Penafsiran Ayat-ayat Kebebasan Beragama

B. Penafsiran Ayat-ayat Kebebasan Beragama

Berbicara tentang kebebasan beragama dalam Islam bisa dimulai dengan merujuk pada firman-firman Alllah. Banyak sekali ayat-ayat al- Qur'an yang bisa dijadikan titik tolak untuk berbicara tentang kebebasan

beragama. Diantaranya yaitu: 43

42 Muhammad Jamâl al-Dîn al-Qâsimiy, Tafsîr al-Qâsimiy atau dikenal dengan Mahâsin al-Ta'wîl, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), Jil. 7, h. 237.

43 Di sini penulis hanya mengambil contoh empat ayat utama yang akan di bahas dalam sub bab "Kebebasan Beragama." Selain secara garis besar empat ayat yang dipilih 43 Di sini penulis hanya mengambil contoh empat ayat utama yang akan di bahas dalam sub bab "Kebebasan Beragama." Selain secara garis besar empat ayat yang dipilih

" Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar

kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

Sabab Nuzul: Riwayat Abû Daud, Ibnu Hibbân, al-Nasâ'î, al-Suddî, dan Ibnu Jarîr telah menyebutkan sebab turun ayat 256 ini, seorang lelaki bernama Abû al-Husain dari keluarga Bani Salîm ibn ‘Auf mempunyai dua orang anak laki-laki yang telah memeluk agama Nasrani, sebelum Nabi Muhammad saw. diutus sebagai nabi. Kemudian anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam) maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk Islam, dia berkata kepada mereka, "Saya tidak akan membiarkan kamu berdua hingga masuk Islam." Mereka lalu mengadukan hal itu kepada Rasûlullâh saw. dan ayah mereka berkata, "Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka, dan aku hanya melihat saja?" maka

memang berbicara tentang kebebasan beragama, ayat-ayat ini juga yang paling sering digunakan oleh para peneliti sebelumnya dalam menjelaskan tentang kebebasan beragama. Namun penulis juga menggunakan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan pembahasan, untuk menunjang penjelasan dari empat ayat utama yang telah dipilih.

turunlah ayat ini, sang ayah membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula. 44 Tim Tafsir Depag RI menafsirkan ayat di atas dengan tidak dibenarkan adanya paksaan untuk menganut agama Islam. Kewajiban seorang Muslim hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia dengan cara yang baik dan penuh kebijaksanaan, serta dengan nasihat-nasihat yang wajar,

sehingga mereka masuk agama Islam dengan kesadaran dan kemauan

sendiri (al-Nahl/ 16: 125). 45

Apabila seorang Muslim sudah menyampaikan kepada mereka dengan cara yang demikian, tetapi mereka itu juga tidak mau beriman, itu bukanlah urusan dia , melainkan urusan Allah. Seorang Muslim tidak boleh memaksa mereka. Dalam ayat yang lain (Yûnûs/ 10: 99) Allah berfirman yang artinya: “ Apakah engkau ingin memaksa mereka hingga mereka itu menjadi orang-

orang yang beriman? ” 46

Allah swt. tidak membolehkan adanya pemaksaan keimanan kepada siapapun, tetapi keimanan dilakukan atas dasar pemilihan (kebebasan

44 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 355.

45 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 355.

46 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 355.

memilih) dan kerelaan. 47 Menurut Rasyîd Ridhâ, iman/ keimanan adalah akar agama dan unsur pokoknya adalah ketundukan/ kepasrahan ( idz‘ân ) jiwa. Tidak mungkin ketundukan jiwa itu muncul (ada) akibat adanya paksaan

maupun pemaksaan. 48

Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, menafsirkan Tidak ada paksaan dalam agama adalah menyangkut penganutan akidah. 49 Jika seseorang

telah memilih satu akidah, misalnya akidah Islam, maka dia terikat dengan tuntunannya dan berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya. Dia

terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. 50

Muhammad Husain al-Thabâthabâ'î berpendapat bahwa karena agama merupakan rangkaian ilmiah yang diikuti amaliah (perwujudan perilaku) menjadi satu kesatuan i‘tiqâdiyah (keyakinan) yang merupakan persoalan hati, maka bagaimanapun agama tidak bisa dipaksakan oleh siapa

pun. 51

47 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Jil. 1, h. 299.

