Penafsiran Ayat-ayat Tentang Toleransi Beragama
C. Penafsiran Ayat-ayat Tentang Toleransi Beragama
Istilah toleransi merupakan istilah modern yang lahir di Barat di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas. 75 Dalam
bahasa Inggris, toleransi berarti kekuasaan yang kuat untuk menahan perasaan secara sepihak terhadap orang-orang yang berbeda dan kesadaran terhadap mereka. Dalam bahasa Arab, istilah toleransi dipadankan dengan kata " tasâmuh" , yang berarti sikap pemurah, penderma, dan gampangan dari
kedua belah pihak atas dasar saling interaksi dan timbal balik. 76 Dalam definisi lain, toleransi adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. 77
74 Sachedina, Beda Tapi Setara,
h. 169.
75 Istilah toleransi itu sendiri muncul pada abad ke-17 Masehi, ketika tenjadi benturan ( clash ) antara ideologi Katolik dan Protestan. Silahkan lihat Riyadi, Melampaui
Pluralisme,
h. 180.
76 Thoha, Tren Pluralisme , h. 212.
77 Departemen Pendidikan dan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 1204.
Umar Hasyim memberikan makna tasamuh dengan bersikap lapang dada dan saling menghormati. Dalam pengertian membiarkan seseorang melaksanakan ajaran agamanya, tidak mengganggu keyakinan dan
pandangan orang lain, dengan saling menghormati dan tenggang rasa. 78 Perkembangan konsep toleransi selanjutnya dalam pemikiran politik dan keagamaan Barat tidak lagi berarti menahan perasaan terhadap
perbedaan-perbedaan atas dasar pebedaan, tetapi artinya telah mejadi menahan perasaan terhadap perbedaan-perbedaan atas dasar bahwa
perbedaan adalah sebuah nilai positif. 79 Toleransi agama yang sebenarnya hanya akan terwujud ketika manusia belajar menghargai keyakinan- keyakinan agama yang mereka anggap salah. Kunci untuk toleransi bukanlah membuang atau merelativisasi ketidaksepakatan, tetapi kemauan untuk
menerima ketidaksepakatan yang genuine . 80
Di bawah ini penulis akan melihat penafsiran yang dilakukan Tim Tafsir Depag RI terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan toleransi umat beragama.
78 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar bMenuju Dialog Kerukunan Antaragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1992), h. 22.
79 Thoha, Tren Pluralisme,
h. 213.
80 Thoha, Tren Pluralisme,
h. 213.
a. QS. Al-M â'idah/5: 48
" …Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu."
Ayat ini selain membicarakan tentang pluralitas (keragaman) agama ―sebagaimana yang telah disinggung pada sub bab sebelumnya―juga
membicarakan tentang toleransi beragama, yaitu memberikan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan tuntunan ibadah dan syariatnya sesuai dengan keyakinan dan agama yang dianutnya.
Tim Tafsir Depag RI mengakui bahwa tiap-tiap umat memiliki syariat dan jalan yang terang ( minhâj ) tersendiri. Namun berkenaan dengan perintah
berbuat baik, umat manusia dituntut untuk berbuat baik dan beramal saleh sesuai dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. 81 Di sini terdapat
81 Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya "Pluralitas Agama", Tim Tafsir Depag RI mengakui bahwa tiap-tiap umat memiliki syariat dan aturan yang terang
( minhâj ) sendiri. Allah swt. memberikan ini semua adalah untuk menguji sampai di mana manusia itu dapat dan mampu melaksanakan perintah Allah atau menjauhi larangan-Nya.
keunikan sikap yang ditunjukkan oleh Tim Tasir Depag RI, di satu sisi bersikap inklusif, yaitu dengan mengakui syariat dan minhâj pada tiap-tiap umat, dan pada sisi lain mereka bersikap eksklusif, yaitu manusia dituntut untuk berbuat baik dan beramal saleh sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw.
