Pluralisme Agama di Indonesia

C. Pluralisme Agama di Indonesia

Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan berbagai suku, agama, etnis, dan kelompok-kelompok sosial yang dimiliki. Walaupun Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini, namun terdapat agama-agama lain seperti Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan

Konghucu 52 .

52 Agama Konghucu diakui oleh pemerintah pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan dikeluarkannya Kepres No. 6 Tahun 2000 yang

mencabut Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Meskipun Inpres tersebut tidak secara eksplisit mencabut pengakuan terhadap eksistensi agama Konghucu, namun dalam praktek di lapangan kesan pengingkaran terhadap agama

Kenyataan kemajemukan dalam sejarah nusantara telah ada sejak datangnya agama ke daerah-daerah berkepercayaan animis para penganut Hindu, lalu Budha, dan belakangnya baru Islam, Protestan, Katolik, dan sebagainya. Proses Hinduisasi dan Budhanisasi, lalu Islamisasi, dan Kristenisasi pun berlangsung tidak merata dan perlahan-lahan.

Masalah yang mengganjal hubungan Muslim-Kristen di Indonesia

adalah kenyataan dan persepsi keterkaitan antara Kristenisasi dan Kolonialisme (Portugis, Inggris, dan Belanda). Kebijakan umum pemerintah kolonial Belanda, khususnya dalam dasawarsa pertama abad ke-20, ialah mendukung peribadatan agama Kristen dengan membatasi pengaruh agama

Islam, seperti terjadi di Flores, Sumba, Timor, Toraja, dan Papua. 53 Pemerintah Belanda tidak bersikap netral di bidang agama. Hubungan kolonialisme Belanda  yang diidentikkan dengan Kristen  dan Islam Indonesia mengalami ketegangan-ketegangan yang berbekas hingga

Konghucu sangat dirasakan sehingga hak-hak sipil penganut agama Konghucu menjadi terabaikan, seperti masalah perkawinan di mana Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat, tidak memperoleh pendidikan agama Konghucu di sekolah, perayaan hari raya, dan sebagainya. Dengan terbitnya Kepres No. 6 Tahun 2000, maka hak-hak sipil penganut agama Konghucu dipulihkan kembali. Lebih jelasnya lihat Rumadi, “ Agama dan Negara: Regulasi Kehidupan Beragama di Indonesia” , dalam Sururin, ed., Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam; Bingkai Gagasan yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 89-90.

53 Karel Steenbrink, Orang-orang Katolik di Indonesia 1808-1942, (Maumere: Ledalero, 2006), Jil. II, h. 149; sebagaimana dikutip oleh Muhammad Ali, dalam makalahnya " Mengapa

Membumikan Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia," makalah disampaikan pada Diskusi Publik "Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia," pada 19 Juli 2006 di Universitas Paramadina.

sekarang dalam memori sejarah sebagian umat Islam. 54 Terlebih lagi di masa Politik Etis, sumbangan dari pemerintah Belanda kepada lembaga Kristen menunjukkan angka yang sangat kontras dengan lembaga Muslim. 55 Hal ini mungkin yang menimbulkan "kecemburuan" dari pihak Muslim. Menjelang kemerdekaan tahun 1945, dalam proses perumusan dasar negara pun terjadi polarisasi pemikiran politik, terutama dalam sidang-

sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perdebatan ini umumnya dipengaruhi oleh tiga ideologi, yaitu: ideologi Islam, ideologi kebangsaan/ nasionalisme, dan ideologi Barat sekuler. Kelompok pendukung ideologi Islam mengusulkan agama Islam menjadi dasar negara sekaligus juga menjadi agama resmi negara dan konsekuensinya harus ada kewajiban negara menjalankan syariat Islam

bahkan mengusulkan agar presiden harus beragama Islam. 56

54 Hubungan antara Kristen dan Islam di Indonesia merupakan persoalan yang senantiasa muncul di permukaan dengan wajah yang seringkali kurang ramah atau bahkan

mengerikan dengan merenggut korban, baik materi (seperti pemusnahan rumah ibadah) maupun jiwa. Kasus Ambon yang hingga kini masih membara merupakan contoh aktual dari problematika hubungan Islam-Kristen, meskipun tentu aroma politiknya pun sangat kuat. Abd. Rohim Ghazali, "Hikmah Puasa: Perspektif Kerukunan Antarumat Beragama", dalam Nur Achmad, ed., Pluraritas Agama: Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Kompas, 2001), h.215.

