Pengertian Perkawinan TINJAUAN UMUM MASALAH PERKAWINAN

Dikatakan oleh Prof Muhammad Amin Summa mengutip dari Abdur-Rahman Al-Juzairi dalam kitab Mazdahib al-Arba’ah, kata nikah kawin dapat didekati dengan pengertian makna, yakni makna lughawi etimologis, makna ushuli syar’i, dan makna fiqhi hukum. Terutama dari sudut pandang makna lughawi dan makna fiqhi hukum. Sedangkan dari sudut pandang ushuli syar’i dititikberatakan pada hal-hal yang bertalian erat dengan pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah dari kebolehan berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia asas dua berbanding satu dalam hal pembagian harta peninggalan tirkah dalam hal kewarisan. 6 Dalam hukum perdata arti perkawinan menurut Paul Scholten, perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara. 7 Sedangkan konsepsi perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan pada pokoknya adalah: 1 ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri 2 dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” 8

B. Rukun dan Syarat sah Perkawinan

1. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah

6 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005 h. 41. 7 Kama Rusdiana dan Zaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: UIN Jakrata Press, 2007, h. 4. 8 Ibid. Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Sah yaitu sesuatu pekerjaan ibadah yang memenuhi syarat dan rukun. 9 Rukun dan syarat menentukan perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari perbuatan hukum. Dalam perkawinan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, dalam artian perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mengujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. 10 Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang mana perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan, yaitu: akad perkawinan, calon suami, calon istri, wali dari calon istri, dua orang saksi yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau maskawin. 11 9 Abdurrahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003, h. 45. 10 Amir Syarifuddin, op.cit. h. 59. 11 Ibid.

2. Rukun Perkawinan

Dalam memahami tentang jumlah rukun nikah, ada perbedaan dikalangan para ulama atau imam madzhab, di antaranya menurut imam Hanafi rukun nikah hanya ada dua, yaitu ijab dan qabul, tidak ada yang lain. 12 Sedangkan menurut imam Maliki rukun nikah ada lima, yaitu 1 wali, 2 mahar harus ada tetapi tidak harus disebutkan pada saat akad, 3 suami, 4 isteri, 5 sighah. 13 Menurut Imam Syafi’i rukun nikah ada lima, yaitu 1 suami, 2 isteri, 3 wali, 4 dua orang saksi, 5 shigat ijab dan qabul. 14 Meskipun keduanya berpendapat sama tentang jumlahnya akan tetapi sedikit berbeda pada penjelasan yang termasuk kedalam rukunnya. Imam Maliki memasukkan mahar kedalam rukun sedangkan Imam memasukannya kedalam syarat. Begitu pula sebaliknya Imam Syafi’i menempatkan dua orang saksi kedalam rukun sedangkan Imam Maliki tidak menempatkannya kedalam rukun. 15 Dari beberapa perbedaan pendapat , Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun perkawinan ada lima, yaitu: 1. Adanya calon suami 2. Adanya calon istri 12 Wahbah al-Zuhaily.op.cit. h. 6572. 13 Abd al-Rahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah , Beirut: Dar al-Fikri, 1996, h. 12. 14 Abdurrahman Ghazaly, op cit. h. 51. 15 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Pedata Islam di Indonesia, Jakarta: Kenc ana, 2004, h. 61.