Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa

(1)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. GAMBARAN COPING STRES

PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA

SKRIPSI

Di ajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RENA KINNARA ARLOTAS 051301141

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2009/2010


(2)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. SKRIPSI

GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

RENA KINNARA ARLOTAS 051301141

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 21 Desember 2009

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) NIP. 140 080 762

Tim Penguji

1.Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog Penguji/Pembimbing NIP. 1980 07 22 2005 02 2001

2.Arliza J. L. M.Si, psikolog Penguji II NIP. 1978 03 25 2003 12 2002

3.Ridhoi Meilona, M.Si Penguji III NIP.


(3)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan di Desa

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

RENA KINNARA ARLOTAS NIM 051301141


(4)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Coping Stres Pada Wilayatul HisbahYang Ditempatkan di Desa

Rena Kinnara A dan Juliana I. Saragih ABSTRAK

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam di masyarakat, maka dibentuklah Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah) yang merupakan lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam. WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong (kampung) dan lingkungan – lingkungan lainnya.

Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa mengalami berbagai kendala yang menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang mereka rasakan akibat kendala yang terjadi menyebabkan timbulnya stres. Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan sehingga WH termotivasi untuk melakukan coping. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran coping stres pada WH yang ditempatkan di desa. Untuk menjawab permasalahan ini, digunakan teori sumber stres dari Cary Cooper yaitu sumber stres dari pekerjaan dan teori fungsi coping stres dari Lazarus dan Folkman yang terdiri dari emosional focus coping dan problem focus coping.

Pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi pekerjaan yang menjadi sumber stres pada masing-masing responden berbeda satu sama lain. Begitu juga dengan coping stres yang digunakan berbeda pada masing-masing responden. Namun secara umum responden menggunakan emosional focus coping dan problem focus coping secara bersamaan. Selain itu responden juga menggunakan emosional focus coping saja atau problem focus coping saja.


(5)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Coping Stress in Wilayatul Hisbah Who Are Placed in Rural Area

Rena Kinnara Arlotas and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

The Nanggroe Aceh Darussalam has put the Islam law into effect for seven years. Tu supervise the implementation of Islam Law in public, the province goverment has established Wilayatul Hisbah (the regional supervisor often is called ”Syariah Police”) which is the institution that has duties to control, to cultivate, and do advocacy for implementation of rules in legislation of Islam Law. The WH has organization structure which consists of WH Province level, WH regency and Town Level, WH subdictrion level, even enable, it is established in gampong (village) ang others districts.

Different from WH who are placed in town, WH who are placed in rural area faced various obstacles which demand them to work harder perform their duties. The burden of work that they feel as result of obstacles cause of stress. The stress which is felt by the individual is accompanied by emotion stress and physical strain cause of incomfortable in WH, so they are motivated to do coping. This research has purpose to understand how condition of coping stress in WH who are placed in rural area. To answer this problem, that are used is the Cory Cooper’s source of stress theory, that is the stress which has source from work and function theory of coping stress from Lazarus and Folkman that include of Emotional Focus Coping and Problem Focus Coping.

The sampling of data in this research use qualitative methode with three respondent. The result of research show that the dimension of work that to be source of stress in every respondents is different each other. And coping stress that is different in each respondents. Nevertheless, generally respondents used emotional focus coping and problem focus coping similarly. Beside that, the respondent use emosional focus coping only or problem focus coping only.


(6)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat Rahmat, Iradat dan Rahim-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah yang Ditempatkan di Desa”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan sahabatnya. Semoga semangat dan kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan bagi kita semua.

Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Papa dan Mama, Kakak dan Adinda tercinta yang selalu memberi perhatian, semangat, harapan, dan do’a. Semoga kedamaian, cinta dan kasih sayang yang kita rasakan di dunia ini dapat berlanjut hingga ke syurga kelak, Amin ya Rabb.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Chairul Yoel, SP.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar dan ikhlas ditengah kesibukannya masih bersedia meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Arliza J. Lubis. M.Si, psikolog dan Ridhoi Meilona, M.Si selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji tugas ini, terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan terhadap upaya perbaikan skripsi ini.


(7)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 4. Para responden yang telah meluangkan waktu dan bersedia berbagi cerita dan

pengalaman.

5. Saudara seperjuangan: Dian, Faqih, Via, Retno, Afni, F4/TOP 1 (Widi, Rossy, Listi) yang selalu mendukung dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Fauzan yang selalu menjadi korban kesibukan penulis saat menyelesaikan skripsi ini, dan seluruh rekan-rekan The Way yang senantiasa istiqamah di jalan dakwah. Semoga jarak bukan menjadi kendala untuk senantiasa menjalin ukhuwah ini. Serta seluruh pihak yang turut memberikan dukungan moril dan materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin

Medan, Desember 2009 Penulis


(8)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DEPAN i

LEMBAR PENGESAHAN ii

LEMBAR PERNYATAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah 1

B. Perumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 11

D. Manfaat Penelitian 11

E. Sistematika Penulisan 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Stres 14

1. Pengertian Stres 14

2. Respon Terhadap Stres 15

3. Sumber-sumber Stres 17

4. Penilaian Terhadap Stres 21

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres Appraisal 23

B. Coping 24

1. Pengertian Coping 25

2. Fungsi Coping 25

3. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping 29

4. Coping Out Come 31


(9)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

1. Pengertian Wilayatul Hisbah 32

2. Tugas Wilayatul Hisbah 34

3. Wewenang Wilayatul Hisbah 37

4. Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang 39

Ditempatkan di Desa D. Paradigma Penelitian 44

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Kualitatif 45

B. Responden Penelitian 45

1. Karaktersitik Responden 45

2. Jumlah Responden 46

C. Prosedur Pengambilan Data 46

D. Lokasi Penelitian 49

E. Alat Bantu pengambilan Data 49

F. Kredibilitas Penelitian 50

G. Prosedur Penelitian 51

1. Tahap persiapan penelitian 51

2. Tahap pelaksanaan penelitian 52

3. Tahap pencatatan data 54

4. Teknik dan prosedur pengolahan data 54

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI 57

A.Analisa Data 58

1. Responden I 58

a. Hasil Observasi 58

b. Ringkasan Hasil Wawancara 61

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan 62

coping stres 2. Responden II 80

a. Hasil Observasi 80


(10)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan 62

coping stres 3. Responden III 104

a. Hasil Observasi 104

b. Ringkasan Hasil Wawancara 106

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan 109

coping stres B.Interpretasi 130

1. Responden I 130

a. Sumber stres 130

b. Coping stres 134

2. Responden II 137

a. Sumber stres 137

b. Coping stres 140

3. Responden III 142

a. Sumber stres 142

b. Coping stres 144

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 157

A.Kesimpulan 157

B.Diskusi 160

C.Saran 162

1. Saran praktis 162

2. Saran penelitian selanjutnya 163


(11)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan wawancara 53

Tabel 2 Gambarag umum responden penelitian 57

Tabel 3 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden I 76

Tabel 4 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden II 100

Tabel 5 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden III 126


(12)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 2 Lampiran Verbatim


(13)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam. Tidak hanya sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 18 tahun 2001, Aceh resmi memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, selain tentunya, hukum positif yang berlaku nasional (Indosiar.com, 2006).

