M etode dan Corak Tafsir Departemen Agama
C. M etode dan Corak Tafsir Departemen Agama
Dinamika penafsiran al-Quran tidak pernah mengalami stagnasi, sejak kitab suci tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad. Berbagai macam metodologi dan corak penafsiran telah ditawarkan oleh para mufasir. Aktivitas penafsiran akan selalu mengalami dinamika perkembangan dan
36 Bafadal, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. I, h. xviii.
tidak akan sampai pada titik final, hal itu seiring dengan tuntutan perkembangan zaman.
Kajian kritis terhadap al-Quran akan selalu memunculkan beragam penafsiran, baik dari segi metodologi maupun karakteristik (corak) penafsiran. Hingga kini, ketika berbicara tentang metodologi tafsir al-Quran, banyak orang yang merujuk pada Al-Farmawi 37 yang memetakan metode
penafsiran al-Quran menjadi empat bagian pokok, yaitu: tahlîlî, ijmâlî, muqâran, dan maudhû‘î. 38 Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara al-Quran sebagai teks (nash) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi manusia sebagai konteks yang tak terbatas.
Dalam buku al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum karya Ali Iyâzî dipaparkan empat istilah yang berkaitan erat dengan metodologi penafsiran yaitu: manhaj, tharîqah, laun, dan ittijah (mazhab). 39 Pertama, M anhaj. Manhaj
37 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî adalah salah seorang dosen Jurusan Tafsir Hadis pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Mesir. Metodologi penafsirannya banyak
dijadikan rujukan para peminat studi ilmu tafsir, tak terkecuali para pemerhati kajian tafsir di Indonesia ketika berbicara tentang metodologi tafsir Al-Qur'an.
38 ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû‘î, (Kairo: Al-Hadharah al-‘Arabiyyah, 1977), cet. ke-2, h. 23.
39 Muhammad ‘Alî Iyâzî, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum, (Teheran: Mu'assasah al-Tibâ‘iyyah wa al-Nasyr Wizarât al-Tsaqâfah wa al-Irsyâd al-Islamiy, 1373 H),
h. 31-33.
atau sumber (bentuk) 40 penafsiran al-Qur'an seringkali dibedakan menjadi dua, al-tafsîr bi al-ma’tsûr atau bi al-naqlî 41 dan al-tafsîr bi al-ma‘qûl atau bi al- ra'yî. 42 Namun ada juga yang manambahkan dengan al-tafsîr isyârî. 43 Menurut Shalah ‘Abd al-Fattah al-Khâlidî, dalam karyanya Ta’rif al- Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, al-tafsîr bi al-ma’tsûr memang diperhadapkan
40 Nashruddin Baidan mengistilahkan manhaj sebagai bentuk penafsiran yang terdiri dari bi al-ma'tsûr (riwayat) dan bi al-ra'yi (rasio/ pemikiran). Lihat Nashruddin Baidan,
Metodologi Penafsiran Al-Qur'an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. ke-2, h. 9-10.
41 Tafsîr bi al-Ma'tsûr atau bi al-Naqlî adalah bentuk penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis Nabi saw. yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami
oleh para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat, atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi‘in. Al-Dzahabî memasukkan tafsir tabi‘in dalam kerangka tafsir riwayat, meskipun mereka tidak menerima tafsir secara langsung dari Nabi saw. tetapi nyatanya kitab-kitab tafsir yang selama ini diklaim sebagai kitab tafsir yang menggunakan metode riwayat, memuat penafsiran mereka, seperti tafsir al-Thabarî. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Madanî, 2000), Cet. ke-7, Juz I, h. 76. Namun ada juga yang berpendapat, al-tafsîr bi al-ma’tsûr adalah bentuk penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an, Al-Qur'an dengan al-Sunnah, dan al-Qur'an dengan ijtihad sahabat, tanpa memasukkan ijtihad tabi‘in dalam ciri al-tafsîr bi al-ma'tsûr. Pendapat semacam ini seperti yang dilontarkan oleh Muhammad ‘Abd al-Azhîm al-Zurqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al- Qur'ân, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), Jilid II, h. 14.
