Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke

(1)

GAMBARAN COPING STRES PADA LANSIA PENDERITA KELUMPUHAN PASCASTROKE

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persayaratan Ujian Sarjana Psikkologi

Oleh SOFYAWATI. N

041301112

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITA SUMATERA UTARA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Coping Stres pada Lansia Penderita Kelumpuhan Pascastroke

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

Sofyawati Nasution NIM 041301112


(3)

Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke Sofyawati Nasution dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Sebahagian besar penderita stroke adalah lansia (Junaidi, 2004). Stroke dapat mengakibatkan kematian dan juga kelumpuhan bagi individu, sehingga hal ini dapat berdampak kepada fisik dan psikologis penderita stroke tersebut (Junaidi, 2004). Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami stres, bahkan apabila tidak tidak di tangani dengan tepat akan menjadi depresi (Valery Feign, 2006). Oleh karena itu diperlukan coping tepat, karena menurut Hadriani (2000) Untuk mengindari dampak stres bagi penderita penyakit kronis maka diperlukan coping stres yang tepat agar tidak memperparah kondisi kesehatan penderita penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang coping yang digunakan pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karateristik partisipan adalah pria ataupun wanita penderita kelumpuhan pascastroke yang berumur 60 tahun keatas berdomisili di Medan dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ketika seseorang terkena stroke maka individu tersebut akan mengalami stres. Oleh karena itu penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan coping yang tepat untuk mengatasi stres mereka. Coping yang digunakan oleh partispan I dalam penelitian ini hanya efektif sementara waktu untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke sementara coping yang digunakan oleh partisipan II efektif untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke.

Saran penelitian bagi penderita kelumpuhan pascastroke supaya dapat menerima kondisinya dan dapat mengatasi stres yang mereka alami dengan cara menggunakan metode coping yang tepat, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke serta masyarakat luas perlu memberikan dukungan yang tepat yang dibutuhkan oleh penderita kelumpuhan pascastroke agar mereka dapat mengurangi stresnya.


(4)

KATA PENGHANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan kekuatan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hasnida, M.Si.,psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih banyak atas waktu, kesabaran, pemikiran dalam memberikan saran, petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada dosen penguji saya, Ibu Raras Sutatminingsi, M.Si.,psikolog dan Ibu Namora Lubis, BA(Horn), MSc yang telah bersedia menjadi penguji skripsi saya, terima kasih atas kesempatan dan waktu yang diberikan kepada peneliti. Dan Untuk Ibu Raras Sutatminingsi, M.Si.,psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi serta dukungan sosial selama saya kuliah di Psikologi.


(5)

4. Ibundaku yang paling saya cintai dan sayangi di bumi ini, Ibu Hj. Zuriawaty, yang telah melahirkan saya kedunia, dan telah mencintai dan membesarkan ku dengan kasih sayang mama. Betapa besar perjuangan dan pengorbanan mama saat memperjuangkan kami anak-anak mama. Serta terima kasih atas bimbingan mama serta kesabaran mama dalam menghadapi anakmu ini. Mamalah yang menjadi teladan saya dalam menghadapi kehidupan ini dan menjadi motivasi ku untuk meraih sukses. 5. Ayahku tercinta, Drs.H.Sofyan Nasution, dukungannya selama ini.

6. Adikku (Ina Novita Nst,Amd), abangku (Abdul Wahab Nasution,S.Si) dan kakak iparku (Kak Novi) yang paling aku citai, terima kasih atas semua bantuannya. Kalian telah mau memahamiku selama ini dan sudah banyak berkorban demiku.

7. Tanteku (Evi ), Bundaku, Omku (Edi), terima kasih atas semua supportnya sama ku sehingga aku mencapai semua ini.

8. Kepada seluruh dosenku di Fakultas Psikologi yang telah mengajari aku Ilmu Psikologi, dan seluruh guru-guru di SMUN 3 Medan, SD dan SLTP Pertiwi Medan yang telah mendidikku tanpa pamrih dan mengajariku akan ilmu pengetahuan hingga sampai saat ini.

9. Buat kedua partisipan penelitian ini, terima kasih banyak buat kesempatan dan waktu yang diberikan. Karena tanpa kerjasama yang baik dari kedua partisipan penelitian ini tidak akan selesai.Banyak hal yang saya pelajari dari penelitian ini dan penelitian ini membuat saya lebih dekat lagi dengan partisipan.


(6)

10.Sahabatku (Tika, Ami, Dwi, Renny,dan seluruh stambuk’04). Terima kasih banyak atas dukungannya, tetap semangat ya....! Teman-teman seperjuangan yang skripsi dan seminar, mudah-mudahan kita semua berhasil ya....Amin ya Allah.

11.Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Semoga Allah meridoi usaha kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, Amin.

Medan, Desember 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA

PENGHANTAR...i

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR BAGAN... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Perumusan Masalah ...9

C. Tujuan Penelitian ...10

D. Manfaat Penelitian...10

E. Sistematika Penulisan ...11

BAB II LANDASAN TEORI A. Stroke ...14

1. Defenisi Stroke...14

2. Klasifikasi Stroke...16

3. Faktor Resiko Stroke...18

B. Penderita Kelumpuhan Pascastroke...20

1. Defenisi Penderita kelumpuhan Pascastroke...20

2. Gejala dan Tanda yang Diakibatkan oleh Stroke...21

3. Masalah Psikologis Pascastroke...23


(8)

1. Defenisi Stres...25

2. Fase dalam Stres...26

3. Reaksi- Reaksi Terhadap Stres...28

D. Coping...29

1. Defenisi Coping...29

2. Fungsi Coping...30

3. Metode Coping...30

E. Lanjut Usia ...32

F. Gambaran Coping Stres pada Lansia Penderita Kelumpuhan Pascastroke... ..33

G. Paradigma Penelitian………..42

BAB III METODE PENELITIAN A. Penelitian Kualitatif...43

B. Responden Penelitian...44

1. Karateristik Responden Penelitian...44

2. Jumlah Responden Penelitian……….45

3. Prosedur Pengambilan Responde……….45

4. Lokasi Penelitian………..45


(9)

1. Wawancara………. ..46

2. Observasi………

..48

D. Alat Bantu Pengambilan

Data………....49 1. Pedoman

Wawancara………...49

2. Alat Perekam (Tape

Recorder)...50 3. Lembar

Observasi...51

E. Kreadibilitas dan Validitas

Penelitian...51 F. Prosedur

Penelitian……….53 1. Tahap

Pralapangan...54

2. Tahap Pelaksanaan

Penelitian...55

3. Tahap Pencatatan

Data……….56

4. Prosedur Analisa

Data...56

5. Kendala yang Dijumpai pada Saat

Penelitian...59

BAB IV HASIL ANALISA DATA A. Partisipan


(10)

1. Analisa

Data……….60

a. Identitas Diri

Partisipan………..60

b. Deskripsi Data

Partisipan………60

2. Observasi Umum

Parisipan………..62

3. Data Wawancara

Partisipan………..65

a. Gambaran Penyebab Stroke yang

Diderita………..65

b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Pertisipan……… ….66

c. Gambaran Coping Stres

Partisipan………..69

4. Pembahasan Data

partisipan……….74 B. Partisipan II83

1. Analisa


(11)

a. Identitas Diri Partisipan………...83

b. Deskripsi Data

Partisipan………83

2. Observasi Umum

Parisipan………..84

3. Data Wawancara

Partisipan……….87

a. Gambaran Penyebab Stroke yang

Diderita………..87

b. Gambaran Gejala Fisik dan Masalah Psikologis pada Pertisipan……… ….88

c. Gambaran Coping Stres

Partisipan………..90

4. Pembahasan Data

partisipan……….94

C. Analisa Data Antar

Partisipan………..104

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan


(12)

B. Diskusi……….. 115

C. Saran……….

121 DAFTAR

PUSTAKA………...124 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan I 60

Tabel 2. Waktu Wawancara Partisipan I 62

Tabel 3. Gambaran Gejala Fisik dan Psikologis pada Partisipan I 81 Tabel 4. Gambaran Metode Coping Stres pada Partisipan I 82

