Islam dan Kemajemukan Agama

B. Islam dan Kemajemukan Agama

Agama Islam diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. sejak tahun 611 M di Mekah, di tengah-tengah masyarakat berpaham politeisme yang terkenal dengan sebutan jahiliyyah. Mereka terbiasa hidup bebas tanpa aturan sehingga kedatangan agama Islam sangat 'menggelisahkan' kehidupan mereka. Maka berbagai gangguan dan ancaman sering mereka lancarkan, antara lain dengan pemboikotan sosial dan ekonomi serta teror fisik dan mental, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad saw. Hal ini membuat Nabi Muhammad saw. beserta pengikutnya melakukan hijrah (pindah) ke Yatsrib pada 622 M.

Ketika itu, lingkungan kehidupan masyarakat Yatsrib sangat beragam (plural) dalam kesukuan, budaya, dan agama. Pluralitas tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai golongan Ketika itu, lingkungan kehidupan masyarakat Yatsrib sangat beragam (plural) dalam kesukuan, budaya, dan agama. Pluralitas tersebut terlihat pada komposisi penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai golongan

profetiknya ―sebelum kehadiran Islam, yaitu Yud aisme (Yahudi), Kristen,

Zoroastrianisme, dan Agama Mekah (penganut politeisme atau dalam istilah al-Qur'an sendiri disebut al-Musyrikûn ) sendiri. 28 Hasan Ibrâhim Hasan,

sejarawan Mesir, mengatakan ada empat golongan dominan ketika Islam datang ke wilayah itu, yakni (1) Muhâjirîn, (2) Anshâr, (3) Kaum munafik dan

musyrik, dan (4) Kaum Yahudi yang tinggal di Madinah. 29 Beragamnya suku, agama, dan kepercayaan masyarakat Yatsrib waktu itu, sering terjadi peperangan dan tidak pernah ada yang mampu menghentikannya. Kedatangan Nabi Muhammad saw. beserta pengikutnya diharapkan oleh penduduk setempat dapat meredakan peperangan yang sering terjadi di antara mereka. Langkah pertama yang Nabi Muhammad saw. ambil adalah dengan membuat sebuah perjanjian yang dikenal dengan

27 Karen Armstrong menyebutkan bahwa Timur Tengah pada saat datangnya Islam, beragama pluralis, di mana kepercayaan saling berdampingan selama berabad-abad. Lihat

Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 3.

28 Lihat tulisan ( entry ) Ismail Raji al-Faruqi dalam Louis Larnya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 54.

29 Hasan Ibrâhim Hasan, Târîkh al-Islâm, (Kairo: Maktabah Nahdhiyat al-Mishriyyah, 1979), Jil. 1, h. 102., sebagaimana dikutip oleh Marzuki Wahid, "Islam dan Pluralisme:

Angan-angan Sosial-Politik Demokratik Piagam Madinah," dalam Sururin, ed., Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam; Bingkai Gagasan yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 98.

"Piagam Madinah" (mîtsâq al-Madînah). Di sini Nabi Muhammad saw. menawarkan suatu "gagasan baru" untuk membentuk suatu tatanan "masyarakat baru" ―dengan meminjam istilah Marzuki Wahid dalam

artikelnya yang berjudul "Islam dan Pluralisme" ―, yang kemudian disepakati

menjadi pegangan hidup bagi "masyarakat kota" yang dinamai Madinah (sebelumnya bernama Yatsrib). 30 Nabi Muhammad saw. mampu mencairkan

bangunan komunalisme masyarakat Yatsrib menjadi sebuah komunitas yang berdaulat dan integrated.

Piagam Madinah tersebut terdiri dari 47 pasal dan pada intinya menggarisbawahi lima hal pokok sebagai dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertama, prinsip persaudaraan dalam Islam (ukhuwah Islamiyah), semua umat Islam dari berbagai latar belakang dan dari berbagai suku pada hakekatnya bersaudara. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang terdiri dari beragam suku, agama, dan bahasa harus saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi yang teraniaya. Keempat, prinsip saling kontrol. Kelima, prinsip

kebebasan beragama. 31 Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah menyebut agama negara. Di sini terlihat

30 Marzuki, "Islam dan Pluralisme," h. 98.

31 Lihat Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), Edisi ke-5, h. 16.

bahwa pada dataran struktural dan politik, Nabi Muhammad saw. berusaha mencari titik pertemuan dengan berbagai golongan di Madinah dengan terlebih dahulu mengakui hak eksistensi kelompok-kelompok dalam dokumen itu, meskipun kemudian ada pelanggaran-pelanggaran.