42 Tafsir bi al-ra’yi atau tafsir ijtihadi adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Dalam menjelaskan makna al-Quran, seorang mufasir
berpegang pada pandangan sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada rasio semata sesuai dengan kemampuan dan keilmuan terkait yang dimiliki. Lihat Manna‘ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (t.p.: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, t.th.) ,
h. 351.
43 Tafsir Isyârî adalah bentuk penafsiran yang berusaha menakwilkan ayat-ayat al- Qur'an berdasarkan isyarat-isyarat tersembunyi, yang menurut para sufi, hanya diketahui
oleh sufi ketika mereka melakukan suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan makna lahir. Lihat al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz 2, h. 261. Sedangkan keterangan yang mengkategorikan tafsir Isyârî dalam bentuk atau manhaj penafsiran bisa merujuk pada Subhi al-Shâlih, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur'ân, (Beirût: Dâr al-‘Ilm al-Malayîn, 1988), h. 292. Lihat al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm,
h. 357. Dan Lihat pula Thameem Ushama, Methodologies of The Qur'anic Exegesis, (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995), h. 33.
secara konfrontatif pada al-tafsîr bi al-ma‘qûl . 44 Jika yang pertama lebih cenderung mengandalkan nukilan dari riwayat, sebaliknya yang kedua cenderung mengandalkan akal. Namun demikian, sebetulnya kategorisasi seperti ini tidaklah mutlak. Karena yang pertama pun tak berarti meninggalkan akal sepenuhnya dan sebaliknya yang kedua juga tidak berarti meninggalkan nukilan riwayat sepenuhnya. Karenanya, kategorisasi itu
harus dimaknai dalam konteks dominitas (mana yang dominan) dalam sebuah karya tafsir.
Dalam konteks tafsir Depag, Ketua Tim Penyempurnaan al-Qur'an dan Tafsirnya Departemen Agama RI ―(selanjutnya disebut Ketua Tim Penyempurnaan) ―menyatakan bahw a tafsir ini adalah gabungan antara bi al-
ma'tsûr dan bi al-ra'yî, walaupun aspek bi al-ma'tsûr -nya lebih dominan. 45 Dari pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa manhaj tafsir Depag adalah tafsîr bi al-ma'tsûr. Ciri-ciri tafsir ini misalnya, bisa dilihat dari sumber rujukan (mashâdir)- nya, yaitu a) menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan
44 Telaah Shalâh Abd al-Fattah al-Khâlidî, Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2002 M/ 1423 H), hal. 199.
45 Ahsin, "Aspek-aspek," h. 163.
menggunakan hadis-hadis marfû’ dari Nabi saw, b) mengutip pendapat para
sahabat, dan c) mengutip pendapat para tabi'in. 46
Salah satu contoh Tim Tafsir Depag mengutip hadis-hadis marfû‘ ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah/ 2: 3. Tafsir Depag ini menerangkan: Ayat ini membahas tentang seseorang yang ingin bersedekah,
tidak perlu menunggu sampai menjadi kaya, melainkan dari "kelebihan" rezeki setelah digunakan makan dan memiliki pakian yang dipakai. Atau dengan kata lain, sedekah itu merupakan harta
kelebihan dari kebutuhan pokok. 47 Sebagaimana dijelaskan hadis Nabi saw.:
Dari Nabi saw. ia berkata, " Sebaik-baik sedekah adalah kelebihan dari kebutuhan pokok." (Riwayat al-Bukhârî dan Muslim).