Tabel 1. Gambaran Umum Partisipan II 60

Tabel 2. Waktu Wawancara Partisipan II 83

Tabel 3. Gambaran Gejala Fisik dan Psikologis pada Partisipan II 103 Tabel 4. Gambaran Metode Coping Stres pada Partisipan II 103 Tabel 9. Analisa banding Antar Partisipan 104


(14)

Gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke Sofyawati Nasution dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Sebahagian besar penderita stroke adalah lansia (Junaidi, 2004). Stroke dapat mengakibatkan kematian dan juga kelumpuhan bagi individu, sehingga hal ini dapat berdampak kepada fisik dan psikologis penderita stroke tersebut (Junaidi, 2004). Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami stres, bahkan apabila tidak tidak di tangani dengan tepat akan menjadi depresi (Valery Feign, 2006). Oleh karena itu diperlukan coping tepat, karena menurut Hadriani (2000) Untuk mengindari dampak stres bagi penderita penyakit kronis maka diperlukan coping stres yang tepat agar tidak memperparah kondisi kesehatan penderita penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang coping yang digunakan pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan partisipan. Karateristik partisipan adalah pria ataupun wanita penderita kelumpuhan pascastroke yang berumur 60 tahun keatas berdomisili di Medan dan masih bisa melakukan komunikasi dengan baik. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa ketika seseorang terkena stroke maka individu tersebut akan mengalami stres. Oleh karena itu penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan coping yang tepat untuk mengatasi stres mereka. Coping yang digunakan oleh partispan I dalam penelitian ini hanya efektif sementara waktu untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke sementara coping yang digunakan oleh partisipan II efektif untuk mengatasi stres akibat kelumpuhan pascastroke.

Saran penelitian bagi penderita kelumpuhan pascastroke supaya dapat menerima kondisinya dan dapat mengatasi stres yang mereka alami dengan cara menggunakan metode coping yang tepat, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke serta masyarakat luas perlu memberikan dukungan yang tepat yang dibutuhkan oleh penderita kelumpuhan pascastroke agar mereka dapat mengurangi stresnya.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia, 2007). Penuaan dihubungkan dengan sebuah penambahan prevalensi dari masalah fisik dan atau kesehatan mental yang pada akhirnya menghasilkan ketidakmampuan secara fisik atau kesulitan menampilkan kegiatan yang mendasar dalam kehidupan sehari-hari (Mafandadi,Sharzad,Karen,New Soon,Jason,2007). Santrock (2002) mengemukakan bahwa usia lanjut membawa penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya, semakin tua usia seseorang, kemungkinan akan memiliki beberapa penyakit atau dalam keadaan sakit meningkat (Santrock, 2002). Ada beberapa penyebab kematian pada usia lanjut di Amerika Serikat adalah kondisi kronis seperti penyakit- penyakit yang tergolong penyakit terminal illness yaitu penyakit jantung, stroke, lemahnya pernafasan (Papalia,2007). Pada kenyataannya penyakit jantung, kanker dan stroke terhitung 60 persen yang menyebabkan kematian pada lansia di Amerika Serikat (Papalia,2007). Hal ini sejalan dengan yang ada di Indonesia. Penyakit-penyakit yang tergolong dalam terminal illness seperti jantung, stroke, diabetes merupakan faktor utama penyebab kematian di Indonesia (Sutrisno,2006).


(16)

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan Sutrisno (2007) yang mengungkapkan bahwa stroke adalah gangguan saraf yang menetap, yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Serangannya berlangsung selama 15-20 menit. Berat ringannya dampak serangan stroke tersebut sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luas daerah otak yang rusak. Bila aliran darah terputus hanya pada area yang kecil atau terjadi pada daerah otak yang tidak rawan, efeknya ringan dan berlangsung sementara. Sebaliknya, bila aliran darah terputus pada daerah yang luas atau pada bagian otak yang vital, terjadi kelumpuhan yang parah sampai pada kematian (Lanny Sustrani,dkk ,2004). Sarafino (2006) menambahkan bahwa stroke merupakan salah satu penyakit kronis utama yang menyebabkan kelumpuhan.

Individu yang mengalami stroke akan mengalami gejala seperti mendadak lemah atau kebas pada wajah, lengan, atau kaki (secara khas pada satu bagian tubuh); mendadak kabur atau kehilangan pengelihatan (biasanya pada salah satu mata); mendadak tidak terencana, sakit kepala berat; pening- pening, keadaan tidak tenang, atau mendadak jatuh, khususnya jika terjadi bersamaan dengan gejala manapun di atas (Sarafino, 2006).


(17)

Stroke dapat berupa iskemik dan juga dapat berupa haemoragik. Pada stroke iskemik, aliran darak ke otak terhenti karena terjadinya bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah (aerosklerosis), sedangkan pada stroke haemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah, sehingga peredaran darah menjadi tidak normal, karena darah merembes masuk ke otak dan merusaknya (Junaidi, 2004). Stroke haemoragik memiliki dampak yang sangat berbahaya karena biasanya menyebabkan kondisi yang fatal yaitu kematian (Sarafino, 2006).

Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan faktor resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stres, penyalahgunaan narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat.

Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke (Shaffer, 2002). Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada perempuan adalah 1,3:1. Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun sebahagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, karena semakin tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar (Sutrisno, 2007). Hampir 75 % dari penderita stroke adalah individu dengan usia 65 tahun lebih (Shaffer, 2002).

Panderita pascastroke mengalami gangguan fisik yang bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penderita pascastroke memiliki


(18)

kemungkinan yang sangat besar mengalami kelumpuhan, seperti mati rasa sebelah badan, sulit untuk berbicara dengan orang lain, mulut mencong (facial drop), lengan yang lemah, kaki lemah (arm drift), gangguan koordinasi tubuh dan penderita pascastroke yang parah biasanya hanya bisa di tempat tidur maupun di kursi roda (Junaidi, 2004). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lanny Sustrani,dkk (2004) yang mengungkapkan bahwa dampak stroke adalah kelumpuhan, perubahan mental, gangguan komunikasi, gangguan emosional dan kehilangan indera rasa.

Sarafino (2006) mengungkapkan bahwa selain kelumpuhan, individu penderita stroke juga mengalami penurunan fungsi kognitif-bahasa, memori dan persepsi. Gangguan bahasa yang umum terjadi pada penderita pascastroke adalah aphasia yaitu kesulitan memahami atau menggunakan kata-kata. Selain itu terjadi pula gangguan pengelihatan pada penderita pascastroke yang disebabkan oleh otak kanan yang disebut dengan visual neglect dimana pasien gagal memproses informasi pada pengelihatan disebalah kiri sebagai contoh , mereka tidak bisa memesan makanan pada menu bagian kiri, atau tanda pengurangan (-) pada tugas hitungan (Lanny Sustrani,dkk, 2004).

Keadaan ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas-aktivitas pribadi mereka seperti mandi, makan, ganti pakaian, buang air besar. Tidak seperti sebelum terkena stroke mereka dapat melakukan aktivitas pribadi seperti mandi, makan, ganti pakaian, buang air besar dapat mereka lakukan sendiri. Hal ini dapat


(19)

dilihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke yang bernama Bapak M, (inisial) :

“...Dulu ompung masih bisa ngapain sendiri aja. Makan juga sendiri. Dulu juga ompung masih bisa ikutan acara rapat-rapat untuk veteran digedung 45 itu. Ompung juga dulu masih bisa nyupir mobil sendiri. Pergi kemama-mana sendiri. Nggak pakai tongkat kayak sekarang. Pokoknya sebelum kena stroke ompung nggak pernah sakit-sakit kaki. Encok aja ompung ngga pernah. Cuma penyekit ompung ya... Cuma satu itu. Cuma darah tinggi. Itu yang buat ompung stroke sekarang ini....”

(Komunikasi Personal,21 Maret 2008) Setelah mereka terkena stroke aktivitas-aktivitas pribadinya tidak dapat mereka lakukan sendiri. Mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk membantu mereka melaksanakan aktivitas- akitivitas pribadinya. Hal ini terjadi karena kelumpuhan dari organ tubuh mereka. Hal ini dapat dilihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke:

”...Nggak bisa makan sendiri, mandi juga harus dimandikan. Kalo mau kekamar mandi untuk buang air ya.. harus dibantuin.Tapi kalo udah sesak buang air kadang ompung buang aja ditempat tidur. Abis kaki ompung lemas kalo harus cepat-cepat. Ompung aja jalan udah nggak bisa. Ompung jalan harus pake kursi roda. Sedih lihat ompung sekarang nggak bisa apa-apa. Nggak kayak dulu. Pengen ompung sehat lagi kayak dulu...”