Al-Qâsimî dalam tafsirnya Mahâsin al-Ta'wîl menafsirkan li kullin
ja‘alnâ minkum syir‘atan wa minhâjan dengan setiap umat diberikan kebebasan untuk menjalankan syariatnya masing-masing, dan untuk menghukumi segala perkara sesuai dengan ajaran dan kitab suci yang diterimanya. Karena Allah telah menetapkan syariat dan pedoman hidup bagi tiap-tiap umat. Misalnya, Yahudi beribadah sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Mûsâ dalam kitab sucinya Taurat; Nasrani beribadah sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi ‘Îsâ dalam kitab sucinya Injil; dan Islam beribadah sesuai dengan
yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam kitab sucinya al-Qur'an . 82 Hampir sama dengan penafsiran al-Qâsimî, Rasyîd Ridhâ menafsirkan ayat di atas dengan setiap rasul atau setiap umat, baik dari kaum Muslim,
Orang yang benar-benar beriman akan diberi pahala, sedangkan orang-orang yang ingkar dan menolak kebenaran, serta menyeleweng tanpa alasan dan bukti, akan menerima siksa. Namun berkenaan dengan perintah berbuat baik, umat manusia dituntut untuk berbuat baik dan beramal saleh sesuai dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. Di satu sisi, Tim Tafsir Depag bersikap inklusif, dan pada sisi lain bersikap ekslkusif. Silahkan lihat Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 402-403.
82 Al-Qâsimî, Mahâsin al-Ta'wîl, Jil. 4, h. 157.
Ahli Kitab, maupun umat manusia semuanya, telah Allah tetapkan bagi masing-masing umat tersebut syariat untuk diamalkan dan mengambil hukum dari syariat tersebut. Selain itu, syariat juga sebagai petunjuk dalam
kehidupan dan menciptakan kemaslahatan umat. 83 Ridhâ juga menambahkan bahwa semua rasul yang diutus oleh Allah mengajarkan tauhid (keesaan Allah), kepasrahan ( islâm ), keikhlasan, dan berbuat baik
( ihsân ). 84 Umat Islam dituntut untuk berlapang dada dengan adanya berbagai pandangan atau pendapat yang tidak sejalan dengan pandangannya, baik yang seagama maupun yang tidak seagama. Semua itu telah menjadi hukum ketetapan Allah swt. yang seandainya tidak kita pahami tidak perlu menggelisahkan hati kita. Ayat di atas, juga mengaskan bahwa penialaian semuanya dikembalikan kepada Allah, dan Allah akan menjelaskan perbedaan-perbedaan yang diperselisihkan.
Prinsip bahwa pengadilan dan hukuman itu hanya milik Allah saja, menegaskan bahwa siapa pun di dunia ini, tidak memiliki otoritas sedikit
83 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Juz 6, h. 342.
84 Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Juz 6, h. 342. Menurut penulis, keikhlasan merupakan bagian dari ajaran yang dibawa oleh para rasul karena berkaitan erat dengan ketauhidan dan
kepasrahan kepada Allah, sehingga wajar jika salah satu surah dalam al-Qur'an dinamakan dengan surah al-Ikhlâs yang berisi tentang keesaan Allah.
pun untuk menilai dan menghukumi orang lain mengatasnamakan Tuhan. 85 Prinsip ini juga memberikan wawasan toleransi dan semangat keagamaan yang lapang untuk mengakui dan menerima eksistensi keyakinan yang berbeda.
Nabi Muhammad saw. pernah menggambarkan semangat keagamaan yang toleran ( al-hanîfiyyah al-samhah ) sebagai bentuk keagaman yang paling
dicintai Allah swt.
" Dari Ibn ‘Abbas ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah ditanya, " Agama mana yang paling dicintai Allah? " Nabi menjawab, " Semangat agama yang toleran (al- hanîfiyyah al-samhah). (HR. Ahmad)
Di Indonesia sendiri, pemerintah telah berusaha meminimalisasi adanya diskriminasi agama dengan menerapkan "trilogi kerukunan beragama", sebagai langkah awal untuk membentuk toleransi itu. Trilogi ini
berisi, pertama, kerukunan antar penganut suatu agama tertentu; kedua, kerukunan antar umat beragama yang berbeda; ketiga, kerukunan antar umat
" Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya…" (QS. Al-Baqarah/ 2: 272).
