QS. Al-Baqarah/2: 148

b. QS. Al-Baqarah/2: 148

Setiap umat beragama memiliki tempat peribadatan (arah kiblat) dan tuntunan beribadah sesuai yang telah ditetapkan Allah swt. Sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Baqarah/ 2: 148 dan QS. Al-Mâ’idah/ 5: 48.

“ Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan, di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah/ 2: 148)

Tim Tafsir Depag RI menafsirkan dengan setiap umat mempunyai kiblat masing-masing. Nabi Ibrâhim dan Nabi Isma‘îl as. menghadap ke Ka‘bah. Bani Israil menghadap ke Baitulmakdis dan orang Nasrani menghadap ke Timur, yang prinsip ialah beriman kepada Allah swt. dan mematuhi segala perintah-Nya. Karena Allah swt. telah memerintahkan agar kaum Muslimin menghadap ke Ka‘bah dalam salat, maka fitnah dan cemoohan dari orang yang ingkar itu tidak perlu dilayani, tetapi hendaklah kaum Muslimin bekerja dengan giat, beramal, dan berlomba membuat kebajikan. Allah nanti akan menghimpun umat manusia untuk menghitung serta membalas segala amal perbuatannya dan Allah Mahakuasa atas segala Tim Tafsir Depag RI menafsirkan dengan setiap umat mempunyai kiblat masing-masing. Nabi Ibrâhim dan Nabi Isma‘îl as. menghadap ke Ka‘bah. Bani Israil menghadap ke Baitulmakdis dan orang Nasrani menghadap ke Timur, yang prinsip ialah beriman kepada Allah swt. dan mematuhi segala perintah-Nya. Karena Allah swt. telah memerintahkan agar kaum Muslimin menghadap ke Ka‘bah dalam salat, maka fitnah dan cemoohan dari orang yang ingkar itu tidak perlu dilayani, tetapi hendaklah kaum Muslimin bekerja dengan giat, beramal, dan berlomba membuat kebajikan. Allah nanti akan menghimpun umat manusia untuk menghitung serta membalas segala amal perbuatannya dan Allah Mahakuasa atas segala

semua manusia pada hari pembalasan. 17

QS. Al-Baqarah/ 2: 148 di atas, bisa dikatakan inti dan sekaligus pemahaman tentang kebebasan dan pluralitas agama, menurut pandangan Islam. Ayat di atas menunjukkan bahwa umat manusia terbagi dalam beragam agama atau kelompok yang masing-masing memiliki aturan ibadah

dan jalan menuju kepada-Nya. Setiap komunitas diharapkan bisa menerima keanekaragaman agama dan ritual ibadah yang dijalankan oleh setiap penganutnya. Yang dibutuhkan oleh masyarakat majemuk adalah agar masing-masing kelompok berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan. Karena hanya Allah Yang Mahatahu ―dalam arti asal―tentang baik atau buruk dan

benar atau salah. Penafsiran yang dilakukan Tim Tafsir Depag RI hanya mengakomodir kaum Muslim dalam hal melaksanakan perintah “ berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” Di sini, tafsir Depag RI menunjukkan kesan eksklusif bahwa hanya agama Islam ―dalam arti institusi―yang diperintahkan untuk

melakukan aneka kebaikan. Padahal perintah Allah ( khithâb Allah ) itu berlaku bagi tiap-tiap umat beragama yang bertujuan untuk mencapai ridha-Nya. Ayat ini menegaskan pluralitas dalam arah (tujuan) melaksanakan ibadah,

17 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 208.

berlomba-lomba dalam kebajikan, koeksistensi damai, keadilan, dan perlakuan yang sama.

Kata li kullin (masing-masing) dalam penggalan teks ayat di atas, menurut para ulama tafsir klasik pada umumnya dimaksudkan sebagai " ahl al-adyân al-mukhtalifah atau ahl al-millât al-mukhtalifah" (komunitas agama

yang berbeda-beda/ beragam). 18 Sedang kata wijhah selain berarti kiblat, juga

dapat diartikan dengan praktek keagamaan ( tharîqah ). 19 Dengan demikian, teks di atas berarti bahwa setiap umat atau komunitas agama ( religious community ) memiliki kiblat dan praktek keagamaan masing-masing yang satu sama lainnya berbeda. Zuhailî menambahkan, tidak ada manfaatnya berdebat tentang tempat kiblat dan praktek keagamaan suatu komunitas agama, karena Allah akan mengumpulkan umat manusia nanti pada hari