48 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), Juz 3, h. 31.

49 Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 1, h. 551.

50 Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 1, h. 551.

51 Muhammad Husain Thabâthabâ'î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur'ân, (Beirût: Mu'assasah al-A‘lamî li al-Mathbû‘ât, 1983), Juz II, h. 342.

Tim Tafsir Depag RI lebih lanjut menjelaskan dengan datangnya agama Islam maka jalan yang benar sudah tampak dengan jelas dan dapat dibedakan dari jalan yang sesat. Maka tidak boleh ada pemaksaan untuk beriman, karena iman adalah keyakinan dalam hati sembari tak seorang pun dapat memaksa hati seseorang untuk meyakini sesuatu, apabila dia sendiri tidak bersedia. Ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan kenabian Muhammad

saw. sudah cukup jelas. Maka terserah kepada setiap orang, apakah akan beriman atau kafir, setelah ayat-ayat itu sampai kepada mereka. Inilah etika

dakwah Islam. 52

Ayat ini turun kira-kira pada tahun ketiga sesudah hijrah, yaitu setelah umat Islam memiliki kekuatan yang nyata dan jumlah mereka telah bertambah banyak, namun mereka tidak diperbolehkan melakukan paksaan terhadap orang-orang yang bukan muslim, baik paksaan secara halus, apalagi dengan kekerasan.

Di berbagai daerah yang telah dikuasai kaum muslimin, orang yang belum menganut agama Islam diberi hak dan kemerdekaan untuk memilih: apakah mereka akan memeluk Islam ataukah akan tetap dalam agama mereka. Jika mereka memilih untuk tetap dalam agama semula, maka mereka diharuskan membayar “ jizyah” yaitu semacam pajak sebagai imbalan

52 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 355.

dari perlindungan yang diberikan Pemerintah Islam kepada mereka. Keselamatan mereka dijamin sepenuhnya, asal mereka tidak melakukan

tindakan-tindakan yang memusuhi Islam dan umatnya. 53

Ini merupakan bukti yang jelas bahwa umat Islam tidak melakukan paksaan, bahkan tetap menghormati kemerdekaan beragama, walaupun terhadap golongan minoritas yang berada di daerah-daerah kekuasaan

mereka. Sebaliknya dapat kita lihat dari bukti-bukti sejarah, baik pada masa dahulu maupun pada zaman modern sekarang ini, betapa malangnya nasib umat Islam, apabila mereka menjadi golongan minoritas di suatu negara.

Ayat ini selanjutnya menerangkan bahwa barangsiapa yang tidak lagi percaya kepada Tagut, atau tidak lagi menyembah patung, atau benda yang lain, melainkan beriman dan menyembah Allah semata-mata, maka dia telah putus. Iman yang sebenarnya adalah iman yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lidah dan diiringi dengan perbuatan. Itulah sebabnya maka pada akhir ayat, Allah berfirman yang artinya: "Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Artinya Allah senantiasa mendengar apa yang diucapkan, dan Dia selalu mengetahui apa yang diyakini dalam hati,

53 Sebagaimana kita ketahui, umat Islam yang berada di tanah airnya sendiri atau menetap di negara Islam lainnya berkewajiban untuk memberikan zakat, di samping itu juga

memberikan sedekah dan sumbangan kepada fakir miskin, mereka berkewajiban pula ikut berperang pada saat negara diserang musuh. Sedang orang kafir ( dzimmi ) yang berada di negara Islam, tidak diwajibkan untuk berzakat dan berperang. Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah sebagai jaminan keamanan jiwa dan harta mereka (lihat surah al-Taubah/ 9: 29).

dan apa yang diperbuat oleh anggota badan. Allah akan membalas amal seseorang sesuai dengan iman, perkataan, dan perbuatan mereka masing-

masing. 54 QS. Al-Baqarah/ 2: 256 ini secara gamblang menerangkan konsep kebebasan beragama dalam ajara Islam. Agama Islam tidak dipaksakan kepada siapa pun karena memang tidak bisa dan tidak boleh. Keagamaan

seseorang tidak akan diterima, kecuali apabila ia menerimanya dengan kemauan sendiri secara bebas dan bertanggung jawab.