(Komunikasi Personal, 9 Maret 2008) Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya. Penderitaan yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke merupakan penyakit kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian (terminal illness) (Sarafino, 1998).

Kondisi awal yang menyertai keadaan individu yang memiliki penyakit kronis adalah mengalami shock, putus asa, dan sering sekali menggunakan


(20)

penghindaran dari kontak lingkungan (avoidance), dan menyangkal keberadaan masalah kesehatan yang dideritanya (Sarafino, 1998).

Shimberg (1990) mengungkapkan bahwa penderita kelumpuhan pascastroke sering merasa rendah diri, perasaan ini merupakan suatu reaksi emosional terhadap kemunduran kualitas keberadaan mereka. Selain penderita kelumpuhan pascastroke sering marah-marah, dan memperlihatkan sikap yang mengingkar, penderita juga mengalami kelabilan emosi yang merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa ada alasan yang jelas.

Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami penderitaan (suffering) (Astrom et al 1993). Penderitaan yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres, menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya (Bastaman, 1996).

Stres mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan pada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya (Kumolohadi, 2001). Semua stres pada dasarnya selalu menimbulkan dampak. Stres yang merusak (distress) terjadi bila stres itu sendiri dibiarkan berlangsung lama tanpa adanya solusi dan manusia menjadi kelelahan karenanya. Dalam psikologis ada istilah psikofisis pararelism yaitu ketertarikan yang erat (pararel) antara psikis dan fisik. Jika seseorang


(21)

mengalami stres maka akan terganggu keadaan fisik, emosi, dan perilakunya. Dalam keadaan stres individu akan merasa tegang, tidak mampu berpikir rasional, sehingga menjadi mudah sedih, cemas, bahkan depresi (Kumolohadi, 2001). Akibatnya akan memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit kronis (Hadriani,dkk,2000).

Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma & Supeli (2004) menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. Hal ini senada dengan pernyataan Ouimet et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari lingkungannya. Hal ini dapat terlihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke:

“…… Ompung selalu berdoa supaya Allah cepat ngambil nyawa ompung aja. Ompung udah nggak kuat lagi. Bagus ompung mati aja. Kadang ompung mau bunh diri aja biar cepet mati. Ompung udah ngga bisa jalan lagi, jadi kalo kayak gitu mendingan mati aja. Udah diobati kemana aja ngga sembuh juga. Jadi bagusnya mati aja biar ngga ngerepotin siapapun……...”

(Komunikasi Personal, 10 Juni 2008) Oleh sebab itu, penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan coping stres yang tepat agar penderita kelumpuhan pascastroke tidak menjadi depresi. Hadriani dan Sri Mulyani Martinah (2000) mengungkapkan bahwa kesehatan fisik erat kaitannya dengan kesejahteraan emosional dan mental seseorang, namun pada kenyataannya tidak semua penderita penyakit kronis dapat


(22)

menyesuaikan diri terhadap penyakitnya . Oleh karena itu coping stres diperlukan oleh para penderita penyakit kronis agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang terjadi.

Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan ( dalam Sarafino, 2006). Menurut Richard Lazzarus & Folkman (dalam Taylor, 2003) ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Emotion-Focused Coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol respon emosional dari masalah yang dihadapi. Sedangkan problem-focused coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Agar mendapatkan coping stres yang diperlukan oleh karena itu para penderita kelumpuhan pascastroke harus memilih metode coping apa yang mereka butuhkan untuk dapat menangani stres mereka agar tidak menjadi depresi. Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping yang digunakan berdasarkan fungsi coping yaitu metode coping yang berorientasi kepada problem-focused yaitu plainful problem solving, confrontative, seeking social support, direct action, dan yang berorientasi kepada emotion focused yaitu distancing, escape/avoidance, self Control, accepting responsibility, positive reappraisal, acceptance, religion, denial, cognitive redefinition, emotional discharge, intrusive troughts.

Penderita penyakit kronis seperti penderita pascastroke akan menggunakan coping secara selektif atau kombinasi yang menurut anggapannya


(23)

akan efektif. Mereka cenderung lebih sering menggunakan coping yang berorientasi pada emosi, karena coping yang berorientasi pada emosi akan lebih efektif dibandingkan dengan coping yang berorientasi pada masalah untuk menghindari stres akibat penyakit kronis seperti stroke (Hadriani,dkk,2000).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan psikologis yang diamati oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat menyebabkan individu mengalami penderitaan. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika individu mengalami suatu penderitaan akan menyebabkan stres. Oleh karena itu penderita kelumpuhan pascastroke harus melakukan coping dengan memilih metode coping yang tepat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran coping stres yang digunakan oleh lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Proses tersebut dilihat dari :

1. Bagaimanakah kondisi fisik, kondisi psikologis dan stres yang dialami penderita kelumpuhan pascastroke saat awal terserang stroke?

2. Metode coping apa saja yang dilakukan penderita kelumpuhan pascastroke untuk mengatasi stres yang mereka alami?


(24)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Hal ini penting untuk diketahui, mengingat pentingnya melakukan coping stres secara tepat bagi penderita kelumpuhan pascastroke khususnya bagi kesehatan fisik dan psikologisnya.

D.Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkaya khasanah kajian psikologi, khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan ataupun sumbangsih informasi kepada penderita kelumpuhan pascastroke untuk mengatasi masalah yang dihadapinya yang menimbulkan stres pada penderita kelumpuhan pascastroke dengan memilih metode coping stres secara tepat untuk membantu meningkatkan kesehatan penderita kelumpuhan pascastroke.


(25)

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi keluarga, masyarakat, lembaga-lembaga, praktisi kesehatan, yayasan-yayasan yang menangani penderita kelumpuhan pascastroke agar dapat memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan penderita kelumpuhan pascastroke sehingga mereka dapat menerima kondisinya dan mampu mengatasi stres mereka.

c. Sebagai wacana/pengetahuan ataupun data empiris mengenai coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke, selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau acuan bagi peneliti selanjutnya.

E. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam sistematika sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan teori:

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan penelitian, terdiri dari teori-teori mengenai stroke, termasuk defenisi stroke, klasifikasi stroke, faktor resiko stroke. Teori


(26)

penderita kelumpuhan pascastroke, termasuk defenisi, gejala dan tanda yang diakibatkan oleh stroke, dan masalah psikologis pascastroke. Teori stres, termasuk defenisi, fase dalam stres dan reaksi-reaksi terhadap stres. Teori mengenai coping stres, termasuk defenisi, fungsi, dan metode coping stres dan paradigma penelitian.

BAB III : Metode Penelitian

Dalam bab ini dijelaskan alasan digunakannya pendekatan kualitatif; responden penelitian yang terdiri dari karateristik responden, jumlah responden, prosedur pengambilan responden, serta lokasi penelitian; teknik pengumpulan data; alat bantu pengumpulan data; kredibilitas dan validitas penelitian serta prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil Analisa Data

Pada bab ini peneliti menjabarkan hasil dari analisa data yang menguraikan tentang data pribadi partisipan, analisa data dan interpretasi perpartisipan yang meliputi gambaran penderitaan penderita kelumpuhan pascastroke, dan metode coping yang digunakan oleh penderita kelumpuhan pascastroke serta rangkuman hasil analisa data antar partisipan.


(27)

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya, karena merupakan hal baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stroke

1. Defenisi Stroke

Stroke didefenisikan kondisi dimana terjadinya kerusakan pada senahagian otak disebabkan karena pembuluh darah yang tersumbat sehingga oksigen tidak terpenuhi dengan baik. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di dunia dan dapat menyebabkan kematian, kelumpuhan, gangguan bicara, menurunkan kesadaran dan banyak akibat lainnya. Penyakit stroke ini dapat terjadi karena gangguan penyakit seperti jantung, diabetes mellitus dan hipertensi (Sarafino, 2006).

Dr. Alfred Sutrisno Sp.BS (2007) seorang dokter saraf dan staf senior di University of Auckland mengatakan bahwa stroke merupakan gangguan saraf yang menetap, yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih.

