QS. Al-Baqarah/2: 62

a. QS. Al-Baqarah/2: 62

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shâbi’în, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala

dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.”

Dalam QS. Al-Baqarah/ 2: 62 ini, 2 Allah menjelaskan keadaan tiap-tiap umat atau bangsa pada masanya benar-benar berpegang pada ajaran nabi- nabi mereka serta beramal saleh, mereka akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan maghfirah Allah selalu terbuka untuk seluruh

hamba-hamba-Nya. 3

“ Orang-orang mukmin” dalam ayat ini adalah orang yang mengaku beriman kepada Rasûlullâh Muhammad saw. dan menerima segala yang

2 QS. Al-Baqarah/ 2: 62 ini diulang dengan redaksi yang agak berbeda pada surah al- Mâ'idah/ 5: 69 yang berbunyi:

" Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada A llah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

3 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 107.

diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah. Pengertian beriman ialah seperti yang dijelaskan Rasul saw. sewaktu Jibril as. menemuinya. Nabi berkata:

Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari kiamat dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ‘Umar ra.).

Orang Yahudi ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi. Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan dari mereka keturunan Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil). Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani. Kata Nasrani diambil dari nama suatu daerah Nashirah (Nazareth) di Palestina tempat Nabi Isa as. dilahirkan. Shâbi’în ialah umat sebelum Nabi Muhammad saw. yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang. Dalam QS. Al-Hajj/ 22: 17, Shâbi'în diartikan dengan orang-orang yang mengakui keesaan Allah tetapi mereka bukan mukmin, bukan Yahudi, dan

bukan pula Nasrani. 5

Siapa saja di antara ketiga golongan di atas yang hidup pada zamannya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. benar-benar

4 Lihat CD Mausû‘ah al-Hadîts al-Syarîf, No. hadis 10.

5 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 6, h. 372.

beragama menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya, mereka mendapat pahala dari sisi Allah. Sesudah kedatangan Nabi Muhammad saw. semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya

dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut Islam. 6 Melihat penafsiran yang dilakukan oleh Tim Tafsir Depag RI di atas,

awalnya tampak menyiratkan adanya pengakuan eksistensi agama lain dan mengakui bagi umat agama lain (selain Islam) akan memperoleh pahala dari Allah selama mereka benar-benar berpegang pada ajaran nabi-nabi mereka serta beramal saleh, karena rahmat dan maghfirah Allah selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya. Namun pada akhir penafsirannya, Tim Tafsir Depag RI hanya mengakui dan meyakini bahwa yang hanya memperoleh pahala dari Allah apabila seseorang menganut atau memeluk agama Islam. Tim Tafsir Depag RI memahami mereka (pemeluk agama selain Islam) yang memperoleh pahala dari Allah itu konteksnya sebelum datangnya Islam. namun setelah kedatangan Muhammad (agama Islam), mereka diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut agama Islam. Padahal ayat tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah ini. Ayat ini menegaskan bahwa semua golongan

6 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 108.

agama akan selamat dan memperoleh pahala dari Allah selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh.

Wahbah Zuhailî menafsirkan ayat di atas dengan "Setiap orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh serta memegang teguh agamanya (apa pun agamanya), maka mereka termasuk orang-orang yang

beruntung." 7 Sayyid

Hussein

Fadhl

al-Allâh 8 dalam

tafsirannya ―sebagaimana d ikutip o leh Jalaludd in Rakhmat dalam bukunya

Islam dan Pluralisme ―menjelaskan bahw a “ keselamatan pada hari akhirat

akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari

akhir, dan amal saleh. 9

7 Zuhailî, Al-Tafsîr al-Munîr, Jil. 1, h. 178.

8 Muhammad Husein Fadhl al-Allâh adalah seorang ulama Lebanon dan pemimpin Hizbullâh (Partai Allah). Lahir pada 1935 di Najaf, Irak, dalam keluarga Islam yang taat dari

‘Ainata, sebuah dusun di Lebanon Selatan dekan Bunt Jubail. Salah seorang guru utamanya adalah Abû al-Qâsim Khu’î (1899-1992) ―seo rang mujtahid besar yang lahir d i ko ta Khu’ i, Azerbaijan, Iran ―yang terkenal d oktrin dan p rakteknya meno lak partisipasi p olitik langsung oleh seorang ulama. Informasi lebih lanjut tentang biografi Muhammad Husein Fadhl al- Allâh, silahkan baca kata pengantar buku dari Olivier Carre, “ Muhammad Husain Fadhl al- Allâh: Citra Ulama-Mujahid” terj. dalam Syaikh Muhammad Husein Fadhl al-Allâh,

A l-Islâm wa Mantiq al-Quwwah, (t.tp.: al-Dâr al-Islamiyyah, 1399 H/ 1979 M) buku tersebut telah diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem dengan judul Islam dan Logika Kekuatan, (Bandung: Mizan, 1995), h. xv-xxii.

