinjau dari psikologi. Juga harus dijelaska motif dan niat yang enduing tindakan tersebut. Kalau ada prilaku tokoh yang berubah tajam, misalnya sebelumnya brutal kemudian menjadi kalem, maka peneliti harus menalarkannya dengan mencari data-data yang diperkirakan dapat mendukung tindakan tersebut. Dengan begitu berarti peneliti diminta secara jeii mengikuti tingkah laku tokoh dari satu peristiwa ke peristiwa lain.

5) Proses penciptaan merupakan hal lain yang mesti mendapat perhatian. Harus diketahui apa motif penciptaan. Harus dilihat


(25)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

apakah penciptaan disebabkan endapan pengalaman batin atau ada pengalaman atau keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi. 6) Konflik serta kaitannya dengan perwatakan dan alur cerita harus

pula mendapat kajian. Bahkan perlu dijelaskan perwatakan yang dihinggapi gejala penyakit neurosis, psikosis, dan halusinasi. Dalam menganalisis konflik harus dilihat apakah konflik itu terjadi dalam diri tokoh, atau konflik dengan tokoh lain atau situasi yang berada di luar dirinya.

7) Analisis dapat diteruskan kepada analisis pengaruh karya sastra terhadap pembaca.

1.8 MetodePenelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Metode/jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dan bersikap deskritif, yang oleh Nawawi (1990:63) diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek peneliti, apakah itu seseorang, lembaga, masyarakat, maupun yang lainnya, pada saat sekarang berdasarkan fakta yang ada sekarang.

Dengan demikian dalam penelitian ini penulis tidak menguji hipotesis melainkan hanya mendeskripsikan data-data fakta yang ada dan kemudian diinterpretasikan serta dianalisis secara rasional.

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan maka digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, jurnal penelitian, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan topic penelitian.

b. Studi teks, yaitu pengumpulan data melalui naskah yang diteliti setelah


(26)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

terlebih dahulu membaca kemudian menafsirkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah.

1.8.3 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, karena metode penelitian yang digunakan adalah kuaiitatif maka peneliti bersikap netral sehingga tidak mempengaruhi data. Untuk itu peneliti hanya membaca dan memperlihatkan lalu berusaha menjabarkan atau menginterpretasikan data tersebut untuk dianalisis sehingga dapat memberikan kesimpulan setelah dilakukan pengecekan ulang atas data tersebut.

Informasi dan data yang dieroleh dari naskah disusun secara sistematis dan dikategorisasikan, selanjutnya dianalisis dengan interpretasi kuaiitatif. Setelah penyusunan dan analisis data, selanjutnya informasi tersebut didisain sesuai dengan bagian-bagian yang telah ditentukan sehingga dapat menghasilkan sebuah laporan penelitian yang integrative dan sistematis.


(27)

BAB II

ANALISIS STRUKTUR CERITA LAKSAMANA RAJA LAUTAN

Analisis struktural yang dilakukan terhadap cerita rakyat Laksamana Raja Lautan (LRL) ini merupakan langkah awal untuk mengetahui unsur-unsur isi dalam (intrinsik) dari cerita tersebut. Hal ini seperti apa yang dikatakan Teeuw (1989:13) bahwa kajian strutural dimaksudkan untuk membongkar, mengkaji, dan menganalisis unsur pembentuk dalam (intrinsik) dari sebuah karya sastra yang berguna untuk pengkajian selanjutnya dari karya sastra tersebut

Setelah membaca dan memahami cerita rakyat LRL ini maka penulis mengambil kesimpulan sementara bahwa unsur-unsur yang berkaitan dengan masalah nilai-nilai psikologis yang terkandung di dalam cerita tersebut adalah tema, alur, latar, dan perwatakan. Sedangkan unsur-unsur yang lain tidak penulis kaji karena tidak terdapat kegunaan langsung atau tidak adanya hal yang dapat dikaji.

2.1. Ringkasan Cerita

Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang yang bernama Dang Tuanku. la adalah kemenakan Bunda Kanduang dari Minangkabau dan setelah dewasa menjadi raja di Bilah Labuhan Batu Sumatera Utara. la mempunyai empat orang anak dan semuanya laki-laki.

Disuatu hari Raja Dang Tuanku memanggil keempat anaknya untuk berkumpul. la merasa keadaannya semakin lemah. Oleh karena itu keempat anaknya diminta agar segera mencari jodoh dan menikah.

Atas perintah ayahnya, keempat anak Raja Bilah berangkat menaiki galiung (semacam perahu yang terbuat dari pohon kayu besar yang bias berlayar untuk mengarungi sungau atau laut lepas). Pertama mereka berangkat menuju Pekan Baru. Di sana mereka berjumpa dengan anak Raja Siak. Dengan tidak memakan waktu lama anak yang paling tau dari


(28)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

Raja Bilah Dang Tuanku kemudian dipinangkan dengan putrid Raja Siak yang tertua pula, yang bernama Mahmudsyah.

Secara singkat, setelah perkawinan mereka diselesaikan, lalu mereka segara berangkat ke Selat Malaka dan mereka pun samapi di Negeri Johor. Di negeri ini mereka lalu meminang putrid Negeri Johor untuk anak Dang Tuanku yang kedua. Merea pun diterimanya dan dikawinkan dengan putri Raja Johor yang bemama Akbariyah. Begitu selesai acara perkawinannya, lalu berangkat menuju arah pulang dan singgah di Palembang.