Kehidupan duniawi seseorang merupakan satu ujian di mana ia diberi kebebasan untuk memilih antara yang benar dan salah. Suksesnya seseorang hidup abadi di akhirat tergantung pada perbuatannya di bumi, apakah ia dengan kemauan sendiri menerima kebenaran dan mengikuti jalan Allah, atau menolak dan memilih jalan setan. Karena telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah.

b. Q. S. Yûnûs/10: 99

54 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 356.

" Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya

mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah…."

Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah berkehendak agar seluruh manusia beriman kepada-Nya, maka hal itu akan terlaksana, karena untuk

melakukan yang demikian adalah mudah bagi-Nya. Tetapi Dia tidak menghendaki yang demikian. Dia berkehendak melaksanakan Sunnah-Nya

itu kecuali jika Dia sendiri yang menghendakinya. Di antara Sunah-Nya ialah memberi manusia akal, pikiran, dan perasaan yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, baik untuk dirinya, untuk orang lain maupun untuk alam semesta ini. Kemudian amal perbuatan manusia diberi balasan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya itu; perbuatan baik dibalas dengan pahala dan perbuatan jahat dan buruk dibalas dengan

siksa. 55 Rasyîd Ridhâ menjelaskan bahwa Allah swt. mengutus para rasul untuk menyampaikan ajaran dan mengajak umat manusia untuk beriman kepada-Nya. Tidak ada celaan bagi salah seorang rasul tersebut jika ada umat manusia yang tidak beriman kepada Allah. Karena tidak ada seorangpun

55 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 4, h. 367.

akan beriman kecuali dengan izin Allah. 56 Ayat afa'anta tukrihu al-nâs dalam bentuk kalimat istifhâm (pertanyaan) menginformasikan bahwa pemaksaan dalam hal keimanan bisa saja terjadi, namun yang menentukan seseorang beriman adalah Allah swt., karena Dia-lah yang Mahakuasa memberikan

petunjuk dalam hati setiap hamba-Nya, untuk beriman atau tidak. 57 Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah, menjelaskan bahwa

manusia diberi kebebasan dalam menganut agama sesuai dengan keyakinannya. 58 Ayat di atas mencontohkan dengan umat Nabi Yunus as. yang tadinya enggan beriman kepada Allah swt. atas kehendaknya sendiri, namun atas kehendaknya sendiri pula akhirnya mereka sadar dan beriman

kepada Allah sehingga Allah tidak menjatuhkan siksa-Nya. 59 Agama Islam pada dasarnya memberikan kebebasan untuk memilih, dari hal yang sekecil-kecilnya—misalnya kita boleh memilih untuk menjawab ya atau tidak, menulis dengan tangan kiri atau kanan—sampai yang sebesar- besarnya yaitu memilih beriman atau tidak beriman, bahkan Nabi sekalipun tidak memiliki otoritas untuk menentukan keimanan seseorang. Hidayah

56 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Juz 11, h. 404.

57 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Jil. 2, h. 359.

58 Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 6, h. 161.

59 Kebebasan memilih agama yang dilakukan umat Nabi Yunus as. itu bukan bersumber dari kekuatan mereka (manusia) sendiri, melainkan kehendak dan anugerah

Allah. Shihab, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 6, h. 161.

datangnya dari Tuhan dan nabi diutus untuk mengajar dan membimbing manusia, atau para rasul yang hanya bertugas menyampaikan risalah-Nya. Hanya Tuhan yang bisa menunjuki hati orang-orang yang telah menolak petunjuk ilahiah (QS. Al-Baqarah/ 2: 213).

Tunduk kepada kehendak Tuhan harus melalui persetujuan sukarela yang didorong oleh petunjuk universal yang tertanam dalam hati manusia.

