Ika Silvia : Pengaruh Penambahan Variasi Berat Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Biji Durian Durio zibethinus, 2009.
Komponen Tempe
Air g Kalori kka l
Proteing Lemakg
Karbohidrat g Kalsiummg
Posfor mg Zat besi mg
Vitamin ASI Vitamin B
1
mg Vitamin C mg
64 149
18,3 4,0
12,7 129
154 10
50 0,17
Selama proses pembuatan tempe terjadi proses penurunan kadar karbohidrat penyebab flatulensi yaitu stakiosa dan rafinosa. Penurunan kedua oligosakarida tersebut
akan meningkatkan daya cerna tempe dan bebasnya flatulensi.Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin racun bahkan sebaliknya mampu
melindungi tempe terhadap aflatoksin dan kapang yang memproduksinya. Disamping itu, telah dilaporkan bahwa tempe mengandung senyawa antibakteri. Senyawa penghambat
pertumbuhan bakteri tersebut diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi Sutrisno,K.,1992
2.3.1. Fermentasi Tempe
Fermentasi dapat didefinisikan sebagai perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir, dan jamur. Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab
fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermentasi ini dapat menyebabkan perubahan sifat pangan, sebagai akibat dari pemecahan kandungan –
kandungan bahan pangan tersebut. Jika cara-cara pengawetan pangan yang lain misalnya pemanasan, pendinginan, pengeringan, iradiasi dan lain-lainnya ditujukan untuk
Ika Silvia : Pengaruh Penambahan Variasi Berat Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Biji Durian Durio zibethinus, 2009.
mengurangi jumlah mikroba, maka proses fermentasi adalah sebaliknya, yaitu memperbanyak jumlah mikroba dan menggiatkan metabolismenya di dalam makanan.
Tetapi jenis mikroba yang digunakan sangat terbatas yaitu disesuaikan dengan hasil akhir
yang dikehendaki.
Pada mulanya yang dimaksud dengan fermentasi adalah pemecahan gula menjadi alkohol dan CO
2
. Tetapi banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat gula dan menghasilkan alkohol serta CO
2
. Selanjutnya diketahui pula bahwa selain karbohidrat, juga protein dan lemak dapat dipecah oleh mikroba dan
enzim tertentu yang menghasilkkan CO
2
dan zat-zat lainnya F.G.Winarno,1980.
Fermentasi dapat dikatakan sebagai cara paling tua untuk mengawetkan atau meningkatkan sifat organoleptik dari suatu bahan makanan . Sebenarnya berbagai
produk fermentasi kedelai telah lama dapat dinikmati, namun minat konsumen terhadap makanan kesehatan yang muncul akhir-akhir ini serta adanya keinginan untuk mencoba
jenis makanan baru , menyebabkan topik fermentasi tetap aktual untuk diteliti dan dikembangkan. Sampai saat ini, hampir seluruh proses fermentasi kedelai menjadi tempe
di Indonesia masih merupakan kegiatan produksi skala rumah tangga. Meskipun prosesnya cukup sederhana, namun terkait erat dengan aplikasi beberapa ilmu dasar,
khususnya mikrobiologi dan biokimia. Mikrobiolog sangat diharapkan partisipasinya dalam pemilihan jenis mikroba yang diperlukan untuk mengubah biji-biji kedelai menjadi
bahan makanan yang sifat fisik dan kimianya sangat berbeda dengan bahan bakunya. Derajat aktivitas mikroba menjadi faktor yang sangat penting karena dalam waktu
fermentasi yang singkat, dihasilkan produk yang nilai gizinya lebih baik dan penampilan serta cita rasanya diterima konsumen. Pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba,
akan menghasilkan enzim yang selanjutnya mengawali terjadinya rangkaian proses biokimia dan terus berlangsung selama didukung oleh kondisi yang sesuai.
Pembuatan tempe diawali dengan merendam kedelai dalam air yang tingkat keasamannya pH sekitar 4-5. Kondisi asam ini diperoleh dengan cara menambahkan
asam cuka. Dengan menerapkan suatu metode kimia analitik sederhana misalnya
Ika Silvia : Pengaruh Penambahan Variasi Berat Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Biji Durian Durio zibethinus, 2009.
pengukuran dengan kertas litmus, tingkat keasaman tersebut dapat diperoleh dengan mudah. Suasana asam seperti ini, diperlukan untuk mencegah tumbuhnya bakteri yang
dapat mengganggu proses fermentasi atau dapat menurunkan mutu tempe yang akan dihasilkan. Pengasaman terbukti dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil racun
Bacillus cereus Nout,dkk,1987. Asalkan pH tidak kurang dari 3,5, pertumbuhan Rhizopus sp. yaitu kapang yang berperan dalam pembuatan tempe tidak akan terganggu.