Di sana mereka meminang putri Raja keturunan Sriwijaya justru putri itupun anak yang ketiga pula. la bernama Muazanayah. Dan perkawinan ini pun segara dilaksanakan. Di tengah perjalan pulang ke Bilah kapal mereka dihantam ombak besar dan tali sauhnya tersangkut di dasar laut, entah oleh benda apa. Ketiga istri kakaknya melarang para suaminya untuk terjun ke dalam dasar laut karena ombak yang masih sangat besar. Oleh karena itu diputuskanlah Laksamana untuk terjun ke dalam laut, Laksamana pun mau melakukannya asal kakaknya berjanji apabila diketahui penyebab tersangkutnya sauh mereka maka benda yang menjadi tempat sangkutnya sauh mereka akan menjadi milik Laksamana. Selain itu, apapun benda yang didapat oleh Laksamana dari dasar lautan akan menjadi milik Laksamana dan tidak akan dibagi-bagi kepada ketiga kakaknya. Ketiga kakaknya setuju maka Laksamana terjun ke dalam laut.

Sesampainya di dasar laut Laksamana mengetahui bahwa yang ada seekor ular yang menahan sauh mereka. Terjadi perkelahian antara Laksamana dengan ular tersebut yang bernama Ular Cinta Manis dan tewaslah ular tersebut menjadi dua bagian. Satu bagian tercampak ke darat dan menjelma menjadi Penghulu Balang dan bagian lain tercampak ke dasar laut dan menjelma menjadi Mambang Laut. Laksamana mengejar bagian yang jatuh ke dasar laut dan di dasar laut ia menemukan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Zulkarnain


(29)

yang memiliki seorang putri yang sangat cantik jelita dan bernama Mayang Murai.

Raja Zulkarnain sangat suka terhadap perangai Laksamana dan menikahkan anaknya dengan Laksamana. Sebagai hadiah perkawinan Raja Jin Zulkarnain memberikan Laksamana dua buah peti yang sangat besar penuh dengan perhiasan. Yang satu berisi penuh dengan perhiasan dan yang satu lagi berisikan penuh perhiasan ditambah Putri Mayang Murai. Pesan Raja Jin Zulkarnain, peti kaca tempat Mayang Murai hanya boleh dibuka bila telah sampai ke Bilah dan harus dinikahkan kembali. Setelah mengingat semua petuah mertuanya, Laksamana bergegas kembali ke kapal.

Keesokan paginya, Laksamana telah muncul di kapal dengan membawa dua peti besar dan membuat ketiga kakaknya terheran-heran dengan kedua peti tersebut. Ternyata setelah dibuka oleh Laksamana isinya penuh perhiasan dan seorang putri yang sangat cantik jelita. Laksamana mengingatkan ketiga kakaknya perjanjian mereka bahwa kedua peti itu adalah miliknya sendiri dan bukan untuk dibagi dengan ketiga kakaknya. Kakak-kakaknya hanya bisa mengangguk sambil menahan rasa iri. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan suasana yang masih diliputi oleh badai besar.

Salah satu kakak Laksamana yang bernama Mahmudsyah merasa iri dengan apa yang diperoleh adiknya dari dasar laut. Timbul rasa dengki dalam dirinya, lalu diam-diam Mahmudsyah mengayunkan pedangnya ke leher Laksamana yang sedang duduk termenung di pinggiran kapal. Laksamana merasa ada angin dingin mendekati lehernya lalu berusaha mengelak tetapi akibatnya dia malah tercampak ke dalam laut dan hilang. Menjelang Subuh, Mahmudsyah membangunkan kedua saudaranya sambil berlagang menjadi orang yang bingung dengan mengatakan bahwa Laksamana tiba-tiba hilang. Kedua kakaknya pun ikut menjadi bingung lalu mereka putuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan pulang


(30)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

sambil memikirkan alasan yang tepat kepada orang tua mereka tentang penyebab hilangnya Laksamana.

Laksamana terapung-apung di tengah lautan dan bertemu dengan seekor ikan hiu parang. Kemudian Laksamana memegang sirip hiu itu erat-erat dan mengikuti kemana hiu itu pergi. Tanpa disadari temyata Laksamana telah sampai di pesisir negeri Bilah. la terdampar dan pingsan berhari-hari, ketika siuman ia merenungkan nasibnya sambil bersumpah bahwa ia dan anak cucunya kelak tidak akan memakan daging hiu sebagai ucapan terima kasihnya. Sementara itu sesampainya ketiga kakaknya di istana Bilah, Raja Dang Tuanku menyambut gembira kepulangan anak-anaknya. Satu persatu mereka memperkenalkan istri mereka, sampai tiba giliran Mahmudsyah yang juga memperkenalkan Mayang Murai sebagai istrinya juga. Mayang Murai sangat sedih hatinya melihat kelakuan abang iparnya itu tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena pernyataan Mahmudsyah itu didukung oleh kedua saudaranya juga.

Raja Dang Muda mempertanyakan keberadaan Laksamana dan mereka menceritakan bahwa Laksamana terjatuh ke dalam laut dan tidak tampak lagi. Raja Dang Muda sangat sedih hatinya dan menangis tersedu-sedu. Saking sedihnya beliau dengan emosional menyuruh Mahmudsyah untuk membuka peti besar yang mereka bawa tetapi Mahmudsyah tidak bisa karena kuncinya dibawa oleh Laksamana. Lalu Dang Muda memerintahkan seluruh rakyatnya untuk membuka peti tersebut dengan iming-iming apabila berhasil akan dijadikan sebagai Raja Muda.