Hanya saja ditekankan bahwa pilihan itu harus dipertanggungjawabkan. Artinya kalau pilihan itu baik maka dia akan memperoleh pahala, kalau buruk maka dia sendiri yang akan menanggung akibatnya. Jadi, paksaan dan campur tangan eksternal untuk beribadah secara tulus kepada Tuhan akan menjadi antitesis keimanan.

Jadi, al-Qur'an melarang menzalimi orang-orang yang tidak menerima petunjuk Tuhan dan tentu saja melarang upaya koersif (pemaksaan) seseorang untuk berpindah agama. Pengadilan puncak dalam hal keimanan

hanya ada di tangan Tuhan. 60 Menurut Abdul Aziz Sachedina, konsep al- Qur'an mengenai pluralisme agama, bahkan ketika jalan yang lurus

60 QS. Al-An‘âm/ 6: 107-108 yang artinya: " Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak akan mempersekutukan-Nya. Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka,

dan kamu juga bukanlah pelindung mereka (107) Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian, kepada Tuhan merekalah mereka kembali, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang mereka telah kerjakan selama ini (108)." Ayat ini juga akan dibahas pada sub bab berikutnya (Toleransi Umat Beragama).

dipandang sebagai satu-satunya dasar Tuhan memfirmankan kesatuan manusia, mengesampingkan klaim-klaim intoleran yang dicetuskan oleh umat-umat agama (QS. Al-Baqarah/ 2: 213). Dengan mengakui kemampuan fitrah akan kebaikan universal, al-Qur'an memancangkan satu prinsip

fundamental kebebasan beragama. 61

Shihab menjelaskan bahwa Islam juga memberikan kebebasan pindah

agama. Kalau pemeluk agama lain boleh berpindah ke Islam, tentu pemeluk Islam pun logis untuk berpindah ke agama lain. 62 Ini perhitungan logika saja. Shihab menambahkan, memang pernah ada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pindah agama (dari Islam ke agama lain) itu boleh dibunuh; hal itu sebenarnya berkaitan dengan kondisi sosial setiap masyarakat. Tetapi perlu dicatat bahwa anjuran seperti itu tidak ada dalam al-Qur'an. Kalaupun ada hadis-hadis yang berkaitan dengan itu maka lebih

merupakan kebijaksanaan di dalam menata suatu masyarakat. 63 Hal ini bisa

61 Sachedina, Beda Tapi Setara , h. 167.

62 Shihab, "Wawasan al-Qur'an", h. 190.

63 Shihab, "Wawasan al-Qur'an", h. 190. Ada sekian riwayat hadis yang mengutip hadis tentang seorang Muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) maka ia harus

dibunuh. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imâm Bukhari (No. 6370) hadis itu berbunyi:

" Dari ‘Abd Allâh berkata, Rasûlullâh saw. bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang mengakui tidak ada Tuhan selai Allah dan mengakui saya Rasûlullâh, melainkan dengan tiga perkara: " Dari ‘Abd Allâh berkata, Rasûlullâh saw. bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang mengakui tidak ada Tuhan selai Allah dan mengakui saya Rasûlullâh, melainkan dengan tiga perkara:

Sachedina juga menegaskan selama kemurtadan tetap merupakan masalah privat dan tidak mengganggu masyarakat keseluruhan, tidak ada

(1) seorang pembunuh yang harus dibunuh, (2) seorang janda yang berzina, (3) seorang yang keluar dari agamanya (Islam) lalu dia pisah dari jamaah."

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 3175 & 3176), Imam al-Tirmidzi (No. 1322), Imam al-Nasa'i (No. 3951 & 4642), Imam Abu Dawud (No. 3788), Imam Ibn Majah (No. 2525), Imâm Ahmad (No. 3738, 3589, 4024, & 4197), Imam al-Darimi (No. 2196 & 2339). Untuk keterangan hadis-hadis di atas, penulis ambil dari CD Mausû‘ah al-Hadîts al-Syarîf.