Salah satu contoh penafsiran Tim Tafsir Depag yang mengutip pendapat sahabat dalam penafsiran QS. Al-Baqarah/ 2: 26: Menurut Ibn ‘Abbâs, ayat ini (QS. Al-Baqarah/ 2: 26 yang
menceritakan tentang Allah tidak segan membuat perumpamaan apa pun, sekalipun perumpamaan itu dengan makhluk yang lebih kecil, yaitu nyamuk) diturunkan berhubungan dengan tuduhan orang Yahudi bahwa perumpamaan yang ada dalam perumpamaan itu disebut sesuatu yang tidak berarti bahkan termasuk binatang kecil lagi hina, seperti dzubâb yang berarti lalat (al-Hajj/ 22: 73) dan ‘ankabût yang berarti laba-laba (al-‘Ankabût/ 29: 41). Tetapi seandainya orang Yahudi
46 Al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm, h. 356, dan lihat pula Al-Khâlidî, Ta’rîf al-Dârisîn, hal. 201-202.
47 Pengutipan hadis ini menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang beriman, salah satunya dengan menginfakkan sebagian rezeki yang dianugerahkan Allah. Depag RI, Al-
Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 36.
itu mengetahui maksud perumpamaan itu, tentu mereka akan menyatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam al-
Qur'an merupakan perumpamaan yang tepat dan benar. 48
Adapun contoh penafsiran Tim Tafsir Depag yang mengutip pendapat tabi'in dalam penafsiran QS. Al-Baqarah/ 2: 65: Menurut Mujâhid sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir,
"Fisik mereka (orang-orang Yahudi) tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa dan sifat merekalah yang dijadikan seperti kera, sehingga mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat memahami
ancaman." 49
Kedua, tharîqah. Tharîqah adalah metode atau cara penafsiran al- Qur'an. Jika menggunakan analisis ‘Abd al-Hayy al-Farmawî, maka tharîqah al-tafsîr bisa dibedakan menjadi empat; tahlîlî, 50 ijmâlî, 51 muqâran 52 dan
maudhû‘î. 53
48 Pendapat Ibn ‘Abbâs ini menerangkan bahwa Allah membuat perumpamaan suatu kebenaran dengan seekor nyamuk, bagi-Nya tidak ada perbedaan antara yang kecil dan besar, hina dan murka, semua adalah makhluk Allah. Lebih jelasnya lihat Depag RI, Al-
Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 58.
49 QS. Al-Baqarah/ 2: 65 ini menerangkan tentang pembalasan terhadap Bani Israil yang melanggar perjanjian dengan Allah, yaitu pelanggaran terhadap hari Sabtu yang
seharusnya digunakan hanya untuk beribadah kepada Allah, mereka gunakan untuk aktivitas lain. Lebih jelasnya lihat Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 111.
50 Metode penafsiran tahlîlî yaitu suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalamnya yang urutannya
disesuaikan dengan tertib surat yang ada dalam mushaf al-Qur'an. Metode tafsir ini menjelaskan pula kosakata (susunan kalimat), munâsabah (korelasi) antarayat maupun antarsurah, menjelaskan asbâb al-nuzûl, dan mengutip dalil-dali dari Nabi saw., sahabat, dan tabi'in. Al-Farmawî, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr,
h. 24.
51 Metode penafsiran ijmâlî adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna ayat secara global. Biasanya bentuk penafsiran ini
Dalam konteks tafsir Depag, Ketua Tim Penyempurnaan menyatakan bahwa tafsir Depag ini menggunakan metode tahlilî yang terhitung sedang, dalam arti tidak ensiklopedis. 54 Menurut hemat penulis, ciri-ciri yang ada pada tafsir Depag memang lebih dekat dengan metode tahlîli, yaitu metode yang menguraikan ayat demi ayat dan surah demi surah secara berurutan mulai dari awal surat (al-Fâtihah) hingga surat terakhir (al-Nâs) , menguraikan
arti kosakata, mencantumkan asbâb al-nuzûl, menjelaskan munâsabah (korelasi) antarayat maupun antarsurah.
menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Quran yang dikaji. Al-Farmawî, al- Bidâyah fî al-Tafsîr,
h. 43.
