Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah homo fabulans yaitu makhluk bersastra. Istilah homo fabulans ini digunakan A. Teeuw 1984 dalam bukunya Sastra dan
llmu Sastra. Hal ini menunjukkan bahwa sejak bayi manusia telah bersastra sehingga manusia disebut makhluk sastra. Contoh lain ketika
ketika bayi di pangkuan ibunya, atau melalui nyanyian anak-anak, manusia sudah menjadi makhluk bersastra. Dalam nyanyian tersebut,
segala unsure sastra telah hadir sehinga si anak kecil menginsafi adanya dunia imajinasi di luar alam nyata yang senantiasa dihadapinya.
Sejalan dengan homo fabulans, seni sastra mempunyai daya tarik khusus yang menggetarkan hati penikmat pembaca karena adanya
rangsangan-rangsangan bahwa sadar pada jiwa manusia. Rangsangan- rangsangan bawah sadar yang disebut citra-citra dasar atau citra
keinsanan purba, terbentuk lewat pengalaman nenek moyang manusia dan diwariskan sebagai bawah sadar kelompok yang menjiwai manusia
dalam bentuk angan-angan, mimpi, mitos, dan sastra. Meskipun sastra adalah bagian dari kehidupan manusia, pada
awalnya, dalam pandangan Plato: seni sastra dalam perwujudan yang tampak adalah benda yang sangat rendah nilainya. Kepandaian seorang
tukang malahan dinilai lebih tinggi dari seniman, sebab tukang yang baik pada prinsipnya lebih efisien meniru ide yang mutlak dalam benda-benda
yang diciptakan daripada seniman. Oleh sebab itu, seni lebih rendah dari kenyataan Teeuw, 1984:221.
Pandangan Plato ini ditentang oleh muridnya, Aristoteles. Pandangan Aristoteles bahwa seniman menciptakan dunianya sendiri
dengan probability yang memaksa. Yang terjadi dalam ciptaan si seniman masuk akal dalam keseluruhan dunia ciptaan itu. Bagi Aristoteles,
seniman lebih tinggi nilai karyanya daripada seorang tukang karena
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
pandangan dan
penafsiran kenyataanlah yang dominan dan
kepandaiannya diabdikan pada interpretasi, pemberian makna pada eksistensi manusia. Karya seni menurut Aristoteles menjadi sarana
pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk membayangkan pemahaman mengenai manusia yang tidak dapat diungkapkan dan
dikomunikasikan dengan jalan lain Teeuw, 1984: 222. Salah satu hakekat seni sastra adalah bahasa. Dalam model
semiotic sastra, bahasa merupakan sistem tanda yang kompleks dan beragam. Seniman terikat pada instrument, sarana, yaitu bahasa yang
menjadi kerangka formal dan konseptual yang tidak dapat dihindarinya. Ahli semiotik dari Rusia bernama Jurij Lotman mengatakan bahwa
bahasa merupakan sistem pembentukan modal yang primer, yang mengikat penulis maupun pembaca, tidak hanya dalam arti bahwa kedua-
duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa secara luas
membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut.
Meskipun bahasa mempakan sistem pembentukan model primer, dalam memahami seni sastra, pembaca juga harus akrab dengan
konvensi sastra. Tanpa pengetahuan latar belakang konvensi sastra, pembaca tidak mempunyai jalan masuk yang hakikat sebuah karya sastra.
Konvensi sastra menurut Lotman adalah sistem pembentuk model yang sekunder, model yang kedua, yaituu sistem konvensi yang atas dasar
sistem primer, yaitu bahasa, menyediakan acuan yang mewujudkan makna. Sistem sekunder itu mengikat baik pembaca maupun penulis
sebagai anggota masyarakat sastra. Dalam ilmu sastra modern, bahasa adalah sistem tanda yang
secara primer membentuk model dunia bagi pemakainya; model itu menjadi perlengkapan konseptual manusia untuk menafsirkan segala
sesuatu; dan sistem ini mengikat sastrawan dan pembaca. Dalam hal ini, sastra adalah sistem tanda sekunder yang membentuk model yang
2
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
tergantung pada sistem primer yang hanya dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam pertentangannya dengan system
bahasa. Ini berhubungan dengan prinsip seiotik sastra: pertentangan antara meaning arti dan significance makna.