Kiamat dan memberikan keputusan kepada mereka. 20 Gagasan dari

18 Lihat Imâm Abî al-Qâsim Jar Allâh Mahmûd bin ‘Umar bin Muhammad al- Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf ‘an Haqâ'iq Ghiwâmidh al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî W ujûh al-

Ta'wîl, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), Jil. 1, h. 203. Dan lihat pula Abû Ja‘far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî: Jâmi‘ al-Bayân fî Ta'wîl al-Qur'ân, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), Jil. II, h. 30-31.

19 Ibn Katsîr menyamakan wijhah pada surah al-Baqarah/ 2: 148 dengan praktek keagamaan, sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Mâ'idah/ 5: 48: " Untuk tiap-tiap

umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syir‘atan) dan jalan yang terang (minhâjan)." Lihat Abû al-Fidâ' Ismâ‘il Ibn Katsîr al-Qursy al-Dimasyq, Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm, (t.tp.: Dâr Mishra li al-Tabâ‘ah: t.th.), Jil. 1, h. 194.

20 Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr, Jil. 1, Juz 2, h. 31.

penafsiran tersebut adalah al-Qur'an menunjukkan pembenaran terhadap adanya pluralitas atau keragaman agama.

Quraish Shihab menegaskan dalam tafsirnya, Al-Mishbah, apapun agamanya dan di mana pun posisi umat beragamanya, atau ke arah mana pun manusia menuju (menghadap) arah salatnya, pada akhirnya Allah akan mengumpulkan semua manusia yang beragam arahnya itu, untuk memberi

putusan yang hak, karena Allah Makakuasa atas segala sesuatu. 21 Pengakuan Allah swt. terhadap eksistensi agama-agama yang ada di muka bumi bahkan menetapkan arah kiblat ibadahnya masing-masing sangatlah jelas. Justru yang perlu diperhatikan dan digarisbawahi adalah aktivitas umat beragama yang harus ada dalam ketegori saleh. Berarti agama-agama ―bukan hanya

kepada agama Islam ―juga ditantang untuk berlo mba-lo mba menciptakan

kebaikan dalam bentuk nyata. Cak Nur dan Fathi Osman menegaskan setiap umat mempunyai wijhah (titik "orientasi", tempat mengarahkan diri), yang disimbolkan dalam konsep tentang tempat suci, waktu suci, hari suci, dan seterusnya. 22 Kaum Muslim sering melupakan bahwa al-Qur'an begitu menegaskan agar manusia tidak perlu mempersoalkan adanya wijhah untuk masing-masing golongan

21 Quraish, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 1, h. 356.

22 Osman, Islam, Pluralisme,

h. xxi.

itu, karena yang penting ialah manusia berlomba-lomba menuju kebaikan ( fastabiq al-khairât ). 23 Di mana pun manusia berada, Allah nanti akan mengumpulkan semua semua menjadi satu pada hari Kiamat. Jadi di sini ada argumen untuk "kesatuan" (ketauhidan) dan "keberbedaan" agama sekaligus. Dan keduanya memiliki makna yang penting dalam memecahkan masalah hubungan antaragama. Dialog

antaragama ini harus dilselenggarakan dengan cara yang paling konstruktif baik dari segi metode maupun moral. 24 Tidak boleh ada kelompok yang mengarahkan argumennya bahwa argumennya adalah satu-satunya yang mewakili seluruh kebenaran.

23 Osman, Islam, Pluralisme,

h. xxi.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Nahl/ 16: 125).

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: " Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri" . (QS. Al-Ankabût/ 29: 46).

c. QS. Al-M â'idah/5: 48

Allah swt. juga telah menetapkan jalan dan syariat bagi tiap-tiap umat beragama. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al-Mâ’idah/ 5: 48;

“ …Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu.”

Ayat ini menerangkan bahwa tiap-tiap umat diberi syariat 25 (peraturan-peraturan

kepada mereka melaksanakannya. Mereka telah diberi jalan dan petunjuk yang harus dilaksanakan untuk membersihkan diri dan menyucikan batin mereka.