Peraturan syariat Islam memang tidak bisa langsung diterapkan secara keseluruhan. Peraturan Daerah atau Qonun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan, yaitu Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, Qonun 12 soal judi atau maisir, Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta Qonun 14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim. Namun hal ini jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Empat Qonun itupun dipercepat pemberlakuannya, karena dianggap mendasar dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat (Indosiar.com, 2006).


(14)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Dua tahun setelah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan Qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan. (Indosiar.com, 2006).

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah). Wilayatul Hisbah (WH) adalah badan yang ditugaskan untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan hukum Islam di dalam masyarakat Aceh khususnya, berkenaan dengan realisasi Qanun-Qanun tentang larangan khamar (minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) (Widyanto, 2007). WH juga disebut sebagai lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar (Himpunan Peraturan Daerah, 2004).

Imam Mawardi (dalam Marhaendy, 2008) menyatakan bahwa WH bertugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Amar ma’ruf berarti menyerukan kepada kebajikan, yaitu mengajak, menghimbau, memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah SWT. Nahi


(15)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. munkar berarti mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, mengancam, melawan, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam dan menjauhkan pelakunya dari Allah SWT (Kebun Hikmah Online, dalam Marhaendy 2008). Dengan demikian posisi WH sangat menentukan efektivitas jalannya penerapan Syariat Islam. Sebab, WH merupakan institusi yang terjun secara langsung memantau terjadinya pelanggaran-pelanggaran Syariat Islam tersebut di wilayah NAD (Marhanedy, 2008).

Tugas WH dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diantaranya adalah menindak perempuan Islam yang tidak menggunakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan (khalwat), dan meringkus pemabuk (khamar) serta penjudi (maisir). Dalam melaksanakan tugas ini, WH dibantu oleh Paperda (Tim Penertiban Peraturan Daerah), karena WH belum memiliki wewenang sebagaimana Paperda yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (Afrida, 2006).

Berdasarkan Qanun Nomor 11 Pasal 14 ayat (3), apabila saat menjalankan tugasnya WH mendapatkan beberapa bukti bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran, maka WH diberi wewenang untuk menegur/menasehati orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Apabila teguran dan nasihat yang dilakukan WH membuat seseorang tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka penyelesaian dipadai pada tahap teguran dan nasihat, tetapi apabila tidak didengarkan maka WH menyerahkan kasusnya pada penyidik dan selanjutnya diserahkan kepada jaksa untuk dilimpahkan ke Mahkaman Syari’ah (Abubakar, 2008).


(16)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan – lingkungan lainnya (Qanun NAD Nomor 11 BAB VI, Pasal 14 ayat (2) (Abubakar, 2008). Terdapat beberapa perbedaan kebijakan mengenai WH yang ditempatkan di kota dengan WH yang ditempatkan di desa. WH yang ditempatkan di kota berjumlah lebih dari 3 orang per kabupaten, sementara WH yang ditempatkan di desa berjumlah 2 sampai 4 orang per kecamatan. WH yang ditempatkan di kota juga dibekali dengan kendaraan dinas, sementara WH yang ditempatkan di desa menggunakan kendaraan pribadi. (Wawancara personal, 10 Juli 2008)

Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa seringkali terbentur dengan masalah adat kebiasaan masyarakat. Masyarakat desa pada umumnya cenderung memahami ajaran dan tuntunan Islam dalam kerangka budaya dan adat Aceh, dalam arti kata pelaksanaan Islam dilakukan dalam kerangka adat “lokal” (Chaidar, 2008). Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang sesuai dengan syariat islam, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Misalnya adat kebiasaan perempuan desa yang akan pergi ke kebun tidak menggunakan jilbab sebagai penutup kepalanya, tetapi menggunakan ”kelubung”, sejenis kain penutup rambut. Jika menghadapi hal ini, WH yang ditempatkan di desa seringkali bingung harus berbuat apa, menindak atau membiarkan saja. Jika ditindak, WH takut dituduh tidak menghormati adat kebiasaan masyarakat, tetapi jika tidak ditegur, WH merasa perempuan tersebut telah melakukan pelanggaran


(17)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. karena tidak menggunakan jilbab saat keluar rumah. Ketidakmampuan WH yang ditempatkan di desa untuk menindak kasus ini seringkali membuat mereka merasa tidak mampu menjalankan apa-apa dari tugasnya. Sementara WH yang ditempatkan di kota tidak menghadapi kasus ini karena adat menggunakan ”kelubung” tidak berlaku di kota. (Wawancara personal, 10 Juli 2008). Hal ini seperti diungkapkan oleh Nofi (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa.

”cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun, kalau orang-orang kampung pun kayak gini lah cuman model jilbabnya, nutup rambut cuma, pakek kelubung aja”

(R2.W2.b.25-31.h.5)

Contoh lain adalah saat akan menegur pasangan beda kelamin yang melakukan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan). WH yang ditempatkan di desa merasa sulit untuk menegur muda-mudi yang melakukan ikhtilath, karena ikhtilath biasa terjadi dalam pesta-pesta perkawinan yang diadakan oleh masyarakat, dimana telah menjadi adat kebiasaan untuk menyediakan acara khusus untuk pemuda dan pemudi dalam sebuah pesta yang menyebabkan terjadinya ikhtilath. Sementara di kota adat perkumpulan pemuda-pemudi ini tidak berlaku lagi. Hal ini seperti disampaikan oleh Dina (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa.

”kalau pesta pernikahan di kota ni kan agak lebih modern, gak ada lagi perkumpulan pemuda pemudinya, kalau di desa tu kan 2 hari sebelum hari H itu muda mudinya udah mulai berkumpul”


(18)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. ”memang kalau dilihat dari apa memang kurang syar’i, cuma itulah kebiasaan mereka, nah kalau yang punya rumah tidak melakukan hal seperti itu mereka secara tidak langsung seperti dikucilkan, kalau di kota kan gak lagi”

(R1.W2.b.49-54.h.15)

Selain itu, kurangnya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dirasakan oleh WH yang ditempatkan di desa. Kurangnya dukungan ini dirasakan oleh WH karena pemerintah tidak memberikan peralatan yang memadai untuk pelaksanaan tugas WH, seperti mobil untuk patroli dan dana operasional lapangan. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan WH untuk melakukan patroli. Begitu juga dengan dana operasional yang tidak diberikan oleh pemerintah. Jika membutuhkan dana untuk tugas-tugas, WH justru diinstruksikan untuk mengambil dana dari jumlah gaji yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu saja akan mengurangi jumlah gaji yang mereka terima, padahal mereka merasa gaji yang mereka terima terlalu kecil jika dibandingkan dengan kerja yang mereka lakukan. (Wawancara Personal, 10 Juli 2008)