Lanny Sustrani, Syamsir Alam, Iwan Hadibroto (2004) mengatakan bahwa berdasarkan istilah awam stroke adalah serangan otak yang terjadi secara tiba-tiba dengan akibat kematian atau kelumpuhan sebelah bagian tubuh. Secara sederhana stroke terjadi jika aliran darah ke otak terputus. Otak kita tergantung pada pasokan darah yang berkesinambungan, yang dialirkan oleh arteri (pembuluh nadi). Jika pasokan darah berhenti, akibat pembekuan darah atau pecahnya pembuluh darah,


(29)

sedikit atau banyak akan terjadi kerusakan pada otak yang tidak dapat diperbaiki (infark otak). Dampaknya adalah fungsi kontrol bagian tubuh oleh daerah otak yang terkena stroke itu akan hilang atau mengalami gangguan dan dapat mengakibatkan kematian. Berat atau ringannya dampak serangan stroke tersebut sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luas daerah otak yang rusak Bila aliran darah terputus hanya pada area yang kecil atau terjadi pada daerah otak yang tidak rawan, efeknya ringandan berlangsung sementara. Sebaliknya, bila aliran darah terputus pada daerah yang luas atau bagian otak vital, terjadi kelumpuhan yang parah sampai pada kematian.

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup.

Penyakit serebrovaskuler atau stroke yang menyerang kelompok usia di atas 40 tahun adalah akibat patologi pada sistem pembuluh darah otak, proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombus (pecahan bekuan dara/plak) atau emboli (udara, lemak), dan pecahnya pembuluh darah otak. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, ataupun bersifat sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi, dan diabetes melitus, oleh karena itu penyebab stroke sangat kompleks (Misbach, 1997).


(30)

Berdasarkan defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa stroke adalah gangguan saraf yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih yang mengakibatkan aliran darah ke otak mengalami gangguan sehingga nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan tidak terpenuhi dengan baik. Peneliti memasukkan teori defenisi stroke, sebagai tambahan informasi kepada pembaca, agar mengetahui tentang penyakit stroke. 2. Klasifikasi Stroke

Menurut Prof. S.M. Lumbantobing, ahli saraf pada fakultas kedokteran UI (2001) menyatakan bahwa secara umum stroke dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke tersebut yaitu :

a. Stroke Iskemik

Menurut Prof. S.M. Lumbantobing, ahli saraf pada fakultas kedokteran UI (2001), stroke iskemik secara patofisiologis adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak mencukupi. Stroke iskemik disebabkan penggumpalan darah. penyebab utamanya adalah aterosklerosis pembuluh darah dileher dan kepala.

Stroke iskemik terdiri dari :

1) Stroke Iskemik Trombotik: Stroke jenis ini terjadi karena adanya penggumpalan pada pembuluh darah ke otak. Ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit ateroklerosis.

2) Stroke Iskemik Embolik: terjadi tidak dipembuluh darah otak,


(31)

terjadi dijantung, sehingga darah tidak bisa mengaliri oksigen dan nutrisi ke otak.

3) TIA (Transient Ischemic Attack): serangan iskemik sementara.

Gejalanya mirip stroke, tapi hanya terjadi dalam beberapa menit. Tidak sampai berjam- jam. Gejalanya antara lain : wajah pucat, tangan atau kaki – kanan atau kiri- lumpuh. Vertigo (sakit kepala)juga menjadi salah satu gejala, juga disfagia (sulit menelan), lemahnya kedua kaki, mual, dan ataksia (jalan sempoyongan). Lalu pasien juga tak bisa berbicara atau memahami omongan orang, kesulitan melihat dengan satu atau kedua mata, serta hilangnya keseimbangan dan koordinasi.

b. Stroke Hemoragik

Ini jenis stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh darah.

Stroke hemoragik terdiri dari :

1) Stroke Hemoragik Intraserebral: Pada kasus ini, sebagian besar

orang yang mengalaminya bisa menderita lumpuh dan susah diobati. Pada stroke jenis ini pendarahan terjadi didalam otak. Biasanya mengenai basal ganglia, otak kecil, batang otak, dan otak besar. Jika yang terkena didaerah talamus, sering penderitanya sulit dapat ditolong meskipun dilakukan tindakan operatif untuk mengevakuasi perdarahannya.


(32)

2) Stroke Hemoragik Subaraknoid: Memiliki kesamaan dengan stroke hemoragik intraserebral. Yang membedakannya, stroke ini dipembuluh darah diluar otak, tapi masih didaerah kepala, seperti di selaput otak bagian bawah otak. Maski tidak didalam otak, perdarahan itu bisa menekan otak. Hal ini terjadi akibat adanya aneurisma yang pecah atau AVM (arteriovenous malformation) Peneliti memasukkan teori tentang klasifikasi stroke, dikarenakan hal ini memberikan informasi kepada peneliti tentang penyebab dari jenis-jenis stroke yang dialami oleh penderita stroke.

3. Faktor Resiko Stroke

Faktor resiko stroke adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor resiko stroke umumnya dibagi 2 golongan besar (Junaidi, 2004) :

a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol : 1) Umur

Jika seseorang semakin tua maka kejadian stroke semakin tinggi. Setelah individu berumur 45 tahun maka resiko stroke iskemik meningkat dua kali lipat pada tiap dekade.

2) Ras/ bangsa

Ras dari suku bangsa Afrika/ Negro, Jepang dan Cina lebih sering terserang stroke. Di negara Indonesia, suku batak dan padang lebih sering menderita penyakit stroke daripada suku jawa.


(33)

3) Jenis Kelamin

Laki-laki lebih beresiko dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 3 :2. Pada laki-laki cenderung mengalami stroke iskemik sedangkan wanita lebih sering menderita haemoragik dan kematiannya dua kali lipat di bandingkan dengan laki-laki.

4) Riwayat Keluarga (Orang tua, saudara)

Keluarga yang pernah mengalami stroke pada usia muda, maka anggota keluarga lainnya memiliki resiko tinggi untuk mendapatkan serangan stroke.

b. Faktor resiko yang dapat dikontrol 1) Hipertensi

2) Kencing manis (diabetes mellitus) 3) Alkohol

4) Merokok 5) Stres

Ada beberapa bentuk stres yang dapat menyebabkan seseorang terkena serangan stroke yaitu :

a) Stres psikis seperti mental atau emosional

b) Stres psikis yang dapat berupa aktivitas fisik yang berlebihan.

6. Obesitas/kegemukan


(34)

Peneliti memasukkan teori faktor-faktor yang menyebabkan stroke, mengingat bahwa stroke dapat terjadi karena lebih dari satu faktor yang mengakibatkan kejadian stroke dan faktor-faktor diatas merupakan penyebab kelumpuhan bagi individu pascastroke.

B. Penderita Kelumpuhan Pascastroke

1. Defenisi Penderita kelumpuhan Pascastroke

Pascastroke didefenisikan sebagai keadaan individu setelah mengalami terjadinya serangan stroke (brain attack). Jika seseorang terkena serangan stroke maka yang terserang adalah bagian otak yang merukana pusat kendali bagi seluruh tubuh. Keadaan yang dialami oleh individu pascastroke akan berdampak pada fisik dan psikologis penderita (Lumbantobing, 2001).

Pascastroke juga merupakan kondisi dimana individu kehilangan kendali atas bagian-bagian tertentu dalam tubuh serta pikarannya, hampir semua individu pascastroke tidak lagi dapat melakukan gerakan yang sempurna pada bagian tubuh tertentu dan individu mengalami kemunduran fungsi fisik dan perubahan pada perilakunya. Sering sekali pada pascastroke diberikan program rehabilitasi berlanjut ataupun rawat jalan. Pascastroke mengalami berbagai masalah seperti masalah fisik, mental, seksual, emosional, lingkungan, dan pekerjaan (Idris, 2007).

Sutrisno(2007) menyatakan bahwa kondisi penderita kelumpuhan pascastroke mengalami keterbatasan fisik, dan adnya efek psikologis terhadap


(35)

kondisi cacat yang dialami penderita. Penderita kelumpuhan pascastroke biasanya menjadi pribadi yang pemurung, putus asa, sedih, mudah tersinggung dan kecewa. Dari defenisi diatas dapat kita simpulkan bahwa penderita kelumpuhan pascastroke adalah kondisi dimana individu setelah terserang stroke yang mengakibatkan kelumpuhan pada individu yang berdampak pada fisik dan psikologis individu tersebut. Peneliti memasukkan teori defenisi penderita kelumpuhan pascastroke, sebagai tambahan informasi kepada peneliti, agar peneliti mengetahui defenisi penderita kelumpuhan pascastroke dan akibat yang ditimbulkan oleh kelumpuhan pascastroke.