25 Kata syir‘atan dan syarî‘ah pada mulanya berarti "air yang banyak", atau "jalan menuju sumber air". Agama dinamakan syariat karena ia merupakan sumber kehidupan

ruhani, sebagaimana air yang merupakan sumber kehidupan jasmani. Al-qur'an menggunakan kata syariat dalam arti yang lebih sempait dari kata dîn yang diterjemahkan dengan "agama". Syariat adalah jalan/ aturan agama untuk satu agama tertentu, dan nabi tertentu, seperti syariat Nuh, syariat Ibrahim, syariat Musa, syariat Isa, dan syariat Muhammad. Sedangkan dîn adalah tuntunan Ilahi yang bersifat umum dan mencakup semua umat.

Minhâjan maknanya adalah "jalan yang lurus". Bila dikaitkan dengan syir‘atan, merupakan isyarat bahwasannya ada jalan yang luas menuju syariat/ sumber air itu. Siapa saja yang berjalan pada minhâj itu akan dengan mudah mencapai syariat. Depag RI, Al- Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 401.

Syariat setiap umat dan jalan yang harus ditempuh boleh saja berubah-ubah dan bermacam-macam, tetapi dasar dan landasan agama Samawi hanyalah

satu, yaitu tauhid. 26

Taurat, Injil, dan al-Qur’an masing-masing mempunyai syariat tersendiri, yang berisi ketentuan-ketentuan hukum halal dan haram, sesuai dengan kehendak-Nya untuk mengetahui siapa yang taat dan siapa yang

tidak. Firman Allah:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (QS. Al-Anbiyâ’/ 21: 25)

Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan), “ Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut.” (QS. Al-Nahl/ 16: 36)

Sekiranya Allah menghendaki, tentulah Dia dapat menjadikan semua manusia hanya dengan satu syariat dan satu macam jalan yang akan ditempuh dan diamalkan mereka sehingga dari zaman ke zaman tidak ada

peningkatan dan kemajuan. 27

Demikianlah Allah menghendaki dan memberikan kepada tiap-tiap umat syariat tersendiri, untuk menguji sampai di mana manusia itu dapat

26 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 402.

27 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 402.

dan mampu melaksanakan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam kitab samawi-Nya untuk dipelihara atau disiksa. Oleh karena itu, seharusnyalah manusia berlomba- lomba berbuat kebaikan dan beramal saleh, sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi penutup rasul terakhir Muhammad saw. Syariat yang menggantikan syariat sebelumnya, untuk kepentingan dunia dan

kebahagiaan di akhirat kelak. Pada suatu waktu nanti, mau tak mau manusia akan kembali kepada Allah memenuhi panggilan-Nya ke alam baka. Di sanalah nanti Allah akan memberitahukan panggilan-Nya ke alam baka. Di sanalah Allah akan memberitahukan segala sesuatu tentang hakikat yang diperselisihkan mereka. Orang yang benar-benar beriman akan diberi pahala, sedang orang- orang yang ingkar dan menolak kebenaran, serta menyeleweng tanpa alasan

dan bukti, akan diazab dan dimasukkan ke dalam neraka. 28 Pluralitas dalam syariat-syariat dan manhaj-manhaj pada QS. al- Mâ'idah/ 5: 48 di atas mempunyai fungsi pemikiran dan peradaban. Pemilihan suatu syariat dan minhâj adalah pusat dan ukuran bagi perbedaan umat-umat, aliran-aliran, mazhab-mazhab, dan unsur-unsurnya. Di dalamnya, mereka saling berbeda dan memiliki kekhasan masing-masing

28 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 403.

sesuai dengan apa yang mereka pilih. "Pilihan" ini juga merupakan ujian dari Allah, siapa yang konsisten (taat) kepada-Nya dan siapa yang ingkar. Perbedaan syariat dan minhâj juga menjadi titik tolak untuk berlomba, berkompetisi, dan saling mendorong di antara masing-masing pihak yang saling berbeda untuk melakukan kebaikan. Dengan melakukan pilihan yang berbeda akan terjadi persaingan, kompetisi, dan saling dorong, yang

merupakan motivator bagi kemajuan dan dinamika manusia. Tanpa hal itu, niscaya hidup akan menjadi statis dan stagnan.