9 Rakhmat, Islam dan Pluralisme , h. 23. Kalimat yang bercetak tebal di atas adalah pendapat Jalaluddin Rakhmat.

Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam kitab tafsirnya Mafâtih al-Ghaib , mengatakan bahwa bagi Yahudi, Nasrani, Shabi'in, dan orang-orang Islam yang mengaku beriman, semua itu tidak akan ada artinya dan tidak akan membawa hasil apa-apa jika tidak beriman kepada Allah dan hari Akhirat

serta keimanannya dibuktikan dengan amal saleh. 10

Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) lebih lanjut menjelaskan selain ayat

tersebut sangat jelas mendukung pluralisme, khususnya pluralitas agama, namun ayat tersebut tidak menjelaskan semua kelompok agama benar atau semua kelompok agama sama. Tidak! Ayat tersebut menegaskan bahwa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah,

hari akhir, dan beramal saleh. 11

Senada dengan penafsiran Kang Jalal, Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Mishbah juga menegaskan bahwa meskipun golongan agama-agama di atas memperoleh pahala tetapi bukan berarti ada penyamaan agama dan

semua penganut agama sama di hadapan-Nya. 12 Hidup rukun dan damai antarpemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan setiap agama, tetapi untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan

10 Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr al-Kabîr al-Mafâtih al-Ghaib, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1990), Jil. 6, Juz 12, h. 57.

11 Rakhmat, Islam dan Pluralisme,

h. 23.

12 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 1, h. 216.

ajaran agamanya. Hanya Allah swt. semata yang memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa yang keliru. Begitu juga dengan siapa yang berhak dianugerahi surga dan siapa yang akan menghuni neraka, semuanya merupakan hak prerogatif Allah

swt. 13 Fazlur Rahman ―sebagaimana dikutip oleh Budhy Munawar-

Rachman ―lebih tajam menyo ro ti penafsiran-penafsiran yang dilakukan o leh

para ahli tafsir selama ini yang memahami orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shâbi’în di dalam ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shâbi’în yang telah masuk Islam atau juga orang-orang Yahudi, Kristen, dan Shâbi’în yang saleh sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Fazlur Rahman menganggap penafsiran ini salah, karena seperti yang terlihat di dalam ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa siapa saja yang mempercayai Allah, hari kiamat, dan melakukan amal kebajikan, akan memperoleh pahala

dari Tuhannya, tidak ada sesuatu pun yang harus dikhawatirkan. 14 Atau

13 Quraish, Tafsir al-Mishbâh, Vol. 1, h. 216.

14 Budhy Munawar-Rachman, “ Pluralisme Keagamaan, Sebuah Percobaan Membangun Teologi Islam Mengenai Agama-agama,” dalam Sururin, ed., Nilai-nilai

Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Berserak, (Bandung: Nuansa, 2005), h. 123.

dengan kata lain mereka yang menerima agama hanif 15 akan memperoleh pahala. Budhy menambahkan bahwa semua agama memiliki keuniversalan pesan keagamaan yang sama, dan memunculkan arti kesamaan hakikat semua pesan Tuhan. Tetapi arti “ kesamaan agama” di sini bukan kesamaan dalam arti formal atau syariat, bahkan tidak juga dalam pokok-pokok keyakinan

tertentu. Tetapi “ kesamaan agama” di sini adalah kesamaan dalam hal “ pesan dasar” , yaitu ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan ( kalimah al-

15 Budhy Munawar-Rachman dalam Kata Pengantar pada buku Mohamed Fathi Osman, Islam, Pluralisme & Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah,

dan Peradaban, terj. Irfan Abubakar, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006), xl. Nurcholish Madjid dalam banyak kesempatan perkuliahannya di Universitas Paramadina ―sebagaimana dikutip lebih lanjut oleh Budhy ―meneg askan bahw a perkataan “ hanîf” menunjukkan kepada perihal yang murni dalam inti Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid; sedangkan perkataan “ muslim” menunjukkan kepada pengertian siap tunduk (dîn) dan pasrah total hanya kepada kemurnian, kesucian dan kebenaran itu, yang di atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua pengertian ini merupakan hakikat kemanusiaan yang paling asasi dan abadi ( perennial ), sebagai kelanjutan atau konsekuensi adanya perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan untuk menghamba kepada-Nya, dan berbuat kebaikan yang bakal mengantarkan kembali kepada Penciptanya itu. Sebagaimana firman Allah swt. Dalam QS. Al-A‘râf/ 7: 172 yang artinya: “ Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhdap roh mereka (seraya berfirman), “ Bukankah Aku ini Tuhanmu? ” Mereka menjawab, “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “ Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”