86 Lihat CD Mausû‘ah al-Hadîts al-Syarîf, no. hadis 2003.
beragama dengan pemerintah. Landasan dari trilogi kerukunan beragama ini lahir dari kesadaran akan adanya pluralitas agama di Indonesia.
Namun, persoalan toleransi agama di Indonesia masih belum optimal meskipun "trilogi kerukuan" telah ada. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan trilogi kerukunan iru mengalami banyak kendala, terutama kendala yang terkait langsung dengan tatanan negara dan struktur
pemerintahan yang ada. Justru banyak kalangan yang menilai bahwa fenomena toleransi di Indonesia pada masa Orde Baru lebih baik daripada
pemerintahan reformasi. 87
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga memberi jaminan kepada tiap- tiap pemeluk agama dan kepercayaan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945: " Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu." Namun pada perkembangannya, pemerintah ―dalam hal ini
87 Helmanita, Pluralisme dan Inklusifisme , h. 36. Pada masa reformasi, sering terjadi tindak kekerasan atas nama agama, baik antar agama maupun dalam satu umat agama.
Kekerasan antar agama yang saat ini masih terjadi adalah pertikaian Islam dengan Kristen di Ambon Poso dari 1999 hingga sekarang, meskipun juga ada faktor politik yang turut andil dalam konflik itu. Kekerasan dalam satu umat beragama juga masih terjadi, baru-baru ini adalah penyerangan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam (GUI) terhadap umat dan tempat ibadah Ahmadiyah, baik di Bogor (15 Juli 2005) maupun di Lombok. Padahal Ahmadiyah mendapat status hukum dari pemerintah RI, yaitu berdasarkan SK. Menteri Kehakiman No. JA 5/ 23/ 13, tertanggal 13 Maret 1953. Lebih jelasnya silahkan baca kumpulan artikel dalam Ahmad Suaedy, et.al., Kala Fatwa Jadi Penjara , (Jakarta: The WAHID Institute, 2006).
Departemen Agama ―tidak lagi mengakui kepercayaan sebagai suatu entitas
yang berdiri sendiri di luar agama, melainkan memandangnya sebagai suatu budaya. Padahal, dalam pembangunan sektor agama, kedudukan Departemen Agama adalah implementasi dari Pancasila (khususnya sila
pertamaa), UUD 1945 pasal 29, dan amanat GBHN. 88
Berdasarkan prinsip ini, sebenarnya berlaku kesetararan antara semua
agama dan aliran kepercayaannya, sehingga tidak ada lagi minoritas dan mayoritas. Semuanya memiliki kewajiban dan hak yang sama, yaitu kebebasan beragama dan melaksanakan tuntunan agamanya masing-masing, seperti tercantum dalam pasal 29 UUD 1945.
b. Q. S. Al-An'âm/6 : 108
" Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."
88 Ali, Teologi Pluralis , h. 59.
Sebab turun ayat: pada suatu ketika orang-orang Islam mencaci-maki brhala, sembahan orang-orang kafir, kemudian mereka dilarang dari memaki-maki itu. (Riwayat ‘Abd al-Razzâq dari Qatadah). 89 Menurut al-Thabarî dalam Tafsîr al-Thabarî menyebutkan terdapat lima riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat yang kesemuanya dapat disimpulkan dengan peristiwa yang pernah terjadi pada kaum muslim ketika
di Mekah memaki dan mencela berhala-berhala kaum musyrik. Kaum musyrik sakit hati karena berhala-berhala mereka dimaki, kemudian mereka memaki Allah juga. Maka turunlah ayat ini yang beirisi larangan kepada kaum muslim memaki berhala-berhala kaum musyrik, agar mereka tidak
memaki Allah. 90
Tim Tafsir Depag RI menjelaskan bahwa Allah melarang kaum Muslim memaki berhala yang disembah kaum musyrik untuk menghindari makian terhadap Allah dari orang-orang musyrik, karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah dan sebutan-sebutan yang seharusnya diucapkan untuk-Nya. Maka bisa jadi mereka mencaci-maki Allah dengan kata-kata yang menyebabkan kemarahan orang-orang mukmin. Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa suatu perbuatan
89 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 204- 205.