2. Gejala dan Tanda yang Diakibatkan oleh Stroke

Junaidi (2004) menyatakan bahwa stroke mengakibatkan individu mengalami keterbatasan dalam hidupnya. Gangguan fisik tersebut adalah :

a. Adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, seperti: hemispares yaitu kelumpuhan pada sebelah badan yang kanan atau kiri saja.

b. Baal atau mati rasa sebelah badan, sering terasa kesemutan dan terkadang seperti terasa terbakar.

c. Mulut mencong, hal ini disebabkan karena lidah mencong apabila diluruskan, sehingga individu mengalami kesulitan untuk berbicara, kata-kata yang diucapkan berupa pelo, rero, sengau dan kata-katanya kurang dapat dipahami.


(36)

d. Sulit untuk makan dan menengguk minuman. Fungsi menelan pada penderita pascastroke mengalami penurunan, karena fungsi menelan dikendalikan oleh saraf yang berasal dari kedua hemisfer otak.

e. Mengalami kekakuan ataupun kesulitan ketika berjalan, hal ini diakibatkan kelumpuhan pada penderita pascastroke.

f. Pendengaran yang kurang baik

g. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan keseimbangan, sempoyongan, atau kehilangan koordinasi sebelah badan.

h. Gangguan kesadaran seperti pingsan bahkan sampai koma

Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pacsastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita. Untuk melihat tingkat keparahan kelumpuhan atau kecacatan stroke, berikut ada skala yang digunakan yaitu skala kecacatan stroke (the modified rankin scale):

1) Kecacatan derajat 0

Tidak ada gangguan fungsi. 2) Kecacatan derajat 1.

Hampir tidak ada gangguan fungsi pada aktivitas sehari-hari atau gangguan minimal. Pasien mampu melakukan tugas dan kewajiban sehari-hari.


(37)

Pasien tidak mampu melakukan beberapa aktivitas seperti sebelumnya, tetapi tetap dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

4) Kecacatan derajat 3 (Sedang)

Pasien memerlukan bantuan orang lain, tetapi masih mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain, walaupun mungkin membutuhkan tongkat.

5) Kecacatan derajat 4 (Sedang)

Pasien tidak dapat berjalan tanpa bantuan orang lain, perlu bantuan orang lain untuk menyelesiakan sebagian aktivitas diri seperti mandi, pergi ketoilet, merias diri, dan lain-lain.

6) Kecacatan derajat 5 (Berat)

pasien terpaksa terbaring ditempat tidur dan kegiatan buang air dan besar dan kecil tidak terasa (inkotinesia), memerlukan perawatan dan perhatian.

Peneliti memasukkan skala kecacatan stroke tersebut mengingat bahwa asumsi peneliti yang menganggap bahwa tingkat keparahan dari kelumpuhan yang dialami oleh penderita pascastroke akan berdampak pada penyesuaian individu tersebut.

3. Masalah Psikologis Pascastroke

Pada saat individu mengalami penyakit kronis seperti stroke, maka individu dan keluarganya akan mengalami goncangan dan ketakutan, hal ini


(38)

disebabkan sesuatu yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya. Shimberg (1998) menyatakan bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis penderita pascastroke, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pascastroke yaitu :

a. Kemarahan

Kebanyakan penderita stroke, mengekspresikan amarahnya adalah hal yang sulit bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan perawat, dokter dan ahli terapinya. Mereka juga bisa memaki-maki dengan kata-kata yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Penderita juga sering memiliki amarah yang meledak-ledak.

b. Isolasi

Penderita kelumpuhan akibat stroke dapat mengakibatkan individu melakukan penarikan diri terhadap lingkungan, karena perasaan mereka sering terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali teman-teman mereka meninggalkan mereka sendirian karena tidak

tahu bagaimana harus bereaksi dengan penderita kelumpuhan tersebut.

c. Kelabilan Emosi

Penderita stroke memiliki reaksi-reaksi emosional yang membingungkan. Kelabilan emosi merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas.


(39)

d. Kecemasan Yang Berlebihan

Sebahagian penderita mungkin memperlihatkan rasa ketakutannya ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena mereka merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan pada kemampuan bicara dan kelumpuhannya.

e. Depresi

Depresi adalah perasaan marah yang berlangsung di dalam batin, bebrapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi penderita kelumpuhan pascastroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa. Gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering dikaitkan dengan stroke.

Berbagai reaksi yang dapat terjadi pada penderita kelumpuhan pascastroke dapat mengakibatkan masalah psikologis bagi penderita. Peneliti memasukka teori ini mengingat bahwa masalah psikologis yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat menyebabkan individu mengalami penderitaan sehingga dapat menimbulkan stres.

C. Stres

1. Defenisi Stres

Stres menurut Hans Seyle (dalam Kumolohadi, 2001) adalah suatu respon organisme nonspesifik dari tuntutan internal dan ekternal. Respon yang


(40)

nonspesifik membantu tubuh menyesuaikan diri dan kembali pada keadaannya yang normal yang disebut homeostatis. Stres mengaktifkan sistem syaraf simpatik dan sistem neurohormonal yang kompleks yang disebut hypothalamic-pituitary-adrenocortical axis untuk mempersiapkan individu itu untuk berjuang atau lari dari masalah.

Stres juga diterangkan sebagai suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikaskan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan pada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. Menurut Lazzarus (dalam Kumolohadi, 2001) stres terjadi ketika seseorang individu dihadapkan dengan situasi yang dinilai sebagai yang mengancam secara pribadi dan dimana sumber-sumber penanganan yang adekuat tidak tersedia.

Dari pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu respon dari organisme yang mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis individu dihadapkan dengan sutuasi yang dinilai mengancam secara pribadi sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatannya. Peneliti memasukkan teori defenisi stres, sebagai tambahan informasi kepada pembaca mengenai stres

2. Fase dalam Stres

Ada tiga fase dalam stres (Kumolohadi ,2001) yaitu :

1. Fase Reaksi yang Mengejutkan (Alarm Reaction) yaitu reaksi yang mengejutkan, individu secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan


(41)

seperti jantungnya berdegup kencang,keluar keringat dingin,muka pucat, leher tegang,nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini dengan mudah dapat dikenali, fase ini merupakan pertanda awal seseorang terkena stres. Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa individu yang berada pada fase ini akan menunjukkan reaksi fisiologis dan fase ini merupakan tanda awal seseorang terkena stres.

2. Fase Perlawanan yaitu tubuh membuat mekanisme perlawanan terhadap stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa bahwa individu yang berada pada fase ini akan melawan stres agar tidak membahayakan. 3. Fase Keletihan yaitu fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan

perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah bagian-bagian tubuh yang lemah seperti dapat terserang penyakit jantung koroner, kalau lambungnya lemah dapat terkena maag atau bahkan tukak lambung dan sebagianya.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang berada pada fase ini akan cenderung pasrah terhadap stres.

Peneliti memasukkan teori fase yang terjadi dalam stres karena fase-fase dalam stres akan mempengaruhi reaksi penderita kelumpuhan pascastroke terhadap stres mereka.


(42)

3. Reaksi- Reaksi Terhadap Stres

Reaksi- reaksi seseorang terhadap stres dapat dikategorikan dalam tiga bentuk deviasi (Kumolohadi, 2001) yaitu :

1. Deviasi Fisiologis yaitu stres berdampak secara fisik yaitu mempengaruhi kesehatan. Stres telah dilibatkan sebagai sebuah faktor dalam masalah-masalah.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut deviasi ini stres akan berdampak kepada masalah kesehatan individu yang terkena stres. 2. Deviasi Perilaku yaitu stres dapat terlihat dari perilaku, yaitu cenderung

untuk makan berlebihan atau tidak mau makan sama sekali, tidak dapat tidur (insomnia), banyak mengkonsumsi rokok dan minuman keras atau memakai obat-obat terlarang.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut deviasi ini stres akan berdampak kepada masalah perilaku orang yang terkena stres.