55 Martin L. Sinaga, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), h. 7.

56 A.M.W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1985), h. 48.

Sementara itu, kelompok ideologi kebangsaan/ nasionalisme mengusulkan

persatuan Indonesia, kekeluargaan, kerakyataan, kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar negara, bukan agama tertentu. Karena itu, negara tidak perlu didasarkan pada agama tertentu dan tidak perlu pula mengakui agama tertentu sebagai agama resmi negara.

prinsip-prinsip

kebangsaan,

Sebaliknya, kelompok pendukung ideologi Barat sekuler menghendaki adanya pemisahan yang tegas antara urusan negara dan agama. 57 Perdebatan seputar isu dasar negara tadi melahirkan dua kelompok besar dalam BPUPKI, yaitu kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Kelompok pertama menginginkan ideologi kebangsaan bagi negara, karena Indonesia merdeka atas perjuangan seluruh rakyatnya tanpa membedakan agama, ras, suku, dan golongan. Sebaliknya kelompok kedua menghendaki ideologi agama, yaitu Islam sebagai dasar negara. Kristen juga bersikap keras mendukung pemikiran nasionalis sekuler, sehingga selalu berseberangan dengan aspirasi politik Islam. Hal ini kemudian mempengaruhi hubungan antara kedua agama.

57 Pranarka, Sejarah Pemikiran,

h. 48.

Ketegangan antara kedua agama itu akhirnya mencair 58 ketika organisasi

Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi besar Islam lainnya serta sejumlah tokoh penting umat Islam, tidak mendukung gagasan dan usaha

sosial keagamaan

seperti

untuk mendirikan negara berdasarkan agama. 59 Mereka mengakui pluralitas bangsa Indonesia baik dari segi agama, budaya, dan etnisitas yang tetap

mengambil Pancasila sebagai dasar negara, dengan cara yang lebih terbuka

melihat ideologi itu. 60

Isu kebebasan beragama juga menjadi perdebatan hangat dalam tubuh BPUPKI seperti tercantum dalam pasal 29 UUD 1945. Menarik sekali bahwa persoalan kebebasan beragama ini tidak pernah tuntas diperdebatkan sejak rapat-rapat di BPUPKI tahun 1945 sampai sekarang, perdebatan mengenai itu

58 Mencair di sini bukan berarti hubungan kedua agama Islam dan Kristen menjadi harmonis terus tanpa ada konflik atau perdebatan seputar dasar negara di kemudian hari,

melainkan hanya bersifat temporal dan sewaktu-waktu perdebatan semacam itu bisa meuncul kembali. Perjalanan sejarah Indonesia mencatat bahwa tarik ulur kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar begara bukan hanya berlangsung di lembaga Konstituante tahun 1945 seperti uraian di atas, melainkan berlansung sepanjang sejarah republik ini, baik dalam bentuk perjuangan membentuk negara Islam atau pun dalam bentuk perjuangan mengembalikan atau memasukkan "tujuh kata"  dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya  Piagam Jakarta ke dalam konstitusi, seperti dalam Sidang tahunan MPR Tahun 2000 di era reformasi. Bahkan ada pula yang mencoba memasukkan melalui gerakan bersenjata. Lebih jelasnya silakan baca M. Amien Rais, "Islam dan Negara di Indonesia: Mencari Akhir Pencarian", dalam Umar Basalim, Pro- Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2002), h. XV-XVI.

59 Karlina Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme Islam di Indonesia: Ke Arah Dialog Lintas Agama, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah & KAS, 2003), h.

60 Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme,

h. 10.

tidak pernah surut. 61 Rancangan awal pasal 29 dalam UUD 1945 BPUPKI berbunyi: " Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" . Rumusan ini kemudian mengalami perubahan dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945 menjadi: " Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha

Esa" . 62 Rumusan tersebut dengan menghilangkan tujuh kata (dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) yang justru dipandang prinsip bagi kalangan nasionalis Islam. Rumusan terakhir inilah yang dipakai dalam konstitusi Indonesia sampai sekarang, tidak mengalami perubahan meskipun telah empat kali mengalami amandemen, yaitu pada tahun-tahun: 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Pilihan para pendiri republik ini ( the founding fathers ) dengan menjadikan Pancasila dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ideologi negara dan disepakatinya prinsip kebebasan beragama dalam pasal

29 ayat (1) & (2) UUD 1945 menunjukkan bahwa pada umumnya para pemimpin Islam lebih memilih reformis, ketimbang pola sekularis dan tradisionalis. Dengan pilihan ini yang dikehendaki adalah bagaimana

61 Siti Musdah Mulia, "Menuju Kebebasan Beragama di Indonesia", makalah disampaikan pada seminar " Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia" di Universitas

Paramadina Jakarta, pada 19 Juli 2006, h. 3.