Apa yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad saw. dalam Piagam Madinah, kemudian diteruskan oleh khalifah kedua, ‘Umar bin

Khathab yang membuat perjanjian dengan penduduk Yerusalem. Perjanjian itu dikenal dengan nama "Piagam Aelia." 32 Secara garis besar, isi Piagam Aelia adalah berupa jaminan keamanan untuk jiwa, harta, gereja salib, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Sehingga secara pasti mereka tidak akan dipaksa untuk meninggalkan agamanya, bahkan mereka memperoleh

kebebasan di bidang ekonomi sekaligus membayar pajak. 33 Para pemimpin dan ulamanya ketika itu, telah lama mengembangkan pluralisme agama yang tidak hanya meliputi kaum Yahudi dan Kristen beserta berbagai aliran dan sektenya secara nyata disebutkan dalam al- Qur'an sebagai Ahl al-Kitab, tetapi mencakup golongan-golongan lain. Kaum Majusi atau Zoroastrian sudah sejak zaman Nabi dipesankan agar

32 Madjid, Islam Doktrin, 193.

33 Madjid, Islam Doktrin,

h. 193-194.

diperlakukan sebagai Ahl al-Kitab, dan itulah yang menjadi kebijakan

Khalifah ‘Umar. 34

Nabi Muhammad saw. dan khalifah ‘Umar telah memberikan teladan menyikapi kemajemukan dan kebebasan beragama, bahkan hubungan agama dengan negara. Piagam Madinah merupakan konstitusi negara Madinah, ketetapan tersebut mengandung makna dan fungsi strategis. Disebut

strategis, karena kebebasan melaksanakan agama dan keyakinan bagi komunitas-komunitas agama yang ada di Madinah dijamin secara konstitusional. Dengan ungkapan lain, kebebasan beragama dijamin oleh negara dan undang-undang.

Nabi Muhammad saw. dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan kepala negara tidak memaksa mereka yang belum muslim untuk menerima Islam. Dengan cara demikian Nabi Muhammad saw. berhasil menciptakan kerukunan antarkomunitas agama di kalangan penduduk Madinah. Bisa disimpulkan bahwa tujuan utama Piagam Madinah adalah membina persatuan dan kesatuan di kalangan penduduk yang berlainan agama serta menghindari terjadinya peperangan sehingga keamanan dan ketentraman dapat diwujudkan.

34 Madjid, Islam Doktrin,

h. lxxix.

Prinsip kebebasan beragama yang tertuang dalam Piagam Madinah telah membuka lembaran baru dalam kehidupan politik dan peradaban dunia saat itu. 35 Artinya, pengakuan prinsip kebebasan beragama ini sebagai hak personal manusia, baik melalui ketentuan wahyu maupun ketetapan Piagam Madinah adalah pertama dalam sejarah kemanusiaan. 36 Dengan fakta ini dapat dibuktikan betapa naifnya klaim yang mengatakan bahwa

kebebasan beragama itu adalah konsep Barat. Konsep kebebasan beragama murni berawal dari agama Islam, bahkan sang Orientalis semacam W. Montgomery Watt menyebut Piagam Madinah sebagai suatu "kesatuan politik tipe baru" (political unit a new type) dan dikatakan sebagai suatu ide

yang revolusioner saat itu. 37

35 Bernard Lewis, The Jews of Islam, (London: Princeton University Press, 1984), buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh M. Sadat Ismail, Yahudi-Yahudi Islam,

(Jakarta: Nizam Press bekerja sama dengan Zikrul Hakim, 2001), h. 14.

36 Pendapat Haikal ini ternyata tidak berlebihan sebab dokumen politik seperti ini belum pernah dialami oleh seorang nabi atau rasul lain dan terbukti berabad-abad setelah

Piagam Madinah, barulah negara-negara modern mencantumkan prinsip kebebasan beragama sebagai salah satu pasal yang penting dalam konstitusinya. Lihat Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad terj. Ali Audah, (Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 1990), cet. ke-11, h. 194-195 dan 199. Sebut saja misalnya Magna Carta (Piagam Agung, 1215) yang dibuat Raja John dari Inggris, Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1689) yang diterima oleh Parlemen Inggris, Bill of Rights (Undang-undang Hak, 1798) yang dirumuskan Rakyat Amerika, Declaration des droits de l'homme et du Citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dari Warga Negara, 1789) yang lahir pada permulaan Revolusi Perancis, The Four freedoms (Empat Kebebasan): [1] kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; [2] kebebasan beragama; [3] kebebasan dari ketakutan; [4] kebebasan dari kemelaratan; yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, dan Declaration of Human Rights (Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948) oleh PBB. Lihat Marzuki, "Islam dan Pluralisme," h. 105.