3. Deviasi Psikologis yaitu stres dapat mengakibatkan munculnya reaksi-reaksi emosi yaitu rasa cemas, terlalu sensitif, mudah marah, tertekan, dan merasa bersalah. Pada saat muncul reaksi-reaksi emosi ini, individu kurang dapat berpikir secara sistematis untuk memecahkan masalah, selain itu juga penilaian negatif tentang diri sendiri. Luthans (Kumolohadi, 2001) mengatakan bahwa gejala yang nampak pada individu yang stres berat adalah mudah marah,mudah cemas,gugup,cepat tersinggung dan merasa bosan.


(43)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menurut deviasi ini stres akan berdampak kepada masalah psikologis orang yang terkena stres. Peneliti memasukkan teori reaksi–reaksi terhadap stres karena reaksi penderita terhadap stres yang dialami akan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis penderita kelumpuhan pascastroke .

D. Coping

1. Defenisi Coping

Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan. Proses coping bukanlah suatu proses tunggal, karena melibatkan transaksi terus-menerus dengan lingkungan. Proses tersebut dilihat sebagai suatu rangkaian yang dinamis dan berkelanjutan antara appraisal dan reapraisal antara seseorang dengan lingkungan (Sarafino, 2006).

Menurut Suls dan Fletcher (dalam Rice,1992) menyatakan bahwa perilaku coping mungkin bersifat positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini mencakup mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang menyenangkan

Dari penjelasan diatas dapat disimpukan bahwa coping adalah suatu proses dimana seseorang berusaha untuk mengatur kesenjangan terhadap tuntutan-tuntutan baik secara internal maupun eksternal. Peneliti memasukkan teori coping sebagai tambahan informasi kepada pembaca mengenai coping.


(44)

2. Fungsi Coping

Menurut Richard Lazzarus & Folkman (dalam Taylor, 2003) ada dua fungsi coping yaitu:

1. Emotion-Focused Coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol

respon emosional dari masalah yang dihadapi. Coping ini biasanya dilakukan melalui pendekatan perilaku atau kognitif. Strategi coping ini biasanya digunakan ketika seseorang yakin bahwa mereka tidak dapat apa-apa untuk merubah lingkungan. Biasanya strategi coping ini digunakan untuk penghindaran masalah.

2. Problem-Focused Coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi

tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Biasanya digunakan ketika seseorang yakin bahwa tuntutan atau sumber yang ada bisa diubah.

Peneliti memasukkan teori fungsi coping dikarenakan metode coping dibagi berdasarkan fungsinya.

3. Metode Coping

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping terdiri dari:

1. Plainful Problem Solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem

focused, adalah usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahannya.

2. Confrontative adalah coping yang bertujuan sebagai problem focused,


(45)

3. Seeking Social Support adalah coping yang bertujuan sebagai Problem focused, adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang lain.

4. Direct Action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused,

adalah tindakan secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik. 5. Distancing adalah coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah

usaha untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan. 6. Escape/Avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,

adalah usaha untuk meghindar atau lari dari masalah.

7. Self Control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah

yaitu mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang ada.

8. Accepting Responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion

focused, adalah yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.

9. Positive Appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused,

adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada pertumbuhan diri.

10.Emotional Discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion

focused,adalah melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan.


(46)

11.Religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.

12.Acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah

usaha untuk menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.

13.Cognitive Redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk, membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu. 14. Denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha

untuk menolak situasi yang tidak menyenangkan.

15.Intrusive Troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion

focused,adalah berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain sehingga muncul masalah tersebut.

Peneliti memasukkan teori metode coping karena peneliti ingin mengetahui metode coping yang digunakan penderita kelumpuhan pascastroke.

E. Lanjut Usia

Batasan umur mengenai masa lansia diperdebatkan oleh para ahli yang banyak meneliti masalah ini. Ada yang mengatakan bahwa usia lanjut dimulai sejak seseorang pensiun dari pekerjaannya. Padahal masa pensiun orang Indonesia dimulai ketika ia berumur 55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi tertentu seperti profesor, ahli hukum, dokter/ profesional lainnya yang biasanya pensiun ketika ia berumur 65 tahun. Banyak orang Indonesia beranggapan bahwa ia telah


(47)

Johan E. Prawitasari (1994) cenderung membatasi masa lansia dari umur 65 tahun sampai mati, karena ia beranggapan bahwa usia 55 tahun masih merupakan masa usia tengah baya. Penuaan adalah perubahan yang secara bertahap terjadi pada fungsi fisik dan fungsi perilaku pada usia lanjut (Hoyer, 2003).

Usia lanjut merupakan suatu periode yang dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia, 2007). Usia lanjut membawa penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya (Santrock, 2002). Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk memahami usia tua, antara lain (Papalia, 2007) :

1. Primary aging : penuaan merupakan suatu proses penurunan atau

kerusakan fisik yang terjadi secara bertahap dan bersifat inevitable (tidak dapat dihindarkan)

2. Secondary aging : proses penuaan merupakan hasil dari penyakit, abuse,

dan disuse pada tubuh yang seringkali lebih dapat dihindari dan dikontrol oleh individu dibandingkan dengan primary aging.

Peneliti memasukkan teori lanjut usia karena peneliti ingin mengetahui coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

F. Gambaran Coping Stres pada Lansia Penderita Kelumpuhan Pascastroke Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh (Papalia, 2007). Penuaan dihubungkan dengan sebuah penambahan prevalensi dari masalah fisik dan atau kesehatan mental yang pada akhirnya menghasilkan ketidakmampuan secara fisik


(48)

atau kesulitan menampilkan kegiatan yang mendasar dalam kehidupan sehari-hari (Mafandadi,Sharzad,Karen,New Soon,Jason,2007). Ada beberapa penyebab kematian pada usia lanjut di Amerika Serikat yaitu kondisi kronis seperti penyakit- penyakit yang tergolong penyakit Terminal Illness yaitu penyakit jantung, stroke, lemahnya pernafasan (Papalia, 2007). Hal ini sejalan dengan yang ada di Indonesia. Penyakit-penyakit yang tergolong dalam terminal illness seperti jantung, stroke, diabetes merupakan faktor utama penyebab kematian di Indonesia (Sutrisno,2006).

Shimberg (1998) menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral), hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Penyakit stroke merupakan penyebab kematian utama di dunia (Sarafino, 2006). Di Indonesia penyakit stroke menduduki urutan posisi ketiga penyebab kematian setelah jantung dan kanker (Sutrisno ,2007).

Menurut Prof. S.M. Lumbantobing, ahli saraf pada fakultas kedokteran UI (2001) menyatakan bahwa secara umum stroke dapat terbagi atas dua bagian yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis dari kedua bagian besar stroke tersebut yaitu : stroke iskemik secara patofisiologis adalah kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak mencukupi. Stroke iskemik disebabkan penggumpalan darah. penyebab utamanya adalah aterosklerosis pembuluh darah dileher dan kepala. Stroke iskemik terdiri


(49)

dari: stroke iskemik trombotik, stroke iskemik embolik dan TIA (Transient Ischemic Attack). Sedangkan stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak atau pembuluh darah otak bocor. Ini bisa terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meninggi, sehingga menekan pembuluh darah. Stroke hemoragik terdiri dari :stroke hemoragik intraserebral dan stroke hemoragik subaraknoid.

Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995, stroke menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan faktor resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stres, penyalahgunaan narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini sesuai dengan penyataan Junaidi (2004) yang mengungkakan bahwa faktor resiko stroke adalah kelainan atau kondisi yang membuat seseorang rentan terhadap serangan stroke. Faktor resiko stroke umumnya dibagi 2 golongan besar , yaitu: faktor resiko yang tidak dapat dikontrol seperti :umur, ras/ bangsa, jenis kelamin dan riwayat keluarga (orang tua, saudara). Sedangkan faktor resiko yang dapat dikontrol seperti : hipertensi, kencing manis (diabetes mellitus), alkohol, merokok, obesitas/kegemukan, transient ischemic attack (TIA) dan stres.

Ada beberapa bentuk stres yang dapat menyebabkan seseorang terkena serangan stroke yaitu stres psikis seperti mental atau emosional dan stres fisik yang dapat berupa aktivitas fisik yang berlebihan.