62 Musdah, "Menuju Kebebasan", h. 3.

prinsip-prinsip ajaran Islam yang sudah terangkum dalam Pancasila menjadi landasan berpijak bagi pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara di Indonesia sehingga terwujud sistem pemerintahan yang adil, terbuka, demokratis, dan egalitarian.

Dewasa ini, masalah pembatasan dan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia ternyata masih belum berkurang secara signifikan.

Meskipun Ideologi dan Konstitusi Indonesia di satu sisi menunjukkan adanya jaminan konstitusi, tapi di sisi lain dapat menutupi kenyataan masih tegangnya hubungan antarkomunitas agama dan antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat hingga saat ini. Kekerasan atas nama agama meskipun secara geografis terjadi tidak merata, namun kasus-kasus lokal begitu cepat menjadi masalah-masalah nasional bahkan internasional. Misalnya, kekerasan fisik oleh jaringan teroris dalam bentuk teror bom di Bali (2002) dan Jakarta (2003, 2004), oleh kelompok militan etnis-agama. Begitu juga di Ambon dan Poso dari 1999 hingga 2003, sering terjadi konflik antaragama.

Pembatasan dan pelarangan kebebasan beragama juga dialami oleh kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lokal, seperti komunitas Adat Karuhun di Cigugur, Kuningan. Komunitas Adat Karuhun tidak diakui hak- hak dan kebebasan mereka dalam urusan mereka sehari-hari, seperti Pembatasan dan pelarangan kebebasan beragama juga dialami oleh kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lokal, seperti komunitas Adat Karuhun di Cigugur, Kuningan. Komunitas Adat Karuhun tidak diakui hak- hak dan kebebasan mereka dalam urusan mereka sehari-hari, seperti

tertanggal 16 Desember 1966. 65 Karena dalam hal beribadahnya, mereka lebih dekat pada tradisi Hindu. Cukup mengherankan kenapa pemerintah selalu menuding agama atau kepercayaan tersebut sebagai agama sempalan yang harus kembali kepada agama induknya. Sebaliknya, menurut para penganut kepercayaan lokal ( indegenous belief ) tersebut justru agama dan kepercayaan merekalah yang seharusnya disebut sebagai agama asli ( indigenous religion )

atau agama induk. 66 Sebab, agama-agama besar: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha justru semuanya adalah agama import. Jauh sebelum

63 Ahmad Baso, "Agar Tidak "Memayoritaskan Diri", Tentang Islam, Pluralisme & HAM Kultural", dalam Sururin, ed., Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam; Bingkai Gagasan yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 30.

64 MH. Nurul Huda, "Multikulturalisme Dalam Bayang-bayang "Historiografi Resmi/ Nasional", dalam Sururin, ed., Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam; Bingkai Gagasan yang

Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 164.

65 Huda, "Multikulturalisme Dalam", h. 162.

66 Musdah, "Menuju Kebebasan", h. 9.

kelima agama tadi datang ke Indonesia, agama dan kepercayaan lokal mereka anut sudah hidup ribuan tahun di Nusantara ini.

Kasus yang belakangan ini terjadi adalah penyerangan dan pelarangan terhadap Ahmadiyah. Hak-hak mereka dibatasi dari soal pembangunan tempat ibadah hingga persoalan ibadah haji. Di Lombok (10-13 September 2002), Tasikmalaya, Kuningan, Jawa Barat (23 Desember 2002), dan yang

baru-baru ini di Parung, Bogor (15 Juli 2005), mereka mengalami pengusiran dan pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah mereka. 67 Padahal Ahmadiyah sudah mendapat status hukum oleh Pemerintah RI, yaitu berdasarkan SK. Menteri Kehakiman No. JA 5/ 23/ 13, tertanggal 13 Maret

67 Sebagaimana pernah terjadi pada 15 Juli 2005, sebagian kelompok radikal Islam yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam (GUI) yang dipimpin oleh Habib