Hal lain yang menjadi kendala/hambatan dalam menjalankan tugas di lapangan bagi petugas WH adalah masih terbatasnya kewenangan yang di miliki WH dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Qanun syariat Islam. WH hanya memiliki wewenang untuk menegur atau menasehati. Hal ini membuat wewenang WH sangat lemah dalam menindaklanjuti pelanggar. Jika menemukan pelanggar dan ingin ditindaklanjuti, WH harus menghubungi pihak kepolisian terlebih dahulu, jika pihak kepolisian terlambat hadir, maka pelanggar dengan mudah dapat melarikan diri. (Abubakar, 2007)


(19)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Selain itu, WH yang ditempatkan di desa juga mengalami kendala dalam pelaksanaan tugasnya karena WH terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya dan dengan atasannya. Ketiadaan jenjang kenaikan karir bagi WH juga dinilai sebagai kendala dalam pekerjaannya. Hambatan dan kendala yang dihadapi WH yang ditempatkan di desa ini menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang terlalu berat, konflik, frustasi, jam kerja yang rutin, gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan stres (Ubaidillah, 2007). Kondisi pekerjaan yang terlalu kompleks, overload, terdapatnya kebingungan peran, dan kurangnya dukungan sosial, harapan akan kenaikan karir yang tidak didapatkan, struktur organisasi yang terlihat kaku dan keras juga dapat menyebabkan timbulnya stres (Looker & Gregson, 2005).

Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk (dalam Sarafino, 2006) stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu.

Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Respon fisiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Respon kognitif dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti


(20)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. Respon emosi dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. Dan respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Sarafino (2006) menyatakan bahwa sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres (Passer & Smith, 2007).

Stres dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper (dalam Greenberg, 2004) di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu kondisi pekerjaan, kebingungan peran, interpersonal stres, perkembangan dan struktur organisasi, serta hubungan pekerjaan dan rumah. Kondisi pekerjaan berupa beban tugas yang berat dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Hal ini seperti diungkapkan oleh WH yang ditempatkan di desa.

“sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH ni lho! Mental di kenak nya kan?”


(21)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. “kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala”

(R1.W2.b.331-332.h.21)

Kondisi pekerjaan lain berupa ancaman terhadap keselamatan fisik juga dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Sosialisasi peran WH yang masih sangat kurang dalam masyarakat, menyebabkan WH seringkali mendapat perlawanan dari masyarakat ketika menegur pelanggar (Abubakar, 2007). Perlawanan yang diberikan masyarakat ini menyebabkan WH merasa terancam keselamatan fisiknya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dina (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa.

“kalau terjadi sesuatu, misalnya kan kita berdakwah ke pemuda, apalagi pemuda-pemuda dia lagi senang-senangnya trus kita teriak “hey sini sini…” memanglah secara ahsan (baik), nantikan orang tu tapi mudah-mudahan enggak pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan”

(R1.W2.b.218-227.h.19)

Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, maka individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bisa meredakan stres. Hal ini disebut coping. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain, coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin, 2002).


(22)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stres (problem focus coping) atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut (Emotion-focused coping). Problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Emotion-focused coping digunakan untuk penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional. Taylor (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua fungsi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua fungsi coping pasti digunakan oleh individu.

Carels, et.al (dalam Passer & Smith, 2007) menyatakan bahwa kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi, jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk menghadapi situasi yang berbahaya, sehingga hasilnya individu akan mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya bahwa mereka tidak akan dapat menghadapi permasalahan. Selanjutnya individu akan merasa terganggu dan menyalahkan diri sendiri mengenai permasalahan yang dihadapinya dan berfikir memang tidak akan pernah mampu menghadapinya. Keputusasaan ini menyebabkan resiko yang berbahaya bagi individu yang menyebabkan individu lepas kendali dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kegagalan total.

Fungsi coping yang dilakukan masing-masing individu berbeda, ada individu yang tampaknya mampu menangani stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang lain (Looker, & Gregson, 2005). Begitu juga dengan Wilayatul


(23)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Hisbah, tentunya cara Wilayatul Hisbah menghadapi kendala yang dialaminya berbeda pada masing-masing personel. Melihat fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

B. PERUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut, yaitu bagaimana gambaran mekanisme coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa, yang mencakup:

1. Apa yang menjadi sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa?

2. Bagaimana gambaran coping stres yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hal-hal yang menjadi sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.


(24)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 2. Mengetahui gambaran coping stres yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang

ditempatkan di desa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai mekanisme coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian mengenai psikologi klinis, sehingga hasil penelitian nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Pada Wilayatul Hisbah, khususnya yang ditempatkan di desa.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada Wilayatul Hisbah, khususnya mengenai mekanisme coping stress.

b. Pada masyarakat.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tugas, kewajiban, serta kendala-kendala yang dihadapi Wilayatul Hisbah sehingga masyarakat dapat memberikan perlakuan yang lebih baik agar WH dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal.


(25)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam meninjau ulang kebijakannya mengenai hak dan kewajiban Wilayatul Hisbah dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.

d. Penelitian selanjutnya.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai mekanisme coping stres pada Wilayatul Hisbah.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN

Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN

Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, responden penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.


(26)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai stress dan coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES

1. Pengertian Stres

Menurut Vincent Cornelli (dalam Musbikin, 2005) stres merupakan suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu dalam lingkungan tersebut. Secara spesifik Richard Lazarus menganggap stres sebagai sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Hans Selye (dalam Greenberg, 2004) menyatakan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap tuntutan atasnya.


(27)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk (dalam Sarafino, 2006) stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/ kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu.

Lavallo (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa kondisi stres memiliki 2 komponen, yaitu fisik dan psikologis. Komponen ini dapat dijelaskan dalam 3 cara, yaitu:

a. Stres dilihat sebagai stimulus yang disebut sebagai stresor, pendekatan ini berfokus pada lingkungan. Stimulus lingkungan menyebabkan individu merasa tertekan atau terbangkitkan, dalam hal ini stres adalah sesuatu yang berada di luar individu (Rice, 1987).

b. Pendekatan kedua melihat stres sebagai respon, yang berfokus pada reaksi individu terhadap stresor. Respon yang diberikan dapat berupa respon psikologis atau fisiologis. Rice (1987) menyatakan bahwa dalam hal ini stres merupakan kondisi mental internal dari tension atau arousal.

c. Pendekatan ketiga melihat stres sebagai proses yang meliputi stresor dan respon, memiliki dimensi hubungan antara individu dan lingkungan. Proses ini meliputi interaksi yang kontinu dan penyesuaian yang saling mempengaruhi antara individu dan lingkungan. Berdasarkan pandangan ini, stres tidak hanya sebagai stimulus atau respon, tetapi sebagai proses dimana individu memiliki


(28)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. peran yang aktiv yang dapat mempengaruhi akibat dari stresor melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional.

Jadi stress adalah suatu kondisi fisiologi dan psikologis yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan yang penuh ancaman ataupun tantangan dan terdapat kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan sumber daya yang dimiliki individu untuk menyelesaikannya.

