BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia lanjut merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh Papalia, 2007. Penuaan
dihubungkan dengan sebuah penambahan prevalensi dari masalah fisik dan atau kesehatan mental yang pada akhirnya menghasilkan ketidakmampuan secara fisik
atau kesulitan menampilkan kegiatan yang mendasar dalam kehidupan sehari-hari Mafandadi,Sharzad,Karen,New Soon,Jason,2007. Santrock 2002
mengemukakan bahwa usia lanjut membawa penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya, semakin tua usia seseorang,
kemungkinan akan memiliki beberapa penyakit atau dalam keadaan sakit meningkat Santrock, 2002. Ada beberapa penyebab kematian pada usia lanjut di
Amerika Serikat adalah kondisi kronis seperti penyakit- penyakit yang tergolong penyakit terminal illness yaitu penyakit jantung, stroke, lemahnya pernafasan
Papalia,2007. Pada kenyataannya penyakit jantung, kanker dan stroke terhitung 60 persen yang menyebabkan kematian pada lansia di Amerika Serikat
Papalia,2007. Hal ini sejalan dengan yang ada di Indonesia. Penyakit-penyakit yang tergolong dalam terminal illness seperti jantung, stroke, diabetes merupakan
faktor utama penyebab kematian di Indonesia Sutrisno,2006.
Universitas Sumatera Utara
Shimberg 1998 menyatakan bahwa stroke merupakan penyakit serebrovaskuler pembuluh darah otak yang ditandai dengan kematian jaringan
otak infark serebral, hal tersebut terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak atau keadaan di mana sel-sel otak mengalami kerusakan, karena
tidak mendapatkan oksigen dan nutrisi yang cukup. Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan Sutrisno 2007 yang mengungkapkan bahwa stroke adalah gangguan
saraf yang menetap, yang diakibatkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak, yang terjadi sekitar 24 jam atau lebih. Serangannya berlangsung selama 15-20
menit. Berat ringannya dampak serangan stroke tersebut sangat bervariasi, tergantung pada lokasi dan luas daerah otak yang rusak. Bila aliran darah terputus
hanya pada area yang kecil atau terjadi pada daerah otak yang tidak rawan, efeknya ringan dan berlangsung sementara. Sebaliknya, bila aliran darah terputus
pada daerah yang luas atau pada bagian otak yang vital, terjadi kelumpuhan yang parah sampai pada kematian Lanny Sustrani,dkk ,2004. Sarafino 2006
menambahkan bahwa stroke merupakan salah satu penyakit kronis utama yang menyebabkan kelumpuhan.
Individu yang mengalami stroke akan mengalami gejala seperti mendadak lemah atau kebas pada wajah, lengan, atau kaki secara khas pada satu bagian
tubuh; mendadak kabur atau kehilangan pengelihatan biasanya pada salah satu mata; mendadak tidak terencana, sakit kepala berat; pening- pening, keadaan
tidak tenang, atau mendadak jatuh, khususnya jika terjadi bersamaan dengan gejala manapun di atas Sarafino, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Stroke dapat berupa iskemik dan juga dapat berupa haemoragik. Pada stroke iskemik, aliran darak ke otak terhenti karena terjadinya bekuan darah yang
telah menyumbat suatu pembuluh darah aerosklerosis, sedangkan pada stroke haemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah, sehingga peredaran darah
menjadi tidak normal, karena darah merembes masuk ke otak dan merusaknya Junaidi, 2004. Stroke haemoragik memiliki dampak yang sangat berbahaya
karena biasanya menyebabkan kondisi yang fatal yaitu kematian Sarafino, 2006. Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga SKRT 1995, stroke
menyebabkan kematian dan kecacatan utama di Indonesia. Diperkirakan insiden stroke cenderung meningkat seiring meningkatnya penyakit yang merupakan
faktor resiko stroke, seperti penyakit kencing manis, hipertensi dan jantung. Faktor resiko lainnya yang mengakibatkan stroke adalah stres, penyalahgunaan
narkoba, alkohol, faktor keturunan, dan gaya hidup yang tidak sehat. Jenis kelamin memiliki peranan terhadap resiko stroke, dan laki-laki
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terserang stroke Shaffer, 2002. Perbandingan jenis kelamin akan resiko stroke antara laki-laki daripada
perempuan adalah 1,3:1. Stroke dapat menyerang semua usia termasuk anak-anak, namun sebahagian besar kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40
tahun, karena semakin tua umur seseorang, maka resiko terjangkit stroke semakin besar Sutrisno, 2007. Hampir 75 dari penderita stroke adalah individu dengan
usia 65 tahun lebih Shaffer, 2002. Panderita
pascastroke mengalami gangguan fisik yang bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. Penderita pascastroke memiliki
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan yang sangat besar mengalami kelumpuhan, seperti mati rasa sebelah badan, sulit untuk berbicara dengan orang lain, mulut mencong facial drop,
lengan yang lemah, kaki lemah arm drift, gangguan koordinasi tubuh dan penderita pascastroke yang parah biasanya hanya bisa di tempat tidur maupun di
kursi roda Junaidi, 2004. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lanny Sustrani,dkk 2004 yang mengungkapkan bahwa dampak stroke adalah kelumpuhan,
perubahan mental, gangguan komunikasi, gangguan emosional dan kehilangan indera rasa.