Bambang,H.,1999.
Pembuatan tempe didasarkan proses fermentasi, faktor inokulum dan kapang dari jenis Rhizopus dan oryzae berperan penting dalam proses tersebut. Selama proses
fermentasi, jenis-jenis mikroorganisme lain mungkin turut tercampur, tetapi tidak menunjukkan aktivitas yang nyata. Fermentasi kapang hanya berlangsung aktif 1 hari,
setelah itu terbentuk spora-spora yang berwarna putih kehitaman. Pada saat itu, kesempatan pertumbuhan dilakukan oleh jenis mikroorganisme lain, terutama bakteri-
bakteri yang dapat menimbulkan pembusukan, sehingga tempe harus segera dimakan dan dimasak sebelum pembusukan terjadi.
Dari pengamatan visual dan subyektif dapat dilihat perubahan-perubahan pada proses fermentasi, misalnya tempe telah jadi dalam waktu 30 jam setelah inokulasi dan
dalam waktu 10-15 jam tempe mulai mengeluarkan bau amoniak, bila dibiarkan pada suhu kamar. Dengan melihat keadaan tersebut, maka terlalu singkat kiranya
memperdagangkan tempe secara meluas tanpa diimbangi usaha pengawetan.Untuk membuat tempe yang berkualitas baik dan agak tahan lama, harus diperhatikan sanitasi
dan kemurnian inokulumnya F.G.Winarno, 1982.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi tempe, yaitu : a.
Oksigen Oksigen memang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, tetapi bila berlebihan
proses metabolisme kapang menjadi lebih cepat sehingga menghasilkan panas berlebihan dan tidak seimbang dengan pembuangannya panas yang
ditimbulkannya menjadi lebih besar daripada panas yang dibuang dari
Ika Silvia : Pengaruh Penambahan Variasi Berat Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Biji Durian Durio zibethinus, 2009.
bungkusan . Bila hal ini terjadi, suhu kacang kedelai yang sedang mengalami fermentasi menjadi tinggi dan akan mengakibatkan kapangnya mati.
b. Suhu
Kapang tempe bersifat mesofilik, yaitu untuk tumbuhnya memerlukan suhu antara 25-30
C atau suhu kamar, oleh sebab itu suhu ruangan tempat pemeraman perlu diperhatikan ventilasi yang cukup baik.
c. Jenis Laru
Untuk mendapatkan tempe yang baik maka laru tempe harus dalam keadaan aktif, artinya kapang tempe mampu tumbuh dengan baik . menggunakan laru yang
masih baru akan berpeluang menghasilkan tempe yang baik laru sangat berpengaruh terhadap pembentukan rasa, aroma dan flavor tempe yang dihasilkan.
d. Nilai pH derajat keasaman
Derajat keasaman memegang peranan penting dalam proses pembuatan tempe. Bila kondisinya kurang asam atau pH tingi maka kapang tempe tidak dapat
tumbuh dengan baik sehingga pembuatan tempe akan mengalami kegagalan. Disamping untuk memenuhi kondisi yang dibutuhkan oleh kapang tempe, suasana
asam berguna untuk mencegah tumbuhnya mikroba lain yang tidak diinginkan dalam pembuatan tempe Syarief,R., 1999.
Saat ini banyak orang yang telah mencoba untuk membuat tempe lebih tahan lama. Beberapa peneliti mencoba teknik pengawetan tempe . Diantaranya dengan cara
pengeringan menggunakan alat pengering oven. Tempe yang akan dikeringkan mula- mula diris-iris setebal 2,5 cm. kemudian dikukus pada suhu 100
C selama 10 menit. Pengukusan ini penting, karena menurut hasil penelitian Hermana at al 1972 produk
tempe kering yang dihasilkan tanpa perlakuan pengukusan ternyata mempunyai rasa pahit. Kemudian tempe dikeringkan dengan oven pada suhu 70
C selama 6-10 jam. Hasil akhir merupakan tempe kering yang mempunyai kadar air 4-8 persen. Tingkat kadar
air yang rendah ini memungkinkan tempe dapat disimpan pada suhu kamar dengan cara dibungkus plastik selama berbulan-bulan tanpa terjadi perubahan warna dan citarasa.
Jika akan dipakai tempe tersebut harus direkonstitusi dengan cara perendaman menggunakan air panas 90-100
C selama 5-10 menit.
Ika Silvia : Pengaruh Penambahan Variasi Berat Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Biji Durian Durio zibethinus, 2009.
2.3.2. Inokulum tempe