2. Respon Terhadap Stress

Taylor (dalam Wangsadjaja, 1991) menyatakan bahwa stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:

1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

Hans Selye (dalam Davison, 2006) memperkenalkan sindrom adaptasi menyeluruh (General Adaptation Syndrome-GAS), suatu gambaran respon fisiologis untuk bertahan dan mengatasi stres fisik. Terdapat 3 fase dalam model ini, yaitu:

a. Pada fase pertama, yakni reaksi alarm (alarm reaction), sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin membesar, dan thimus menjadi lemah.


(29)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. b. Pada fase kedua, yaitu resistensi (resistance), individu beradaptasi dengan

stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki.

c. Jika stresor menetap atau individu tidak mampu merespons secara efektif, terjadi fase ketiga, yaitu suatu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat, dan individu mati atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.

3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan respon stres (Passer & Smith, 2007) adalah :

1. biological, yaitu mekanisme tubuh, respon fisiologis dari sistem autonomic dan endokrin dalam merespon stresor.

2. fisiologis, merupakan penilaian kognitif terhadap tuntutan lingkungan, sumber daya yang dimiliki individu, konsekuensi yang akan dihasilkan, faktor kepribadian, seperti keyakinan dan kesabaran individu mempengaruhi respon terhadap stres, dan strategi coping.


(30)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 3. lingkungan. Jumlah, intensitas, dan durasi dari kejadian yang menimbulkan

stres, dapat diprediksi/tidak, dapat dikontrol/tidak, tingkat keparahan dari situasi, ketersediaan dukungan sosial, faktor budaya juga mempengaruhi cara individu berespon terhadap sumber stres.

3. Sumber-sumber Stres

Sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres (Passer & Smith, 2007). Stress dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper (dalam Greenberg, 2004) di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu:

1. Job Conditions.

Kondisi pekerjaan yang dapat menimbulkan stress seperti:

a. job complexity, merupakan kesulitan yang tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan yang harus dilaksanakan. Biasanya berhubungan dengan hal-hal seperti jumlah dan kesempurnaan informasi yang diperlukan agar individu dapat berfungsi di pekerjaannya, perluasan atau penambahan metoda untuk melakukan/menyelenggarakan pekerjaan, atau pengenalan tentang


(31)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. perencanaan mengenai segala kemungkinan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

b.work overload, dapat dibedakan menjadi overload qualitative dan overload quantitative. Overload qualitative terjadi jika terlalu kompleks dan terlalu banyak yang harus dilakukan. Sedangkan overload quantitative terjadi jika tuntutan fisik dari pekerjaan melebihi kapasitas individu.

c.assembly line hysteria, meliputi rasa muak, kelelahan otot, sakit kepala yang parah, dan penglihatan yang kabur. Walaupun terdapat symptom fisik, namun tidak terdapat basis fisik dari simpton tersebut. Simptom muncul sebagai bagian dari respon psikologis terhadap pekerjaan yang terlihat membosankan, terlalu sedikit interaksi sosial, dan rendahnya tingkat kepuasan terhadap pekerjaan.

d.decision making, responsibility, and stres. Jika keputusan atasan semakin menuntut tanggungjawab dari individu, maka pekerjaan

tersebut semakin meningkatkan kemungkinan timbulnya stress.

e.physical danger, merupakan sumber yang sangat potensial untuk menimbulkan stress, ketika individu berhadapan dengan bahaya fisik saat menjalankan kewajiban pekerjaanya.

f. shift work. Shift work menuntut individu untuk merubah jadwal mereka dari perencanaan awal. Hal ini dapat menimbulkan gangguan pada waktu tidur normal individu, neurophysiological rhythm, metabolisme, dan mental efficiency.


(32)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Terjadi ketika individu tidak mengetahi apa yang diharapkan darinya dan apa yang dianggap benar dari pekerjaannya. Efek dari role ambiguity ini adalah dapat menimbulkan penurunan performace dan kepuasan kerja, kecemasan, dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

3. interpersonal stres

adanya dukungan sosial dari pekerja lain, pihak manajemen, keluarga dan teman dapat mengurangi ketegangan dalam pekerjaan.

4. career development

individu memiliki beberapa harapan terhadap pekerjaannya, seperti mengharapkan kenaikan yang cepat atau setidaknya kemajuan yang terus menerus, mengharapkan beberapa kebebasan dalam pekerjaan, mengharapkan pendapatan yang meningkat, keinginan untuk belajar berbagai hal baru dan melakukan pekerjaan baru, dan keinginan untuk menemukan solusi dari permasalahan tertentu. Ketika harapan tersebut tidak didapatkan, individu sering kehilangan motivasi berprestasi dan self esteem yang penting untuk mendapatkan kepuasan kerja. Ketika kenaikan jabatan tidak didapatkan atau ketika pekerjaan yang dilihat menjamin keamanan justru terancam dengan pemberhentian, maka karyawan cenderung mengalami stress.

5. organizational structure and development

cara pengaturan pekerjaan juga dapat mengakibatkan timbulnya stress. Tidak setuju dengan struktur pekerjaan yang kaku, percekcokan dengan rekan kerja, sedikitnya kesempatan untuk membuat keputusan dan sedikitnya dukungan terhadap inisiatif individu dapat menimbulkan stress.


(33)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 6. home-work connection.

Kondisi rumah dan tempat kerja saling mempengaruhi. Jika di rumah terdapat tekanan, maka hal ini dapat mempengaruhi performa individu di pekerjaan. Banyak individu yang menempatkan rumah sebagai tempat perlindungan, tetapi jika tempat perlindungan ini terganggu, apakah itu karena gangguan di pekerjaan atau konflik di rumah, maka efek dari stress di pekerjaan semakin dirasakan.

4. Penilaian Terhadap Stress

Lazarus dan Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa secara umum stres memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal. Cognitive appraisal adalah proses mental dimana individu menilai 2 aspek, apakah tuntutan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya? Dan apakah individu memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tuntutan tersebut? Kedua aspek ini membedakan 2 tipe penilaian, yaitu :

a. penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, yang disebut primary appraisal. Primary appraisal dapat menghasilkan 3 keputusan, apakah situasi yang dihadapi individu tersebut irrelevant, good ataupun stresfull. Kondisi/situasi yang dinilai negatif oleh individu dapat dipandang sebagai :


(34)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 1) Bahaya (harm), terhadap kerusakan yang sudah diakibatkan oleh suatu

peristiwa.

2) Ancaman (threat), terhadap kerusakan yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang akibat suatu peristiwa.

3) Tantangan (challenge), terhadap potensi untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan akibat suatu peristiwa dan mengambil keuntungan secara maksimal dari peristiwa tersebut.

Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki individu, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya.

2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence. 3.Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai

macam aspek dari identitas ego atau komitmen individu.

b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat,


(35)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian.

Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.

2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya. 3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu

individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres appraisals

Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa penilaian terhadap peristiwa yang dapat menimbulkan stres tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan individu dan faktor yang berhubungan dengan situasi.

1.Faktor individu terdiri atas intelektual, motivasi, dan karakteristik keperibadian. Individu yang memilikin self esteem yang tinggi cenderung untuk meyakini bahwa individu tersebut memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi stres. Individu yang merasa sulit untuk mencapai


(36)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. suatu tujuan , maka individu tersebut akan semakin merasakannya sebagai stres.

