Gerakan Rifa’iyah Gambaran Umum Rifa’iyah

Rifa’i mempersiapkan murid-muridnya dengan cara khusus seperti pengkaderan untuk masa depan pemikiran dan penggeraknya. Mereka itu orang-orang yang akan mengembangkan kitab-kitab yang telah dikarang oleh Syaikh Ahmad Rifa’i dan mereka di kenal sebagai para penerus murid generasi pertama. 4 Ajaran KH Ahmad Rifa’i mempunyai ciri khas dengan umat Islam pada umumnya sehingga ada pihak-pihak yang menganggap ajarannya sebagai ajaran sesat, yang sampai saat sekarang masih teguh dijalankan oleh para pengikutnya. Salah sa tunya ajaran beliau tentang keyakinannya bahwa rukun iman hanya ada satu, yaitu membaca dua kalimat syahadat. 5 Syaikh Ahmad Rifai berpendapat bahwa rukun Islam itu satu dalam pengertian syarthiyah, yakni yang mewajibkan menentukan secara lahir sahnya Islam seseorang. Dengan demikian seseorang ketika mengucapkan kedua kalimat syahadat maka orang tersebut sudah tergolong masuk Islam, tetapi dia wajib menyempuranakan imannya dengan membenarkan hatinya dan mengerjakan ajaran-ajaran Islam dengan jalan yang sesuai. Adapun implementasinya dinamai dengan perbuatan Islam amaliatul Islam . Maka menurut ajaran dasar Syaikh Ahmad Rifai sudah termasuk Islam orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat saja meskipun mereka tidak melakukan ajaran-ajaran Islam seperti yang diwajibkan kepada orang Islam. Maksudnya adalah bahwa sesungguhnya orang-orang itu menikmati keislamannya dan akan 4 Ibid 5 Ahmad Rifa’i, Tahyirotul Muhtashor , 12651851, h. 4 tetapi mereka wajib menyempurnakan apa yang kurang seperti sholat, zakat, puasa ramadhan atau haji dari syarat-syarat iman kepada Allah membenarkan dan tunduk atas kewajiban tersebut. 6 Pendapat Syaikh Ahmad Rifai dalam hukum-hukum syara sejalan atau cenderung dengan fiqih Imam Syafii yang terdapat dalam bermacam-macam kitab karangan beliau yang ditulis dalam bahasa Jawa, seperti kitab Syarihul Iman, Taisir, T 2. Pandangan Rifa’iyah terhadap masalah perkawinan tidak jauh berbeda dengan pandangan para ulama pada umumnya, karena mereka mengikuti madzhab abyinul Islah limuradi an-Nikah, Inayah, Irsyad, Targhib dan lainnya. Ketika terdapat pembicaraan yang berbeda tentang suatu masalah maka yang terbaik adalah memikirkan bahwa perbedaan tersebut merupakan ijtihad individual Syaikh Ahmad Rifai, seperti pendapat beliau bahwa rukun Islam hanya satu yaitu membaca dua kalimat syahadat, tetapi wajib menyempurnakan imannya dengan menjalankan ajaran-ajaran Islam seperti sholat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Untuk menyesuaikan pemikirannya dengan kebutuhan dan realitas umat, maka beliau menulis kitab-kitab yang berbahasa Jawa agar supaya mudah dipahami oleh para pengikutnya. 