Departemen Agama dan Kehidupan Beragama di Indonesia
D. Departemen Agama dan Kehidupan Beragama di Indonesia
Departemen Agama RI berdiri pada 3 Januari 1946. Semula lembaga
ini bernama Kementrian Agama, namun sejak 22 Desember 1960 disebut Departemen Agama. 69 Departemen Agama lahir setelah terjadi perdebatan sengit antara nasionalis Islam yang menginginkan Islam sebagai dasar negara dan syariat Islam bisa menjadi Undang-Undang dan hukum positif dan kelompok nasionalis sekuler. Nasionalis Islam berusaha memasukkan kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" sebagai sila pertama Pancasila. Namun kalimat yang
disetujui oleh para anggota PPKI adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa". 70 Tokoh nasionalis sekuler, Syahrir dan Amir Syarifuddin yang belakangan menjadi tokoh komunis, merasa khawatir bila di kemudian hari bisa timbul gejolak, maka mereka berdua mengusulkan dibentuknya
69 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan Tentang Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995),
h. 151.
70 Sukardja, Piagam Madinah,
h. 154.
"Departemen Agama" atau lembaga yang mengatur masalah-masalah agama. 71 Secara yuridis, lahirnya Departemen Agama juga dapat dilihat dari Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga 72 yang mengandung falsafah negara Pancasila dan dari Batang Tubuh UUD 1945 pasal 29. 73 Rumusan-rumusan tersebut merupakan landasan konstitusional kedudukan agama dalam negara RI, dan bisa jadi menunjukkan eratnya hubungan agama dan negara
di RI. Eksistensi Departemen Agama dianggap sebagai kompromi politik permanen antara dua aspirasi: nasionalis dan Islam. Eksistensi Departemen Agama juga dipercaya sebagai kompromi antara nilai kedaulatan Tuhan
(agama) dan nilai kedaulatan manusia (demokrasi). 74 Departemen Agama tidak pernah dijanjikan untuk mengatur satu agama saja, melainkan untuk semua agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Karena dengan disetujuinya Pancasila sebagai dasar negara, maka Indonesia sebenarnya telah menjadi negara sekuler.
71 M. Dawam Rahardjo, Hari Depan Kebebasan Beragama di Indonesia, makalah disampaikan pada seminar "Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia", di Universitas
Paramadina pada 19 Juli 2006.
72 Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi: "Atas berkar rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
73 Sukardja, Piagam Madinah,
h. 154.
74 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 59.
Dengan berdirinya Departemen Agama, urusan-urusan umum pemerintahan di bidang agama, secara terpusat ditangani oleh departemen ini. Selain mengatur enam agama yang diakui pemerintah, departemen ini juga mengatur urusan "Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa", golongan "kepercayaan" tersebut terdiri dari berbagai "aliran kepercayaan". Sungguh pun begitu, hingga kini "kesetaraan" hanya berlaku di antara
agama-agama besar saja, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sementara itu Islam menolak aliran kepercayaan dan agama- agama kecil lainnya, semacam Baha'i, sebagai agama yang diakui. Tapi di sisi lain, Islam mendapat perlakuan lebih dibanding agama-agama yang diakui lainnya. Umat Islam Indonesia merasa diri mayoritas sehingga mereka memiliki hak-hak istimewa.
Padahal, dalam pembangunan sektor agama, kedudukan Departemen Agama adalah implementasi dari Pancasila (khususnya sila pertama), UUD 1945 pasal 29, dan amanat GBHN. 75 Berdasarkan prinsip ini, maka sebenarnya berlaku kesetaraan antara semua agama dan aliran kepercayaan, sehingga tidak ada minoritas maupun mayoritas. Semuanya memiliki hak- hak yang sama, yaitu kebebasan beragama, seperti tercantum dalam pasal 29 (2) UUD 1945 sebagai salah satu kebebasan sipil pada tingkat warga.
75 Ali, Teologi Pluralis,
h. 59.
Departemen Agama dengan sejumlah aturan-aturan yang telah dibuatnya masih terlihat membatasi kebebasan penduduk Indonesia dalam hal beragama. Di antara aturan-aturan itu adalah:
1. Instruksi Menteri Agama RI No. 4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan;
2. Instruksi Menteri Agama RI No. 14 tahun 1978 tentang Tindak Lanjut
Instruksi Menteri Agama RI No. 4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan;
3. Instruksi Menteri Agama RI No. 8 Tahun 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan, dan Pengawasan terhadap Organisasi dan Aliran Dalam Islam yang Bertentangan dengan Ajaran Islam;
4. Surat Menteri Agama RI kepada para Gubernur/ KDH Tingkat I seluruh Indonesia No. B.VI/ 11215/ 1978 perihal Masalah Penyebutan Agama, Perkawinan, Sumpah dan Penguburan Jenazah Bagi Umat Beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan;
5. Surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri No. B.VI/ 5996/ 1980 perihal Perkawinan, Kartu Penduduk, dan Kematian Para Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa;
6. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/ BER/ Mdn-Mag/ 1969 tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
pemeluknya. 76
Keseluruhan perundang-undangan tersebut hendaknya perlu direvisi dengan mengacu kepada substansi ajaran Islam yang rahmah li al-‘âlamîn dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Selain itu, juga
mengacu kepada semangat kebebasan beragama sebagaimana tercantum dalam Pancasila, konstitusi UUD 1945, dan sejumlah kesepakatan internasional yang diratifikasi pemerintah.