2.Faktor situasi. Kejadian atau peristiwa yang sangat menekan dan terjadi tiba-tiba cenderung untuk dilihat dapat menimbulkan stres. Karakteristik situasi yang dapat menimbulkan stres adalah :

a. Life transitions, meninggalkan suatu kondisi hidup menuju kondisi yang lain. Seperti memasuki sekolah yang baru, pindah ke komunitas yang baru, menjadi orang tua, ataupun mengundurkan diri dari pekerjaan.

b. Difficult timing. Peristiwa yang terjadi terlalu cepat atau terlalu lambat, tidak sesuai dengan kebiasaannya dan tidak sesuai dengan harapan. c. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi. Seperti

informasi yang tidak jelas mengenai fungsi atau kerja dari seorang karyawan dan ketidakjelasan status kesehatan pasien.

d. Low desirability, ada beberapa kejadian yang terjadi diluar dugaan kita, seperti kebakaran rumah.

e. Low controllability, yaitu kejadian yang terjadi tanpa dipengaruhi oleh perilaku atau kognitif individu, seperti ketidakmampuan individu untuk beraktifitas selama sakit, dan ketidakmampuan individu untuk berhenti memikirkan kejadian yang menimbulkan trauma.

B. COPING


(37)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Lazarus & Folkman (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa coping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya yang dimiliki individu. Coping dipandang sebagai suatu usaha untuk menguasai situasi tertekan, tanpa memperhatikan akibat dari tekanan tersebut. Namun coping bukan merupakan suatu usaha untuk menguasai seluruh situasi menekan, karena tidak semua situasi tersebut dapat benar-benar dikuasai.

Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menanggani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin, 2002). Coping adalah proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki saat berada dalam situasi yang stressfull (Sarafino, 2006).

Jadi coping adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk menguasai situasi yang menekan yang melebihi sumber daya yang dimilikinya.

2. Fungsi Coping

Individu memiliki sejumlah cara dalam coping terhadap stres. Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah


(38)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. masalah sebagai penyebab stres atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut.

a. problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Contoh :

a) Membuat individu yang bersangkutan menerima tanggungjawab untuk menyelesaikan atau mengontrol masalah yang menimbulkan stres. Dengan merubah situasi dari masalah yang bersangkutan, diharapkan efek stresnya juga akan menghilang.

b) Menyiapkan semacam rencana untuk menyelesaikan masalah penyebab stres, dan mengambil tindakan untuk melaksanakan rencana tersebut b. emotion-focused coping digunakan untuk mengontrol situasi yang dinilai

sebagai stres. Coping yang berfokus pada emosi (problem-focused coping) adalah istilah Lazarus untuk strategi penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif. Dalam emotion focus coping ini individu menghadapi stres dengan fokus kepada bagaimana menata dirinya secara emosional sehingga siap menghadapi stres itu sendiri. Beberapa contoh penerapan teknik emotion-focused coping antara lain :

a)Menerima simpati dan pengertian dari individu (teman, saudara atau support group lainnya)


(39)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Individu dapat mengatur respon emosinya melalui pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Pendekatan kognitif meliputi bagaimana cara individu berfikir mengenai situasi yang dinilai sebagai stres. Dalam pendekatan kognitif, individu mendefinisikan kembali situasinya dan melihatnya dengan sudut pandang yang positif. Pendekatan perilaku meliputi penggunaan alkohol dan obat-obatan, mencari dukungan sosial dan melakukan aktivitas yang dapat mengganggun ingatan individu padamasalah. Individu cenderung menggunakan emotion-focus coping ketika individu yakin akan dapat melakukan sesuatu hal untuk merubah kondisi yang dinilai sebagai stres.

Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006)) menyatakan bahwa individu cenderung untuk menggunakan problem-focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut individu tersebut dapat dikontrolnya. Sebaliknya, individu cenderung menggunakan emotion focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya sulit untuk dikontrol. Taylor (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua strategi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu.

Suatu studi dilakukan oleh Folkman et al. (dalam Wangsadjaya) mengenai kemungkinan variasi dari problem-focused coping dan emotion focused coping. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya delapan strategi coping yang muncul, yaitu :


(40)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. a. confrontative coping; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap

menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan resiko.

b. seeking social support; yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan informasi dari orang lain.

c. planful problem solving; usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

2. Emotion focused coping

a. Self-control; usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan.

b.Distancing; usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon.

c. Positive reappraisal; usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religius.

d.Accepting responsibility; usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut.


(41)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. e. Escape/avoidance; usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari

situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Sarafino (2006) menyatakan bahwa penelitian menemukan bahwa individu menggunakan metode coping dalam 4 cara yang berbeda, yaitu:

1. individu cenderung konsisten dalam menghadapi tipe stresor, dimana jika mengalami kondisi stres yang sama, individu cenderung menggunakan strategi coping yang sama.

2. individu biasanya menggunakan kombinasi dari problem dan emotion coping strategy,

3. metode coping yang digunakan individu berbeda antara kondisi stres yang berlangsung singkat dengan kondisi stres yang berlangsung dalam waktu yang lama.

4. walaupun metode yang digunakan individu berkembang dari transaksi selama kehidupannya, individu yang kembar cenderung menggunakan metode coping yang sama.

3. Faktor yang Mempengaruhi Coping

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik/energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi (Mu’tadin, 2002).


(42)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 1. Kesehatan Fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar

2. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe problem-solving focused coping

3. Keterampilan Memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat

5. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya


(43)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

4. Coping Outcome

Lazarus dan Folkman; Cohen dan Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa coping yang efektif adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan, serta tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu mengacu pada lima fungsi tugas coping yang dikenal dengan istilah coping task, yaitu :

1. Mengurangi kondisi lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya

2. Mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif. 3. Mempertahankan gambaran diri yang positif.

4. Mempertahankan keseimbangan emosional.

5. Melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.

Menurut Taylor (dalam Wangsadjaja), efektivitas coping tergantung dari keberhasilan pemenuhan coping task. Individu tidak harus memenuhi semua coping task untuk dinyatakan berhasil melakukan coping dengan baik. Setelah coping dapat memenuhi sebagian atau semua fungsi tugas tersebut, maka dapat terlihat bagaimana coping outcome yang dialami tiap individu. Coping outcome


(44)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. adalah kriteria hasil coping untuk menentukan keberhasilan coping. Coping outcome, yaitu :

1. ukuran fungsi fisiologis, yaitu coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat mengurangi indikator dan arousal stres seperti menurunnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

2. apakah individu dapat kembali pada keadaan seperti sebelum ia mengalami stres, dan seberapa cepat ia dapat kembali. Coping dinyatakan berhasil bila coping yang dilakukan dapat membawa individu kembali pada keadaan seperti sebelum individu mengalami stres.

3. efektivitas dalam mengurangi psychological distres. Coping dinyatakan berhasil jika coping tersebut dapat mengurangi rasa cemas dan depresi pada individu.