Sarafino 2006 mengungkapkan bahwa selain kelumpuhan, individu penderita stroke juga mengalami penurunan fungsi kognitif-bahasa, memori dan
persepsi. Gangguan bahasa yang umum terjadi pada penderita pascastroke adalah aphasia yaitu kesulitan memahami atau menggunakan kata-kata. Selain itu terjadi
pula gangguan pengelihatan pada penderita pascastroke yang disebabkan oleh otak kanan yang disebut dengan visual neglect dimana pasien gagal memproses
informasi pada pengelihatan disebalah kiri sebagai contoh , mereka tidak bisa memesan makanan pada menu bagian kiri, atau tanda pengurangan - pada tugas
hitungan Lanny Sustrani,dkk, 2004. Keadaan ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke
memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas-aktivitas pribadi mereka seperti mandi, makan, ganti pakaian, buang air besar. Tidak seperti
sebelum terkena stroke mereka dapat melakukan aktivitas pribadi seperti mandi, makan, ganti pakaian, buang air besar dapat mereka lakukan sendiri. Hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari penuturan salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke yang bernama Bapak M, inisial :
“......Dulu ompung masih bisa ngapain sendiri aja. Makan juga sendiri. Dulu juga ompung masih bisa ikutan acara rapat-rapat untuk veteran digedung 45
itu. Ompung juga dulu masih bisa nyupir mobil sendiri. Pergi kemama-mana sendiri. Nggak pakai tongkat kayak sekarang. Pokoknya sebelum kena stroke
ompung nggak pernah sakit-sakit kaki. Encok aja ompung ngga pernah. Cuma penyekit ompung ya... Cuma satu itu. Cuma darah tinggi. Itu yang buat ompung
stroke sekarang ini....”
Komunikasi Personal,21 Maret 2008
Setelah mereka terkena stroke aktivitas-aktivitas pribadinya tidak dapat mereka lakukan sendiri. Mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk
membantu mereka melaksanakan aktivitas- akitivitas pribadinya. Hal ini terjadi karena kelumpuhan dari organ tubuh mereka. Hal ini dapat dilihat dari penuturan
salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke: ”.......Nggak bisa makan sendiri, mandi juga harus dimandikan. Kalo mau
kekamar mandi untuk buang air ya.. harus dibantuin.Tapi kalo udah sesak buang air kadang ompung buang aja ditempat tidur. Abis kaki ompung lemas kalo harus
cepat-cepat. Ompung aja jalan udah nggak bisa. Ompung jalan harus pake kursi roda. Sedih lihat ompung sekarang nggak bisa apa-apa. Nggak kayak dulu.
Pengen ompung sehat lagi kayak dulu.....”
Komunikasi Personal, 9 Maret 2008 Penyakit stroke tidak hanya berdampak buruk pada kondisi fisik penderita
pascastroke, tetapi juga berdampak bagi perkembangan psikologisnya. Penderitaan yang dialami oleh individu pascastroke disebabkan karena stroke
merupakan penyakit kronis yang dapat mengakibatkan kelumpuhan total, bahkan kematian terminal illness Sarafino, 1998.
Kondisi awal yang menyertai keadaan individu yang memiliki penyakit kronis adalah mengalami shock, putus asa, dan sering sekali menggunakan
Universitas Sumatera Utara
penghindaran dari kontak lingkungan avoidance, dan menyangkal keberadaan masalah kesehatan yang dideritanya Sarafino, 1998.
Shimberg 1990 mengungkapkan bahwa penderita kelumpuhan pascastroke sering merasa rendah diri, perasaan ini merupakan suatu reaksi
emosional terhadap kemunduran kualitas keberadaan mereka. Selain penderita kelumpuhan pascastroke sering marah-marah, dan memperlihatkan sikap yang
mengingkar, penderita juga mengalami kelabilan emosi yang merupakan gejala yang aneh, terkadang penderita stroke tertawa atau menangis tanpa ada alasan
yang jelas. Penderita pascastroke menghadapi banyak masalah fisik yang disertai
dengan tekanan psikologis. Hal ini mengakibatkan penderita kelumpuhan pascastroke mengalami penderitaan suffering Astrom et al 1993. Penderitaan
yang dialami oleh individu dapat mengakibatkan stres, menimbulkan perasaan- perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, marah, malu, terhina, rendah diri,
putus asa, hampa, tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan tidak menyenangkan lainnya Bastaman, 1996.