Tidak satupun dari rakyat Bilah yang mampu membuka peti tersebut sehingga membuat raja gusar dan memancung tukang canang (orang yang memberikan pengumuman ke seluruh pelosok negeri) dan menyuruh tukang canang lainnya. Tukang canang ini terus berjalan sampai akhirnya tanpa sengaja menemukan Laksamana yang masih terkapar di pinggir pantai dan menolongnya. Tukang canang menceritakan


(31)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

tentang peti besar itu dan Laksamana tertarik untuk mengikuti perlombaan itu. la menyuruh tukang canang untuk meminta raja menyediakan pakaian lengkap bagi seorang raja muda baru kemudian ia akan membuka peti tersebut.

Raja Dang Muda menyetujui syarat tersebut walaupun ia sangat penasaran dengan pemuda yang menyuruh tukang canang tersebut. la tidak mengetahui bahwa si pemuda tersebut adalah anaknya Laksamana. Setelah pakaian kebesaran itu diserahkan kepada Laksamana, Laksamana tidak mau langsung memakainya melainkan meminta tukang canang untuk kembali ke istana sambil membawakan kuda tunggangan raja Dang Muda karena ia tidak mau berjalan kaki menuju istana. Tukang canang sangat ketakutan mendengar permintaan Laksamana tetapi dengan sangat terpaksa ia kembali ke istana dan menceritakan keadaan tersebut kepada raja.

Raja setuju dan memberikan seekor kuda putih tetapi Laksamana menolaknya dan menyuruh tukang canang untuk kembali membawa kuda tersebut. Permintaan Laksamana ini pun disetujui oleh Raja Dang Muda setelah mempertimbangkan segala hal. Lalu tukang canang membawa kuda raja itu kepada Laksamana. Laksamana sangat senang hatinya melihat tukang canang datang membawa kuda yang diinginkannya. Kemudian dia mengajak tukang canang untuk duduk di belakang menemaninya naik kuda raja. Tukang canang takut dan haru mendengar permintaan Laksamana tetapi karena dipaksa Laksamana maka ia pun naik ke atas kuda.

Sesampainya di dalam istana, seluruh kerabat istana sangat terkejut melihat sang penunggang kuda yang tidak lain dan tidak bukan adalah Laksamana. Begitu pula dengan Raja Dang Muda. la menyongsong kedatangan putra bungsunya dengan sukacita.

Laksamana pun menceritakan kepada raja Dang Muda bahwa saat duduk di pinggir kapal ia merasa sangat mengantuk dan terjatuh ke dalam laut. Sambil bercerita ia melirik abangdanya, Mahmudsyah, sambil


(32)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

memberi isyarat bahwa ia telah memaafkan apa yang diperbuat abangnya ketika itu. Kemudian Raja Dang Muda pun melantik Laksamana sebagai pengganti dirinya menjadi raja di kerajaan Bilah.

2.2. Tema

Masalah hidup akan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang dihadapi yang ada (Nurgiyantoro, 2001:71). Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah- masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang di manapun dan kapan pun walau dengan tingkat intersitas yang tidak sama.

Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya sastra sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat , merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.

Tema itu sendiri sangat bergantung dari berbagai unsur yang lain. Hal itu disebabkan ternak, yang nota bene "hanya" berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita, Tema dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sesuatu yang menyeluruh. Bahkan sebenarnya, eksistensi tidak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Dengan demikian, sebuah tema baru akan menjadi cerita jika ada dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita yang lain, khususnya yang oleh Nurgiyantoro dikelompokkan sebagai fakta cerita (alur, latar, dan tokoh) yang mendukung dan menyampaikan tema tersebut.


(33)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa tingkatan yang berbeda, tergantung dari segi mana hal itu dilakukan. Shipley dalam Nurgiyantoro (2001:80:82) membedakan tema dalam lima tingkatan paling sederhana sampai tingkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. la lebih menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam karya sastra dengan penonjolan tema tingkat ini mendapat penekanan.

b. Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasm a, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan, khususnya kehidupan seksual yang menyimpang.

c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai mahluk sosial, man as socius. Kehidupan yang bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konfiik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa maslah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya sastra yang berisi kritik sosial.

d. Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai mahluk sosial, manusia juga sekaligus sebagai mahluk individu yang senantiasa "menuntut" pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai mahluk individu, manusia pun mempunyai banyak


(34)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

permasalahan dan konfiik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya.

e. Tema tingkat divine, manusia sebagai mahiuk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiusitas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang bukan pekerjaan yang mudah. Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita itu. Menurut Mochtar Lubis (1989:25) untuk mengetahui tema sebuah karya sastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: (a) melihat persoalan yang paling menonjol; (b) menghitung waktu penceritaan; dan (c) melihat konflik yang paling banyak hadir.

Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Sayembara Bohong maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Sayembara Bohong termasuk cerita yang tergolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang kehidupan sosial seorang raja. Masalah yang menonjol dalam cerita ini adalah tentang keputusan seorang raja terhadap puteri tunggal pewaris tahta kerajaan

Untuk menentukan tema dalam LRL ini maka penulis mengunakan pendapat Mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya sastra berdasarkan tiga hal, yaitu:

a. Persoalan yang paling menonjol adalah perjuangan hidup dan kesabaran.

b. Dari awal hingga akhir cerita dalam cerita rakyat LRL adalah menceritakan tentang bagaimana perjuangan Laksamana dalam meraih semua impiannya dan berusaha sabar dalam menghadapi segala tantangan.


(35)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita LRL adalah perebutan harta benda dan kekuasaan antara kakak beradik.