52 Metode penafsiran muqâran adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan cara perbandingan, yang mencakup perbandingan ayat al-Qur'an dengan ayat lain,
perbandingan al-Qur'an dengan Hadis, dan perbandingan penafsiran mufasir dengan mufasir lainnya. Al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr,
h. 46.
53 Metode penafsiran maudhû‘î adalah suatu metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara tematis sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Metode tafsir ini
memiliki dua bentuk, yaitu menafsirkan satu surah al-Qur'an dengan menghubungkan maksud antarayat serta pengertiannya secara menyeluruh; dan menghimpun ayat-ayat al- Qur'an yang memiliki kesamaan tema atau arah tujuan, kemudian dianalisis dan menghasilkan suatu kesimpulan. Al-Farmawî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr,
h. 51-52.
54 Ahsin, "Aspek-aspek," h. 163. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya kitab tafsir ini mengurai ayat-ayat al-Qur'an hanya dengan beberapa aspek, yaitu hidâ'î, ijtimâ‘î, ‘ilmî, fiqh,
dan lughawî. Tidak menggunakan segala aspek yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur'an sebagaimana ciri-ciri dari tafsir tahlilî. Dalam kitab tafsir ini, aspek hidâ'î (hidayah) dari ayat yang dikandung lebih ditonjolkan, dengan banyaknya uraian yang menjunjung tinggi nilai- nilai Islam yang ada dalam al-Qur'an dan Hadis, meskipun terdapat juga uraian dengan memperhatikan aspek ijtimâ‘î (kemasyarakatan), lughawî (bahasa), fikih (hukum), dan ilmu pengetahuan. Hal-hal ini mungkin yang menjadi pertimbangan Ahsin dalam menilai bahwa tafsir Depag ini termasuk metode tahlilî yang terhitung sedang, dalam arti tidak ensiklopedis.
Setiap ayat atau surah yang hendak ditafsirkan dalam tafsir Depag, selalu didahului dengan menguraikan arti kosakata terlebih dahulu. Salah satu contohnya ketika akan menafsirkan QS. Al-Baqarah/ 2: 2, Tim Tafsir Depag RI menguraikan kata " al-muttaqîn" sebagai berikut:
Kata al-muttaqîn adalah isim fâ‘il dalam bentuk jamak dari kata ittaqâ-yattaqî, yang berarti menjaga diri dari segala yang membahayakan. Juga kata taqwa berarti "berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu". Secara etimologi, kata taqwâ mengandung
pengertian "menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah swt. dan melaksanakan
segala yang diperintahkan-Nya". 55
Munâsabah antarkelompok ayat juga disajikan setiap sebelum melakukan penafsiran. Sedangkan munâsabah antarsurat disajikan pada awal
pembahasan surah yang akan dibahas. Contoh munâsabah antarkelompok ayat seperti terlihat pada pembahasan kelompok ayat 135-138 dari Surah al- Baqarah/ 2. Tim Tafsir Depag RI menjelaskan sebagai berikut:
Kelompok ayat sebelumnya yaitu QS. Al-Baqarah/ 2: 130-134 yang menjelaskan tentang peringatan Allah terhadap umat-umat yang lalu atas perbuatan mereka terhadap para nabi yang diutus kepada mereka, dan menerangkan agama yang dibawa Nabi Ibrahim as. memiliki asas yang sama dengan agama yang dibawa oleh para nabi setelahnya. Sedangkan QS. Al-Baqarah/ 2: 135 menerangkan tentang ajakan Ahl al-Kitab kepada Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim agar mengikuti agama mereka. Ajakan mereka itu dijawab dengan menegaskan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. adalah agama Ibrahim, agama nenek moyang orang Yahudi, Nasrani, dan Musyrik Mekah.
55 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 31.