C. WILAYATUL HISBAH 1. Pengertian Wilayatul Hisbah

Wilayatul Hisbah (WH) adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah negara Islam. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah, bermakna "wewenang" dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan, pengiraan dan perhitungan (Furqani, 2007).


(45)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Wilayatul berarti daerah atau areal kekuasaan, sedangkan Hisbah bermakna menghitung/ mengira berasal dari bahasa Arab sedangkan secara singkat Imam Al-Mawardy mendefenisikan bahwa wewenang untuk menjalankan amar ma’ruf jika orang melalaikan, dan nahi mungkar/ mencegah jika ada orang yang mengerjakannya. Secara umum Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dan digaji oleh pemerintah, kepadanya diberi wewenang mengawasi berjalannya syari’at Islam serta bertindak tegas terhadap orang yang berbuat kemungkaran dan wajib memberikan bantuan kepada yang memerlukan (Furqani, 2007).

Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar. Wilayatul Hisbah dikoordinir oleh Dinas Syariat Islam, diangkat oleh Gubernur ditingkat provinsi, Bupati/Walikota ditingkat Kabupaten/Kota. Ditingkat kemukiman yang bertugas di gampong-gampong tetap diangkat oleh Bupati/Walikota, pengangkatan Wiliyatul Hisbah di berbagai tingkat terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan Majelis Permusyawatan Ulama (MPU) (Furqani, 2007).

Dalam Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003 tentang hubungan tata kerja majelis permusyawaratan ulama dengan Eksekutif, Legislatif, dan instansi pengambilan keputusan lainnya, pada Ketentuan Umum disebutkan bahwa Wilayatul Hisbah adalah satuan tugas yang membantu polisi dalam penegakan syariat Islam, dalam Qanun NAD No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam pada ketentuan


(46)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. umum disebutkan bahwa Wilayatul Hisbah adalah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Syariat Islam (Jamhuri, 2005).

Dalam Qanun NAD No. 12 Tahun 2003 tentang minuman khamr dan sejenisnya dan Qanun No.13 Tahun 2003 Maisir (perjudian) masing-masing dalam Ketentuan Umum disebutkan Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasii pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar. Sedang pada Qanun No.14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum) ditambah dari apa yang telah didefinisikan pada Qanun No.12 dan 13 dengan dan dapat berfungsi sebagai penyidik (Jamhuri, 2005).

Dalam Keputusan Gubernur Prov. NAD No.01 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah pada Ketentuan Umum disebutkan bahwa Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan dalam bidang syariat islam dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar (Jamhuri, 2005).

2. Tugas Wilayatul Hisbah

Furqoni (2007), menyatakan bahwa Wilayatul Hisbah (WH) mempunyai tugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Wilayatul Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, oleh karena itu Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi Wilayatul Hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Tugas Wilayatul HIsbah adalah mengawasi terlaksana atau


(47)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. tidaknya semua hal yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ di dalam masyarakat.

Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai Shalat Jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain (Furqani, 2007).

WH memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, WH yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor (Furqani, 2007).

Dalam Qanun No.11 Tahun 2002 pada pasal 14 disebutkan bahwa tugas Wilayatul Hisbah adalah mengawasi, menegur/menasehati pelanggar syariat sampai pelanggar tidak mengulangi perbuatannya lagi, apabila teguran dan nasihat yang dilakukan WH membuat individu tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka penyelesaian dipadai pada tahap teguran dan nasihat, tetapi apabila tidak didengarkan maka pengawas menyerahkan kasusnya pada penyidik dan


(48)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. selanjutnya diserahkan kepada jaksa dan untuk dilimpahkan ke Mahkaman Syari’ah. Dalam Surat Keputusan Gubernur Prov. NAD. No.01 Tahun 2004 disebutkan tugas Wilayatul HIsbah adalah melakukan pengawasan, pembinaan dan advokasi spiritual dan melimpahkan kasus pada penyidik (Abubakar, 2008).

Abubakar (2008) menyatakan bahwa sebagai salah satu badan pengawas yang bertindak sebagai polisi Syariah Wilayatul Hisbah mempunyai tiga kelompok tugas.

1. Tugas pokok yaitu :

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang undangan di bidang Syariat Islam

b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam

c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan, WH perlu memberitahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik/Kepala Gampong dan keluarga pelaku

d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam kepada penyidik

2. Tugas yang berhubungan dengan pengawasan meliputi :

a.Memberitahukan kepada masyarakat tentang adanya peraturan perundang- undangan di bidang Syariat Islam

b.Menemukan adanya perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan Syariat Islam


(49)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. 3. Tugas yang berhubungan dengan pembinaan meliputi :

a.Menegur memperingatkan dan menasehati individu yang patut di duga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Syariat Islam

b.Berupaya untuk menghentikan kegiatan/perbuatan yang patut diduga telah melanggar peraturan perundangan di bidang Syariat Islam

c.Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut melalui rapat Adat Gampong d.Memberitahukan pihak terkait tentang adanya dugaan telah terjadi

penyalahgunaan izin penggunaan suatu tempat atau sarana

3. Wewenang Wilayatul Hisbah

Abubakar (2008) menyatakan bahwa sesuai dengan keputusan Gubernur Nomor 01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Wilayatul Hisbah, Wilayatul Hisbah berwenang dalam penanganan setiap pelanggaran dan pembinaan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, wewenang tersebut adalah:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan di bidang Syariat Islam

b. Menegur, menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut diduga telah sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syariat Islam

Setiap aparatur Wilayatul Hisbut mempunyai wewenang yaitu : a. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat


(50)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. c. Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut diduga telah dan sedang

melakukan pelanggaran

d. Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar peraturan perundang-undangan

WH juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan WH juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan. WH boleh membakar VCD porno, menyita barang yang ditimbun oleh pedagang sehingga menyengsarakan masyarakat lalu membagi-bagikannya kepada orang miskin, mengancam pencemaran nama baik, memasukkan ke penjara, sampai kepada mengarak si pelanggar keliling kota dan menggantungi tulisan “saya telah melanggar syariat dan tidak akan mengulanginya lagi”.

Ketika menjatuhi hukuman, WH harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa individu betul-betul melanggar syari’at (dzahara fi’luhu), atau tampak jelas individu meninggalkan perkara syari’at (dzahara tarkuhu). Karena itu WH tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Hal ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka WH saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat


(51)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. apatis terhadap syariat dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka (Furqani, 2007).

Namun demikian, wewenang WH hanya mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah bukan termasuk wewenang WH (Furqani, 2007).

D. GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam. Tidak hanya sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya.

Peraturan syariat Islam memang tidak bisa langsung diterapkan secara keseluruhan. Peraturan Daerah atau Qonun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan, yaitu Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, Qonun 12 soal judi atau maisir, Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta Qonun 14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim. Namun hal ini jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Empat


(52)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. Qonun itupun dipercepat pemberlakuannya, karena dianggap mendasar dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat (Indosiar.com, 2006).

Dua tahun setelah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan Qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah). Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar (Furqani, 2007). Tugas dari WH diantaranya adalah menindak perempuan Islam yang tidak menggunakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan (khalwat), dan meringkus pemabuk (khamar) serta penjudi (maisir).

WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan – lingkungan lainnya (Qanun NAD Nomor 11 BAB VI, Pasal 14 ayat (2) (Abubakar, 2008). Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa seringkali


(53)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. terbentur dengan masalah adat kebiasaan masyarakat. Masyarakat desa pada umumnya cenderung memahami ajaran dan tuntunan Islam dalam kerangka budaya dan adat Aceh, dalam arti kata pelaksanaan Islam dilakukan dalam kerangka adat “lokal” (Chaidar, 2008). Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang sesuai dengan syariat islam, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tentu saja sangat mengganggu dan menghambat kerja WH.

Selain itu, kurangnya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dirasakan oleh WH yang ditempatkan di desa. Kurangnya dukungan ini dirasakan oleh WH karena pemerintah tidak memberikan peralatan yang memadai untuk pelaksanaan tugas WH, seperti mobil untuk patroli dan dana operasional lapangan. Hal lain yang menjadi kendala/hambatan dalam menjalankan tugas di lapangan bagi petugas WH adalah masih terbatasnya kewenangan yang di miliki WH dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran qanun syariat Islam. WH hanya memiliki wewenang untuk menegur atau menasehati. Hal ini membuat wewenang WH sangat lemah dalam menindaklanjuti pelanggar (Abubakar, 2007).

Hambatan dan kendala yang dihadapi WH yang ditempatkan di desa ini menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang terlalu berat, konflik, frustasi, jam kerja yang rutin, gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan stress (Ubaidillah, 2007). Kondisi pekerjaan yang terlalu kompleks, overload, terdapatnya kebingungan peran, dan kurangnya dukungan sosial, harapan akan


(54)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010. kenaikan karir yang tidak didapatkan, struktur organisasi yang terlihat kaku dan keras juga dapat menyebabkan timbulnya stress (Looker & Gregson, 2005).

Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Stress yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, maka individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bisa meredakan stress. Hal ini disebut coping. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.

Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stress (problem focus coping) atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut (Emotion-focused coping). Problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Emotion-focused coping digunakan untuk penanganan stress dimana individu memberikan respon terhadap situasi stress dengan cara emosional.

Carels, et.al (dalam Passer & Smith, 2007) menyatakan bahwa kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi, jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk menghadapi situasi yang berbahaya, sehingga hasilnya individu akan mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya bahwa mereka tidak akan dapat menghadapi permasalahan. Selanjutnya individu


(1)

498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 546 547

menyampaikan dengan kata-katanya yang bagus, tapi mereka tidak mengartikan seperti yang kita maksud,

pelaku khamar itu tidak menyadari kesalahan mereka, responden juga

merasa takut menghadapi pelaku khamar.

Responde merasa kurang nyaman terhadap penilaian Satpol PP terhadap WH. Responden mencoba untuk memahamkan

tugas-tugas WH kepada Satpol PP dengan cara yang lembut.

Responden juga merasa terkendala karena kesulitan untuk berkomunikasi dengan Satpol PP karena perbedaan jenjang pendidikan.

Responden

menganggap perbedaan jenjang pendidikan sebagai kendala kerjasama dengan Iter Perbedaan jenjang pendidikan ini gimana

Bapak menanggapinya pak?

Itee Ya terkendala, kendalanya itu tadi, untuk menyerap apa yang kita kasih tau ke dia, jadi mereka salah mengartikan apa yang kita kasih tau,

Iter Dengan tanggapan mereka yang seperti itu pernah merasa kesal atau gondok gitu pak?

Itee Ya ada pasti,

Iter Dalam kondisi seperti itu apa yang Bapak pikirkan pak?

Itee Ya…ya udahlah, seperti itu aja,

Iter Kalau seandainya mereka mampu

memahami apa yang Bapak sampaikan gimana pak?

Itee Ya seneng gitu,

Iter Kalau dari gaji yang diberikan gimana pak?

Iter Kalau dari gaji namanya tenaga honor itu kan….memang kita honor gitu kan, jadi ya udah, gitu aja,

Itee Kalau dibandingkan antara beban kerja dengan gaji yang di dapat gimana Bapak memandangnya pak?

Iter Bukan suatu kendala lah, kan kita udah tau, kita melamar suatu pekerjaan itu kita udah tau duluan, kalau memang gak siap dengan seperti itu jangan melamar, oh kita udah tau gajinya misalkan gajinya 200, kerjaannya lebih berat, ya jangan melamar ke situ, kan gitu kan, kalau saya seperti itu,

Itee Kendala-kendala yang Bapak alami tadi pernah Bapak ajukan ke atasan pak? Iter Gak ada saya ajukan, cuma keinginan aja,

keinginan tiap orang itu kan beda-beda, oh saya pengennya gini, kalau gak terlaksana ya seperti apa,

Itee Pernah mencoba mencari pekerjaan yang lain pak?

Iter Saya itu sebenarnya gini, oh kamu di sini aja, waktu 2004 itu kan ada data base, nah saya udah masukkan data itu, SK nya SK WH, kan gitu, seandainya pindah ke tempat lain, kecuali kalau di pemerintahan ya, kalau di pemerintahan


(2)

548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598

kan gak mungkin ada mutasi, kontrak itu atau honor gak ada mutasi, ya udah ikuti aja, pertahankan itu, kalau swasta ya kalau tergiur uangnya ya ke swasta, tapi karena ada data base tadi, kita udah komit ke situ, ya udah tahankan di situ aja,

Satpol PP.

Responden merasa kesal terhadap Satpol PP yang tidak bisa memahami apa yang responden sampaikan, namun responden mendiamkan saja.

Responden menerima jumlah gaji yang diberikan pemerintah karena responden memahami status WH hanya sebagai tenaga honor.

Responden tidak menganggap gaji sebagai kendala karena

responden telah mengetahui

konsekuensi terhadap pekerjaan sebagai WH.

Responden tidak mengajukan

kendalanya terhadap atasannya.

Responden mengajukan permohonan data base untuk mendapatkan SK agar dapat bekerja di tempat lain dengan menggunakan SK WH.

Responden juga berencana untuk tetap bertahan di WH jika tidak dapat bekerja di tempat lain.

Responden memiliki keinginan untuk bekerja di tempat lain Itee Ada keinginan untuk pindah ke tempat

lain pak?

Iter Ya, adanya ya ada sih, kan di pemerintah itu bukan hanya di WH kan, ada juga yang sesuai pendidikan kan ada, missal seperti PU, atau perindutrian, kan ada, Itee Bagaimana adaptasi Bapak terhadap

pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan Bapak pak?

Iter Ya, kalau WH ini kan suatu kerjaan umat ya, jadi bukan kerjaan inti menurut saya, jadi selama ini saya juga ngajar, dosen, untuk menyegarkan kembali ini kan, Itee Jadi menurut Bapak yang kerjaan inti

seperti apa pak?

Iter Ya yang sesuai dengan pendidikan saya, kayak sekarang juga bukan itu kerjaan inti saya, karena kalau gak ke kantor saya cari kegiatan lain,

Itee Kegiatan apa aja biasa yang Bapak lakukan pak?