(50)

Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke (Shaffer, 2002). Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada perempuan adalah 1,3:1 (Sutrisno, 2007).

Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun sebahagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun, karena semakin tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar (Sutrisno, 2007). Hampir 75 % dari penderita stroke adalah individu dengan usia 65 tahun lebih (Shaffer, 2002). Penyakit serebrovaskuler atau stroke yang menyerang kelompok usia di atas 40 tahun adalah akibat patologi pada sistem pembuluh darah otak, proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh trombus (pecahan bekuan dara/plak) atau emboli (udara, lemak), dan pecahnya pembuluh darah otak. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun degeneratif, ataupun bersifat sekunder akibat proses lain seperti peradangan, arteriosklerosis, hipertensi, dan diabetes melitus, oleh karena itu penyebab stroke sangat kompleks (Misbach, 1997).

Dampak dari stroke sendiri menurut sarafino (2006) adalah menderita kerusakan motor(gerakan), sensory , kogniritf atau gangguan berbicara sebagai kerusakan otak. Sedangkan menurut Lanny Sustrani, dkk (2004) menyatakan bahwa dampak stroke adalah kelumpuhan; perubahan mental seperti agnosia, anosia, ataksia, apraksia,dan distorsi spasial; gangguan komunikasi seperti disartia dan afasia ; gangguam emoasional; dan kehilangan indra rasa. Hal ini


(51)

senada dengan penyataan Junaidi (2004) yang menyatakan bahwa stroke mengakibatkan individu mengalami keterbatasan dalam hidupnya. Gangguan fisik tersebut adalah: adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, baal atau mati rasa sebelah badan, mulut mencong, sulit untuk makan dan menengguk minuman, mengalami kekakuan ataupun kesulitan ketika berjalan, pendengaran yang kurang baik, gerakan tidak terkoordinasi, dan gangguan kesadaran. Masalah fisik yang dihadapi oleh penderita kelumpuhan pascastroke sangat berdampak pada aktivitas sehari-hari individu. Keterbatasan yang dialami oleh penderita kelumpuhan pacsastroke akan sangat mempengaruhi kehidupan penderita.

Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya. Penderitaan yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke merupakan penyakit kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian (terminal illness) (Sarafino, 1998).

Kondisi awal yang menyertai keadaan individu yang memiliki penyakit kronis adalah mengalami shock, putus asa, dan sering sekali menggunakan penghindaran dari kontak lingkungan (avoidance), dan menyangkal keberadaan masalah kesehatan yang dideritanya (Sarafino, 1998).

Shimberg (1998) menyatakan bahwa penyakit stroke dapat mempengaruhi psikologis penderita pascastroke, ada beberapa masalah psikologis yang dirasakan oleh penderita pascastroke yaitu: kemarahan, isolasi, kelabilan emosi, kecemasan yang berlebihan dan depresi.


(52)

Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami penderitaan (suffering) (Astrom et al 1993). Penderitaan yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres, menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri, putus asa, hampa, tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya (Bastaman, 1996).

Stres mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan pada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya (Kumolohadi, 2001). Semua stres pada dasarnya selalu menimbulkan dampak. Stres yang merusak (distress) terjadi bila stres itu sendiri dibiarkan berlangsung lama tanpa adanya solusi dan manusia menjadi kelelahan karenanya. Dalam psikologis ada istilah psikofisis pararelism yaitu ketertarikan yang erat (pararel) antara psikis dan fisik. Jika seseorang mengalami stres maka akan terganggu keadaan fisik, emosi, dan perilakunya. Dalam keadaan stres individu akan merasa tegang, tidak mampu berpikir rasional, sehingga menjadi mudah sedih, cemas, bahkan depresi (Kumolohadi, 2001). Akibatnya akan memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit kronis (Hadriani,dkk,, 2000).

Ada tiga fase dalam stres yaitu: fase reaksi yang mengejutkan (alarm reaction), fase perlawanan, fase keletihan. Reaksi- reaksi seseorang terhadap stres dapat dikategorikan dalam tiga bentuk deviasi yaitu: deviasi fisiologis, deviasi perilaku, deviasi Psikologis (Kumolohadi, 2001). Luthans (dalam


(53)

Kumolohadi, 2001) mengatakan bahwa gejala yang nampak pada individu yang stres berat adalah mudah marah,mudah cemas,gugup,cepat tersinggung dan merasa bosan.

Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma & Supeli (2004) menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. Hal ini senada dengan pernyataan Ouimet et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari lingkungannya.

Oleh sebab itu, penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan coping stres yang tepat agar penderita kelumpuhan pascastroke tidak menjadi depresi. Hadriani dan Sri Mulyani Martinah (2000) mengungkapkan bahwa kesehatan fisik erat kaitannya dengan kesejahteraan emosional dan mental seseorang, namun pada kenyataannya tidak semua penderita penyakit kronis dapat menyesuaikan diri terhadap penyakitnya . Oleh karena itu coping stres diperlukan oleh para penderita penyakit kronis agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi yang terjadi.

Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan (Sarafino, 2006). Sedangkan menurut Suls dan


(54)

Fletcher (dalam Rice,1992) menyatakan bahwa perilaku coping mungkin bersifat positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini mencakup mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang menyenangkan

Richard Lazzarus & Folkman (dalam Taylor, 2003) menyatakan ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Emotion-Focused Coping yaitu coping yang bertujuan untuk mengontrol respon emosional dari masalah yang dihadapi. Sedangkan problem-focused coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Agar mendapatkan coping stres yang diperlukan oleh karena itu para penderita kelumpuhan pascastroke harus memilih metode coping apa yang mereka butuhkan untuk dapat menangani stres mereka agar tidak menjadi depresi.

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping yang digunakan berdasarkan fungsi coping yaitu: plainful problem solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahannya; confrontative yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi; seeking social Support yaitu coping yang bertujuan sebagai Problem focused, adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang lain; direct action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah tindakan secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik; distancing yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha untuk


(55)

melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan; escape/avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha untuk meghindar atau lari dari masalah; self control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang ada.; accepting responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.; positive appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada pertumbuhan diri.; emotional discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan; religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.; acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi; cognitive redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk, membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu; denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk menolak situasi yang tidak menyenangkan dan intrusive troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain sehingga muncul masalah tersebut.


(56)

G. Paradigma Penelitian

Lansia Penurunan

fungsi tubuh

Contoh penyakit terminal illness adalah stroke

Menimbulkan Stres Diperlukan coping

stres:

- Problem focused - Emotion focused

Sering terkena penyakit yang tergolong kedalam penyakit terminal illness

Metode coping stres: -:plainful problem solving - Confrontative Coping - Seeking Social Support - Direct Action

- Distancing

- Escape Avoidance - Self Control

- Acceptance Responsibility - Positive Appraisal

- Emotional Discharge - Religion

- Acceptance

- Cognitive Redefinition - Denial


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Pendekatan yang digubakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Hal ini disebabkan karena peneliti berusaha memahami subjek dari kerangka berpikirnya sendiri (Creswell, dalam http;//rumahbelajarpsikologi.com). peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefenisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.

Sejalan dengan defenisi tersebut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2006) mendefenisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya. Menurut Moleong (2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara keseluruhan, dengan cara deskripsi dalam


(58)

bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Furchan (1992) mengatakan melalui metode kualitatif kita dapat mengenal orang (subjek) secara pribadi dan melihat mereka mengembangkan defenisi mereka sendiri tentang dunia ini. Kita dapat merasakan apa yang mereka alami dalam pergulatan dengan masyarakat mereka sehari-hari. Kita dapat mempelajari kelompok dan pengalaman yang mungkin belum kita ketahui sama sekali.

B. Responden Penelitian

1. Karateristik Responden Penelitian

Adapun karateristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :

a. Jenis kelamin pria dan wanita b. Usia 60 tahun keatas

c. Individu mengalami kelumpuhan akibat penyakit stroke yang diderita d. Bisa melakukan komunikasi dengan orang lain. Mengingat dampak stroke

dapat mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami gangguan bicara, sehingga hal ini perlu diperhatikan karena metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Poerwandari (2001) mengungkapkan dalam wawancara yang merupakan metode utama dalam penelitian kualitatif, diperlukan komunikasi dua arah antara peneliti dan subjek penelitian.