Cak Nur dan Mohamed Fathi Osman setuju bahwa agama hanif ―menurut al- Qur’an ―memiliki sifat pandangan yang serba inklusiv istik dan pluralis. Sementara sistem keagamaan sektarian dan komunalistik memiliki sifat pandangan serba ekslusivistik, sering muncul dalam keagamaan berjenis fundamentalis dan radikal. Esensi makna hanîf dan muslim begitu mendasar, sehingga wajar al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak akan menerima pandangan hidup selain ajaran sikap pasrah ( islâm ) dan tunduk patuh ( dîn) kepada-Nya sebagaimana diajarkan semua nabi dan rasul. Inilah makna sebenarnya dari firman Allah QS. Âli ‘Imrân/ 3: 19 bahwa “ Sesungguhnya kepatuhan di sisi A llah adalah kepasrahan penuh.” Lebih jelasnya silakan baca Osman, Islam, Pluralisme,

h. xxxiii-xlvi. Dan baca pula Rakhmat, Islam dan Pluralisme,

h. 38-48.

sawâ’, common platform ) yang mengusung sikap hidup yang hanîf ( al-hanîfiyyah

al-samhah ) atau semangat kebenaran yang toleran. 16

Setiap orang yang menelaah al-Qur’an dan merenungi ayat-ayatnya akan menemukan bahwa secara afirmatif al-Qur’an menjelaskan keesaan Allah dan pluralitas selain Dia. Bahkan al-Qur’an sendiri merupakan referensi paling otentik bagi pluralisme. Buktinya, gaya bahasa al-Qur’an

yang istimewa membuat setiap kata yang digunakan memiliki kemungkinan makna yang beragam. Setiap kata atau ayat yang terdapat dalam al-Qur’an memberikan kemungkinan adanya penafsiran yang tidak tunggal. Bagian dari kemukjizatan al-Qur’an adalah setiap kalimatnya memberikan peluang yang luas untuk ditafsirkan sesuai dengan semangat zaman. Oleh karena itu, hendaknya tidak mengklaim penafsiran ayat al-Qur’an oleh suatu kelompok adalah yang paling benar atau juga tidak menganggapnya salah. Karena kebenaran absolut hanya milik Allah swt. dan Allah swt. yang akan memutuskan perselisihan yang terjadi di antara mereka di hari Kiamat. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. Al-Hajj/ 22: 69;

16 Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imâm Ahmad berbunyi:

" Ibn ‘Abbâs menuturkan bahwa Nabi saw. pernah ditanya, " Agama mana yang paling dicintai Allah? " Nabi menjawab, " Semangat keagamaan yang toleran (al-hanîfiyyat al-samhah)."

Lihat Osman, Islam, Pluralisme, h. xlii-xliii; dan Riyadi, Melampaui Pluralisme, h. 184- 185.

“ Allah akan mengadili di antara kamu pada hari Kiamat tentang apa yang dahulu kamu memperselisihkannya.”

QS. Al-Baqarah/ 2: 62 dan ayat lain yang serupa pada surah al- Mâ'idah/ 5: 69 dapat dipahami bahwa secara doktrinal atau bahkan historis- normatif al-Qur'an mengakui adanya pluralitas agama dengan menyebutkan

orang-orang Mukmin (pengikut Nabi Muhammad), orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabiin. Kemudian masing-masing umat tersebut bila "benar- benar beriman" kepada Allah dan hari Kiamat serta bermal saleh, maka Allah akan menjamin mendapat pahala, dan mereka akan tenang dan senang di akhirat.

Benar-benar beriman kepada Allah—menurut pemahaman penulis— adalah mengesakan Allah, dan beribadat hanya kepada-Nya (tidak syirik) dan mengimani akan adanya hari kiamat sebagai hari pembalasan/ peradilan. Kemudian sebagai konsekuensi keimanannya, manusia harus beramal saleh kepada sesamanya, maka dijamin akan memperoleh kebahagiaan di akhirat (berdasarkan pengertian harfiyah ayat tersebut).