Munâsabah kedua kelompok ayat ini masih membicarakan seputar agama Nabi Ibrahim as. dan agama-agama yang dibawa para
nabi setelahnya pada hakikatnya memiliki asas yang sama. 56
Tim Tafsir Depag RI juga menguraikan asbâb al-nuzûl ayat jika ayat tersebut memiliki sebab-sebab turunnya ayat. Pembahasan asbâb al-nuzûl ini terletak setelah penjelasan Munâsabah ayat Seperti pada QS. Al-Baqarah/ 2: 135, Tim Tafsir Depag RI menjelaskan asbâb al-nuzûl sebagai berikut:
Ibn ‘Abbâs berkata bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan sikap pemuka-pemuka Yahudi di Madinah, yaitu Ka‘ab bin Asyraf, Malik bin Saif, Abi Yasir bin Akhtab, dan sikap pemuda Nasrani penduduk Najran. Sesungguhnya mereka telah menentang kaum Muslim sehubungan dengan mereka. Tiap-tiap golongan dari mereka saling mengunggulkan Nabi yang diutus dan Kitab yang diajarkan kepada mereka. Maka turunlah ayat ini sebagai jawaban atas
perkataan, pengakuan, dan ajakan kepada mereka." 57
Ketiga , laun (corak). Laun atau corak sebuah kitab tafsir ditentukan oleh hal yang mendominasi pada kitab tersebut, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan keilmuan yang dimiliki oleh seorang mufasir. Secara garis besar, kitab tafsir yang ada bisa diklasifikasikan dalam corak-corak sebagai berikut: corak kebahasaan, corak fikih (hukum), corak
56 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 111.
57 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 31.
teologi/ kalam, corak sufi (isyârî), corak ilmu pengetahuan, corak pendidikan, corak gerakan dakwah, corak hidayah, dan corak sosial kemasyarakatan. 58 Menurut penelitian M. Shohib Tahar, tafsir Depag bercorak tafsir teologi, khususnya paham Sunni, yaitu tafsir yang konsisten berpegang teguh kepada al-Qur'an dan al-Sunnah dengan dasar prinsip-prinsip atau orientasi
paham ahl al-sunnah wa al-jamâ‘ah . 59 Penilaian Tahar ini didasarkan kepada
penafsiran Depag sendiri banyak mencantumkan ayat-ayat dan hadis pendukung dalam penafsirannya (salah satu contohnya seperti pada pembahasan manhaj ). Selain itu, rujukan tafsir Depag yang sebagian besar berteologi sunni, khususnya dalam hal rujukan dalam kitab-kitab Tafsir dan Hadis. Kitab-kitab tafsir tersebut antara lain: Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm karya Ibnu Katsîr (w. 1373 M), Tafsîr al-Jalâlain karya Jalâl al-Dîn al-Mahallî dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Ahkâm al-Qur’ân karya Abû Bakar Ahmad al- Jashshâsh (Mazhab Hanafi), Ahkâm al-Qur’ân karya Abû Bakar Muhammad bin ‘Abd Allâh Ibnu al-‘Arabî (Mazhab Maliki), Tafsîr al-Qur'ân al-Karîm
karya Mahmud Yunus, Tafsîr al-Bayân dan Tafsir al-Nûr keduanya karya
58 Sebagian besar istilah-istilah ini penulis kutip dari al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al- Mufassirûn.
59 Tahar tidak menjelaskan lebih lanjut dengan memberikan contoh langsung penafsiran Depag yang becorak sunni ini. Namun jika melihat kepada tafsirnya secara global
terutama tafsirannya merujuk kepada Mazhab Empat (Mâlikî, Hanafî, Syâfi‘î, dan Hanbalî) dalam hal fikih dan kitab-kitab rujukannya pun sebagian besar beraliran sunni. Tahar, "Telaah Tentang," hal. 58.