Abdurrahman Assegaf menyerang dan membubarkan kegiatan tahunan Jemaat Ahmadiyah di kampus Mubarok (Parung-Bogor) bahkan menutup masjid-masjid mereka. Jamaah ini dianggap aliran sesat dalam Islam, karena menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad saw. Apalagi setelah adanya fatwa sesat atas aliran ini pernah dilontarkan MUI (Majlis Ulama Indonesia) melalui SK. MUI No. 05/ Kep/ Munas/ MUI/ 1980, seolah-olah menjadi amunisi kelompok-kelompok yang selama ini membenci Ahmadiyah. Dan baru-baru ini hasil Munas MUI ke-7 menghasilkan 11 fatwa yang diumumkan pada 28 Juli 2005, yang salah satu isinya "MUI mengharamkan aliran Ahmadiyah". Lihat Subhi Azhari, "Sesatkah Ahmadiyah", dalam Ahmad Suaedy, et. al., Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The WAHID Institute, 2006), h. 224-233; Abdullah Ubaid, "Ahmadiyah, Perbedaan, dan Tajdid Paradigma", dalam Ahmad Suaedy, et. al., Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The WAHID Institute, 2006), h. 220-223; dan Lampran 4, "11 Fatwa MUI, Mulai Imam Perempuan Hingga Liberalisme", dalam Ahmad Suaedy, et. al., Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The WAHID Institute, 2006), h. 263-264.

1953. Ahmadiyah juga diakui sebagai oragnisasi kemasyarakatan melalui surat Direktorat Hubungan Kelembagaan Politik No. 75/ / D.I./ VI/ 2003. 68 Akibat konkret dari seluruh kebijakan pemerintah yang hanya mengakui enam agama di Indonesia menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap para penganut kepercayaan di Indonesia. Pada pasal 29 (2) UUD 1945: " Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" . Pernyataan ini dapat diartikan bahwa agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang dijamin kebebasannya dalam kehidupan masyarakat. Realitas empirik di masyarakat memang membedakan antara agama dan kepercayaan. Pembedaan ini semakin kuat setelah pemerintah mengakui aliran kepercayaan sebagai entitas yang berdiri sendiri lepas dari agama. Dengan pengakuan ini, berarti kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh pula pengakuan dan jaminan kebebasan melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaannya itu.

Namun dalam perkembangannya, pemerintah tidak lagi mengakui kepercayaan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan memandangnya sebagai suatu budaya. Pasal 29 (2) UUD 1945 tentang "agamanya dan kepercayaannya itu", pengertian "kepercayaan" yang

68 Happy Susanto, "Radikalisasi Terhadap Kebebasan Beragama", dalam Ahmad Suaedy, et. al., Kala Fatwa Jadi Penjara, (Jakarta: The WAHID Institute, 2006), h. 175.

pada dasarnya dimaksudkan untu para penganut kebatinan/ kerohanian dipelintir menjadi berarti "agama" (yang diakui negara). Selanjutnya, pemerintah mengajak bahkan setengah mendesak para penganut aliran kepercayaan agar kembali ke agama induk mereka. Namun, para penganut aliran kepercayaan menolak dikembalikan ke agama induk yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha serta yang baru-

baru ini adalah Konghucu. Mereka menganggap justru agama merekalah yang pantas disebut sebagai agama induk karena telah lama eksis di Nusantara yang ketika itu belum menjadi negara Indonesia.

Masalah-masalah di atas hendaknya menyadarkan semua pihak untuk sama-sama urun rembuk sungguh-sungguh membangun kehidupan beragama yang bebas dan bertanggung jawab seperti maksud sesungguhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah, para penganut agama, dan para penganut aliran kepercayaan hendaknya bekerja sama dalam membangun komunikasi dan hubungan yang baik dalam mewujudkan kehidupan yang bebas, damai, dan bertanggung jawab serta selalu dalam kerangka hukum. Pemerintah hendaknya mampu merekonsiliasi perbedaan dan kesamaan yang ada. Permasalahan- permasalahan yang juga perlu didiskusikan adalah bagaimana menyikapi kemajemukan agama-agama baru, gerakan-gerakan agama baru (sekte), dan Masalah-masalah di atas hendaknya menyadarkan semua pihak untuk sama-sama urun rembuk sungguh-sungguh membangun kehidupan beragama yang bebas dan bertanggung jawab seperti maksud sesungguhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah, para penganut agama, dan para penganut aliran kepercayaan hendaknya bekerja sama dalam membangun komunikasi dan hubungan yang baik dalam mewujudkan kehidupan yang bebas, damai, dan bertanggung jawab serta selalu dalam kerangka hukum. Pemerintah hendaknya mampu merekonsiliasi perbedaan dan kesamaan yang ada. Permasalahan- permasalahan yang juga perlu didiskusikan adalah bagaimana menyikapi kemajemukan agama-agama baru, gerakan-gerakan agama baru (sekte), dan