Al-Qurthubî menjelaskan bahwa Allah menetapkan syariat dan minhâj bagi tiap-tiap umat agar dengan perbedaan itu dapat dibedakan antara kaum yang beriman dan kaum yang kafir. 29 Artinya, siapa di antara hambanya yang konsisten melaksanakan ajaran Allah dan siapa yang menyimoang dari ajaran-Nya.

Pilihan jalan-jalan dan kebaikan yang Allah titipkan kepada manusia agar mereka berlomba-lomba mengembangkan potensi dan bakat akal mereka sehingga tampaklah manfaat ilmu pengetahuan dan terwujud dalil- dalil akidah yang sahih. Semua itu akan menampakkan potensi-potensi terpendam yang dititipkan oleh Allah dalam diri manusia, seperti

A l-Jâmi‘ li Ahkâm al- Qur'ân, (Beirût: Dâr al-Kutub al-Ìlmiyyah, 1993), Jil. 3, Juz 6, h. 137.

29 ‘Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî, 29 ‘Abd Allâh Muhammad bin Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî,

Muhammad Imarah mengatakan bahwa pilihan jalan-jalan dan kebaikan yang Allah berikan kepada manusia merupakan bagian dari seluruh ujian yang diberikan Allah kepada mereka, dari akal dan pemikiran, karena pada dasarnya setiap pilihan merupakan ujian dari Allah swt.

sehingga tampaklah kekhasan dan keistimewaan di antara masing-masing

individu manusia. 30

Dalam tafsir Depag, semua manusia dituntut berlomba-lomba berbuat kebaikan dan beramal saleh, tetapi harus sesuai dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Mengapa mesti demikian? Bagaimana dengan umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw? Padahal QS. Al-Mâ'idah/ 5: 48 menyebutkan bahwa tiap-tiap umat diberi syariat dan jalan yang terang ( minhâj ) tersendiri. Selain itu, Tim Tafsir Depag RI pada keterangan sebelumnya juga mengatakan Taurat, Injil, dan al-Qur’an masing-masing mempunyai syariat tersendiri, yang berisi ketentuan-ketentuan hukum halal dan haram sesuai dengan kehendak-Nya. Di sini Tim Tafsir Depag RI mengesankan "paradoksal" dan terjadi penafsiran yang tidak tepat ―untuk

30 Muhammad Imarah, A l-Islâm wa al-Ta‘addudiyah: al-Ikhtilâf wa al-Tanawwu‘ fî Ithâr al-W ihdah, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dengan judul Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 82.

tidak mengatakan salah. Karena al-Qur'an telah menjelaskan bahwa bagi mereka

Allah, hari kiamat (pertanggungjawaban moral individu), dan berlaku amal saleh "bagi mereka tidak ada rasa takut dan tidak bersedih hati." Pesan al-Qur'an ini, bagaimanapun, tidak menghalangi seluruh pengikut agama-agama terdahulu mendapat rahmat dari Allah swt.

Fazlur Rahman menegaskan bahwa al-Qur'an (QS. Al-Mâ'idah/ 5: 48) secara jelas mengakui keabsahan agama-agama sehingga ia mengajak umat Islam untuk mengambil manfaat positif dari keanekaragaman agama-agama,

yakni saling berlomba dalam kebajikan. 31 Konsep pluralisme agama ini diharapkan mampu menjadi landasan etis bagi kehidupan umat beragama di dunia, terutama di Indonesia yang kondisinya serba mejemuk ini. Karena pada dasarnya dalam tataran etis inilah, berbagai agama di dunia ini banyak memiliki kesamaan tentang prinsip-prinsip kebaikan dan keburukan.

31 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur'an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 240.

Jerald F. Dirks 32 juga menegaskan bahwa seorang muslim harus berhubungan dengan non-muslim seolah-olah mereka berada dalam sebuah lomba untuk melakukan kerja-kerja kebaikan. 33 Persinggahan manusia di muka bumi ini merupakan suatu arena universal yang melibatkan semua manusia. Tak ada alasan bagi umat beragama untuk saling menyakiti karena pada dasarnya mereka memiliki konsep kesamaan dasar ( commom platform,

kalimât-un sawâ' ) yang sama. Setiap laki-laki dan perempuan harus bersaing satu sama lain dalam melaksanakan "seluruh kebajikan." Justru ajakan melakukan perlombaan dalam kebaikan ( fastabiq al-khairât ), dalam QS. Al-Mâ'idah/ 5: 48 adalah tantangan positif yang seharusnya memperoleh tanggapan yang baik dari

kalangan umat beragama. 34 Inilah kompetisi sehat yang diperintahkan Islam ―berlo mba-lo mba dalam melakukan kebaikan demi Tuhan. 'Perlombaan' dalam kebaikan tersebut bisa berupa dialog, kerja sama, komitmen, dan sebagainya.