Hasbie al-Shiddiqie, dan Tafsîr al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Sedangkan kitab-kitab hadisnya antara lain: Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Isma‘îl al-Bukhârî, dan Shahîh Muslim karya Muslim bin Hajjâj al-Qusyairi al-Naisâbûrî, Musnad al-Imam Ahmad karya Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Sementara menurut pengakuan Ketua Tim Penyempurnaan, tafsir
Depag ini bercorak hidâ’î. 60 Corak hidâ’î ini terlihat pada setiap kesimpulan akhir penafsiran dengan berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang telah ditasirkan. Seperti kesimpulan penafsiran kelompok ayat 1-5 dari surah al-Baqarah/ 2 berikut ini:
Kesimpulan
1. Al-Qur'an tidak diragukan kebenarannya dan berfungsi sebagai petunjuk.
2. Al-Qur'an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Di antara sifat-sifat orang yang bertakwa adalah:
a. Beriman kepada yang gaib, yaitu Allah, para malaikat, surga dan neraka;
b. Melaksanakan shalat, terutama shalat wajib lima waktu;
c. Menginfakkan sebagian harta yang telah dianugerahkan Allah;
d. Beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya; dan
e. Beriman akan adanya hari kiamat.
3. Orang-orang yang memiliki ciri-ciri itulah yang mendapat petunjuk dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 61
60 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. xxv.
61 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 37.
Menurut hemat penulis, kitab tafsir Depag ini bercorak hidâ'î. penilaian penulis mendasarkan pada corak yang paling dominan mewarnai tafsirannya. Meskipun dalam kitab tafsir ini ditemukan juga corak tafsir yang
lain, tetapi uraiannya tidak sebanyak nuansa hidayahnya. 62 Sebagai tafsir bercorak hidâ’î misalnya , tafsir Depag ini selalu menampilkan kesimpulan akhir yang berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang
ditafsirkan. Contoh lain yang menunjukkan corak hidâ’î pada kesimpulan akhir penafsiran kelompok ayat 21-22 dari surah al-Baqarah/ 2, seperti berikut ini:
Kesimpulan
1. Ayat ke-21 dan 22 ini memerintahkan agar manusia beribadah kepada Allah, memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya saja, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan yang lain.
62 Penulis tidak terlalu mempermasalahkan sebuah karya tafsir terdiri dari berbagai corak. Karena sejauh ini, ternyata tidak ada corak yang tunggal. Yang ada hanya corak yang
dominan dan yang tidak dominan. Oleh karena itu, penilaian penulis didasarkan pada corak mana yang kuat mewarnai pada tafsirannya. Dalam tafsir Depag ini, penulis melihat corak yang dominan adalah corak hidâ'î, karena selalu berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan. Meskipun beberapa corak tafsir yang lain juga ditemukan dalam kitab tafsir ini, diantaranya corak ilmu pengetahuan dan corak bahasa. Seperti yang diungkapkan Ketua Tim Penyempurnaan al-Qur’an, tafsir Depag ini corak ilmu pengetahuan dimasukkan sebagai refleksi atas kemajuan teknologi yang sedang berlandung saat ini dan juga untuk mengemukakan kepada beberapa kalangan saintis bahwa al-Qur'an berjalan seiring dengan bahkan memacu kemajuan teknologi. Lihat Depag RI,
A l-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. xxv. Contoh corak ilmu pengetahuan misalnya dapat ditemukan ketika menafsirkan surah al-Baqarah/ 2: 26 yang menjelaskan tentang Allah membuat perumpamaan dengan seekor nyamuk. Kitab tafsir ini kemudian menguraikan macam-macam nyamuk menyebarkan penyakit. Lebih jelasnya silakan lihat Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 57. Sedangkan corak bahasa hampir dapat ditemukan pada penafsiran setiap ayat, baik melalui penguraian kosakata maupun pada bagian tafsirannya. Karena hal ini merupakan salah satu ciri dari
metode tahlilî.