Menurut Mohamed Talbi—seorang sarjana kelahiran Tunisia pada 1921, beliau adalah seorang Doktor di bidang Sejarah dari Universitas Sorbonne pada 1968 dan meraih gelar Profesor Emiritus di Universitas Tunis—menjelaskan, pertama, hadis yang digunakan para teolog dalam hubungannya dengan hukuman mati sedikit banyak telah bercampur, dalam kitab-kitab hadis, dengan masalah pemberontakan dan perampokan. Kasus "orang- orang murtad" pada masa Nabi atau beberapa saat setelah Nabi masih merupakan konsekuensi mereka memerangi umat Islam yang saat itu masih komunitas yang kecil dan lemah. Hukuman mati dalam kasus ini adalah upaya bela diri. Mazhab fikih Hanafi tidak menetapkan hukuman mati bagi kaum wanita yang murtad, "karena wanita, berbeda dengan laki-laki, tidak cocok untuk berperang." Kedua, hadis tersebut tidak sejalan dengan ajaran- ajaran al-Qur'an, karena dalam al-Qur'an tak pernah disebutkan perintah hukuman mati terhadap orang yang murtad. Vonis terhadap orang yang murtad ( apostasy ) yang bersiteguh menolak Islam diserahkan kepada keputusan Tuhan nanti pada hari kiamat.

Meskipun Talbi berpendapat demikian, bukan berarti seseorang dibolehkan, pada kesempatan yang tepat, untuk mengubah agama sebagaimana ia mengganti pakaiannya. Karena seseorang yang melakukan apostasi, menurutnya, setelah meyakini dengan ikhlas bahwa islam adalah kebenaran, maka ia telah zalim. Lebih jelasnya silakan baca Mohamed Talbi, "Kebebasan Beragama", dalam Charles Kurzman, (ed.), W acana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 259-260.

hukuman tertentu dalam al-Qur'an. 64 Namun, lanjut Sachedina, ketika kemurtadan telah melanggar kesucian dan membahayakan hak-hak kaum muslim untuk melaksanakan kepercayaan mereka, maka kemurtadan dianggap sebagai pelanggaran nyata terhadap keimanan. Hanya dalam kasus seperti ini kemurtadan dapat dihukum dengan hukuman terberat dengan dalih untuk melindungi diri dari pembangkangan brutal terhadap Tuhan dan

Rasul, suatu perkembangan yang harus dilawan dengan kekerasan jika

diperlukan. 65

c. Q. S. Yûnûs/10: 108

" ……Barangsiapa yang mendapat petunjuk, maka mesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang Penjaga terhadap dirimu."

Allah menyuruh Rasul-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang kafir sesudah disampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan Allah dan

64 Sachedina, Beda Tapi Setara,

h. 176.

65 Menurut Sachedina, tindakan pada titik itu bukan lagi hanya sekadar kemurtadan, melainkan sebagai tindakan penghasutan yang menyebabkan kegoncangan dan

membahayakan kesatuan umat Islam. Sachedina, Beda Tapi Setara, h. 177.

kerasulannya, bahwa kebenaran dari Allah yakni al-Qur’an yang mendasari agama Islam, telah datang di hadapan mereka, diturunkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Dalam al-Qur’an itu terdapat penjelasan- penjelasan dan uraian-uraian tentang rasul-rasul zaman dahulu dan dakwah mereka kepada kaumnya. Namun, kaum musyrik Arab tidak mengetahui riwayat rasul-rasul itu, atau riwayat itu sudah diubah atau diputarbalikkan.