(59)

2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualittatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah respoden yang akan diambil dalam penelitan ini adalah dua orang.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory- based/ operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional dilakukan dengan memilih sampel dengan criteria tertentu, berdasarkan teori atau sesuai dengan tujuan penelitian (Peorwandari, 2001). Kriteria yang telah ditetapkan, yaitu merupakan penderita kelumpuhan pasca stroke, berusia 60 tahun keatas, pria/wanita, dan dapat melakukan komunikasi. Hal ini dilakukan agar sampel benar-benar representative artinya dapat mewakili fenomena yang dipelajari.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di kota Medan sekaligus biaya penelitian. Pada partisipan I, wawancara pertama dan wawancara ketiga dilakukan di Medan tepatnya


(60)

dikediaman partisipan sementara wawancara kedua dilakukan di Medan tepatnya di kediaman peneliti. Pada partisipan II, wawancara pertama dan ketiga dilakukan di Medan tepatnya di kediaman anak pertama partisipan sementara wawancara kedua dilakukan di Medan tepatnya di rumah partisipan. Lokasi penelitian disesuaikan dengan keinginan dari partisipan penelitian agar partisipan merasa nyaman.

C. Metode Pengambilan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Gusfina, 2005) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata- kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistika. Pencatatan sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya.

Dalam penelitian yang dilakukan, penelitian menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara. Penggunaan metode wawancara dalam penelitian ini beralasan data yang dikumpulkan dari hasil wawancara berupa percakapan antara peneliti dengan subjek yang akan diteliti untuk mengetahui bagaimana gambaran coping stres pada lansia penderita kelumpuhan pascastroke.


(61)

Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi dengan pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitiab ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori stroke dari Shinberg (1998) tentang gejala fisik dan psikologis yang dialami oleh pendertita kelumpuhan pascastroke, teori coping stres dari Lazzarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006), Taylor (2003) tentang metode coping stres. Lazaarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan. Menurut Richard Lazzarus & Folkman (dalam Sarafino,2006), ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Taylor (2003) mengemukakan bahwa metode coping yang digunakan adalah: metode coping


(62)

yang berorientasi kepada problem-focused yaitu plainful problem solving, confrontative coping, seeking social support, direct action dan yang berorientasi kepada emotion focused yaitu distancing, escape avoidance, self Control, acceptance responsibility, positive appraisal, denial, intrusive troughts, cognitive redefinition, acceptance, religion.

Berdasarkan teori-teori inilah, pedomanan wawancara disusun untuk memperoleh data tentang coping stres yang digunakan oleh lansia penderita kelumpuhan pascastroke. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi penderita kelumpuhan pascastroke akibat kondisi fisik dan psikologis yang dideritanya dan metode coping yang digunakan oleh penderita kelumpuhan pascastroke.

2. Observasi

Patton (dalam Poerwandari, 2001) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskrpsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari, 2007).

Hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat


(63)

tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi, melainkan data konkrit berkenaan dengan fenomena yang diamati (Poerwandari, 2007).

Beberapa alat observasi yang dapat dugunakan antara lain anecdotal, cacatan berkala, check list, rating scale, dan mechanical devices ( Rahayu & Ardani, 2004). Penelitian ini menggunakan alat observasi berupa anecdotal dimana observer mencatat hal-hal yang penting sesegera mungkin pada tingkah laku yang istimewa saat penelitian berlangsung.

Observasi dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai alat tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi partisipan, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana reaksi calon partisipan ketika peneliti meminta kesediannya untuk diwawancara, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana keadaan partisipan pada saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan partisipan dalam proses wawancara.

D. Alat Bantu Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, dan alat perekam (tape recorder).


(1)

Itee

Itee

Itee

Coping terhadap masalah kelumpuhannya

Coping terhadap masalah kelumpuhannya

Coping terhadap masalah pasangannya


(2)

Itee

InterviewIII I/Subjek I

Nama Klien : Bapak Muchtar Nasution Tanggal 16 september 2008

Keterangan Wawancara : W

Baris : B Iter : R Itee : I

Subjek : S

W3B0001 W3B0002 W3B0003

Itee “Ya. Mau belanja Pi. Kadang- kadang nenek belanja ke Brayan untuk dimasak. Tapi itu sekali-sekali, Pi.”

“Ya… kadang nenek langsung

Pada saat itu Aisyah baru pulang dari pajak Brayan untuk belanja


(3)

W3B0004 W3B0005 W3B0006 W3B0007 W3B0008 W3B0009 W3B00010 W3B00011 W3B00012 W3B00013 W3B00014 W3B00015 W3B00016 W3B00017 W3B00018 W3B00019 W3B00020 W3B00021 W3B00022 Itee Itee Itee

bilang sama mereka tentang perasaan nenek, tapi kalo mereka ngga mau dengerin nenek ya.. nenek curhat ama nenen mu biar dia yang nasehatin. Mereka kan lebih mendengarkan nenekmu”.

Ya, karena pada saat itu nenek mu mencegah ompung untuk bunuh diri.

Jadi ya ompung ngga jadi Ya….baru satu kali itu pi

Ya, karena ompung kesal sama penyakit ompung ini. Dan ompung juga kesal sama anak-anak ompung yang ngga pernah berubah dengan segala permasalahan mereka. Jadi ompung bagus mati aja biar ompung ngga tau semua permasalahan yang terjadi.

Ya…. Harus keluar rumah pi agar ompung ngga kesepian. Kayak kerumah kalian cerita sama kalian atau ompung ngumpulin anak-anak kecil disekitar sini untuk main disini. Abis kalian jarang datang kesini

makanan dengan menaiki sepedanya. Ketika sampai dirumah dan ia mau

berganti baju Aisyah terjatuh dan sebelah kiri kakinya tidak bisa

digerakkan dan tangannya terasa kebas-kebas.

Aisyah akan langsung datang kerumah anaknya dan Aisyah

akan langsung mengatakan kepada anaknya tentang perasaannya. Tetapi ketika Aisyah tidak didengar oleh anak-anaknya maka ia akan curhat kepada nenek peneliti agar anak-anaknya dinasehati.

Untuk melakukan aktivitas sehari-hari

Coping terhadap masalah kelumpuhannya

Coping masalah kesepiannya


(4)

seperti mandi, pakaian dan makan Aisyah lakukan sendiri.

Untung hal ini dapat dicegah oleh istrinya

yang berada diruangan yang sama

dengan partisipan. Partisipan mencoba untuk bunuh diri hanya satu kali dan hal itu ia lakukan karena ia stres akibat kelumpuhannya dan persoalan dengan anak-anaknya.

Muchtar harus pergi keluar rumah dan bercerita dengan anak-anak dan cucu-cucu partisipan atau memanggil anak-anak kecil yang ada disekitar rumah Muchtar untuk bermain dirumahnya.


(5)

PEDOMAN WAWANCARA

“GAMBARAN COPING STRES PADA LANSIA PENDERITA STROKE”

I. Data diri partisipan a. Nama Partisipan b. Usia Partisipan c. Jenis Kelamin

d. Latar Pendidikan Partisipan e. Riwayat Pekerjaan Partisipan

f. Lama Partisipan Mengalami kelumpuhan II. Riwayat kesehatan partsipan seperti :

a. Kapan pertama kali partisipan terkena serangan stroke b. Penyebab serangan stroke tersebut

c. Gejala- gejala fisik yang dialami oleh partisipan ketika terkena stroke d. lama waktu partisipan mengalami kelumpuhan pascastroke

3. Reaksi partispan pertama kali mengalami stroke

a. Yang dilakukan saat pertama kali mengalami stroke

b. Pikiran yang sering timbul sebagai pertama kali menjadi seorang penderita kelumpuhan pascastroke

c. Perasaan partisipan saat pertama kali mengalami stroke

4. Apakah partisipan merasa stres ketika mengalami kelumpuhan pascastroke 5. Selain stres karena kelumpuhan pascastroke apalagi yang membuat partisipan stres


(6)

- Plainful problem solving - Confrontative coping - Seeking social support - Distancing

- Escape /avoidance - Self Control

- Acceptance Responsibility - Positive Appraisal

- Emotional discharge - Intrusive trougts - Cognitive redefinition - Denial