Di samping makhluk bersastra, manusia adalah homo estetikus yakni manusia suka akan keindahan seni. Demikian juga halnya dengan
kreasi sastra, disamping memiliki aspek kebahasaan sastra memilikin aspek kesenian yang disebut dengan estetik. Jadi, disini manusia dan
sastra dihubungkan oleh estetik seni sebagai aspek dasar karya sastra. Pada awalnya estetika adalah filsafat keindahan. Akan tetapi sejak abad
ke-18, Baumgarten bapak estetika telah mengubah konsep awal kedalam pengertian keindahan seni artistic. Dalam perkembangannya,
estetik seni atau keindahan seni diartikan sebagai berikut: a. Seni adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar melalui
perantaraan tanda-tanda lahiriah menyampaikan perasaan yang telah dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka
kejangkitan dan juga mengalami perasaan tersebut. b. Seni adalah suatu kegiatan manusian menciptakan realita baru
dalam suatu cara diluar akal dan berdasarkan penglihatan menyajikan realita itu secara perlambang atau kiasan sebagai
kebetulan dunia kecil yang mencerminkan sebuah kebulatan dunia besar.
c. Seni adalah suatu kegiatan yang dirancang untuk mengubah bahan alamiah menjadi benda-benda yang berguna atau indah.
Dengan demikian, keindahan srtistik ialah keindahan yang diciptakan manusia, bukan keindahan alam. Dalam arti yang luas,
keindahan meliputi eni yang sublime, seni magis, dan sebagainya. Ragam seni tersebut, disamping .indah, juga disebut juga dengan karya seni yang
bernilai. Dalam pandangan semiotic berdasarkan sistem tanda estetik seni
berada pada penikmat pembaca. Pengalaman estetik secara mutlak ada
3
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
pada pembaca, penonton, dan pendengar. Nilai estetik baukanlah sesuatu yang secara objetif terletak dalam karya seni: penikmat menjadi pencipta
serta tapi bukanlah dalam arti seribu kepala seribu penilaian. Demikian juga pemberian makna oleh pembaca terhadap karya
sastra. Pemberian makna adalah aktivitas yang terus menerus, seperti yang disebut oleh ahli semiotik sastra Michael Riffaterre: semacam
kelingkaran semiotic atau mundur-maju dari nilai tanda yang yang satu ke yang lain, yang merupakan cirri khas praktek pemberian makna yang
disebut puisi. Dalam pikiran pembaca, suatu permulaan yang terus menerus, suatu ketakterputusan yang selesai satu detik muncul lagi detik
yang berikut. Setiap kali art yang terungkap dihidupi kembali. Inilah yang menjadikan sajak tidak henti-hentinya terulang baca dan mempesona:
Ikalau tidak karena adal, atau Itakkan tempua bersarang rendahl, Ikalau tidak karma dindakanda, Itakkan kandajatuh cintal dalam pantun Melayu.
Estetik atau nilai sen ditentukan oleh tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan sikap atau pengalaman seorang
penikmat pembaca yan tetap berubah. Selaku manusia, sepanjang hidupnya tetap berubah terutama pada
latar sosiobudaya dan bahasanya terus berkembang. Kata-kata mendapat makna baru atau kehilangan makna lama. Setiap manusia dalam setiap
saat aktif sebagai pemberi makna, setiap kali dalam situasi baru. Selaku penikmat sastra, rangka pemberian makna sastra berubah terus. Hortison
harapannya atau kompetensinya, atau sistem konvensi yang dikuasainya dipengaruhi atau bergeser oleh pembaca buku baru. Dengan demikian,
kenikmatan estetik ditentukan secara umum oleh tegangan antara penemuan baru dengan pengenalan kembali. Penikat yang seratus
persan baru tidak mungkin, pembaca memerlukan kerangka acuan yang memungkinkannya meahami dan memberi makna yang baru itu.