Berdasarkan ketiga hal di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa tema dalam cerita rakyat LRL adalah kesabaran dalam menghadapi segala masalah a/can mendapat ganjaran yang setimpal.

2.3. Alur

Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai hal yang terpenting diantara berbagai unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastrapun sering ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah lineritas struktural penyajian peristiwa dalam karya sastra banyak dijadikan objek kajian.

Hal itu kiranya juga beralasan tentang kejelasan alur, kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linear, akan .mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan unsur dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti kejelasan memahami jalan cerita. Sebaliknya, alur sebuah cerita sebuah karya sastra yang kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antar peristiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami.

Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya (Nurgiyantoro, 2001:141).

Hal yang demikian dapat terjadi disebabkan urutan waktu penceritaan sengaja dimanipulasikan dengan urutan peristiwa. la mungkin dimaksudkan untuk mendapatkan bentuk pengucapan baru dan efek artistik tertentu, kejutan atau pun sebentuk suspense di pihak pembaca tehnik pengungkapan cerita, atau tehnik pengaturan, yang demikian biasanya justru lebih menarik karena memang langsung dapat menarik


(36)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

perhatian pembaca. Pembaca langsung berhadapan dengan konfiik, yang tentu saja, ingin segera mengetahui sebab-sebab kejadian dan bagaimana kelanjutannya.

Pada dasamya, alur sebuah cerita haruslah berstfat padu. Antara peristiwa yang satu dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan adan sifat saling ketertarikan. Kaitan antar peristiwa tersebut hendaklah jelas, logis, dapat dikenali hubungan kewaktuannya lepas dari tempatnya dalam teks cerita yang mungkin diawal, tengah atau akhir. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula.

Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Lubis (1989:10) mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima tahapan. Kelima tahap tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur karya sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut :

1) Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

2) Tahap Generating Circumstances (tahap pemunculan konflik), masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya berkesuaian dengan tahap awal pada penahapannya.

3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik


(37)

yang menjadi inti cerita bersifat mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks, atau paling tidak dapat dihindari.

4) Tahap Climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang diakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah cerita yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.

5) Tahap Denouement (tahap penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami centra rakyat LRL maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah plot lurus atau progresif. Artinya bahwa dalam cerita rakyat LRL pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan akhir situasi dan tidak terdapat alur sorot balik (flashback) pada setiap bagian dari alur cerita tersebut.

Adapun pentahapan alur dalam cerita rakyat LRL adalah sebagai berikut :

1) Tahap Situation, tahap awal dalam cerita rakyat LRL dimulai pada tahapan si pengarang mulai melukiskan keadaan kerajaan Bilah yang dipimpin oleh seorang raja yang sudah mulai sakit-sakitan dan ingin melihat keempat putranya memiliki istri. Lalu ia memerintahkan keempat putranya untuk merantau mencari istri ke kerajaan-kerajaan lain. Putra pertama menikah dengan Putri Siak, putra ketiga menikah dengan Putri Johor, dan putra ketiga menikah dengan putri Sriwijaya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan cerita sebagai berikut.

"Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang yang bernama Dang Tuanku. la adalah kemenakan Bunda Kanduang dari Minangkabau


(38)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

dan setelah dewasa menjadi raja di Bilah Labuhan Batu Sumatera Utara. la mempunyai empat orang anak dan semuanya laki-laki. Di suatu hari Raja Dang Tuanku memanggil keempat anaknya untuk berkumpul. la merasa keadaannya semakin lemah. Oleh karena itu keempat anaknya diminta agar segera mencari jodoh dan menikah.

Atas perintah ayahnya, keempat anak Raja Bilah berangkat menaiki galiung (semacam perahu yang terbuat dari pohon kayu besar yang bias berlayar untuk mengarungi sungau atau laut lepas). Pertama mereka berangkat menuju Pekan Baru. Di sana mereka berjumpa dengan anak Raja Siak. Dengan tidak memakan waktu lama anak yang paling tahu dari Raja Bilah Dang Tuanku kemudian dipinangkan dengan putri Raja Siak yang tertua pula, yang bernama Mahmudsyah. Secara singkat, setelah perkawinan mereka diselesaikan, lalu mereka segara berangkat ke Selat Malaka dan merekapun samapi di Negeri Johor. Di negeri ini mereka lalu meminang putrid Negeri Johor untuk anak Dang Tuanku yang kedua. Merea pun diterimanya dan dikawinkan dengan putri Raja Johor yang bernama Akbariyah. Begitu selesai acara perkawinannya, lalu berangkat menuju arah pulang dan singgah di Palembang. Di sana mereka meminang putrid Raja keturunan Sriwijaya justru putri itupun anak yang ketiga pula. la bernama Muazanayah. Dan perkawinan ini pun segara dilaksanakan (LRL: hal 1-5)

2) Tahap Generating Circumstances, yaitu tahap dimana peristiwa mulai bergerak memunculkan konflik. Peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam tahapan ini adalah dimulai dengan terjadinya ombak besar di tengah lautan yang menghantam kapal anak-anak raja Dang Muda dan menyangkutkan sauh mereka pada sebuah benda. Laksamana diutus untuk membebaskan sauh dan berhasil bahkan berhasil pula


(39)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

membawa 2 peti besar perhiasan dan seorang istri yang juga dimasukkan ke dalam salah satu kotak yang berisikan perhiasan tesebut. Ini dikuatkan dari kutipan cerita sebagai berikut.