Pemerintah RI melalui Departemen Agama sebenarnya telah menetapkan Tiga Prioritas dalam pembinaan kehidupan beragama, yaitu (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antarumat beragama, dan (3) kerukunan antarumat beragama dengan pemerintah. Sebelumnya, pemerintah berusaha untuk menciptakan kerukunan hidup umat beragama diawali pada masa Menteri Agama KH. M. Dachlan pada 30 Nopember 1967 dengan mengadakan Musyawarah Antaragama. Usaha ini kemudian diteruskan oleh Menteri-menteri Agama berikutnya, yaitu H. A. Mukti Ali dan H. Alamsyah Ratu Perwiranegara. Pada masa Menteri Alamsyah-lah
76 Lihat Daftar Lampiran pada Daftar Isi Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan & Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), Edisi ke-7, h. xvi-xviii.
terbentuk Wadah Musyawarah Antarumat Beragama pada tahun 1980 dan dikeluarkannya semacam kode etik hubungan umat beragama. 77 Lembaga ini terbentuk berdasarkan SK. Menteri Agama No. 35 tahun 1980. 78 Menurut Arskal Salim, salah seorang Staf Pengajar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengatakan terdapat berbagai pendekatan yang telah ditempuh Depag dalam menciptakan kerukunan hidup beragama di
Indonesia selama pemerintahan Orde Baru. 79 Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, harus diakui perkembangan hubungan antarumat beragama saat ini mencapai kemajuan yang cukup berarti daripada 30 tahun silam. Di antara pendekatan yang telah dilakukan Depag adalah (1) pendekatan pragmatis, (2) pendekatan legalistik, (3) pendekatan kultural, dan (4)
pendekatan sosio-institusional, dan (5) pendekatan teologis. 80 Pendekatan pragmatis dan legalistik. Pendekatan pragmatis atau lazim dikatakan security approach biasa diambil setiap kali terjadi ketegangan antarumat beragama. Ketegangan antarumat beragama dapat diatasai
77 H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1982), h. 13.
78 Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan,
h. 4.
79 M. Arskal Salim G. P., "Depag dan Pembagunan Kerukunan Beragama", dalam Nur Achmad, ed. Pluralitas A gama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Kompas, 2001), h.
80 Salim, "Depag dan Pembagunan", h. 128.
seketika dan hanya tampak di permukaan, sementara di balik permukaan masih tersimpan gejolak dan dendam yang sewaktu-waktu dapat meletup. Pendekatan ini cenderung bersifat reaktif dan hanya berguna untuk jangka pendek.
Pendekatan legalistik merupakan kelanjutan dari security approach. Pendekatan ini mengandaikan bahwa kerukunan antarumat beragama harus
dijalin dengan sejumlah peraturan perundang-undangan. Contoh hasil dari pendekatan ini adalah dengan adanya sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama dilegalisasi dalam bentuk Surat Keputusan Beragama (SKB) Menteri.
Pendekatan sosio-institusional dan kultural. Pendekatan sosio- institusional diupayakan dengan dilatarbelakangi asumsi bahwa pemuka agama mempunyai otoritas dan kedudukan terhormat dalam struktur komunitas setiap pemeluk agama. Dan pada perkembangan selanjutnya, pemuka agama ini melembagakan diri menjadi majelis-majelis setiap agama. Pendekatan ini pada akhirnya terjebak pada pembinaan kehidupan antarumat beragama yang cenderung bersifat top down. Contoh lembaga yang terbentuk dengan pendekatan ini adalah Wadah Musyawarah Antarumat Beragama yang berdiri pada tahun 1980.
Pendekatan kultural ditandai dengan sejumlah prakarsa acara dialog antara umat beragama. Pendekatan ini didasari pandangan bahwa dialog merupakan sarana yang tepat untuk mencari titik temu yang dapat menjadi saling mengerti dan bekerja sama di antara umat beragama. Inisiatif dialog ini akan terwujud apabila didasari rasa keinsyafan alamiah yang benar-benar menginginkan sebuah kehidupan yang rukun damai, bukan dialog yang
dihasilkan dari rekayasa, arogansi, atau pun intervensi. Pendekatan teologis. Pendekatan ini dibangun dari ketaatan dan penghayatan setiap umat beragama dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Dengan kata lain, pendekatan ini menghendaki agar hasrat dan kebutuhan terhadap kehidupan yang rukun dan damai haruslah bertolak dari tuntutan iman keagamaan, dan bukannya berasal dari tuntutan
pragmatis semata. 81
Pemaknaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia harus dimulai dari pengakuan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 29 UUD 1945. Agama adalah persoalan individu, bukan persoalan negara. Kerukunan dan harmoni antarumat beragama memang dapat diprakarsai oleh Departemen Agama sebagai lembaga negara, khususnya dalam pemberian dorongan motivasi dan penyediaan fasilitas bukan
81 Penjelasan dari masing-masing pendekatan ini, penulis rangkum dari tulisan Salim, "Depag dan Pembangunan", h. 128-132.
menerapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara. Namun, menyangkut pengamalan dan pengembangannya harus dijalankan oleh setiap umat beragama itu sendiri.
BAB IV
TELAAH TERHADAP PENAFSIRAN DEPARTEM EN AGAM A TENTANG AYAT-AYAT PLURALISM E AGAMA