7 Pandangan Rifa’iyah terhadap Masalah Perkawinan 6 Muhammad Amin Ridho, Usfita Syekh Ahmad Rifa’i, Wonosobo: Manba’ul Anwar Press, 2008, h. 14-15 7 Ahmad Rifa’I, Taisir,Penerjemah Ahmad Syadzirin Amin, Pekalongan, Yayasan Badan Wakaf Rifa’iyah, 2009, h. 17 Imam Syafi’i, hanya saja mereka sangat berhati-hati dalam melaksanakannya ehingga tidak jarang atau sering terjadi istilah perkawinan ulang. Mungkin dengan adanya perkawinan ulang terkesan berlebihan, sampai akhirnya timbul persepsi masyarakat akan adanya perbedaan dengan perkawinan yang dilakukan orang Islam pada umumnya di Indonesia. Padahal tidak demikian ada perbedaan, Rifa’iyah hanya mempertahankan tradisi perilaku K.H Ahmad Rifa’i yang sangat kental dengan kehati-hatiannya dalam menerapkan hukum agama syariat. Adapun pendapat K.H Ahmad Rifa’i tentang masalah perkawinan telah ditulis dalam sebuah kitab yang sampai sekarang masih menjadi rujukan utama para penganut Rifa’iyah dalam masalah perkawinan, yaitu kitab Tabyinul Islah Limuradi an-Nikah. Isi dari kitab tersebut adalah membahas seputar masalah perkawinan, seperti hukum, rukun dan syarat perkawinan, thalaq, ruju’ dan sebagainya. Kitab tersebut beliau tulis dengan menggunakan bahasa Jawa huruf arab latin, karena untuk memudahkan bagi orang awam yang belum paham tentang hukum agama syariat yang berkaitan dengan masalah perkawinan. Pendapat K.H Ahmad Rifa’i tentang hukum nikah pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama , yang mana beliau berpendapat bahwa s 8 9 8 Nurudin Fajar, “Aliran Rifa’iyah Didukuh Kretegan Desa Karangsari Kecamatan Rowosari-Kendal, Pada Tahun 1960-1975”,Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri emaran min Ridho, Usfita Syaekh Ahmad Rifa’i, op.cit, h.106. S g, 2007, h.55. 9 Muhammad A hukum asal perkawinan adalah mubah, tetapi adakalanya bisa menjadi wajib, sunnah, haram, bahkan makruh. 10 Sedangkan pendapat beliau tentang rukun dan syarat pe erempuan b. Syarat sah perkawinan 1. Syarat-syarat pengantin laki;laki ada lima perkara, yaitu: 1. Baligh, bila masih keci maka bapak atau kakek kabulnya. 2. Berakal, bila hilang akalnya maka bapak kabulnya. u sesusuan dengan pengantin wanita. 4. Dengan kehendak sendiriikhtiar, tidak sah apabila dipaksa. rkawinan pada dasarnya juga tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, hanya saja beliau terkesan lebih teliti dalam merinciksnnya, baik dalam rukun maupun syarat. 11 Adapun rukun dan syarat sah perkawinan menurut beliau adalah sebagai berikut: 12 a. Rukun nikah ada lima perkara, yaitu; 1. Pengantin laki-laki 2. Pengantin perempuan 3. Wali pengantin p 4. Dua orang saksi 5. Ijab dan Qabul 3. Tidak senasab ata 10 Ahmad Rifai, Tabyinul Islah limuradi an-Nikah, t.t, t.p, 1847, koras 1-2. 11 Ibid. 12 Ibid. koras 2-3. 5. Menentukan dan mengetahui nama wanita yang akan dinikahi, a dan sudah laki, yaitu: ndiri, tanpa ada paksaan selain wali mujbir yaitu bapak -laki yang akan menikahinya. m, yaitu enikahkan wanita dengan cara memaksa meskipun ia ujbir ada enam perkara, yaitu: 1. Bap g laki-laki yang adil, terkenal orang yang dapat dipercaya. mengetahui akan status calon istrinya, perawan atau jand lepas ‘iddah. 