ﻻ ِﻧﻜ
حﺎ ِا
ِِِِﻻ ِﺑ
ﻮ ﻰﻟ
و ﺷ
ِه ﺎ ﺪ
ﻋ ى ْﺪ
ل
“ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang adil”HR. Daruqhutny dan Ibnu Hibban
Dari bunyi hadits di atas menurut Rifa’yah, bahwa rukun perkawinan selain harus ada wali juga harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Kata adil disini
sangat diperhitungkan oleh mereka karena rukun yang sering menjadi penyebab adanya perkawinan ulang adalah mengenai saksi yang kurang memenuhi syarat adil
penjelasan tentang syarat saksi adil sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya. Adapun pendapat sesepuh pendiri Rifaiyah yaitu K.H Ahmad Rifa’i tentang
perkawinan ulang adalah sebagai berikut: 1.
Apabila ada rukun dan syarat perkawinan yang cacat atau kurang sempurna, maka perkawinan tidak bisa dianggap sah dan harus dilakukan perkawinan ulang
atau akad nikah baru, terutama yang berkaitan dengan masalah saksi. 2.
Apabila akad perkawinan dilakukan di hadapan hakim pemerintahan kolonial Belanda maka tidak sah atau tidak ada gunanya batal dan harus dilakukan
perkawinan ulang atau akad nikah baru. Karena, beliau beranggapan bahwa hakim syara’ yang bekerja dalam pemerintahan kolonial Belanda tergolong
orang-orang fasik yang saling membantu dengan hukum kafir. K.H Ahmad Rifa’i adalah salah satu ulama pribumi yang sangat anti dengan
kolonial Belanda. Sehingga, beliau menganggap kolonial Belanda adalah orang-orang kafir yang harus diperangi dan haram hukumnya mengikuti peraturan-peraturannya.
Akan tetapi, kalangan Rifa’iyah hanya mengikuti pendapat yang pertama yaitu, bahwa perkawinan ulang layak untuk dilakukan apabila diketahui para saksinya
kurang memenuhi syarat menjadi saksi atau kurang sempurna. Maka, dianjurkan untuk melakukan perkawinan ulang atau akad nikah baru dengan tujuan untuk
menyempurnakan perkawinan. Tetapi, perkawinan ulang atau akad nikah baru tersebut bukanlah merupakan kewajiban atau keharusan untuk dilakukan, hanya
diperuntukan bagi mereka yang menghendaki atau menginginkan saja. Adapun pendapat yang kedua mereka tidak bisa mengikuti karena saat sekarang sudah sudah
terbebas dari pemerintahan kolonial Belanda.
C. Analisis Penulis
Setelah penulis memaparkan beberapa uraian yang berhubungan dengan rumusan masalah, maka selanjutnya penulis akan memaparkan analisis terhadap
rumusan masalah tersebut. Adapun analisisnya adalah sebagai berikut: 1.
Memang benar menurut pendapat jumhur ulama dan telah dirumuskan oleh para ulama Indonesia bahwa salah satu syarat saksi adalah adil. Akan tetapi, menurut
penulis adalah suatu hal yang sangat sulit untuk bisa mengetahui sejauh mana seseorang sudah bisa berbuat adil atau belum bahkan tidak. Penulis beranggapan
cukup kiranya melihat adil atau tidaknya seseorang dari lahirnya saja, karena kehadiran saksi pada waktu akad nikah adalah untuk menyaksikan atau
mengetahui bahwa perkawinan itu telah berlangsung. Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, untuk memudahkan pelaksanaan perkawinan cukup kiranya
5
Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pendapat K.H Ahmad Rifa’i yaitu tentang syarat adil, tetapi
masalahnya adalah sulitnya kemampuan manusia mengetahui batasan seseorang adil atau tidak. Untuk mengantisipasi hal tersebut dan memudahkan dalam
memenuhi rukun nikah atau perkawinan, maka setiap orang yang ditunjuk menjadi saksi akad nikah baik di KUA maupun diluar KUA diwajibkan untuk
mengucapkan dua kalimat syahadat dan istighfar sebelum menyaksikan atau mengikrarkan keabsahan akad nikah atau perkawinan.
2. Menururut pendapat jumhur ulama maupun undang-undang tentang perkawinan
yaitu, apabila sebuah perkawinan telah memenuhi rukun dan syarat maka sudah di anggap sah, jika sudah sah maka bisa dikatakan sudah sempurna dan tidak perlu
dilakukan perkawinan ulang. Karena, masalah kesempurnaan hanya persepsi manusia yang terbatas, dan makna hakikat kesempurnaan hanya Tuhan yang
mengetahui. Adapun tujuan lain dari perkawinan ulang adalah untuk memberitahukan kepada kedua mempelai khususnya pihak suami supaya berhati-
hati dalam mengucapkan kalimat talaq, hal itu pun mesti disampaikan oleh
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, op.cit. h, 119.
penghulu sebelum dilangsungkan akad nikah atau perkawinan. Maka sebenarnya tidak ada perbedaan antara perkawinan yang pertama dengan perkawinan ulang.
3. Memang sangat jelas penjelasan dari hadits yang diriwayatkan oleh Daruqhutni
dan Ibnu Hibban tentang tidak sahnya perkawinan tanpa adanya wali dan dihadiri dua orang saksi. Akan tetapi, karena sulitnya mengetahui seseorang sudah bisa
berbuat adil atau belum maka cukup kiranya kita hanya melihat adilnya seseorang dari lahirnya saja. Apabila mengikuti pendapat K.H Ahmad Rifa’i dan sejauh tidak
menyimpang atau bertentangan dengan aturan agama, maka sesuatu hukum itu boleh dilakukan meskipun tidak ada dalil nash yang menjelaskan. Karena, apabila
merujuk ke kaidah fiqih yang berbunyi al-‘Adatu Muhakkamah adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai hukum maka dibolehkan, selagi bisa mendatangkan
kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nash dan jiwa syari’at.
6
Tetapi, alangkah baiknya jika dilakukan penelaahan lebih jauh lagi terkait dengan hukum
adat itu sendiri. Karena dengan berubah dan berkembangnya zaman atau waktu tidak menutup kemungkinan sesuatu hukum adat tersebut sudah tidak sesuai lagi
jika masih diterapkan pada zaman atau saat sekarang.
6
Asmuni A.Rahman, Qawa’idul Fiqhiyah,Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 88.