37 Sebagaiman dikutip oleh Marzuki, "Islam dan Pluralisme," h. 105.

Piagam Madinah dan Piagam Aelia mengisyaratkan bahwa pada dasarnya agama Islam mengajarkan paham kemajemukan keagamaan (religion plurality), agama Islam memiliki sikap yang unik dalam hubungan antaragama, yakni toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan, dan kejujuran.

Kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan

(keniscayaan) yang telah menjadi kehendak Tuhan. Ada perbedaan suku, perbedaan bangsa, perbedaan warna kulit bahkan perbedaan pandangan

hidup dan perbedaan agama. 38 Saling menghormati dan menghargai hendaknya tanpa membedakan ras, suku, bangsa, agama, warna kulit,

" Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal." (QS. Al-Baqarah/ 49: 13).

" Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain- lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui." (QS. Al-Rûm/ 30: 22).

" Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al-Baqarah/ 2: 62).

bahasa, jenis kelamin, gender, dan berbagai ikatan primordial lainnya. Karena keragaman manusia adalah sunnatullah.

Dalam hal pluralitas agama ( religious plurality ) Islam adalah agama yang kitab sucinya secara tegas mengakui eksistensi agama-agama lain. " Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar

beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka

bersedih hati. (QS. Al-Baqarah/ 2: 62). 39 Wahbah Zuhailî menafsirkan ayat di atas dengan menyatakan: "Setiap orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh serta memegang teguh agamanya (apa pun

agamanya), maka mereka termasuk orang-orang yang beruntung." 40 Ayat- ayat itu  termasuk QS. Al-Mâ'idah/ 5: 48 dan QS. Al-Hajj/ 22: 17  tidak menjelaskan semua kelompok agama benar, atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat-ayat ini menegaskan bahwa semua kelompok agama akan

39 Ayat ini diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada QS. Al-Mâ'idah/ 5: 69 dan al-Hajj/ 22: 17.

40 Wahbah Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘A qîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, (Beirût: Dâr al-Fikr al-Mu‘âshir, 1991), Jil. 1, Juz 1, h. 178.

selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. 41 Pengakuan Allah terhadap eksistensi agama-agama yang ada di muka bumi dengan tidak membedakan kelompok, ras, dan bangsa sangatlah jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama agama pada ayat-ayat tersebut, menunjukkan adanya pengakuan al-Qur'an terhadap adanya pluralitas

agama. Pengakuan al-Qur'an ini tidak perlu diartikan dengan pengakuan

kebenaran semua agama dalam bentuknya sehari-hari. 42

Menurut Nurcholish Madjid, ajaran pluralitas agama itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik

secara pribadi maupun secara kelompok. 43 Bahkan setiap kelompok atau umat manusia dibuatkan oleh Tuhan jalan dan tatanan hidup mereka, agar manusia sesamanya berlomba dalam kebaikan. " …Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak

41 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: A khlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 23.

42 Dalam hal ini, bentuk-bentuk nyata keagamaan orang-orang "Muslim" pun banyak yang tidak benar, karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran dasar Kitab Suci al-

Qur'an, seperti sikap pemitosan kepada sesama manusia atau makhluk yang lain, baik yang hidup atau yang mati.

43 Madjid, Islam Doktrin,

h. 184.

menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (Al-Mâ'idah/ 5: 48). Maka yang sangat perlu diperhatikan justru aktivitas umat beragama yang harus ada dalam kategori amal saleh. Berarti pula bahwa agama-agama ditantang untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan dalam bentuk nyata.

Masalah kebebasan beragama juga tidak luput dibahas dalam al- Qur'an. Islam sangat menghormati kebebasan dalam beragama dan

berkeyakinan. Persoalan keimanan adalah persoalan hati, kepercayaan, keyakinan, dan kecenderungan. 44 Karena merupakan kecenderungan dan keyakinan hati, maka proses penyadaran tidak diperkenankan dilakukan dengan pemaksaan dan dengan cara apapun. Penyadaran keimanan harus dilakukan atas dasar pilihan, keinginan, dan tanpa pemaksaan. Bahkan kebebasan berkeyakinan dan beragama menjadi pilar utama dalam relasi

sosial Islam tentang penyebaran dan pendakwahan. 45

" …. dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu" .

" Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan A llah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah/ 2: 256).

Al-Qur'an secara eksplisit telah mengajarkan dalam memilih agama, manusia diberi kebebasan untuk memahami dan mempertimbangkannya sendiri, 46 tanpa ada paksaan maupun rayuan. Jalan hidup untuk beriman dan tidak beriman ditentukan manusia sendiri dengan segala konsekuensinya (QS. Al-Kahfi/ 18: 29 dan QS. Isrâ'/ 17: 15), 47 bahkan Nabi sekalipun tidak memiliki otoritas untuk menentukan keimanan seseorang (QS. Al-Baqarah/ 2:

272). 48 Hidayah datangnya dari Allah dan Nabi diutus untuk mengajar dan membimbing manusia, atau para Rasul yang hanya bertugas menyampaikan

" ……maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (QS. Yûnus/ 10: 99). Lihat juga QS. Yûnûs/ 10: 108.

46 Fathimah, W ahdat al-Adyan,

h. 70-71.

47 { ٢٩ : ١٨ / ﻑﻬﻜﻟﺍ } "... ﺭﹸﻔﹾﻜﻴ ﹾﻠﹶﻓ ﺀﺎﹶﺸ ﻥﻤﻭ ﻥِﻤْﺅﻴﹾﻠﹶﻓ ﺀﺎﹶﺸ ﻥﻤﹶﻓ ﻡﹸﻜﺒﺭ ﻥِﻤ ﱡﻕﺤﹾﻟﺍ ِلﹸﻗﻭ " " Kebenaran itu datangnya dari Tuhan kalian, barangsiapa menghendaki (beriman) maka

berimanlah; dan barangsiapa menghendaki (kafir), maka kafirlah….." (QS. Al-Kahfi/ 18: 29)

" Barangsiapa mencari petunjuk, maka petunjuk itu untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa ingin tersesat, maka ketersesatan itu untuk dirinya sendiri. Seseorang tidak akan pernah menanggung dosa orang lain dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang rasul." (QS. Al- Isrâ'/ 17: 15).

" Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang

memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya….." (QS. Al-Baqarah/ 2: 272) .

risalah-Nya. 49 Allah sekalipun tidak menghendaki semua beriman kepada- Nya (QS. Yûnûs/ 10: 99). Al-Qur'an juga mengajarkan sikap saling menghormati atau toleransi terhadap agama-agama lain. Seorang muslim dilarang melecehkan agama lain. 50 Sikap toleransi beragama hendaknya juga menghormati dan memberikan kebebasan kepada seorang pemeluk agama untuk

melaksanakan peribadatannya sesuai dengan tuntunan ibadah agama yang dianutnya. Karena tiap-tiap agama memiliki cara peribadatannya masing-

masing. 51

49 Seorang Nabi pun tidak memiliki kuasa memberi hidayah kepada manusia, apalagi seorang dai. Maka hendaknya seorang dai tidak memaksa dan mengklaim bahwa

selain orang Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan di tangan mereka. Para dai hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada umat kemudian menyerahkan segalanya kepada umatnya. Al-Banna, Doktrin Pluralisme , h. 40.

" Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (Q. S. Al-

An'âm/ 6 : 108).

" …Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu." (Q. S. Al-Mâ'idah/ 5: 48).

" Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku." (QS. Al-Kâfirûn/ 109: 6).

Pluralitas yang diciptakan Tuhan memberikan makna positif agar umat manusia yang beragam untuk dapat saling berkomunikasi dan menghargai perbedaan dengan cara arif dan bijaksana, toleran, dan saling menghormati satu sama lain. Jika tidak, potensi keragaman itu akan berimpliksi destruktif (bersifak merusak), menciptakan konflik dan ketegangan di antara manusia karena keragamannya baik secara etnis,

bangsa, atau agama. Sebaliknya, manusia tidak harus menghindari keragaman, melainkan hendaknya ditanggapi secara positif. Karena keragaman atau kemajemukan umat manusia adalah kenyataan (keniscayaan) yang telah menjadi kehendak Tuhan.