2. Syarat pengantin wanita sama dengan syarat pengantin laki- 1. Berusia baligh. 2. Berakal. 3. Tidak senasab atau tidak sesusuan dengan pengantin laki-laki. 4. Kehendak sen atau kakek. 5. Mengetahui laki 3. Syarat wali Wali yang akan menikahkan seorang wanita ada dua maca wali mujbir dan wali bukan mujbir. Adapun wali mujbir adalah seorang wali yang boleh m tidak rela. Syarat wali m aknya, kakeknya atau tuan hambanya yang menjadi wali mujbir, adapun saudara dan pamannya bukanlah wali mujbir. 2. Status pengantin harus gadis perawan walaupun usia baligh. 3. Seoran 4. Dinikahkan kepada kufunya. 5. Dinikahkan kepada seorang laki-laki yang bukan musuh dengan anaknya. 6. Harus dapat mahar mitsil dan pengantin laki-laki sanggup mujbir. ak menikahkan seorang wanita bila statusnya belum baligh enikahkannya, basic izin maupun rsebut sudah baligh, maka sah menikah 4. , yaitu harus orang laki-laki. dalam naungan atau dimiliki ri dua orang laki-laki. membayarnya. Wali bukan mujbir adalah selain wali Selain dari dua wali di atas ada juga wali wanita janda tsayyibah, wali mujbir berh dan lagi perawan bukan janda. Tetapi kalau wanita tersebut ternyata janda, maka bapak dan kakeknya tidak berhak m tidak, sama saja tidak sah. Apabila janda te kannya dengan syarat izin daripadanya, karena janda yang belum baligh apa yang di ucapkan tidak dapt dipercaya. Syarat saksi Syarat sah saksi ada enam belas perkara, yaitu: 1. Islam, yaitu orang yang beragama Islam. 2. Aqil, yaitu orang yang berakal. 3. Baligh, yaitu sudah mencapai usia dewasa. 4. Laki-laki 5. Merdeka, yaitu orang yang sudah tidak tuannya. 6. Dua orang, yaitu harus terdiri da 7. Melihat, yaitu bisa melihat atau tidak buta. an jelas. k, yaitu bukan anaknya sendiri. am keadaan aman atau bebas ar. isa menjaga kehormatannya. eyakini Tuhan. taan penerimaan dari pengantin laki-laki. ah disetubuhi. Meng 8. Mendengar, yaitu bisa mendengar deng 9. Mampu mengucap, yaitu bisa mengucap dengan jelas. 10. Bukan ana 11. Bukan bapak, yaitu bukan bapaknya mempelai wanita. 12. Bukan musuh, yaitu harus orang yang dal dari tekanan kedua mempelai. 13. Tidak fasik, yaitu orang yang tidak melakukan dosa bes 14. Bisa menjaga harga diri, yaitu orang yang b 15. Selamat keyakinannya, yaitu orang yang benar-benar m 16. Bukan orang pemarah, yaitu orang yang suka marah emosi. 5. Syarat ijab qabul Syarat ijab qabul ada enam perkara, yaitu: 1. Pengantin laki-laki harus mengetahui ijab dan qabul. 2. Pengantin laki-laki tidak boleh terlalu lama menjawab qabulnya. 3. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali perempuan. 4. Adanya pernya 5. Tidak ada perjanjian menceraikan setel 6. gunakan bahasa yang bisa dimengerti.