Sesungguhnya sejak dulu para ahli sastra telah mempertanyakan fungsi sastra bagi manusia. Fungsi sastra yang paling dikenal sejak masa
aristoteles hingga sekarang ialah katharsis. Katharsis mengandung art 4
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
bahwa seni sastra menyucikan jiwa manusia. Dengan menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan dalam hati, seni sastra
memungkinkan pembaca membebaskan diri dari nafsu yang rend ah. Karya seni mempunyai dampak tetapi lewat pemuasan estetik keadaan
jiwa dan budi manusia ditingkatkan sehingga dia menjadi budiman. Berdasarkan konsep katharsis, sejumlah teoritikus sastra
memandang fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan seniman dari tekanan emosi. Mengeksprsikan emosi berarti melepaskan
diri dari emosi itu. Pembaca novel mengalami perasaan lega. Emosi mereka sudah diberi focus dalam karya sastra dan lepas pada akhir
pengalaman estetis dan mendapatkan ketenangan pikiran. Sejalan dengan katharsis, dalam fungsi sastra dikenal istilah
defense mechanism yaitu karya sastra budaya dijaikan alat pertahanan dan perlindungan jiwa. Istilah ini dikenal dalam sastra, terutama dalam
bidang folklore dibawah payung dongeng. Dalam sastra rakyat, sebagai objek folklore, ada dikenal cerita
rakyat yang terdiri dari mite, legenda dan dongeng. Di antara ketiga jenis ini, legenda adalah bentuk yang paling popular dan digemari oleh
penikmat. Bentuk legenda yang digemari pembaca ialah perorangan atau tokoh yang Legenda memiliki hakikat dan fungsi yakni defense
mechanism. Legenda menjasi defense mechanism setelah rumor atau desas-desus yang beredar dalam bentuk kasar telah disublimasikan
dalam bentuk budaya. Penyublimasian sebuah legenda dapat berupa pengukuhan
kebesaran kedudukan seorang raja, protes social, pelepasan ketegangan jiwa dan pelipur lara. Sebagai pengukuhan kebesaran kerajaan, hal itu
terlihat dalam cerita Laksmana Raja Lautan selanjutnya disingkat menjadi: LRL mengenai kebesaran Bilah di Labuhan Batu.
Pada zaman dahulu kala tersebutlah seorang yang bemama Dang Tuanku. la adalah kemenakan Bunda Kanduang dari Minangkabau dan
5
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
setelah dewasa menjadi raja di Bilah Labuhan Batu Sumatera Utara. la mempunyai empat orang anak dan semuanya laki-laki.
Di suatu hari Raja Dang Tuanku memanggil keempat anaknya untuk berkumpul. la merasa keadaannya semakin lemah. Oleh karena itu
keempat anaknya diminta agar segera mencari jodoh dan menikah. Atas perintah ayahnya, keempat anak Raja Bilah berangkat menaiki
galiung semacam perahu yang terbuat dari pohon kayu besar yang bias berlayar untuk mengarungi sungau atau laut lepas. Pertama mereka
berangkat menuju Pekan Baru. Di sana mereka berjumpa dengan anak Raja Siak. Dengan tidak memakan waktu lama anak yang paling tahu dari
Raja Bilah Dang Tuanku kemudian dipinangkan dengan putri Raja Siak yang tertua pula, yang bernama Mahmudsyah.