Dalam al-Qur’an terkandung pedoman-pedoman hidup bagi manusia untuk memperoleh kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan akhirat. Maka barangsiapa mengikuti pedoman itu dalam kehidupannya dengan penuh keimanan, manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Dia akan hidup bahagia di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, barangsiapa yang sesat, tidak mempergunakan kebenaran itu (al-Qur’an) sebagai pedoman hidup, dan tidak mengindahkan tanda-tanda kekuasaan Allah pada dirinya dan pada alam semesta ini, maka akibatnya kesengsaraan batin di dunia dan di akhirat. Nabi Muhammad saw. wajib menyampaikan kebenaran itu kepada manusia. Keputusan terakhir berada pada diri manusia itu sendiri, apakah dia menjadikan al-Qur’an itu sebagai pegangan hidup atau berpaling darinya. Beliau bukanlah wakil Allah di dunia untuk menentukan nasib manusia dan tidak kuasa memaksa seseorang memberi manfaat dan Dalam al-Qur’an terkandung pedoman-pedoman hidup bagi manusia untuk memperoleh kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan akhirat. Maka barangsiapa mengikuti pedoman itu dalam kehidupannya dengan penuh keimanan, manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Dia akan hidup bahagia di dunia dan akhirat. Demikian pula sebaliknya, barangsiapa yang sesat, tidak mempergunakan kebenaran itu (al-Qur’an) sebagai pedoman hidup, dan tidak mengindahkan tanda-tanda kekuasaan Allah pada dirinya dan pada alam semesta ini, maka akibatnya kesengsaraan batin di dunia dan di akhirat. Nabi Muhammad saw. wajib menyampaikan kebenaran itu kepada manusia. Keputusan terakhir berada pada diri manusia itu sendiri, apakah dia menjadikan al-Qur’an itu sebagai pegangan hidup atau berpaling darinya. Beliau bukanlah wakil Allah di dunia untuk menentukan nasib manusia dan tidak kuasa memaksa seseorang memberi manfaat dan

Rabb al-‘alamîn. 66

Menurut al-Alûsî, QS. Yûnûs/ 10: 99-100 mengisyaratkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak boleh mewajibkan dan memaksa seseorang untuk beriman, karena tugas beliau hanya menyampaikan ajaran

Allah swt. 67 Pada penghujung ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad

hanyalah seorang pembawa berita gembira bagi siapa saja yang memperoleh petunjuk dan pembawa peringatan bagi siapa saja yang memilih kesesatan. 68 Ayat ini hendaknya juga dapat dijadikan pegangan bagi para dai, bahwa mereka hendaknya tidak pula memaksakan seseorang untuk mengikuti ajaran yang disampaikan kepada umatnya, meskipun juga pemaksaan untuk beriman kepada Allah swt. Mereka hanya bertugas menyampaikan ajaran Allah swt., karena masalah keimanan seseorang adalah urusan orang tersebut dengan Allah swt.

66 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 4, h. 374- 375.

67 Al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî, Jil. 4, Juz 6, h. 188.

68 Al-Qâsimî, Mahâsin al-Ta'wîl, Jil. 6, h. 69 dan lihat pula Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Juz`11, h. 411.

d. Q. S. Al-Isrâ'/17: 15

" Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat,

maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul."

Dalam sebuah riwayat yang berasal dari Ibn ‘Abbâs dinyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Walid bin Mughîrah ketika ia berkata kepada penduduk Mekah, “ Ingkarilah Muhammad dan sayalah yang menanggung dosamu.”

Dalam ayat ini, Allah swt. menegaskan bahwa barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah dan tuntunan Rasûlullâh, yaitu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, berarti dia telah berbuat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia akan memperoleh catatan tentang amal perbuatan baiknya di dalam kitabnya. Ia akan merasa bahagia karena akan mendapatkan keridaan Allah, dan menerima imbalan yang berlimpah, yaitu surga dengan berbagai kenikmatan yang serba menyenangkan. Akan tetapi, barangsiapa yang sesat, yaitu orang yang menyimpang dari bimbingan al-Qur’an, akan mengalami kerugian. Ia Dalam ayat ini, Allah swt. menegaskan bahwa barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah dan tuntunan Rasûlullâh, yaitu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, berarti dia telah berbuat untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia akan memperoleh catatan tentang amal perbuatan baiknya di dalam kitabnya. Ia akan merasa bahagia karena akan mendapatkan keridaan Allah, dan menerima imbalan yang berlimpah, yaitu surga dengan berbagai kenikmatan yang serba menyenangkan. Akan tetapi, barangsiapa yang sesat, yaitu orang yang menyimpang dari bimbingan al-Qur’an, akan mengalami kerugian. Ia

Selanjutnya, Allah swt. menegaskan bahwa pada hari itu orang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Tiap-tiap orang bertanggung jawab terhadap perbuatan buruknya sendiri, sehingga tidak mungkin seseorang dibebani dosa selain dosanya sendiri. Mereka akan menerima

balasan amal sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang mereka lakukan. Apabila ada orang yang disiksa karena menyesatkan orang lain, sehingga dijatuhi hukuman sesuai dengan dosa orang yang disesatkan, bukan berarti orang yang menyesatkan itu menanggung dosa orang yang disesatkan. Akan tetapi, orang yang menyesatkan itu dianggap berdosa karena menyesatkan orang lain. Oleh sebab itu, ia dihukum sesuai dengan dosanya sendiri, dan ditambah dengan dosa yang menyesatkan orang.