Iter Buka usaha, buka usaha kerambah,

Itee Jadi dari sekian banyak tugas Bapak kendala terbesar yang Bapak rasakan yang seperti apa pak?

Iter Kendala terbesar nya yang seperti tadi, misalnya liat orang naik kendaraan gitu ya, ada yang gak menutup aurat, atau ada yang boncengan dengan yang bukan mahramnya, nah itu kan kita takut-takut, takut melakukan yang bukan tugas kita, kita, ini salah gak ya, ini melanggar hukum gak ya, kalau kita melaksanakn tugas ini kita melanggar hukum gak ya, seperti naik motor orang gitu kan, sebenarnya itu salah, mestinya saya negor, tapi gak boleh, kan kendalanya besar tu ya, seharusnya ini tugas saya, saya di bayarnya untuk itu, biar orang berbusana muslim, akhlak nya bagus, kan jiwa itu kan gimana gitu ya, perasaan, tapi gak boleh, gak boleh dilaksanakan, gak boleh di tegor, gak boleh di stop,


(3)

599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616 617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644 645 646 647 648

Bapak melaksanakan tugas pak? yang sesuai dengan

latar belakang pendidikannya.

Responden juga bekerja sebagai dosen untuk menyegarkan kembali ilmu yang sesuai dengan jenjang pendidikannya.

Responden memandang WH bukan merupakan

pekerjaan inti responden, sehingga responden berusaha mencari kegiatan lain, misalnya dengan membukan usaha kerambah.

Responden merasa sangat terkendala dengan ketakutannya terhadap pelaksanaan tugasnya yang dinilai belum jelas.

Responden juga merasa terkendala karena tidak bisa melakukan apa yang diinginkannya.

Responden

melaksanakan tugas pembinaan dengan member penjelasan kepada orang tua pelaku pelanggar syariat Islam.

Iter Membina masyarakat ya seperti itu tadi, kita datangkan orang tuanya, didatangkan orang tuanya, di kasih tau ke orang tuanya, Bapak seharusnya seperti inilah, anak Bapak ini jangan seperti ini, kalau kami mengawasi selalu kan bisa, nah Bapak yang selalu bersama dia, Bapak yang membimbing dia,

Itee Waktu awal Bapak bilang motivasi Bapak untuk menegakkan syariat Islam gitu ya pak, nah kira-kira menurut Bapak sekarang harapan Bapak ini sudah tercapai atau seperti apa pak?

Iter Belum, belum,

Itee Gimana tanggapan Bapak pak?

Iter Nah itu tadi, beban mental, beban, karena sebenarnya saya ini di bayar untuk itu, Itee Melihat kondisi sekarang, gimana harapan

Bapak terhadap masyarakat pak?

Iter Ya, pengennya kan melaksanakan syariat Islam, jadi kita pengennya orang itu tau bahwa di Aceh itu syariat Islam, ada bedanya, kalau kita misalnya dari sini pergi ke Jogja, sama aja dengan di sini, pergi ke Makassar, sama juga dengan di sini, nah gitu, jadi belum ada bedanya, tapi coba kalau kita pergi ke Arab, beda dengan di Indonesia, apa bedanya? Mereka menjalankan Syariat Islam, maunya gitu, jangan seperti sekarang, kalau kita pergi ke Lampung katakan gitu, sama dengan masyarakat Aceh Tengah, Itee Jadi kalau menurut Bapak, jalan keluar

apa yang bisa di lakukan untuk mewujudkan harapan Bapak pak?

Iter Maunya kan di semua tempat syariat Islam itu di tegakkan, oh orang turun dari bandara, ada peraturannya di situ, harus menggunakan busana muslim, oh orang datang dengan bus ke sini, harus ada peraturannya di sana harus menggunakan busana muslim, cuman kan memang konsekuensinya kita harus bayar orang untuk bisa 24 jam di sana, siapa yang mau, trus biaya untuk bayar orang itu, kan gak kecil, trus kalau bisa kan semuanya dari kita, jangan kayak sekarang, baju-baju semua dari medan, coba liat di toko-toko, toko mana yang jual busana muslim


(4)

649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 661 662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678 679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693 694 695 696 697 698

semua, kan sikit cuma, kebanyakan toko pasti ada baju ketatnya, coba kalau kita semua yang bikin, baju muslim semuanya, tapi untuk mencapai kondisi ini gak bisa dalam waktu yang singkat, prosesnya akan sangat lama,

Responden merasa harapannya untuk mewujudkan syariat Islam belum tercapai, dan ini dinilai sebagai beban mental

Responden berharap masyarakat dapat menjalankan syariat Islam dengan benar, sehingga dapat terlihat perbedaan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dengan daerah lain

yang tidak melaksanakan Syariat

Islam.

Menurut responden jalan keluar terhadap kondisi masyarakat adalah dengan membuat peraturan ketat di semua lini dan dengan memproduksi barang sendiri.

itee Berarti bapak memandang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh ini akan tercapai dalam waktu yang lama, gitu ya pak, nah bagaimana kondisi ini mempengaruhi motivasi bekerja baak pak?

Iter Ya saya malu ya, saya malu, karena sebenarrnya ini kan tugas saya, tapi saya belum bisa melaksanakannya, tapi yang jelas apa yang bisa kita lakukan ya kita lakukan, membina, mengawasi, kita berusaha untuk melaksanakannya,

itee Biasanya dalam menghadapi kendala-kendala ini bapak sharing nya dengan siapa pak?

iter Kebetulan saya punya Pak Cik (paman) yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, jadi saya berdiskusi dengan beliau, saya berharap nanti beliau yang akan menyampaikan pada yang lebih di atas lagi, karena kalau kita mengharapkan pertemuan dengan Bupati atau Wakil Bupati bisa makan waktu lama, ntah kapan-kapan bisanya,

itee Kalau dengan kakak pernah sharing juga Pak?

Iter Pernah, pernah juga,

Itee Dengan Bupati atau Wakil Bupati pernah mengadakan pertemuan Pak?

Iter Pernah, tapi baru dua kali,

Itee Itu gimana tanggapan mereka Pak?

Iter Ya, mereka bilang sih akan ditindak lanjuti, tapi seperti yang saya sampaikan tadi kan tugas mereka banyak ya, bukan hanya ngurusin WH aja, jadi ya, kita tunggu ajalah,


(5)

699 700 701 702 703 704 705 706 707 708 709 710 711 712 713 714 715 716 717 718 719 780 781 782 783 784 785 786 787 788 789 790 791 792 793 794 795 796 797 798 799 800 801 802 803 804 805 806 807 808

Responden merasa malu karena belum mampu melaksanakan tugasnya dengan maksimakl, namun responden tetap berusaha melakukan apa yang bisa dilakukannya.

Responden biasanya menyampaikan

keluhannya kepada paman responden yang memiliki jabatan yang lebih tinggi, responden berharap paman responden inilah yang akan menyampaikan keluhannya kepada pemerintah.

Responden juga pernah sharing dengan istri responden.

Responden berusaha memahami kondisi pemerintah yang belum

dapat maksimal terhadap WH


(6)

809 810 811 812 813 814 815