32 Jerald F. Dirks adalah seorang mantan pendeta kelahiran Kansas yang akhirnya memeluk agama Islam pada 1993. Ia memperoleh gelar sarjana S1 (1971) dan S2 nya (1974) di

bidang teologi di Harvard Divinity School. Ia juga berhasil meraih gelar doktor (Psy. D) di bidang psikologi. Tentang biografi singkatnya, silahkan baca Jerald F. Dirks, The A brahamic Faiths: Judaism, Christianity, and islam Similarities and Contrasts, (tp.: Amana Publication, 2004). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Abrahamic Faiths:Titik Temu dan Titik Seteru A ntara Islam, Kristen, dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 7-28.

33 Dirks, Abrahamic Faiths,

h. 173.

34 Fathimah, W ahdat al-Adyan,

h. 133.

Perbedaan agama-agama secara teologis disebabkan karena Allah tidak menghendaki manusia itu satu dan sama dalam segala hal. Sekiranya Tuhan menghendaki, niscaya manusia akan dijadikan satu umat atau satu bangsa. Al-Zamakhsyarî menjelaskan kalimat ummatan wâhidatan dengan satu umat yang hanya menganut satu agama, yang tidak ada perbedaan di

dalamnya. 35 Huruf lau pada penggalan teks pada teks " wa lau syâ'a Allah

laja‘alakum ummatan wâhidatan" adalah harf al-imtina' li al-imtina' (tercegah terjadinya jawab karena tercegahnya syarat). Sebuah huruf yang banyak digunakan untuk suatu pengandaian sesuatu yang tak terbukti (mengandung

arti kemustahilan). 36 Karena itu, ayat yang berbunyi " wa lau syâ'a Allah laja‘alakum ummatan wâhidatan" di atas secara tegas menunjukkan bahwa pluralitas umat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya.

Ayat liyabluwakum fî mâ âtâkum dimaksudkan, Allah hendak menguji manusia dengan apa yang telah mereka terima sesuai dengan tuntunan-Nya, apakah manusia akan konsisten atau menyimpang. 37 Karena Tuhan melihat siapa yang yang konsisten dan siapa yang menyimpang, maka fastabiq al-

35 Al-Zamakhsyarî, Tafsîr al-Kasysyâf, Jil. 1, h. 627.

36 Shihab, Tafsir al-Mishbâh , Vol. 3, h. 108.

37 Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsî al-Bagdâdî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al- Qur'ân al-À zhîm wa al-Sab‘u al-Matsânî, (Beirût: Dâr al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2001), Jil. 3, Juz 3,

h. 332.

khairât, berlomba-lombalah untuk menunaikan kebaikan. Al-Qurtûbî menafsirkan dengan berlomba-lomba dalam ketaatan, tidak hanya dalam kebaikan. Dan hal ini menunjuk kepada keutamaan mendahulukan

kewajiban daripada mengakhirkannya. 38 Karena hanya kepada Allah-lah semuanya akan kembali dan Dia-lah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu. Apabila ia beribadah sesuai dengan tuntunan-

Nya, maka ia akan memperoleh ganjaran dari Allah. Dan jika ia menyimpang dari tuntunan-Nya, maka ia akan memperoleh hukumannya.

Esensi agama-agama bukan hanya kesatuan (ketauhidan) semata, tetapi perbedaan juga merupakan kenyataan yang harus dihormati, bahkan dikembangkan untuk kemaslahatan bersama. 39 Perbedaan itu terutama pada ritus dan simbolisme keagamaan, atau dalam al-Qur'an disebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan Allah upacara-upacara keagamaan atau

mansak (jamak: manâsik ) yang harus mereka laksanakan. 40 Sebagaimana dalam QS. Al-Hajj/ 22: 34;

38 Al-Qurthûbî, Al-Jâmi‘ li Ahkâm, Jil. 3, Juz 6, h. 137.

39 Osman, Islam, Pluralisme,

h. xx.

