Perkembangan Pos pada Masa Penjajahan
1. Perkembangan Pos pada Masa Penjajahan
a. Perkembangan Pos pada Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)(1602-1799)
Kedatangan Belanda di Indonesia menyebabkan adanya surat-menyurat dengan Belanda. Tahun 1596 kedatangan Cornelis de Houtman telah membawa surat-surat untuk raja-raja di Banten dan Jakarta. Meskipun telah ada hubungan surat-menyurat, namun pengiriman surat harus ditujukan kepada pejabat-pejabat resmi dan isinya tidak boleh mengandung pemberitaan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Kompeni yang berdagang di Indonesia. Peraturan ini dilakukan secara keras dan ketat sekali untuk menjaga agar sumber rempah-
commit to user
(Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 1980 : 47). Pada saat itu perhubungan pos belum dapat dikatakan teratur masih tergantung kepada kapal perang Kompeni yang berlayar ke pulau-pulau. Demikian pula halnya dengan perhubungan yang menggunakan perahu atau pedagang. Betapa sulitnya perhubungan kala itu dapatlah dimaklumi berhubung terdapatnya bajak laut di dalam perjalannya. Pada tahun 1633 surat-surat yang datang dari negeri Belanda setelah dicatat oleh jurusita lalu dipertontonkan di Stadsherberg (Gedung Penginapan Kota) sehingga tiap orang dapat memeriksa apakah ada surat baginya. Waktu tempuh surat dari negeri Belanda ke Indonesia waktu itu adalah 9 bulan sedangkan surat dari Jakarta ke Ambonia memerlukan waktu 4 bulan (Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 1980 : 48).
Kantor Pos pertama didirikan di Jakarta oleh Gubernur Jenderal G.W Baron van Imhoff pada tanggal 26 Agustus 1746 dengan tujuan untuk lebih menjamin keamanan surat-surat penduduk, terutama bagi mereka yang berdagang dari kantor-kantor di luar Jawa dan bagi mereka yang datang dari dan pergi ke Negeri Belanda. Setelah Kantor Pos Jakarta didirikan, maka empat tahun kemudian didirikan Kantor Pos Semarang untuk mengadakan perhubungan pos yang teratur antara kedua tempat itu dan untuk mempercepat pengirimannya. Rute perjalanan pos kala itu melalui Karawang, Cirebon dan Pekalongan. Sesudah itu terdapat perhubungan pos yang teratur antara Jakarta dan Priangan dan antara Semarang dengan kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Metro files, 5/11/2011).
b. Perkembangan Pos pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-
Pada pergantian abad secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Hindia Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijin oktroi VOC untuk berusaha di Indonesia ditiadakan. Pada tahun 1798 VOC dibubarkan dan kemudian terjadilah kepindahan tampuk pemerintahan ke pemerintahan Belanda (Sartono Kartodirdjo, 1975: 1).
commit to user
Hindia Belanda. Pembubaran kompeni ini baru terlaksanan pada tahun 1800 yakni setelah berkuasa selama 200 tahun. Meskipun demikian sensor terhadap surat masih terus berjalan dan dilakukan di muka si- alamat oleh Komisi sensor.
Pada tahun 1901 dibentuk sebuah “college” yang terdiri dari komisaris-komisaris Perposan Hindia Belanda untuk menyusun organisasi yang baru. Untuk mempercepat pengiriman surat maka pemilik tanah di tanah-tanah tinggi Jakarta diperintahkan menyediakan 2 ekor kuda pos untuk tiap kampung. Selanjutnya diharuskan dibentuk patroli-patroli untuk menjaga keamanan perhubungan pos (Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 1980 : 52).
Masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels dibuat jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan. Kebijaksanaan ini memang tepat karena dilihat dari segi strategis kemiliteran diperlukan transportasi cepat untuk memungkinkan sistem informasi secara cepat pula. Untuk memenuhi maksud itu dengan tangan besi Daendels merencanakan pembuatan jalan raya pos dengan memanfaatkan jalan-jalan yang sudah ada yang pernah dilalui pasukan Sultan Agung pada waktu menyerang Batavia. Pembuatan “Jalan Raya Pos” pada tahun 1809 dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun. Melalui pembangunan jalan raya Pos ini, maka diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi sosial dan politik Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga dalam bidang administrasi sosial dan mobilitas sosial (Mimbar Indonesia, 1954: 22).