"Tatkala mereka sedang berlayar, dengan tiba-tiba datang angin kencang. Mereka terombang-ambing dalam perahu karena terpukul oleh angin ribut sehingga tali sauhnya tersangkut pada suatu benda di dalam laut. Dalam keadaan demikian ketiga istri mereka melarang suaminya. Laksamana mengusulkan dirinya yang turun melepas tali perahu. Laksamana berjanji bila ia turun ke laut dan menemukan sesuatu dalam dasar laut itu, benda itu miliknya sendiri. Laksamana bertemu dengan raja Jin Zulkarnain dan dinikahkan dengan putrinya Mayang Murai. Dan memberikan hadiah berupa dua peti besar perhiasan emas intan berlian. Namun setelah Laksamana membuka peti yang semula dikunci kuat itu, saudara-saudaranya menjadi sangat terkejut." (LRL, hal 6-8)

3) Tahap Rising Action (tahap peningkatan konflik), pada tahap ini cerita mulai bergerak ke arah konflik cerita. Adapun peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam tahapan pada cerita rakyat LRL adalah ketika Mahmudsyah merasa iri dan dengki dengan keberuntungan adiknya, Laksamana, yang memperoleh banyak harta dan seorang istri yang cantik jelita melebihi kecantikan istrinya dan istri kedua saudaranya yang lain. Maka pada suatu malam saat mereka berdua mendapat tugas untuk mengendalikan kapal, Mahmudsyah melihat kesempatan untuk membunuh Laksamana yang sedang duduk termenung di pinggir kapal. Lalu diam-diam diambilnya pedang dan dilayangkan ke arah leher Laksamana. Laksamana walau duduk termenung merasa ada angin dari arah belakang lalu mengelak akibatnya ia terjatuh ke laut. Mahmudsyaha yang melihat kesempatan itu lalu menambah laju perahunya dan meninggalkan Laksamana berenang sendiri di tengah lautan. Laksamana bertemu dengan seekor hiu parang dan memegang


(40)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

erat-erat sirip atas hiu itu dan ikut kemana hiu itu berenang dan akhirnya ia sampai di pesisir pantai negeri Bilah. Hal ini seperti yang terlihat pada kutipan berikut :

"Namun sayangnya Mahmudsya salah satu saudaranya ternyata memiliki perangai yang buruk. la merasa dengki dan iri karena Laksamana adiknya berhasil mendapat istri yang cantik dan oleh mertuanya diberi emas dan intan yang jumlahnya tidak sedikit.

Dengan perlahan-lahan Mahmudsyah mengendap mendatangi Laksamana yang masih larut dalam lamunannya. Mahmudsyah mengayunkan pedangnya ke leher Laksamana. Keadaan itu membuat ia terkejut. Untung ia terus mengelak. Namun karena saat itu keadaan tidak seimbang Laksamana terjatuh ke laut.

Laksamana yang gagah perkasa itu tetap saja berenang di laut lepas tanpa bertepi.Tanpa berpikir panjang saat yang demikian sulit dengan tiba-tiba tangannya merangkul sebua benda. Ternyata benda itu adalah seekor hiu parang, la memeluk tubuh ikan hiu, akhirnya sampailah di tepian negeri Bilah"

(LRL, hal: 9-13)

4) Tahap Climax (tahap puncak cerita), tahap ini terdapat pada peristiwa ketika Laksamana ditemukan oleh seorang tukang canang yang terdampar di tepi pantai. Tukang canang menolong Laksamana dan memberi tahu bahwa raja sedang mengadakan sayembara bila dapat membuka peti besar milik raja akan dijadikan Raja Muda di negeri Bilah. Laksamana menyuruh tukang canang untuk memberita tahu raja bahwa dirinya mampu tetapi harus diberikan seperangkat pakaian seorang raja seperti yang dipakai oleh Raja Dang Muda, raja kerajaan Bilah. Permintaan itu dipenuhi raja Dang Muda, kemudian Laksamana meminta tukang canang lagi menyampaikan bahwa ia bisa datang ke istana apabila diberikan kuda tunggangan sang raja. Permintaan-permintaan yang dilakukan oleh Laksamana sebenarnya bukanlah hal


(41)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

yang wajar karena hanya seorang raja atau anak raja sajalah yang boleh memakai pakaian kebesaran raja dan menunggangi kuda raja. Begitu pun Raja Dang Muda memenuhi keinginan Laksamana karena ia ingin tahu seperti apa pemua yang berani meminta itu semua tanpa mempertimbangkan akibat yang akan diterimanya nanti, yakni hukum pancung. Rasa penasaran raja ini wajar karena semua pemuda dan orang pintar yang ada di kerajaan Bilah tidak ada yang dapat membuka peti besar tersebut. Peristiwa itu seperti yang terlihat pada kutipan berikut :

"Karena peti tidak dapat dibuka, lalu raja Dang Tuanku memanggil tukang canang untuk mengumumkan siapa seluruh rakyat yang bisa membuka peti besar akan diangkat menjadi raja muda di negeri Bilah sehingga banyak rakyat yang berdatangan.

Dan setelah keadaannya pulih sehat seperti semula, tukang canang menanyakan kepada Laksamana, "Apakah engkau bersedia untuk membuka kunci peti besar yang ada di istana Bilah?" ternyata Laksamana bersedia. Karena itu Laksamana meminta syarat agar pakaian kebesaran raja itu untuk diantarkan ke tepian laut. Dan bila syarat itu dilakukan past! apa yang dikehendaki raja bisa akan terwujud.

Setelah mendengar cerita tukang canang, raja Dang Tuanku tercenung sejenak lalu menyuruh dayang-dayang menyerahkan pakaian yang diminta tukang canang. Dalam hatinya bila tidak berhasil maka tukang canang dan pemuda itu akan dihukumnya pancung.