90 Al-Thabarî, Tafsîr al-Thabarî, Jil. 5, h. 304-305.
apabila dipergunakan untuk terwujudnya perbuatan lain yang maksiat, maka seharusnyalah ditinggalkan, dan segala perbuatan yang menimbulkan akibat buruk, maka perbuatan itu terlarang. Ayat ini memberikan isyarat pula kepada adanya larangan bagi kaum Muslimin bahwa mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan orang-orang kafir tambah menjauhi kebenaran. Mencaci-maki berhala sebenarnya adalah mencaci-maki benda
mati. Oleh sebab itu memaki berhala itu adalah tidak dosa. Akan tetapi karena memaki berhala itu menyebabkan orang-orang musyrik merasa tersinggung dan marah, yang akhirnya mereka akan membalas dengan
mencaci-maki Allah, maka teranglah perbuatan itu. 91
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbâh menjelaskan penggunaan kata
( ﻥﻴﺫـﻟﺍ ) alladzîna ―dengan mengutip pendapat dari al-Biqâ`î―yang menunjuk
kepada berhala-berhala sesembahan kaum musyrik, satu kata yang hanya digunakan kepada makhluk berakal dan berkehendak. 92 Kata tersebut
mungkin dipilih untuk menunjukkan betapa sembahan-sembahan jangan dimaki, karena kaum musyrik percaya bahwa berhala-berhala itu berakal
91 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 204.
92 Shihab, Tafsir al-Mishbâh , Vol. 4, h. 242.
dan berkehendak. 93 Atau perbuatan memaki-maki sesembahan kaum
musyrik, berarti juga memaki-maki mereka. 94
Menurut Hamka, orang-orang yang menyembah berhala itu juga mengakui bahwa Allah itu ada dan esa. Mereka menyembah berhala hanyalah sebagai perantara saja yang akan menyampaikan permohonan
mereka kepada Allah. 95 Mereka akan marah dan membalas cacian yang
berlebihan jika kaum muslim mencaci dan mencela sesembahan mereka. Allah memberikan penjelasan bahwa Dia menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka sendiri. Hal ini berarti ukuran baik dan tidaknya sesuatu perbuatan atau kebiasaan, adakalanya timbul dari penilaian manusia sendiri, apakah itu merupakan perbuatan atau kebiasaan yang turun-temurun ataupun perbuatan serta kebiasaan yang baru saja timbul, seperti tersinggungnya perasaan orang-orang musyrik apabila ada orang- orang yang memaki berhala-berhala mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran untuk menilai perbuatan atau kebiasaan itu baik atau buruk, adalah termasuk persoalan yang ikhtiyari. Hanya saja di samping itu, Allah telah memberikan naluri pada diri manusia untuk menilai perbuatan dan
93 Al-Qurthubî, A l-Jâmi‘ li A hkâm, Jil. 7, h. 41; dan lihat pula al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî, Jil. 4, Juz 4, h. 236.