2. Bila manusia menyadari bahwa alam ini diciptakan Allah untuknya, maka manusia wajib menyembah hanya kepada-Nya, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Keempat, ittijah. Ittijah di sini dipahami dengan orientasi, mazhab, atau alur pikiran yang dikesankan mufasir dari aliran-aliran akidah yang ditunjukkan seorang mufasir dalam tafsirnya, seperti mazhab Ahl al-Sunnah (Sunni), Muktazilah, Syi'ah, dan lain-lain.
Menurut Ketua Tim Penyempurnaan, jika dilihat dari sisi fikih dan akidah, tafsir ini beraliran Sunni, mengikuti Mazhab Empat (Mâlikî, Hanafî, Syâfi‘î, dan Hanbalî) dengan tidak memihak pada salah satu mazhab. Tafsir ini juga tidak memasuki wilayah politik atau wilayah pemikiran
kontemporer yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini. 63
Namun penulis menemukan ada kecenderungan kepada satu mazhab tertentu. Hal ini terlihat ketika Tim Tafsir Depag RI menafsirkan kata " qurû'" dengan "suci" dalam QS. Al-Baqarah/ 2 228.
" Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'."
Imam Syafi‘i memaknai " qurû'" dengan suci, sedangkan Imam Abu Hanifah memaknainya dengan haid. Hanya saja, pandangan kelompok
63 Ahsin, "Aspek-aspek," h. 163.
Hanafi ini ditampilkan sebatas sebagai catatan kaki ( footnote ). Ini, menurut hemat penulis, menunjukkan secara nyata pemihakan pada pandangan tertentu, dalam hal ini pandangan kelompok Syafi‘i.
Penjelasannya sebagai berikut: Dalam ayat ini (QS. Al-Baqarah/ 2: 228) dijelaskan hukum talak
sebagai penyempurnaan bagi hukum-hukum yang tersebut pada ayat- ayat sebelumnya. Apabila istri yang memounyai masa haid, dicerai oleh suaminya, maka hendaklah dia bersabar menunggu tiga kali
qurû' , baru boleh kawin dengan laki-laki yang lain. Tiga kali qurû' ialah tiga kali suci menurut pendapat jumhur ulama (Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, qurû' berarti haid ―pendapat ini terletak d i catatan kaki ( footnote )). Ini dinamakan masa idah, yaitu masa harus menunggu. Selama dia masih dalam masa idah, ia tidak boleh menyembunyikan apa yang telah terjadi dalam kandungannya, apakah dia telah hamil ataukah dalam haid kembali. Setiap istri yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, dia harus jujur, mengakui terus terang apa yang telah terjadi dalam
rahimnya. 64
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Tahar yang mengatakan bahwa tafsir Depag cenderung pada mazhab Syafi‘i dalam pembahasan seputar
masalah fikih. 65
64 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 312.
65 Tahar, "Telaah Tentang," hal. 58. Perbedaan pendapat juga terjadi pada penafsiran QS. Al-Mâ'idah/ 5: 6 dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, salah satunya maslah
bertsentuhan kulit antara laki-laki dengan perempuan. Menurut mazhab Syafi‘î, bersentuhnya kulit antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, antara keduanya tanpa pembatas menyebabkan batalnya wudhu. Menurut mazhab Hanafî, bersentuhnya kulit antara laki-laki dengan perempuan, antara keduanya tanpa pembatas, tidak membatalkan wudhu. Pendapat mazhab Hanafî ini juga dicantumkan pada catatan
Menurut hemat penulis, dengan tidak menampilkan perbedaan pandangan di antara ulama atas sebuah persoalan tertentu, itu menunjukkan bahwa tafsir Depag telah memiliki keberpihakan primordial dan frame
pemikiran tertentu, baik dalam bidang fikih, akidah, maupun tasawuf. 66 Keberpihakan primordial seperti inilah yang akan melanggengkan eksklusivisme pandangan keagamaan umat Islam. Namun demikian,
barangkali bisa dimaklumi, karena sedari awal tafsir Depag memang tidak diniatkan sebagai tafsir perbandingan antar berbagai perbedaan pandangan ulama. Dengan ujaran lain, tafsir ini memang diniatkan sebagai tafsir monolitis nan eksklusif.