"Sungguh ajaib bin aneh,"pikir baginda raja. "Kalau baginda anak muda itu bukan saja anak sembarangan, tetapi memiliki ilmu yang tinggi, karna dirinya bisa membuka peti besar yang terkunci rapat ini/' demikian raja memperkirakan.

"Baiklah, kau antarkan saja kudaku ini agar anak muda itu mau datang membukakan peti terkunci ini. Ayo pengawal keluarkan kuda tungganganku dan berikan kepada tukang canang."


(42)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

(LRL, hal: 14-21)

5) Tahap Denoument (tahap penyelasaian cerita), peristiwa yang terdapat pada tahapan ini adalah ketika Laksamana datang ke istana dengan menunggangi kuda tunggangan raja dan duduk di belakangnya tukang canang. Sesampainya di istana seluruh penghuni istana sangat terkejut karena yang datang ternyata adalah Laksamana, putra bungsu raja yang dikabarkan telah meninggal dunia di laut. Raja Dang Tuanku sangat gembira dan memeluk Laksamana erat-erat sambil menangis. Laksamana juga telah memaafkan kesalahan abangdanya, Mahmudsyah, dengan tidak menceritakan keadaan sebenarnya kepada ayahandanya. Ketika raja mangkat maka diangkatlah Laksamana sebagai penggati raja di Bilah karena budi pekertinya yang baik. Peristiwa tersebut dapat dijumpai dalam kutipan cerita LRL sebagai berikut :

Sesampai di ambang pintu gerbang istana Bilah, seluruh pengawal memberi hormat pemuda yang sanggup membuka peti tadi. Apalagi ia naik kuda tunggangan raja, tentu saja merupakan pemuda yang patut dihormati.

la mulai memasuki ruang istana tanpa canggung dan rasa sungkan. Semua kerabat istana merasa heran dan mereka memandangnya dengan tidak berkedip. Ternyata darah mereka tersirap. Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata pemuda yang dibawa tukang canang itu ternyata putra raja sendiri yang bernama Laksamana.

"Hamba tertidur dalam perahu, kemudian datang angin kencang dan ananda terjatuh ke laut. Untung ananda ditolong ikan hiu dan dihempaskan ombak di pantai Bilah sehingga ananda ditemukan tukang canang/1 demikian penjelasan Laksamana sambil tersenyum melirik abangnya, Mahmudsyah, yang tertunduk malu.

(LRL, hal: 22-23)


(43)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. 2.4. Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrahams dalam Nurgiyantoro, 201:218). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah untuk "mengoperasikan" daya imajinasinya, di samping dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan pengetahuannya tentang latar. Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran, ketetapan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan sesuatu yang sebenarnya dalam cerita itu yang menjadi bagian dirinya. Hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita.

Menurut Nurgiyantoro (2001:227) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Latar tempat, latar ini menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Tempat-tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata, misalnya pantai, hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

2) Latar waktu, latar ini berhubungan dengan masalah "kapan" terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya


(44)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

sastra. Masalah "kapan" tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persaman perkembangan atau kesejalanan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sungguh- sungguh ada dan terjadi.

3) Latar sosial, latar ini menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. la dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, key akinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap dan lain-lain.

Setelah penulis membaca dan memahami cerita LRL maka latar yang terdapat dalam cerita tersebut adalah sebagai berikut:

1) Latar tempat; latar tempat yang ada dalam cerita LRL adalah istana kerajaan sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya. Di Lautan tempat terjadinya beberapa peristiwa penting seperti Laksamana mendapat istri dan harta, terjatuhnya Laksamana dari kapal, dan Laksamana ditolong oleh ikan hiu parang. Selain itu, di tepi pantai Bilah tempat terdamparnya Laksamana dan Balairung istana tempat berkumpulnya para kerabat istana ketika Laksamana datang.

2) Latar waktu; dalam cerita LRL ini adalah suatu hari, pagi hari, esok harinya, pada suatu malam, dan beberapa menit, seperti yang terlihat pada contoh-contoh pemakain waktu berikut:


(45)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

Suatu hari menyatakan waktu Raja Dang Tuanku memanggil keempat anaknya untuk berkumpul. la merasa keadaannya semakin lemah. Oleh karena itu keempat anaknya diminta agar segera mencari jodoh dan menikah (hal. 1). Selan kejadian ini, peristiwa lain adalah Raja Zulkarnain yang merupakan raja Jin di gua dasar laut memanggil anaknya yang bernama Mayang Murai untuk berbincang-bincang sejenak (hal. 4) Pagi hari menyatakan Raja Jin Zulkarnain mempersiapkan oleh-oleh yang merupakan mas kawin untuk Putri Mayang Murai dengan Laksamana (hal. 7) Esok harinya menyatakan saat Laksamana tersadar dari pingsan (hal. 11) Pada suatu malam menyatakan waktu Laksamana dan Mahmudsyah mendapat tugas berjaga malam di dalam perahu yang berjalan di malam hari.

Beberapa menit menyatakan waktu putra-putra raja Bilah Dang Tuanku sampai di istana dan berjumpa dengan raja Dang Tuanku (hal. 14).