94 Al-Qâsimî, Mahâsin al-Ta'wîl, Jil. 4, h. 463.
95 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1992), Juzu' VII, h. 306.
kebiasaan itu, apakah perbuatan dan kebiasaan itu termasuk baik ataukah buruk. Sedangkan tugas-tugas rasul adalah menyampaikan wahyu yang membimbing dan mengarahkan naluri untuk berkembang sebagaimana mestinya ke jalan yang benar agar mereka dapat menilai perbuatan serta
kebiasaan itu dengan penilaian yang benar. 96
Pada akhir ayat ini Allah memberikan penjelasan bahwa manusia
keseluruhannya akan kembali kepada Allah setelah mereka mati, yaitu pada hari kebangkitan, karena Dialah Tuhan yang sebenarnya dan Dia akan memberitakan seluruh perbuatan yang mereka lakukan di dunia, dan akan
memberikan balasan yang setimpal. 97
Larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan pihak lain merupakan tuntunan agama, guna memelihara kesucian agama-agama, dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar umat beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati adalah sumber emosi. Berbeda dengan akal dan pikiran. Karena itu seseorang dengan mudah mengubah pendapat ilmiahnya,
96 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 205.
97 Depag RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (edisi yang disempurnakan 2004), Jil. 2, h. 204- 205.
tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya walau bukti-bukti kekeliruan kepercayaan ada di depan matanya.
Allah tidak hanya melarang umat Islam untuk memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan selain Islam, bahkan Dia juga melarang umat Islam untuk merusak tempat-tempat ibadah agama lain. Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hajj/ 22: 40:
" ……Tuhan kami hanyalah Allah" . Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Agama Islam juga mengajarkan untuk menjalin persaudaraan antara seorang muslim dan non-muslim, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum muslim. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya QS. Al- Mumtahanah/ 60: 8
" Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang- orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa Dia tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong menolong, dan saling membantu dengan orang-orang kafir selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum
muslim, serta tidak mengusir dari negeri-negeri. 98
Agama Islam menganjurkan untuk tidak menjauhkan diri dari
persahabatan dan hubungan yang adil dengan mereka yang berbeda keimanan, hanya karena mereka adalah penganut agama yang berbeda. Menghindar dari mereka, jika mereka secara aktif memerangi keimanan religius seseorang dan mengusirnya dari kediamannya sendiri.
Yusuf Ali memberi penjelasan ayat di atas dengan; "Bahkan kaum kafir pun, kecuali jika mereka itu congkak dan berusaha untuk
menghancurkan kita dan iman kita, kita harus bertindak secara baik dan adil,
sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi kita sendiri." 99
98 Universitas Islam Indonesia (UII), Al-Qur'an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jil. X, h. 110. Allah mengijinkan berperang, jika umat Islam diperangi
dahulu. Sebagaimana dalam QS. Al-Hajj/ 22: 39:
" Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka
telah dianiaya. Dan sesungguhnya A llah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu."
99 "Even with unbelievers, unless they are rampant and out to destroy us and our Faith, we should deal kindly and equitably, as is shown by our holy Prophet's own example."
Penjelasan catatan kaki untuk QS. Al-Mumtahanah/ 60: 8 dalam Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Text, Translation & Commentary, (Lahore: Kashmiri Bazar, 1980), h. 1534, catatan kaki no. 5421.
Hubungan antaragama ini diperkuat dengan QS. Al-Kâfirûn/ 109: 1-6:
(1) Katakanlah: " Hai orang-orang kafir, (2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. (4)
Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. (6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." 100
Prinsip-prinsip di atas inilah yang dahulu mendasari berbagai kebijakan politik kebebasan dan toleransi beragama dalam Dunia Islam. Meskipun tidak sepenuhnya sama dengan yang ada di zaman modern ini, namun prinsip-prinsip kebebasan dan toleransi beragama dalam Islam klasik itu sama dengan yang ada sekarang.
Surah al-Kâfirûn ini turun berkenaan dengan adanya rombongan pembesar- pembesar Quraisy yang datang menemui Nabi Muhammad saw. dan menyatakan, "Hai Muhammad, marilah engkau mengikuti agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua masalah yang kami hadapi; engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa benar, maka kami berada bersamamu dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau telah bersekutu pula bersama-sama kami dan engkau akan mendapat bagian pula darinya." Lalu turunlah surah al-Kâfirûn sebagai jawaban dari ajakan mereka.
BAB V PENUTUP