Secara singkat, setelah perkawinan mereka diselesaikan, lalu mereka segara berangkat ke Selat Malaka dan merekapun sampai di
Negeri Johor. Di negeri ini mereka lalu meminang putrid Negeri Johor untuk anak Dang Tuanku yang kedua. Mereka pun diterimanya dan
dikawinkan dengan putri Raja Johor yang bernama Akbariyah. Begitu selesai acara perkawinannya, lalu berangkat menuju arah pulang dan
singgah di Palembang. Di sana mereka meminang putrid Raja keturunan Sriwijaya justru
putri itupun anak yang ketiga pula. la bernama Muazanayah. Dan perkawinan ini pun segara dilaksanakan. LRL, hal. 1-2
Kutipan singkat di atas menunjukkan bahwa kerajaan Bilah dahulu adalah kerajaan yang memiliki pengaruh yang sangat besar di Sumatera
dan Malaysia, Rajanya bernama Dang Tuanku. Hal ini terlihat dari silsilahnya yang berasal dari keturunan Raja Minangkabau, berbesankan
Raja Siak, Raja Johor, dan Raja Sriwijaya yang seperti diketahui adalah kerajaan-kerajaan besar di Nusantara. Dengan demikian terlihat bahwa
kedudukan kerajaan Bilah sangat kuat dimata kerajaan manapun di Nusantara ini.
6
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
Fungsi legenda pada umumnya, baik yang bersifat budaya maupun social, yang terutama, adalah penglipur hati pendengar yang sedang lara.
Dalam keadaan terhibur, ketegangan batin tersalurkan. Ketegangan batin dapat dikendurkan melalui cerita yang dapat meredakan ketegangan.
Ketenangan akibat mendengarkan legenda dapat memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan social dalam menghadapi keadaan yang
bertentangan, keadaan yang tidak tersangka-sangka, atau perpecahan masyarakat.
Legenda mempunyai kemampuan potensi besar untuk kebaikan dalam hubungannya dengan situasi-situasi masyarakat yang
keburukannya timbul sebagai akibat kebencian dan kecurigaan yang terjadi diantara kelompok-kelompok yang ada didalamnya, sebagaimana
kita hadapi pada masa sekarang ini. Ketenangan yang ditimbulkan oleh legenda dapat berupa kejayaan dalam kecerdasan jiwa bila legenda itu
dapat menyebabkan super ego melihat kenyataan yang diselubungi oleh kecemasan serta kebencian yang rasional dan sejenisnya.
Dengan demikian maka hakikat dan fungsi legenda adalah mekanisme perlindungan diri seseorang defense mechanism. Secara
sosial, salah satu bentuk mekanisme perlindungan jiwa psyche adalah sublimasi. Dengan berlindung kepada legenda, seseorang dapat
menyamari masyarakatnya. Di sini, seseorang dapat menyalurkan agresivitasnya dengan aman tanpa ada kekhawatiran akan tindak oleh
masyarakat. Jiwanya menjadi sejahtera karena masyarakat menyambutnya dengan kenikmatan.
Berdasarkan paparan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji cerita legenda LRL dengan pendekatan psikologi sastra. Pertimbangan ini
penulis ambil karena setelah membaca dan memahami cerita LRL ternyata banyak nilai-nilai psikologis yang dapat dijadikan karharsis bagi
pembacanya sehingga tujuan sastra untuk memanusiakan manusia dapat terwakili melalui cerita tersebut. Pada sisi lain, kajian ini diharapkan dapat
7
Anda Wahyu R : Nilai-Nilai Psikologis Dalam Cerita Laksamana Raja Lautan, 2009. USU Repository © 2009
menjadi salah satu menginventarisasi dan menambah khasanah pengkajian terhadap karya sastra Melayu.
1.2 Perumusan Masalah Untuk lebih memfokuskan penelitian, maka masalah yang hendak
dibahas dalam penelitian ini adalah: sejauh mana nilai-nilai psikologis yang terdapat di dalam LRL.
1.3Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang dicapai dalam peneltian ini adalah sebagai
berikut: 1. Mendeskripsikan struktur pembentuk dalam intrinsic dari cerita
LRL. 2. Menjelaskan nilai-nilai psikoiogis yang terkandung didalam LRL.
1.4 Manfaat Penelitian