3) Latar sosial; dalam cerita LRL ini tergambar mengenai keadaan masyarakatnya dalam cerita ini mengenai kelompok sosial masyarakat kerajaan yang dipimpin sang raja. Ceriti ini bertumpu pada aktiviatas dari anak-anak raja yang merupakan golongan tertinggi dalam klasifikasi sosial masyarakat Melayu. Hanya sedikit saja gambaran tentang masyarakat kelas bawah yang digambarkan dalam cerita ini yakni kedudukan sosial pesuruh raja yakni dayang-dayang dan tukang canang yang dibuat sebagai pelengkap cerita sekaiigus sebagai penekanan cerita bahwa cerita ini memang hanya menceritakan tentang latar sosial dari masyarakat golongan atas.

2.5. Watak dan Perwatakan

Dalam pembicaraan sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau


(46)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

karakter dan karekterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis sama, walau ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada "tehnik" pengembangannya dalam sebuah cerita. Istilah "tokoh" menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai Jawab terhadap pertanyaan: "siapakah tokoh utama cerita rakyat itu?", atau "Ada berapa orang jumlah pelaku dalam cerita rakyat itu?", atau "Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita itu?", dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kuaiitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi, karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh Tertentu dengan watak tertentu sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh jones dalam (Nurgiantoro, 1999:165). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seorang yang di tanmpilkan dalam sebuah cerita.

Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literature bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh tersebut (stanton dalam Nurgiantoro, 1999:165). Dengan demikian, character dapat berarti “pelaku cerita” dan dapat pula berarti “perwatakan”. Antara seorang tokoh dengan perwatakan yang di milikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang di milikinya. Hal itu terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang menjadi milik masyarakat, seperti sampuraga dengan sifat-sifat jahatnya dan lain-lain.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan kedalam beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja di kategorikan kedalam beberapa jenis


(47)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009.

penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal. Adapun jenis-jenis tokoh cerita tersebut adalah:

a.tokoh utama dan tokoh tambahan

membaca sebuah karya sastra , kita akan dihadapkan pada sejumlah tokoh yang di hadirkan didalamnya. Namun, dalam kaitanya dalam keseluruhan cerita, peranan masing-masing tokoh tersebut tidak sama. Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya di munculkan sekali atau beberapakali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang di sebut pertama adalah tokoh utama (central character, main character). Sedang yang kedua adalah tokoh tambahan (peripheral character).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada cerita rakyat tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat di temui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan kedalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Membaca sebuah karya sastra, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh tertentu, memberikan simpati, dan melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut.

Tokoh yang di sikapi demikian oleh pembaca di sebut sebagai tokoh protagonis (Alterbrend dan Lewis dalam Nurgiantoro, 1999:178).


(48)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

Tokoh protagonis adalh tokoh yang kita kagumi. Tokoh yang merupakan pengejewantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita ,harapan-harapan kita sebagai pembaca. Maka kita sering mengenbalinya sebagai yang mkemiliki kesaan dengan kita, Demikian pula halnya dalam menyikapinya. Demikian pula sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh yangmenampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita , tidak sesuai dengan norma-norma, nilai-nilai yang tidak ideal bagi kita.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

berdasarkan perwatakanya, tokoh cerita dapat di bedakan kedalam tokoh sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau tokoh bulat (comples atau round character). Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang memiliki suatu kualitas tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, Dia tidak di ungkapkan ke berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Dia tidak memliki tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Sifat dan tingkah laku tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu

Tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan ke berbagai kemungkinan sisi klehidupannya, sisi keperibadiannya, dan jati dirinya ia dapat saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dadpat menampilkan watak dan tingkah laku yang bermacam-macam. Bahkan mungkin seprti bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.


(49)

Setelah membaca danj mengamati cerita rakyat dan seyembara bohong maka dapat diketahui watak dan perwatakannya sebagai berikut :

1. watak atau tokoh cerita

Tokoh utama dalam cerita LRL ini adalah laksamana. Sedangkan tokoh tambahan dalam cerita rakyat LRL adalah mahmudsyah dan dua saudara lainnya , serta tukang canang.

2. perwatakan dan penokohan

Tokoh cerita dan perwatakannya dalam LRL adalah:

• Laksamana memiliki perwatakan yang tegas, arif, pemberani serta sangat menyayangi keluarga

• Mahmudsyah memiliki perwatakan yang suka iri dan dengki kepada saudara sendiri dan merasa kurang puas dengan apa yang telah dimilikinya

• Raja Dang Tuanku memiliki watak yang arif dan bijaksana.

• Tukang Canang memiliki perwatakan yang penurut.

Demikianlah paparan tentang watak dan perwatakan dalam cerita rakyat sayembara bohong.


(50)

Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009

BAB III

NILAI-NIALI PSIKOLOGIS CERITA LAKSAMAN MATI DIBUNUH

3.1 Sifat jahat

Orang yang bersifat jahat adalah orang yang berkepribadian buruk, selalu membuat keonaran dan keresahan dalam masyarakat. Sifat sombong, iri, dan dengki merupakan sifat jahat yang terdapat dalam hati manusia, yang selau mengangap dirinya paling hebat, mempunyai kelebihan dari orang lain, misalnya lebih dalam ilmu pengetahuanya, kekayaannya, kecantikannya, dasebagainya. Perasaan lebih baik dari orang lain ini akan kelihatan dalam sikap dan tindak tanduk sehari-hari serta penampilanya di tangah-tengahkehidupan bermasyarkat. Imam Syafi’l dan Muhammad Afif Az-Za’by (1992 : 64) mengatakan.“ aku banyak mengenal orang, tetapi aku tidak pernah merasa dengki kepada mereka. Itulah sebabnya mereka sayang kepadaku. Bagaimana mungkin seseorang akan berlemah lembut kepada seorang pedengki, bila pedengki itu tidak menghendaki sesuatupun selain hilangnya nikmat dari orang tersebut.“

