dengan satuan promil
00
. Kandungan utama dari air laut dibentuk oleh ion Na
+
dan Cl
-
, ditambah berbagai jenis unsur lain yang jumlahnya relatif sedikit Barus, 2004.
Hutan mangrove di kawasan desa Sicanang, Belawan merupakan salah satu kawasan yang banyak didominasi oleh jenis vegatasi Avicennia marina . Penelitian
tentang jenis-jenis fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah A. Marina setelah aplikasi fungi pada beberapa tingkat salinitas masih sangat terbatas. Maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat pengaruh aplikasi fungi yang diperoleh pada penelitian sebelumnya yaitu Aspergillus sp., Curvularia sp.,
Penicillium sp., terhadap keanekaragaman jenis fungi yang berasosiasi pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada beberapa tingkat salinitas pada
kawasan desa Sicanang.
1.2 Permasalahan
Serasah daun A. marina di kawasan mangrove desa Sicanang memberikan sumbangan unsur hara dan bahan organik bagi organisme dan perairan sekitarnya. Serasah
merupakan bahan utama untuk tempat berkumpulnya mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Fungi sangat berperan dalam proses dekomposisi. Informasi yang
mengungkap fungi dalam dekomposisi serasah daun A. marina setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp., pada beberapa tingkat salinitas di
lingkungan mangrove secara khusus masih sangat terbatas, terutama di kawasan mangrove desa Sicanang, Belawan. Maka dari itu, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan, yaitu: 1. Apakah fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp., menunjukkan
keanekaragaman fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah daun A. marina.
2. Apakah tingkat salinitas menunjukkan keanekaragaman fungi yang berasosiasi pada proses dekomposisi serasah daun A. marina.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi setelah aplikasi fungi
Aspergillus sp., Curvularia sp., dan Penicillium sp. pada berbagai tingkat salinitas.
1.4 Hipotesis
Aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia sp., Penicillium sp. dan tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami
proses dekomposisi.
1.5 Manfaat
1. Mengetahui keanekaragaman jenis fungi yang berperan dalam proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas setelah aplikasi fungi Aspergillus sp., Curvularia
sp., Penicillium sp. 2. Penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi masyarakat umumnya ataupun instansi yang terkait.
3. Sebagai informasi dasar untuk penelitian selanjutnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di kawasan pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai DAS yang berbatasan dengan laut dan masih
dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8 Santoso, 2000.
Menurut Nybakken 1992, hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genus tumbuhan berbunga: Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus,
Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus Bengen, 2000.
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam
atau salinitas pasang surut air laut; dan kedua sebagai individu spesies Supriharyono, 2000. Agar lebih jelas, Macnae, 1968 menggunakan istilah mangal
apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan
payau. Namun menurut Khazali 1998, penyebutan mangrove sebagai bakau
Universitas Sumatera Utara
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove, yaitu Rhizophora mucronata.
2.1.1 Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh di daerah payau Santoso, 2000. Menurut Soerianegara dan Indrawan 1982, ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut: tidak dipengaruhi
iklim, terpengaruh pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai stratum tajuk dan tinggi mencapai 30
meter.
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji 2001, tidak selalu ketiga
ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Setiap ekosistem mempunyai fungsi masing-
masing.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, unsur hara dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem
lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan unsur hara yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai
penjebak sedimen sedimen trap sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak gelombang dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat tempat tinggal, tempat mencari makan
feeding ground, tempat asuhan dan pembesaran nursery ground, tempat pemijahan spawning ground bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu
karang. Disamping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi
Universitas Sumatera Utara
tempat migrasi organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya Kaswadji, 2001.
2.1.2 Jenis dan Penyebaran Hutan Mangrove
Secara umum, hutan mangrove mempunyai keanekaragaman jenis yang rendah. Chapman 1975 melaporkan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia.
Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi 63 jenis dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian
Barat 43 jenis. Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari Asia Timur jauh mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis mangrove Idawaty, 1999. Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik Idawaty, 1999. Sedangkan IUCN 1993, menyebutkan
bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor- faktor seperti, cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut,
ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Avicennia sp., Rhizophora sp., Soneratia sp., Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Bruguiera sp., dan tumbuh-tumbuhan
bawah yang hidup diantaranya Acrostichum aureum, Achantus iliciflius, dan Archanthus ebracteatus. Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah di
daerah pesisir, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mangandung pasir dan lumpur serta umumnya pada pantai landai yang terhindar dari ombak besar. Vegetasi
mangrove mempunyai zonasi yang khas, dicirikan oleh adanya perbedaan jenis yang tersusun menurut urutan tertentu walaupun dengan batas yang kurang jelas Sagala,
1994.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bengen 2001, penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di
Indonesia: 1 Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini biasanya berasosiasi dengan
Sonneratia sp. yang dominan tumbuh pada lumpur yang kaya bahan organik. 2 Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. di
zona ini juga dijumpai Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. 3 Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp. 4 Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan
dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
Beberapa spesies mangrove memperlihatkan sifat viviparitas biji sudah berkecambah selagi buah masih menempel pada ranting. Semua anggota dari suku
Rhizophoraceae, Avicennia sp, Verbenaceae, dan Aegiceros corniculatum Myrsinaceae memperlihatkan viviparitas Kusmana, 1996.
2.1.3 Adaptasi Hutan Mangrove
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen 2001, menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk:
a. Adaptasi terhadap kadar-kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas: 1 bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
misalnya: Avicennia sp., dan Sonneratia sp. untuk mengambil oksigen dari udara; dan 2 bertipe penyanggatongkat yang mempunyai lentisel misalnya Rhizophora
sp.. b. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi: 1 Memiliki sel-sel khusus dalam daun
yang berfungsi untuk menyimpan garam. 2 Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. 3 Daunnya memiliki
struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. c. Adaptasi terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
Universitas Sumatera Utara
horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
Menurut Chapman 1975, terdapat tujuh bentuk perakaran utama mangrove, yaitu: 1 Bentuk perakaran sederhana yang timbul tenggelam di dalam tanah, misal
Lumnitzera sp. 2 Bentuk akar lutut, misal Bruguiera sp. 3 Akar dorsal yang tumbuh ke atas yang bertumpu pada akar horizontal, misal Camptostemon sp. 4
Bentuk perakaran horizontal yang berupa banir, misal Xylocarpus sp. 5 Akar pasak, misal Avicennia sp. 6 Akar pasak yang memproduksi pneumathoda terminal, misal
Laguncularia sp. 7 Akar tunjang, misal Rhizophora sp.
2.2 Fungsi Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove dikategorikan sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya Snedaker, 1978 yang memberikan kontribusi penting terhadap produktivitas
ekosistem pesisir Harger, 1982. Ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis Santoso dan Arifin, 1998. Menurut Anwar et al 1984,
hutan mangrove bagi kebanyakan pesisir pantai di Sumatera Utara merupakan suatu daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak
dan perembesan air asin, dan selanjutnya mempunyai fungsi dan potensi yang secara garis besarnya dapat dibagi tiga aspek:
1 aspek fisik, 2 aspek biologi, dan
3 aspek ekonomis.
Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu diterapkan serta digalakkan prinsip save it lindungi, study it pelajari, dan use it
manfaatkan. Semua itu tentu memerlukan koordinasi antara stakeholders dan masyarakat di sekitar kawasan tersebut maupun para pecinta lingkungan, terutama
kalangan akademis. Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari,
yaitu teknologi, diversifikasi pemanfaatan upaya sustainable, dan pengelolaan terpadu Arief, 2003.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Serasah Mangrove