40 Osman, Islam, Pluralisme,

h. xxi.

Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).

Surah al-Mâ'idah/ 5: 48, menunjukkan bahwa pluralitas umat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya, supaya dapat menguji manusia dalam merespons

kebenaran-kebenaran yang telah disampaikan-Nya dan supaya manusia berkompetisi dalam melakukan kebaikan.

d. QS. Al-Hajj/22 : 17

" Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu."

Tim Tafsir Depag RI menafsirkan ayat di atas dengan semua orang yang beriman, Yahudi, Shabiin, Nasrani, Majusi, dan Musyrik, akan diberi keputusan yang adil oleh Allah pada hari Kiamat.

Orang-orang yang beriman dalam ayat ini adalah orang-orang yang beriman kepada apa yang diajarkan Nabi Muhammad saw., yaitu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul yang telah diutus-Nya, hari Kiamat, dan kepada adanya kadar baik dan kadar buruk. Yang dimaksud orang-orang Yahudi ialah anak cucu Nabi Yakub as. yang berkembangbiak di Mesir kemudian dibawa kembali oleh Musa as. ke

Palestina. Mereka adalah pengikut Nabi Mûsâ as. dan ajaran-ajarannya termuat dalam kitab taurat.

Shâbi'în ialah orang-orang yang mengakui keesaan Allah tetapi mereka bukan mukmin, bukan Yahudi dan bukan pula Nasrani. Orang-orang Nasrani adalah pengikut-pengikut Nabi ‘Îsâ as. dengan kitab suci mereka Injil. Dan mereka yang syirik, yaitu yang menyembah selain Allah, baik berupa benda, manusia atau berhala, seperti yang disembah kaum Musyrik Mekah sebelum Islam. Terhadap semua golongan di atas, Allah akan memberikan keputusan yang adil di hari Kiamat, siapa yang benar-benar mengikuti Allah dan rasul-rasul-Nya selama hidup di dunia, dan siapa pula yang mengada-ada sesuatu dalam agama Allah dan siapa pula yang mengingkari agama itu.

Keadilan yang sebenarnya belum didapat lagi oleh manusia selama hidup di dunia ini. Betapa banyak orang yang dengan kehendak hatinya Keadilan yang sebenarnya belum didapat lagi oleh manusia selama hidup di dunia ini. Betapa banyak orang yang dengan kehendak hatinya

sedikitpun atau tertindas di dalam negerinya, seakan-akan agama itu bukanlah agama yang diridai Allah. Semuanya itu belum memperoleh keadilan yang sebenarnya selama hidup di dunia. Karena itu di akherat nanti Allah akan memberikan keadilan yang sesungguhnya. Semuanya akan mendapat balasan sesuai dengan iman, amal dan perbuatan yang telah

dikerjakannya. 41

Imâm Jamâl al-Dîn al-Qâsimiy dalam tafsirnya Mahâsin al-Ta'wîl menerangkan bahwa ayat 17 surah al-Hajj/ 22 ini menjelaskan keragaman/ pluralitas agama, dan Allah akan memberi keputusan di antara pemeluk agama-agama yang disebutkan dalam ayat tersebut pada hari kiamat dengan seadil-adilnya. Allah akan memasukkan siapa saja yang beriman dan beramal saleh di antara mereka ke dalam surga, dan akan memasukkan siapa saja di antara mereka yang kafir (tidak mengakui

41 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 6, h. 372- 373.

kebenaran akan ajaran Allah) ke dalam neraka. Dan Allah menjadi saksi atas

segala perbuatan mereka. 42

QS. Al-Hajj/ 22: 17 ini secara jelas menerangkan adanya pluralitas agama. Meskipun secara eksplisit menyebutkan "para pengikut atau pemeluk" dalam redaksi ayatnya, namun secara implisit menerangkan eksistensi agama-agama yang dianut oleh para pemeluknya masing-masing.

Alasan penulis, selain kebanyakan kitab-kitab tafsir menjelaskan dengan pengakuan adanya agama-agama (keragaman agama), juga karena para pengikut atau pemeluk agama tidak bisa dipisahkan dari agama yang dipeluknya. Alasan ini justru dapat menjawab adanya anggapan pemaksaan ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan dasar adanya keragaman agama.