Sifat jahat amatlah tercela, baik di sisi Allah maupun dimata manusia dan akan membawa kerugian dan bahaya besar. Orang yang memiliki sifat sombong contohnya, pasti tidak memiliki rasa rendah hati. Orang yang jahat selalu berada dalam kedengkian dan dusta serta tidak mampu menahan hawa nafsunya, juga tidak mungkin memberikan nasihat baik kepada orang lain kesukaannya adalah menghina dan mencemoohkan, terlebih terhadap orang yang di anggap saingannya. Orang bersifat jahat akhirnya akan tersesat karna dia meniru jalan setan sifat jahat tercermin pada petikan cerita berikut:

Namun sayangnya Mahmudsyah salah satu saudaranya ternyata memiliki perangai yang buruk. ia merasa dengki karena laksamana adiknya berhasil mendapat istri yang cantik dan oleh mertuanya di beri emas dan intan dan jumlahnya tidak sedikit. Lalu timbulah


(1)

jarang mereka hanya dapat menelan air ludah saja sambil menarik nafas dalam-dalam karena tidak dapat menikmati hasilnya. Dalam kehidupan rakyat, raja adalah titisan dewa yang bertugas memberikan kehidupan bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang raja ataupun penguasa adalah panutan bagi rakyat. Bukankah tugas seorang raja adalah mengayomi dan melindungi rakyatnya.

Seorang raja harus memikirkan kesejahteraan rakyat, harus mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan dirinya dan kelurganya. Raja harus memberikan yang terbaik buat rakyatnya, hasil yang di dapat dari rakyat harus di kembalikan kepada rakyat dengan membangun berbagai sarana yang sangat di butuhkan rakyat seperti pendidikan, kesehatan maupn kesejahteraan. Hasil yang di dapat dari rakyat tidak boleh di ambil oleh raja ataupun penguasa untuk dirinya dan keluarganya, sehingga raja ataupun penguasa hidup bermewah-mewah, sementara rakyatnya hidup dalam kesengsaraan.

Perhatkan petikan cerita di bawah ini :

Dalam keadaan demikian, betapa gembiranya tukang canang menerima kuda tunggangan raja. Dalam hatinya, bahwa raja Bilah cukup bijaksana dan arif sehinga dirinya tidak terkena hukuman. Dan berfikir oleh tukang canang, bahwa baginda begitu percaya kepada dirinya yang hanya orang kecil. Sambil menuntun kuda tunggangan raja Bilah tukang canang terus berjalan menuju ketempat pemuda yang suka bertingkah aneh itu. (LRL, hal : 21)

Dari petikan cerita di atas memberikan gambaran bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang arif dan memikirkan kesulitan rakyanya. Raja atau penguasa selalu memberikan kemudahan bila rakyatnya mengalami kesulitan. Raja harus mampu megarahkan rakyatnya untuk memilih jalan yang terbaik bagi mereka. Hasil yang di peroleh dari rakyat dengan bekerja keras harus rakyat juga yang


(2)

sedangkan raja atau penguasa yang jahat akan mengalami kehancuran karena di benci rakyatnya.


(3)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya maka dapat di tarik kesimpulan dari pembahasan terhadap cerita Laksaman Raja Lautan (LRL) sebagai berikut :

1. Tema dari cerita LRL adalah kesabaran dan perjuangan yang tidak kenal lelah akan membuahkan kebahagiaan. 2. Alur dari cerita LRL dalah alur maju (Progresif) dan dalm alur

cerita tidak dapat alur mundur (flashback).

3. Watak dan perwatakan dalam cerita LRL terdiri atas watak utama dan watak sampingan; Sedangkan perwatakan para tokoh adalah datar (flat) artinya tidak terapat perubahan watak para tokoh dari awal sampai akhir.

4. Latar dalam cerita LRL terdiri atas tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial yang kesemua latar tersebut kebanyakan terjadi di lingkungan istana.

5. Nilai-nilai

a. Sifat-sifat jahat

b. Menggunakan akal pikiran

c. Percaya kepada kekuasaan Tuhan d. Kasih sayang saudara kandung e. Menjadi pemimpi yang baik


(4)

4.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis terhadap cerita Laksamssssana Raja Lautan maka dalam hal ini dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Dalam cerita-cerita rakyat banyak terdapat nila-nilai psikologis yang dapat dijadikan alat pembersihan jiwa para pembacanya.

2. Pelestarian dan penginvetarisasian cerita rakyat yang kini mulai surut hendaknya dibangkitkan kembali untuk menjaga nilai-nilai budaya kita

3. Adanya perhatian orang tua untuk tetap memperkenalkan cerita-cerita rakyat yag bersifat mendidik kepada anak-anaknya sehingga cerita rakyat tetap dikenal oleh setiap lapisan masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abiding, Gaffar, dkk. 1990. Struktur Sastra Lisan Musi. Jakarta: Depdikbud RI.

Aminuddin. 1990. Sekitar Ilmu Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Answarsyah. 1993. Dasar-dasar Metode Penelitian. Medan: AKIP.

Damono, Supardo Djoko.1984. Sosiologi Sastra. Bandung: Angkasa.

Dirgagunarsa, Singgih. 1989. Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hamidita Graha Widia.

Jayawati, Maini Trisna, dkk. 1997. Analisis Struktur dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.

Narbuko, Cholid. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjha Mada University Press.

Pradopo. 2000. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media. Semi. 1998. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.


(6)