Allah swt. berfirman:

(Ucapan mereka) menyebabkan mereka pada hari kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). (Al-Nahl/ 16: 25)

Dan firman Allah:

Dan mereka benar-benar akan memikul dosa-dosa mereka sendiri, dan dosa-dosa yang lain bersama dosa mereka. (Al-‘Ankabût/ 29: 13)

Di akhir ayat ini, disebutkan bahwa Allah tidak akan mengazab seseorang atau suatu kaum sebelum mengutus seorang rasul. Maksudnya Allah tidak akan membebankan kepada orang-orang yang melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengutus seorang rasul untuk membacakan dan menerangkan ketentuan hukumnya. Dengan demikian, ayat ini dipandang sebagai asas legalitas dalam pidana Islam. Artinya, semua perbuatan yang

diancam dengan hukuman haruslah terlebih dahulu diundangkan melalui sarana perundang-undangan yang dapat menjamin bahwa peraturan ini dapat diketahui oleh seluruh rakyat. Hal itu juga berarti bahwa sosialisasi perundang-undangan merupakan hal yang penting.

Ayat ini juga mengandung maksud bahwa Allah tidak akan membinasakan umat karena dosanya, sebelum mengutus seorang utusan yang memberi peringatan dan menyampaikan syariat Allah kepada mereka, dan memberi ancaman jika mereka membangkang dan tetap dalam pembangkangannya.

Allah swt. berfirman:

ﺎﻣ ﺎﻨﹾﻠﹸﻗﻭ ﺎﻨﺑﱠﺬﹶﻜﹶﻓ ﺮﻳِﺬﻧ ﺎﻧَﺀﺎﺟ ﺪﹶﻗ ﻰﹶﻠﺑ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ( ٨ ) ﺮﻳِﺬﻧ ﻢﹸﻜِﺗ ﹾﺄﻳ ﻢﹶﻟﹶﺃ ﺎﻬﺘﻧﺰﺧ ﻢﻬﹶﻟﹶﺄﺳ ﺝﻮﹶﻓ ﺎﻬﻴِﻓ ﻲِﻘﹾﻟﹸﺃ ﺎﻤﱠﻠﹸﻛ { ٩ - ٨ : ٦٧ / ﻚﻠﳌﺍ } . ٍﲑِﺒﹶﻛ ٍﻝﺎﹶﻠﺿ ﻲِﻓ ﺎﱠﻟِﺇ ﻢﺘﻧﹶﺃ ﹾﻥِﺇ ٍﺀﻲﺷ ﻦِﻣ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﺰﻧ

Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “ Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu (di dunia)? ” mereka Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “ Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu (di dunia)? ” mereka

Dan firman-Nya:

Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang

penolong pun. (Fâthir/ 35: 37). 69

e. Q. S. Al-Kahfi/18: 29

" Dan Katakanlah: " Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir" . Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek."

Pada ayat ini Allah swt. memerintahkan rasul-Nya supaya menegaskan kepada orang-orang kafir bahwa kebenaran yang disampaikan

69 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 5, h. 450- 452.