Jalan raya pos terbentang sepanjang pantai utara Jawa dari Barat sampai ke Timur yang dapat dilalui oleh Cikarpos dan cikar-cikar besar yang beroda tinggi. Disepanjang jalan ini didirikan secara teratur stasiun-stasiun pos dan kandang-kandang kuda pada jarak tertentu. Dengan adanya perhubungan darat itu maka perhubungan dan perdagangan bertambah ramai. Perjalanan dari Jawa Barat ke Jawa Timur yang sebelumnya memakan waktu 40 hari dapat diperpendek menjadi 6 hari. Kemajuan ini memberi kesempatan pula untuk memperbaiki perhubungan pos. Daendels lalu mengadakan suatu pos kuda yang teratur, tujuannya yang terutama ialah untuk mempercepat pengiriman laporan-laporan
commit to user commit to user
Tiap bulan Komisaris pos harus mengirimkan laporan tertulis dan memberi pertangung jawaban triwulan kepada Kepala Pos Distrik. Komisaris jalan dan perposan harus mengadakan pemerikasaan lengkap tiap triwulan pada semua Kantor Pos. Bila administrasi dan kasnya terdapat baik, maka buku posnya ditandatangani sebagai tanda telah dilakukan pemeriksaan. Gubernur Jenderal harus diberitahu kalau terjadi kelainan-kelainan. Tiap kwartal komisaris harus memberikan laporan tentang hasil pemerikasaannya kepada Gubernur Jenderal. Selain dengan postillon (pegawai pos), pos dapat dikirimkan dengan perantara pedagang-pedagang yang berpergian dengan mempergunakan kendaraannya sendiri. Semasa pemerintahannya, Daendels juga mengadakan perubahan yang penting dalam pemberian jaminan terhadap rahasia surat. Ia menetapkan bahwa pembukaan surat adalah terlarang (Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 1980 : 58).
c. Perkembangan Pos pada Zaman Inggris di Bawah Raffles (1811-1814)
Perkembangan Pos di bawah kepemimpinan Raffles mempunyai ciri khas yang membawa perubahan-perubahan baru dalam perposan di Indonesia. Peraturan-peraturan baru berlaku bagi Kantor Pos di Pulau Jawa. Setiap orang yang mempergunakan jalan raya pos harus mempergunakan kendarannya sendiri. Meskipun demikian Thomas Stamford Raffles tetap mempertahankan keberadaan kuda pos dengan segala peralatannya beserta kusirnya. Setiap orang yang mau
commit to user commit to user
kata “Bearing Postage” atau “tidak berprangko”. Biaya pengiriman yang belum dibayar dicantumkan pada sampul surat. Penerima harus membayar waktu penyerahan. Bila surat tidak tersampaikan atau penerima tidak mau membayar biaya pengiriman surat, surat tersebut dikirimkan kembali kepada pengiriman yang harus membayar biaya pengiriman surat. Pada waktu itu pula surat-surat yang biaya kirimnya telah dibayar di muka dibubuhi cap yang berteraa “Post Paid” (Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, 1980 : 59).
d. Perkembangan Pos pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1814-
Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan ketentuan-ketentuan baru mengenai tarif pos untuk perhubungan dalam negeri yang merupakan tarif
pengiriman surat antar karesidenan-karesidenan. Tarif Pos didasarkan atas jarak yang harus ditempuh dalam pengangkutan surat dari Kantor Pos pengiriman kepada Kantor Pos penerima. Kantor Pos yang terdapat sepanjang jalan raya pos dari tahun 1810-1832 ialah: Anyer, Serang, Jakarta, Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo dan Besuki. Kantor Pos dari tahun 1835-1845 ialah : Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Magelang, Salatiga, Madiun, Ngawi, Kediri, Bangkalan, Sumenep. Sejak tahun 1875 telah dilakukan pembuatan laporan tahunan. Meskipun laporan tersebut masih sederhana, namun sudah mengandung angka-angka statistik yang penting sekali tentang lalu-lintas pos dan uang. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem informasi pada waktu itu sudah ada. Ini disebabkan karena Inspektur Kepala harus memberitahukan segala sesuatu yang penting dan merupakan data yang dibutuhkan dan ditetapkan oleh Hindia Belanda mengenai Dinas Pos untuk mendapatkan kepastian tentang pelaksanaannya mengenai sasaran yang baik atau tidak. Data dan informasi ini
commit to user commit to user
e. Perkembangan Jawatan Pos Telegraf dan Telepon (PTT) pada Masa Pendudukan Jepang
Sesudah pemerintahan Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala- tentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, pemerintah sipil dilakukan di bawah pimpinan Angkatan perang Jepang. Seperti dalam Mekar Sari 20 Januari 1993 bahwa : “...Jawatan PTT sasuwene masa pendhudhukan jepang kepecah-pecah ngeloni struktur organisasi Pemerintahan Militer Jepang saengga ing wektu iku tinemu Jawatan PTT Sumatra, Jawatan PTT Jawa, Jawatan PTT Sulawesi lan
sapiturute...” Hal ini berarti bahwa Jawatan PTT selama zaman Jepang terpecah-pecah
mengikuti struktur organisasi pemerintahan militer Jepang, sehingga pada masa itu terdapat Jawatan PTT Sumatra, Jawatan PTT Jawa, Jawatan PTT Sulawesi dan sebagainya.
Jawatan PTT selama pemerintahan militer Jepang dikelola semata-mata untuk kepentingan pemerintahan militer Jepang. Peraturan-peraturan pemerintahan Hindia Belanda pada umumnya masih dipergunakan di zaman pemerintahan Jepang. Hanya beberapa perubahan kecil yang dilakukan, ini membuktikan bahwa peraturan-peraturan lama tidak mudah diganti atau diperbaharui. Di bidang perposan yang menonjol ialah adanya peningkatan dalam dinas bank tabungan pos, ini dimaklumi karena pemerintahan militer Jepang
commit to user
: 139).