Stres mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan pada organisme itu sehingga ia berada
diatas ambang batas kekuatan adaptifnya Kumolohadi, 2001. Semua stres pada dasarnya selalu menimbulkan dampak. Stres yang merusak distress terjadi bila
stres itu sendiri dibiarkan berlangsung lama tanpa adanya solusi dan manusia menjadi kelelahan karenanya. Dalam psikologis ada istilah psikofisis pararelism
yaitu ketertarikan yang erat pararel antara psikis dan fisik. Jika seseorang
Universitas Sumatera Utara
mengalami stres maka akan terganggu keadaan fisik, emosi, dan perilakunya. Dalam keadaan stres individu akan merasa tegang, tidak mampu berpikir rasional,
sehingga menjadi mudah sedih, cemas, bahkan depresi Kumolohadi, 2001. Akibatnya akan memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit kronis
Hadriani,dkk,2000. Pada studi kasus pada penderita stroke berat yang diteliti oleh Setiadarma
Supeli 2004 menemukan bahwa reaksi emosional negatif yang dialami oleh penderita kelumpuhan pascastroke, seperti rasa sedih dan rasa murung yang
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. Hal ini senada dengan pernyataan Ouimet et al. 2001 yang mengungkapkan bahwa depresi yang dialami oleh
penderita kelumpuhan pascastroke dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan
merasa dirinya tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing, dan terkucil dari lingkungannya. Hal ini dapat terlihat dari penuturan
salah seorang penderita kelumpuhan pascastroke: “…… Ompung selalu berdoa supaya Allah cepat ngambil nyawa ompung
aja. Ompung udah nggak kuat lagi. Bagus ompung mati aja. Kadang ompung mau bunh diri aja biar cepet mati. Ompung udah ngga bisa jalan lagi, jadi kalo kayak
gitu mendingan mati aja. Udah diobati kemana aja ngga sembuh juga. Jadi bagusnya mati aja biar ngga ngerepotin siapapun……...”
Komunikasi Personal, 10 Juni 2008 Oleh sebab itu, penderita kelumpuhan pascastroke perlu melakukan
coping stres yang tepat agar penderita kelumpuhan pascastroke tidak menjadi depresi. Hadriani dan Sri Mulyani Martinah 2000 mengungkapkan bahwa
kesehatan fisik erat kaitannya dengan kesejahteraan emosional dan mental seseorang, namun pada kenyataannya tidak semua penderita penyakit kronis dapat
Universitas Sumatera Utara
menyesuaikan diri terhadap penyakitnya . Oleh karena itu coping stres diperlukan oleh para penderita penyakit kronis agar dapat menyesuaikan diri terhadap situasi
yang terjadi. Coping adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan
yang ada atau muncul antara tuntutan dan sumber yang dimiliki didalam suatu situasi yang penuh tekanan dalam Sarafino, 2006. Menurut Richard Lazzarus
Folkman dalam Taylor, 2003 ada dua fungsi coping yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping . Emotion-Focused Coping yaitu coping yang
bertujuan untuk mengontrol respon emosional dari masalah yang dihadapi. Sedangkan problem-focused coping yaitu coping bertujuan untuk mengurangi
tuntutan dari situasi yang menekan atau memperluas sumber yang dimiliki untuk menutupi tuntutannya. Agar mendapatkan coping stres yang diperlukan oleh
karena itu para penderita kelumpuhan pascastroke harus memilih metode coping apa yang mereka butuhkan untuk dapat menangani stres mereka agar tidak
menjadi depresi. Taylor 2003 mengatakan bahwa metode coping yang digunakan berdasarkan fungsi coping yaitu metode coping yang berorientasi
kepada problem-focused yaitu plainful problem solving, confrontative, seeking social support, direct action, dan yang berorientasi kepada emotion focused yaitu
distancing, escapeavoidance, self Control, accepting responsibility, positive reappraisal, acceptance, religion, denial, cognitive redefinition, emotional
discharge, intrusive troughts. Penderita penyakit kronis seperti penderita pascastroke
akan menggunakan coping secara selektif atau kombinasi yang menurut anggapannya
Universitas Sumatera Utara
akan efektif. Mereka cenderung lebih sering menggunakan coping yang berorientasi pada emosi, karena coping yang berorientasi pada emosi akan lebih
efektif dibandingkan dengan coping yang berorientasi pada masalah untuk menghindari stres akibat penyakit kronis seperti stroke Hadriani,dkk,2000.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi fisik dan psikologis yang diamati oleh penderita kelumpuhan pascastroke dapat
menyebabkan individu mengalami penderitaan. Terkait dengan fenomena di atas bahwa jika individu mengalami suatu penderitaan akan menyebabkan stres. Oleh
karena itu penderita kelumpuhan pascastroke harus melakukan coping dengan memilih metode coping yang tepat. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat
bagaimana gambaran coping stres yang digunakan oleh lansia penderita kelumpuhan pascastroke.
B. Perumusan Masalah