kepada mereka itu berasal dari Allah, Tuhan semesta alam. Kewajiban mereka adalah mengikuti kebenaran itu dan mengamalkannya. Manfaat dari kebenaran itu, tentulah kembali kepada mereka yang mengamalkannya. Demikian pula sebaliknya, akibat buruk dari pengingkaran terhadap kebenaran itu kembali kepada mereka yang mengingkarinya. Oleh karena itu, barangsiap yang ingin beriman kepada-Nya dan masuk ke dalam barisan

orang-orang yang beriman, hendaklah segera berbuat tanpa mengajukan syarat-syarat dan alasan-alasan yang dibuat-buat sebagaimana halnya pemuka-pemuka musyrikin yang memandang rendah orang-orang mukmin yang fakir. Juga demikian halnya bagi siapa saja yang ingkar dan meremehkan kebenaran. Rasûlullâh saw. tidak akan memperoleh kerugian apa-apa karena keingkaran itu, sebagaimana halnya beliau tidak akan memperoleh keuntungan apapun jika mereka beriman. Allah swt. berfirman:

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (QS. al-Isrâ'/ 17: 7)

Tetapi jika manusia memilih kekafiran dan melepaskan keimanan, berarti mereka telah melakukan kezaliman, yakni meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, Allah memberikan ancaman yang keras kepada mereka, yaitu akan melemparkan mereka ke dalam neraka. Mereka Tetapi jika manusia memilih kekafiran dan melepaskan keimanan, berarti mereka telah melakukan kezaliman, yakni meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, Allah memberikan ancaman yang keras kepada mereka, yaitu akan melemparkan mereka ke dalam neraka. Mereka

seperti itu dapat menyegarkan kerongkongan, dan menghilangkan dahaga orang yang sedang kepanasan, bukan sebaliknya, menghancurkan diri mereka. Neraka yang mereka tempati itu adalah tempat yang paling buruk

dan dengan siksaan. 70

Dengan demikian, aspek petunjuk wahyu yang mengatur hubungan manusia-Tuhan berkaitan dengan peringatan bagi manusia agar mengindahkan seruan Tuhan untuk tunduk kepada kehendak-Nya. Sebagai pemimpin umat, Rasûlullâh tidak bisa menggunakan kekuatan politiknya untuk memaksakan hubungan Tuhan-manusia yang didasarkan pada otonomi individu dan kebebasan manusia. Al-Qur'an malah berulangkali mengingatkan beliau bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan risalah tanpa

70 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 5, h. 604.

perlu menganggap dirinya sebagai aparat penegak paksa agama dari Tuhan. 71 Kata al-haqq dalam ayat waqul al-haqqu min rabbikum oleh al- Zamakhsyarî dijelaskan sebagai khabar mubtada' mahdzûf. Berarti telah datang kebenaran dan terhapuslah kesesatan, sehingga memunculkan adanya pilihan bagi setiap orang untuk memilih dua jalan, yaitu jalan kebenaran

(keimanan kepada Allah) dan jalan kesesatan sesat (kufur kepada Allah). 72 Barangsiapa yang menghendaki beriman setelah adanya kebenaran, maka hendaklah ia beriman. Dan barangsiapa yang menghendaki kekafiran setelah datangnya kebenaran, maka ia telah memilih jalan kesesatan. Dan Allah akan memberi keputusan terhadap segala apa yang telah manusia perbuat selama

hidup di bumi pada hari kiamat. 73

Al-Qur'an memberikan landasan yang kukuh bagi kebebasan agama. Al-Qur'an tidak hanya meneguhkan ide nilai-nilai moral objektif dan universal yang secara kognitif dapat dicapai pada sifat manusia. Al-Qur'an

71 " Tuhanmu lebih mengetahui tentang kamu. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia akan memberi rahmat kepadamu, dan Jika Dia menghendaki, niscaya Dia akan mengazabmu. Kami tidak

mengutusmu (wahai Muhammad) sebagai penjaga (wakil) bagi mereka." (QS. Al-Isrâ'/ 17: 54) " Kami lebih mengetahui apa-apa yang mereka (kaum kafir) katakan; dan bukanlah engkau pemaksa (jabbâr) atas mereka. Oleh karena itu, ingatkanlah dengan al-Qur'an kepada orang yang takut atas ancaman-Ku." (QS. Qâf/ 50: 45).

72 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Jil. 2, h. 691.

73 Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr, Juz 15, h. 242.

juga menjunjung tinggi konsep kesadaran nurani yang bisa salah ( fallible ). Konsep ini melahirkan toleransi otonomi manusia dalam hal pilihan agama. 74