Dari sisi isi/ kandungan, tafsir Depag juga memuat persoalan akidah, fikih, akhlak, tasawuf, isyarat-isyarat ilmu pengetahuan, seperti teknologi, ekonomi, sosial, budaya, sejarah, dan sebagainya. Sebagai karya tafsir yang utuh menafsirkan seluruh ayat al-Quran, sudah pasti seluruh aspek yang ada di dalamnya tak luput untuk ditafsirkan. Hanya, tentu saja porsi penafsiran atas bidang-bidang itu tidak sepenuhnya sama. Ada yang ditafsirkan secara
kaki ( footnote ). Lebih jelasnya silahkan lihat Depag RI, A l-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 352.
66 Sebagaimana diketahui dalam tafsirnya, Tim Tafsir Depag RI tidak menampilkan perbedaan pendapat di kalangan ulama terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang memiliki
implikasi debatable (masih bisa diperdebatkan). Tim tafsir Depag RI langsung merujuk kepada pendapat jumhur ulama untuk menyelesaikan ayat-ayat al-Qur'an yang mengandung debatable . Seperti pada contoh QS. Al-Baqarah/ 2: 228 tentang tiga kali qurû' dan QS. Al-Mâ'idah/ 5: 6 tentang hal-hal yang membatalkan wudhu.
panjang lebar, seperti persoalan fikih dan akidah, dan sebaliknya ada juga yang dielaborasi seperlunya, seperti masalah ilmu pengetahuan atau ekonomi.
Penafsiran Tim tafsir Depag RI yang mengelaborasi ilmu pengetahuan seperlunya adalah ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah/ 2: 26 yang menjelaskan tentang perumpamaan yang Allah buat meskipun hanya dengan
seekor nyamuk. Penafsirannya sebagai berikut: Nyamuk misalnya ada yang berbahaya anapheks yang
menyebarkan penyakit malaria dan aedes aegepti yang menyebarkan penyakit demam berdarah, tetapi ada nyamuk yang memang tidak berbahaya, seperti culex. Nyamuk anapheks hidupnya di air kotor tetapi nyamuk aedes aegepti hidup di air bersih.
Allah sungguh Mahakuasa dan Mahabijaksana. Pada setiap makhluk yang berbahaya telah diciptakan predator yaitu jenis binatang lain yang suka memangsa dan membunuhnya. Terhadap nyamuk misalnya, ada beberapa predator seperti katak, cecak, toke, dan lain- lain. Kita tidak boleh membunuh predator nya dan kita sebaiknya mengetahui di mana nyamuk berkembang biak, kita perlu memahami
kebijaksanaan Allah dan kekuasaan Allah. 67
Penafsiran Tim Tafsir Depag RI yang mengelaborasi ekonomi ―dalam
hal ini masalah jual beli ―seperlunya adalah ketika menafsirkan QS. A l-
Baqarah/ 2: 275. Penafsirannya sebagai berikut: Selanjutnya Allah swt. menegaskan bahwa Dia menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Allah tidak menerangkan sebabnya. Allah tidak menerangkan hal itu agar mudah dipahami oleh pemakan
67 Depag RI, Al-Qur'an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 1, h. 57-58.
riba, sebab mereka sendiri telah mengetahui, mengalami dan merasakan akibat riba itu.
Pada jual beli ada pertukaran dan penggantian yang seimbang yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli, ada manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari kedua belah pihak, dan ada pula kemungkinan mendapat keuntungan yang wajar sesuai dengan usaha yang telah dilakukan oleh mereka. Pada riba tidak ada penukaran dan penggantian yang seimbang. Hanya ada semacam pemerasan yang tidak langsung, yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai barang terhadap pihak yang sedang memerlukan, yang
meminjam dalam keadaan terpaksa. 68