BAB IV PANDANGAN PARA TOKOH PENGANUT ALIRAN RIFA’IYAH

TENTANG PERKAWINAN ULANG

A. Perkawinan Ulang

1. Pengertian

Kata “ulang” menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah kembali, lagi, atau berkali-kali. 1 Apabila kata “ulang” merupakan kata tambahan untuk merangkai agar menjadi sebuah variable, maka kata sebelumya berarti kembali atau terjadi lagi. Dalam hal ini kata yang dimaksud adalah kata perkawinan, jadi maksudnya adalah bahwa perkawinan itu kembali atau terjadi lagi. Maka, apabila kedua kata tersebut digabungkan, akan menimbulkan sebuah definisi yaitu, perkawinan ulang adalah perkawinan yang dilakukan setelah sebelumnya sudah pernah terjadi perkawinan atau akad nikah.

2. Pandangan Para Tokoh tentang Perkawinan Ulang

Untuk memperoleh jawaban para tokoh penganut aliran Rifa’iyah di Kelurahan Pagerkukuh Kecamatan Wonosobo tentang perkawinan ulang, penulis telah melakukan wawancara dengan beberapa tokoh penganut aliran Rifa’iyah di kelurahan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai perkawinan ulang. Salah satunya adalah wawancara dengan Bapak Kyai Hadi Sutopo yang 1 Sulkan Yasin dan Sunarto Hapsoyo, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Mekar, 1990, h. 318. 40 mana beliau berpendapat bahwa, perkawinan ulang adalah merupakan sebuah anjuran untuk dilakukan bukan keharusan. Tetapi, apabila mengikuti pendapat K.H Ahmad Rifa’i pendiri Rifa’iyah maka, sebaiknya perkawinan ulang perlu dilakukan karena untuk menyempurnakan perkawinan, dan menurut beliau perkawinan yang dilakukan di KUA Kantor Urusan Agama adalah sah karena sudah memenuhi rukun dan syarat, tetapi kurang sempurna. 2 Hal yang sama juga dikatakan oleh Bapak Kyai Sowarno dan para tokoh Rifa’iyah lainnya bahwa perkawinan ulang merupakan sebuah anjuran yang sifatnya setengah dari wajib untuk dilakukan, karena menurut pendapat KH. Ahmad Rifa’i pendiri Rifa’iyah bahwa apabila ada salah satu atau lebih rukun dan syarat perkawinan kurang terpenuhi dengan sempurna maka perkawinan ulang harus dilakukan. Akan tetapi beliau berpendapat perkawinan yang dilangsungkan di KUA Kantor Urusan Agama sudah sah, karena sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan, tapi mungkin kurang sempurna. 3 Kesimpulannya adalah bahwa perkawinan ulang perlu dilakukan karena untuk menyempurnakan perkawinan.

3. Alasan Melakukan Perkawinan Ulang

Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan beberapa tokoh tentang alasan melakukan perkawinan ulang semua berpendapat sama yaitu, 2 Bapak Kyai Hadi Sutopo, Wawancara Pribadi , Wonosobo, 13 April 2010 3 Bapak Kyai Suwarno, Wawancara Pribadi, Wonosobo, 14 April 2010 karena untuk mengantisipasi atau menjaga jika dikhawatirkan atau ditemukan yang menjadi saksi perkawinan di KUA Kantor Urusan Agama diragukan akan kesaksiannya, karena tidak atau kurang memenuhi syarat menjadi saksi. Sehingga, disangsikan perkawinan tersebut kurang sempurna atau bahkan tidak sah jika mengikuti pendapat K.H Ahmad Rifa’i pendiri Rifa’iyah. Karena saksi merupakan salah satu rukun nikah, maka harus diperhatikan atau diperhitungkan. Dalam hal ini yaitu, orang-orang yang telah memenuhi syarat atau sepantasnya menjadi saksi meskipun tidak sepenuhnya bisa sempurna, artinya semua syarat ada pada dirinya tetapi setidaknya mendekati kesempurnaan, sehingga perkawinan bisa lebih sempurna. Akan tetapi, tidak menganggap pernikahan di KUA tidak sah akan tetapi sudah sah, dan alangkah baiknya dan tidak ada salahnya apabila dilakukan perkawinan ulang atau akad nikah baru yang intinya adalah untuk menyempurnakan perkawinan. Adapun syarat menjadi saksi yang memenuhi tingkatan adil menurut Rifa’iyah adalah sebagai berikut : 1. Islam, yaitu orang yang beragama Islam dan tidak sah apabila dari selain orang Islam. 2. Aqil, yaitu orang yang berakal dan tidak sah apabila orang yang hilang ingatan menjadi saksi 3. Baligh, yaitu sudah mencapai usia dewasa dan sudah dikenai beban hukum syari’at dan tidak sah orang yang belum baligh menjadi saksi.